Saya menghindari berada di lokasi yang penuh sesak dengan manusia seperti di pasar atau mol karena bila mendadak ada belati masuk ke perut, saya tidak bisa menengarai pelakunya. Juga saya minta istri saya berwaspada. Anak-anak ke sekolah diantar-jemputnya walau jaraknya dari rumah tidak jauh. Saya tidak menemui pendeta saya untuk menjelaskan latar belakang munculnya surat kaleng itu. Bila ia tidak mendoakan kami, apa lagi yang bisa saya harapkan darinya? Lagipula bila saya bersih mengapa harus risih?
– o –
Atasan saya yang berkantor di Jakarta lewat telepon menasihati untuk lebih banyak ke luar kota dalam mengantisipasi surat ancaman itu. Saya menolak karena itu berarti saya tidak bisa menjaga keluarga saya. Saya memberikan selembar fotokopi surat itu kepada Lusi karyawan distributor yang merupakan tangan kanan bos mudanya.
“Lus, kalau aku dibunuh orang kamu siap-siap saja dipanggil polisi karena nama selingkuhanku di surat ini Lisa dan dari semua karyawan perempuan di sini namamu saja yang paling mirip.”
Dia mengamuk. “Bagaimana aku bisa selingkuhan sama kamu jika setiap bertemu pasti ramai bertengkar menetapkan tanggal pelunasan hutang? Kalau suami aku baca surat ini, aku bisa dicerai!” teriaknya.
“Kalau begitu berikan saja surat ini kepada bos mudamu untuk direnungkan,” jawab saya.
Dari kantor distributor saya pergi ke Perumnas Kenten untuk mencari alamat pengirim surat itu. Nama jalan ketemu. Nomor gangnya ada. Nomor rumahnya? Di surat tertulis nomor 27 tetapi kenyataannya nomor rumah terbesar di gang itu 26. Pasti sebelumnya si pengirim telah menyelidiki gang ini. Ia tidak berani mempergunakan nomor rumah yang ada. Mungkin takut dicari oleh penghuni yang nomor rumahnya disalahgunakan. Ia bodoh. Seharusnya ia memakai nama jalan yang tidak ada di Palembang. Dengan caranya ini saya memperkirakan si pengirim tinggal dalam perumnas ini dan kebetulan ada seorang salesman distributor berdomisili di sini. Ia telah dijadikan korban.
Saya tidak melanjutkan pelacakan karena tidak melihat manfaatnya. Urusan hutang distributor sudah dapat diatasi dengan penyerahan dokumen 3 rumahnya. Konsep surat pemutusan hubungan kerja telah dikirim dari Jakarta. Namun demikian saya tetap bersikap waspada. Saya menghindari berada di lokasi yang penuh sesak dengan manusia seperti di pasar atau mol karena bila mendadak ada belati masuk ke perut, saya tidak bisa menengarai pelakunya. Juga saya minta istri saya berwaspada. Anak-anak ke sekolah diantar-jemputnya walau jaraknya dari rumah tidak jauh. Saya tidak menemui pendeta saya untuk menjelaskan latar belakang munculnya surat kaleng itu. Bila ia tidak mendoakan kami, apa lagi yang bisa saya harapkan darinya? Lagipula bila saya bersih mengapa harus risih?
Tetapi ada sesuatu yang terus mengganggu pikiran saya. Setiap malam selalu saja saya teringat saat seorang diri mengunjungi Oom Tan dirumahnya. Lelaki tua itu menangis ketika saya menjelaskan tidak sanggup lagi membantu anaknya menyelamatkan perusahaannya yang dulu dirintis dari nol. Anaknya tetap bersikeras mengalihkan modal perusahaan ke berberapa usaha patungan dengan teman-temannya yang tidak jelas prospeknya. Pengalihan modal ini membuat perusahaannya defisit. Atasan saya berbaik hati dengan tidak menghentikan pasokan barang dengan harapan bisa membantu menyehatkan keuangannya. Tetapi keuntungan dari hasil penjualan barang ini tidak untuk mengurangi hutang, tetapi lagi-lagi dialihkan ke usaha patungan itu. Saya perlu jaminan untuk menutup hutang yang makin membengkak berupa surat kepemilikan properti.
“Saya memulai kerjasama bisnis ini dengan baik,” katanya. “Karena itu saya ingin mengakhirinya dengan baik pula. Membangun nama baik tidak bisa dilakukan dalam waktu satu hari. Saya tidak ingin nama baik saya hancur pada waktu kerjasama ini berakhir.”
Ia meletakkan surat-surat rumah dan tanah yang dimilikinya di atas meja. Ia meminta saya memilih sendiri. Saya menanyakan properti mana yang tidak bermasalah dan mudah dijual. Ia menyodorkan 3 surat rumah, termasuk rumah yang ditinggalinya. Harga jualnya cukup untuk menutup seluruh hutangnya.
“Ambil dan bantu saya menjualnya.”
“Lalu Oom nanti tinggal di mana?”
“Saya bisa pindah ke desa menanam semangka. Saya lebih memilih naik sepeda tetapi setiap orang di Palembang tetap menyapa saya dengan hormat daripada tinggal di rumah besar ini tetapi setiap orang mencibirkan bibir waktu menyebut nama saya.”
Nanar saya memandangnya. Tubuhnya sudah renta dan rapuh. Ia berjalan tertatih-tatih. Tetapi ia tetap teguh memegang prinsip hidupnya dan kehormatannya. Komunitas pengusaha di kota ini memujinya sebagai pedagang yang bisa dipegang bicaranya.
Ingatan ini terus menyiksa saya dan membuat saya bergumul dalam doa mohon Tuhan memberitahu apa yang harus saya lakukan. Suatu hari saya menulis imel panjang kepada atasan saya dengan tembusan kepada presiden direktur. Saya menjelaskan pengakhiran hubungan kerjasama dengan Oom Tan bisa menjadi awal kehancuran bisnis kami di propinsi ini. Tidak ada pedagang yang tidak setuju dengan prinsip setiap hutang harus dilunasi. Tetapi tidak akan ada pedagang – terutama yang datang dari etnis Tionghoa – yang tidak mengelus dada bila demi prinsip ini kami membuat seorang teman yang sudah berjalan beriringan selama 40 tahun dalam masa panen dan masa paceklik terlempar keluar dari rumahnya untuk kemudian tinggal di rumah kontrakan dan makan beralaskan piring plastik. Bila ini tetap dilakukan, para pedagang di seluruh pelosok propinsi ini tidak akan lagi bergairah memajang produk kami. Lalu, kami akan bangkrut menyusul Oom Tan.
Gara-gara imel ini saya diperintahkan terbang ke Jakarta menghadap presiden direktur. Saya diberi waktu 30 menit untuk menjelaskan lebih rinci apa yang saya maui. Doa pendek saya ucapkan dalam hati sebelum masuk ke kamar kerjanya, “Tuhan, tolong kirim malaikat-Mu untuk mendampingi saya.” Sampai saya selesai mengeluarkan semua unek-unek, beliau tidak berkomentar satu kata pun. Ya Tuhan, apa ia tidak mengerti bahasa Inggris saya yang berlepotan ini? Yang ia katakan hanya, “Okey Pur, saya akan membawa idemu dalam rapat dewan direksi. Hari ini juga kembalilah ke Palembang dan usahakan serah terima antara distributor lama dengan yang baru berjalan lancar.”
Seminggu menjelang berakhirnya kerjasama dengan Oom Tan, atasan saya datang ke Palembang. Ia mengajak saya ke rumah beliau. Setelah setengah jam berbasa-basi atasan saya berkata, “Oom ingin apa yang dimulai dengan baik diakhiri juga dengan baik, bukan? Dewan direksi kami juga punya keinginan yang sama.”
Dari tas kerjanya ia mengeluarkan surat pemberitahuan berakhirnya masa kerjasama yang ditandatangani oleh presiden direktur. Lalu sebuah piagam penghargaan. Kemudian, “Tentunya kerjasama yang hampir 40 tahun itu tidak bisa dilupakan begitu saja. Dewan direksi menitipkan sebuah cidera mata untuk Oom Tan yang kami harap bisa membuat kita tetap mengenang masa-masa kebersamaan kita tanpa perasaan terluka.”
Ia mengambil sebuah map surat. Saat ia membukanya di depan Oom Tan saya nyaris berteriak. Itu surat kepemilikan rumah yang ditinggali Oom Tan! “Dengan pernyataan tertulis yang bermeterai secukupnya, dewan direksi menyatakan mengembalikan surat rumah ini dan surat kuasa menjualnya kepada Oom Tan sebagai tali asih.”
Saya kuatir Oom Tan jatuh pingsan ketika memeluk atasan saya sambil tersedu-sedu. Rumah itu bukan rumah murah. Setidaknya sekarang bernilai sekitar 1 milyar rupiah. Berapa juta rupiah komisi yang saya terima dari Oom Tan? Tidak serupiah pun. Tetapi jiwa saya dipenuhi rasa syukur yang luar biasa. Saat itulah saya merasakan betapa nikmatnya menngecap kebaikan Tuhan. Terima kasih Tuhan, terima kasih. Inilah berkat terbesar yang saya terima selama bertugas di kota ini. Bagi saya berkat adalah keberhasilan melakukan sesuatu yang menyenangkan Tuhan.
Peristiwa itu begitu cepat tersiar. Pengembalian satu dari tiga surat rumah itu malah makin mengharumkan nama Oom Tan. Melalui tindakan ini sebuah perusahaan besar telah menyatakan hormatnya kepada beliau. Waktu saya memperkenalkan distributor baru di Pasar 16 Ilir seorang pedagang sambil memandang saya dan menggeleng-gelengkan kepala berkata, “Ternyata orang Kristen itu baik, ya.” Saya hanya meringis mendengar keheranannya.
Saya bukan orang baik sehingga tidak mampu berbuat baik tanpa pertolongan-Nya. Malaikat yang Tuhan kirim mendampingi saya ternyata tidak hanya melindungi saya dari ancaman pembunuhan tetapi juga untuk menyemangati saya menulis imel panjang demi kebahagiaan Oom Tan di hari tuanya.
(end of session)
* semua nama telah disamarkan.
Kisah-kisah mistis.
bag 8: Tanda kehadiran utusan Allah - 2.
bag 9: Malaikat menyanyi memberi solusi.
Kios Mistis
Kios P Pur sekarang semakin bernuansa mistis, memasuki terasnya saja sudah terasa semilir aroma kemenyan serta diterangi redupnya cahaya kemerah-hijauan sementara suara burung hantu sayup-sayup terdengar...tiba tiba....bayangan hitam itu sekilas melintas dengan cepat mengeluarkan suara seperti orang tercekik. Oh rupanya hanya seekor kelelawar pulang ke sarangnya.
Aku termasuk seorang penakut terhadap hal-hal yang di luar alam nyata, tetapi herannya paling suka cerita mistis. Kalau lagi muter-muter cari channel film maka prioritasnya adalah film mistis atau horror (tapi yang jelas bukan produksi Indonesia, soalnya hantu dan korbannya sering memaksakan kehendak kepada penonton). Kelebihan kios mistis P Pur adalah ceritanya lebih menitik beratkan pada pelaku hidup dan hampir selalu berakhir dengan kemuliaan nama Tuhan.
Pengalaman pertamaku memutus distributor malah mendapat ancaman dari atasan sendiri agar segera take action. Bagaimana tidak bingung, belum setahun bekerja dalam dunia sales dan distribusi sudah harus pecat memecat distributor, bukan satu lagi. Dan yang dipecat bukan distributor yang baru setahun dua tahun menjalin kerjasama, tetapi sudah belasan bahkan puluhan tahun semenjak perusahaan tempatku bekerja masih seusia balita. Seperti PHK masal saja layaknya, alasan pemecatan ketika itu adalah karena distributor yang ada sudah tidak bisa mengikuti perkembangan perusahaan dalam berbagai hal dan bukan urusan hutang, konkritnya masih banyak yang menjalankan usaha dengan sangat tradisional bahkan ada yang hanya menggunakan buku tulis dan kalkulator untuk pencatatan. Bisa dibayangkan bagaimana pusingnya kami membuat perhitungan-perhitungan matematis dan statistik terkait dengan laporan dan analisa sales dan distribusi.
Untungnya saat itu tidak sampai mendapat ancaman tertulis, disantet, ataupun pencobaan pembunuhan. Ada rasa campuran antara takut dan kasihan ketika harus menyampaikan keputusan pemutusan hubungan secara lisan terlebih dahulu, dan sekali lagi, untungnya, aku kedapatan memecat distributor di beberapa propinsi yang kebetulan merupakan bagian dari perusahaan distributor nasional. Lebih mudah karena penanggung jawab di pusat maupun di daerah adalah orang yang sama sepertiku, sama-sama pekerja dan makan gaji. Temanku yang kebagian memecat seorang pengusaha seperti om Tan diatas, malah dimaki-maki serta diusir, distributornya tidak mau bertemu dengannya lagi dan hanya mau bertemu dengan pimpinan pusat. Maklum kami semua waktu itu masih seperti anak-anak kemarin sore, masih imut begitu.
Tahun inipun, aku kedapatan target untuk memecat seorang distributor jika yang bersangkutan tidak dapat mencapai target penjualan. Sebenarnya sudah cukup alasan untuk memecat, mengingat distributor ini boleh dikatakan tidak memenuhi hampir semua poin krusial dalam perjanjian keagenan. Dari dari term of payment, target penjualan dan realisasinya yang jauh panggang dari api, sering stock out sampai 1-2 bulan akibat pengiriman dihentikan karena masalah TOP, juga sangat tertutup dalam data sharing, bahkan belakangan ada indikasi memalsukan packaging produk. Poin plusnya hanya availibility produk di outlet yang menjadi target cukup memuaskan serta cukup berhasil membawa produk melewati periode introduction.
Kalau di Indonesia sudah pasti langsung dipecat. Tetapi ini di Nigeria, dan semua pelanggaran kecil tersebut sebenarnya sudah dimulai dan di tolerir sebelum aku in charge di tempat ini. Sang distributor dan juga isterinya, sangat manis dalam berbicara dan gayanya seperti orang terhormat dan berpendidikan, tetapi banyak tindakannya sangat bertolak belakang.
Bulan Maret lalu, ketika aku sampaikan bahwa ada indikasi yang sangat jelas berdasarkan analisa QC bahwa ada pemalsuan packaging dus, aku malah dimarahi distributor ini dan disalahkan karena langsung lapor ke pusat bukannya lapor ke dia terlebih dulu, padahal aku masih sopan tidak menuduh dia yang melakukan meskipun indikasinya sudah jelas. Aku dikatakan tidak tahu etika bisnis seperti yang diajarkan di universitas, karena main bypass. Benar-benar logika sinting dan paling aneh yang pernah kudengar. Aku bertanggung jawab kepada perusahaan tempatku bekerja dalam mengawal brand dan produknya, dan sudah selayaknya meminta QC mengecek dahulu, terlebih aku sendiri masih ragu apakah kemasan tersebut palsu atau asli.
Emosiku naik seperti ada api yang keluar dari kepalaku, kubanting telepon genggamku di hadapannya sambil menantang distributor ini menelepon ke atasanku sekarang juga untuk memecat aku karena telah melakukan kesalahan. Dengan sigapnya, dia mengeluarkan jurus silat lidahnya dengan mengatakan aku rasialis, dan bertindak begitu karena dia black. Aku melempar kembali lidah itu ke mulutnya, "This is nothing to do with the black, white, yellow...this is about business!" Masih banyak jurus-jurus serang dan bertahan yang dia peragakan, sedangkan aku tidak peduli lagi dan hanya berusaha membalikkan setiap jurus yang dia keluarkan kembali ke dalam mulutnya sendiri. Untung ada temanku yang menjadi saksi, dan bertindak sebagai good cop, dan eye witness. Akhirnya, seperti layaknya di akhir pertandingan tinju, kami berpelukan, dan aku tegaskan lagi dengan bahasa Inggris sebisanya, "This is nothing to do with a personal matters".
Seumur-umur, selama bekerja belum pernah mengalami kejadian ini, hampir lepas kontrol dan emosi sedemikian rupa di depan partner business. Mungkin karena rasa muak yang sudah tertahan sekian lama. Aku harus tunjukan walaupun mereka orang hitam, tinggi, gede dan seram, bukan berarti orang asing seperti kita bisa dilecehkan dan diperdaya terus menerus, semua ada batasnya. Rasa hormat dan basa-basi bahkan rasa takutpun ada tempat dan batasnya. Akan aku tegaskan sekali lagi ke distributor ini bahwa tahun ini harus mencapai target atau terminate, tidak ada yang dapat kami bantu atau lakukan lagi, sekalipun dibunuh.
Kembali ke kios mistis P Pur, ternyata tidak seseram yang dibayangkan seperti kios-kios di tempat lain. Isinya sangat meneguhkan dan menguatkan, serta memberikan inspirasi untuk sharing kejadian yang hampir serupa tapi amat sangat tidak sama ini.
Pak Pur, ditunggu sharing kisah-kisah yang meneguhkan, menguatkan, dan inspiratif terutama terkait dunia kerja, bila perlu ditambah bumbu-bumbu mistis pasti lebih lagi
@Andy Ryanto membuat saya terlempar ke masa lampau
dengan istilah-istilah distribusi dan sales sehingga saya bagai sedang duduk semeja di kantor yang sama.
Setelah menyelesaikan masalah dengan Oom Tan saya dipindahtugaskan ke Sumatera Bag. Tengah dan ditugasi memecat semua distributor di kepulauan Riau. Saya naik kapal dari Pakanbaru dan mengunjungi pulau demi pulau selama seminggu. Rasanya saya ingin mengajak orang-orang kantor yang selama itu iri terhadap orang-orang pemasaran hanya karena kami bisa jalan-jalan jauh dengan biaya perusahaan. Mendadak saja rekan-rekan di kantor pusat punya kesibukan yang tak mungkin mereka tinggalkan sehingga saya harus pergi seorang diri. Apa yang harus saya lakukan bila pemilik distributor marah lalu mengambil parang? Ke mana saya bisa lari jika satu-satunya jalan keluar hanya lewat pelabuhan yang hanya disinggahi kapal 2 kali sehari? Saat-saat seperti inilah saya mutlak menyerahkan tubuh dan jiwa saya kepada Tuhan.
Saya tidak pernah lupa yang terjadi di sebuah pulau. Empek tua pemilik distributor sudah menunggu di pelabuhan dengan sepedanya. Tetapi saya tak mau dibonceng karena ia hanya pakai kaos singlet. Tidak ada 15 menit kami berjalan, kami tiba di tokonya. Ia senang sekali saya kunjungi. Kami akrab waktu Distributor Meeting di Singapura karena setiap hari berjalan-jalan berdua. Ia hafal sekali setiap tempat di tepi laut. Maklum, waktu muda profesinya penyelundup, kemudian meningkat jadi kepala gerombolan penyelundup. Ia sudah tua tetapi tetap energik, suka bercanda tetapi tak suka main perempuan. Yang saya tak suka ia suka tiduran di kamar saya sampai betul-betul tidur hingga subuh. Bukan karena ia mengorok, tetapi selalu buka baju walau ac sudah dingin sehingga tubuh bagian atasnya yang dipenuhi panu terpajang. Mungkin ia penjelmaan Kera Sakti karena walau tidur lelap tangannya rajin menggaruk-garuk dada dan punggungnya. Seluruh stock bir kaleng di mini bar dihabiskan karena memang itu minumannya sepanjang hari. Tetapi sebelum pukul 7 pagi ia telah menggantinya dari luar walau saya sudah mengingatkan semua bisa dibebankan kepada perusahaan kami.
Saya sudah menghabiskan minum 2 gelas air jeruk tetapi belum juga bisa mengatakan tujuan kunjungan saya. Ia harus dipecat bukan karena berdosa terhadap perusahaan, tetapi atas nama efisiensi yang akan menyatukan seluruh Riau Kepulauan dan Daratan di bawah bendera 1 Distributor besar. Akhirnya saya menerima tawarannya minum bir kaleng. Baru pada kaleng kelima setelah kepala oleng ke kanan ke kiri saya bisa mengatakannya. Ia marah, marah sekali sampai mencak-mencak. Saya bilang mau ke hotel. Ia panggil becak untuk saya dan ia naik sepeda mengawal. Saya masuk kamar, ia ikut masuk kamar. Saya mandi, ia rebahan di tempat tidur tanpa baju. Selesai mandi saya diajak ke toko dan percetakan adik-adiknya dan pergi makan sea food di tepi laut. Di situ marahnya dilanjutkan dengan suara keras, maklum mantan pelaut, sehingga semua pengunjung resto bisa mendengar dengan jelas. “Aku senang kamu mau mengunjungi aku di pulau terpencil ini. Tetapi apa aku masih bisa senang kalau kamu datang untuk memecat aku?”
Saya menjawab dengan berteriak juga karena angin laut bertiup deras. “Empek ini sudah tua tetapi masih suka bohong. Saat ini Empek punya hati sedang senang. Jika tidak, mengapa menraktir saya makan besar di sini? Jika tidak, mengapa tadi pesan sama pemilik hotel semua biaya kamar makan minum saya di hotel Empek yang tanggung? Jika tidak, mengapa karcis kapal untuk saya besok pagi Empek belikan? Jika tidak, mengapa tadi saya diajak ke toko untuk membelikan saya baju? Padahal itu semua Empek lakukan setelah tahu Empek dipecat.”
Ia kaget. Lalu tertawa terbahak-bahak. “Karena aku anggap kamu keponakanku.”
“Apa sebagai keponakan saya tega mempermalukan pamannya dengan menurunkan bendera kebanggaannya yang setia dijagainya puluhan tahun?”
“Maksudmu?”
“Empek tetap distributor, tetapi barang dikirim dari Distributor Pakanbaru karena saya bisa bujuk tauke Pakanbaru itu untuk tidak mengirim salesmannya ke pulau ini.”
“Haiya, kenapa kamu tidak omong dari tadi?”
“Bagaimana bisa ngomong kalau Empek ngomel terus?”
Sebetulnya saya berbohong. Ide untuk menjadikannya sub-distributor baru terpikir di tepi laut ini. Distributor Pakanbaru sudah punya kantor perwakilan di pulau ini untuk barang lain. Tetapi saya yakin bisa membujuknya untuk menjadikan Empek ini sub-distributor demi menjaga nama baiknya dalam komunitasnya.
Entahlah saya tak tahu mengapa selalu saja Tuhan menolong saya dalam keadaan kritis. Adanya malaikat pelindung hanya diyakini oleh saudara kita yang Katolik. Tetapi dari pengalaman-pengalaman saya, walau saya beribadah di gereja Protestan saya yakin Tuhan beri saya malaikat pelindung. Mungkin ini dikarenakan saya selalu berdoa, “Tuhan, kirimlah malaikat-Mu untuk mendampingi saya mengerjakan tugas berat ini.” Mengapa saya berdoa begitu? Karena saya risih meminta Tuhan yang turun tangan sendiri. Masa punya Tuhan hanya untuk disuruh-suruh.
Salam.
Berbagi
P Pur harus berbagi ilmu dan pengalamannya, sayang kalau sampai hanya dibawa mati. Memang urusan pecat-memecat ini paling susah baik bagi yang dipecat maupun yang memecat, perlu skill khusus dan itu...minta tolong dikirimi malaikat berdasarkan pengalaman P Pur. Secara keseluruhan rasanya cukup menikmati juga dunia sales-distribusi ini. Ditunggu seri berikutnya.
Suruh BawahanNya
"...Karena saya risih meminta Tuhan yang turun tangan sendiri. Masa punya Tuhan hanya untuk disuruh-suruh."
Hmmm... bener2 markotop, kok saya nggak kepikiran dari dulu yah? Mulai doa yang sama ah...
@purnomo - HALELUYA!!!
Saya kuatir Oom Tan jatuh pingsan ketika memeluk atasan saya sambil tersedu-sedu. Rumah itu bukan rumah murah. Setidaknya sekarang bernilai sekitar 1 milyar rupiah. Berapa juta rupiah komisi yang saya terima dari Oom Tan? Tidak serupiah pun. Tetapi jiwa saya dipenuhi rasa syukur yang luar biasa. Saat itulah saya merasakan betapa nikmatnya menngecap kebaikan Tuhan. Terima kasih Tuhan, terima kasih. Inilah berkat terbesar yang saya terima selama bertugas di kota ini. Bagi saya berkat adalah keberhasilan melakukan sesuatu yang menyenangkan Tuhan.
Tepuk tangan yang meriah bagimu saudaraku , abang, kakak, dan sahabat... apapun itu.... saya bangga punya saudara seiman sepertimu pak/mas/om PUR!!!.... saya yakin Yesus dari sorga melihat setiap itikad baik mu.... ga masalah di dunia belum mendapat penghargaan atau apapun.... tapi yang pasti ... Yesus berkata UPAHMU BESAR DI SORGA....amin
Saya percaya bukan ancaman itu yang menggentarkan hati seorang pak pur....
tetapi sungguh saya terharu dengan tindakan anda....
saya senang mengikuti kisah hidup dan tulisan anda....
semoga bisa menjadi inspirasi dan contoh bagi saudara kita yang lain...
nice share pak pur....
NB:ngomong2 ... kalau boleh tahu... bisnis pak pur di bidang apa yah? produk yang pakpur jual itu seperti apa yah??? thanks be4... saya penasaran nih pak... heheheh maklum jiwa muda.... masih semangat2 nya berbisnis....mohon petunjuk yah pak....
Kerjakanlah Keslamatanmu dengan takut dan gentar...
@BC, I am deeply sorry
tak bisa mengatakan produk yang saya jual karena akan memudahkan para pembaca mengetahui nama asli tokoh dalam artikel-artikel yang saya tulis.
BC, jika perlu petunjuk berbisnis buat saja sebuah blog yang berisi masalah yang sedang BC hadapi. Menelisik blog-blog yang ditulis oleh para user SS saya menengarai tidak sedikit yang punya pengalaman bagus di bidang bisnis sekaligus suka berbagi petunjuk.
Salam.