Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Menghiijaukan Merapi Lagi [1]
Setelah sukses menanam lebih dari 25 ribu bibit pohon di desa Balerante Klaten, pemuda gereja dan Banser NU Klaten akan kembali menghijaukan lereng Merapi. Kali ini dengan lokasi yang berbeda, yaitu di desa Tegalmulyo, kecamatan Kemalang, Klaten. Penanaman akan dilaksanakan Sabtu, 22 Januari 2011 mulai pukul 8.
Deles dipilih sebagai lokasi penenaman berikutnya karena belum ada pihak yang "menjamah" tempat wisata ini. Sebagai persiapan, tanggal 17 Januari kami melakukan survei di lokasi dengan diantar oleh mas Sukarno, anggota Banser dari kecamatan Kemalang. Dengan mengendarai sepeda motor matik, mas Karno memandu mobil kami menuju desa Sidorejo. Dari tempat wisata Deles Indah masih naik ke arah dusun Pring Cendani. Di wilayah ini sudah tidak ada lagi pemukiman warga karena berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Hampir tidak ada lagi pohon keras yang utuh karena terbakar awan panas dan ambruk tidak kuat menahan terpaan material Merapi.
Jalan menuju lokasi sudah diaspal, namun sudah rusak dan terjal. Batu-batu pelapisnya lepas ketika diinjak. Hal ini akan menyulitkan truk pembawa bibit pohon. Maka kami memutuskan untuk melihat lokasi yang kedua, yaitu di desa Tegalmulyo. Di sini kondisinya "lebih mendingan" daripada desa Sidorejo. Wilayah yang tersambar awan panas tidak begitu luas. Tapi tak ayal pohon-pohon besar bertumbangan karena dihempas material vulkanik.
Puncak Merapi terlihat begitu dekat dari dusun Pajekan, Tegalmulyo, Kemalang, Klaten.
Ini adalah jalur pendakian ke puncak Merapi.
Hari berikutnya, kami menemui perangkat desa Sidorejo untuk menyampaikan keinginan kami menanami wilayah mereka. Sambutan mereka dingin dan tidak menunjukkan antusiasme. Mereka malah menyuruh kami pergi ke kantor kehutanan. Hal ini cukup mengecewakan kami. Dengan hati kesal, kami pun menuju ke kantor kehutanan di Kemalang yang ternyata kosong dan terkunci. Tidak ada pegawai yang masuk kantor yang masih baru itu.
Dengan hati kesal, kami bergerak melambung ke kanan menuju balai desa Tegalmulyo. Ternyata balai desa sudah tutup meski jarum jam belum menunjukkan pukul 12. Karena sudah jauh-jauh ke sini, kami memutuskan untuk mencari kepala desa di rumahnya. Ternyata ada. Namanya pak Sutarno. Berbeda dengan perangkat desa Sidorejo, pak tarno menyambut kami dengan antusias. Dia menawarkan wilayahnya yang terdampak erupsi Merapi untuk ditanami.
Namun karena wilayah ini juga berbatasan dengan TNGM, maka dia langsung menelepon pihak pengurus TNGM untuk berkoordinasi. Ternyata untuk menanami wilayah TNGM kami harus menulis surat dan pegi ke kantor TNGM yang ada di Kaliurang, Yogyakarta.
"Kalau urusannya ribet, sudahlah kita menanam di desa Sidorejo saja," usul saya. Teman-teman dan pak Tarno setuju. Maka kami lalu menetapkan Sabtu, 22 Januari sebagai pelaksanannya.
Persiapan
Tiga hari sebelum pelaksanaan, tepatnya hari Kamis, kami mengirimkan 22 bibit pohon ke lokasi penghijauan. Bibit-bibit itu meliputi 2000 trembesi, 3450 sengon laut, 550 sengon cyclo, 1000 mindi, 3000 akasia, 1000 cengkeh, 1000 jambu biji, 2000 sirsak, 1000 damar, 1000 kelengkeng, 5000 jabon,1000 kayumanis. Untuk mengangkut bibit sebanyak ini dibutuhkan 2 truk dan satu pick up.
Karena lokasinya yang sangat tinggi, dari puncak Merapi hanya sekitar 5 km, maka mobil pengangkut terseok-seok membawa beban berat. Di pintu masuk desa, truk pengangkut sudah menyerah. Tak kuat lagi menanjak. Tak ada pilihan lain selain mengurangi muatan. Separo bibit diturunkan supaya teruk bisa menanjak ke dusun Pajekan.
Menurunkan sebagian bibit karena truk tidak kuat lagi menanjak
Bibit yang akan ditanam. Hujan mulai turun. Kabut mulai melingkup
Sementara itu mobil yang kami tumpangi juga menurunkan 300 kg beras dan minyak goreng di salah satu rumah warga. Rumah ini akan digunakan sebagai dapur umum untuk menyediakan makan siang bagi relawan.
Jumat malam, kami mulai menghitung relawan jumlah relawan akan ikut aksi ini. Ternyata jumlahnya cukup mencengangkan. Banyak pihak yang menyatakan berminat bergabung. Aksi yang digalang Satgas "Derap Kemanusiaan & Perdamaian” ini akan didukung oleh Bantuan Serbaguna Nahdatul Ulama (Banser NU) di Klaten, Gereja Kristen Indonesia (GKI) Klaten, Gereja Kristen Jawa (GKJ) di Klaten, Pedan, Gondangwinangun, Manisrenggo dan Karangnongko. Selain itu, masih ada relawan luar kota yang menyatakan minat untuk bergabung. Dari Jakarta ada tiga orang yang bergabung. Satu orang atas nama pribadi dan dua orang utusan dari GKI Wahid Hasyim. Dari Semarang, GKI Klasis Semarang Barat dan Timur juga akan memberangkatkan relawannya, yang dikoordinasi oleh Yus dan Pdt. Rahmat. Sementara itu Deni mengkoordinasi relawan GKI Boyolali untuk merapat ke Merapi. Masih ada lagi relawan perseorangan Solo.
Ditotal, jumlanya mencapai 400 orang. Di satu sisi kami senang dengan jumlah ini. Di sisi lain, kami dipusingkan dengan masalah pengaturan parkir. Jalan yang ada lokasi penghijauan sangat sempit, menanjak dan hampir tidak ada tempat parkir. Penyediaan makan siang juga harus dipikirkan. Kami sudah meminta kepada warga setempat untuk memasak makan siang. Pesoalannya bagaimana cara membagi makannya. Kalau berupa nasi bungkus, warga setempat tidak punya tenaga untuk membungkusi nasi sebanyak 400 buah. Namun jika menggunakan cara prasmanan, kendalanya tidak ada tempat yang cukup luas untuk menampung relawan. Kami memutuskan untuk memilih cara prasmanan namun dengan bergiliran per kelompok.
Rapat pesiapan ini dilakukan sambil makan malam di warung lesehan pak Waris, dekat lampu merah Bendogantungan. Saat asyik-asyiknya rembugan, tiba-tiba Afia Mien menelepon. Afia adalah relawan perseorangan dari Jakarta. Dia baru saja mendarat di bandara Jogjakarta dan dijemput Erni. temannya dari Solo. Karena delay, dia baru mendarat sekitar pukul 8 malam. Afia menanyakan tempat penginapannya.
"Anda naik apa?"
"Naik bis."
"Turun saja di lampu merah Bendogantungan. Kami sedang makan malam dekat situ. Nanti kami antar ke tempat penginapan." Demikian saran saya. Seperempat jam kemudian, Afia dan Erni sudah sampai dan langsung bergabung dengan kami menikmati bebek goreng.
Pukul sembilan malam, rapat koordinasi ala relawan pun usai. Usai mengantar Afia dan Erni, kami pulang untuk beristirahat. [bersambung]
[Oh ya, ada satu hal yang terlupa. Saat meluncur menuju posko, rem mobil Taft Hiline yang menjadi mobil operasional kami ternyata blong. Untung (orang Jawa selalu beruntung 'kan) kerusakan ini diketahui sebelum kami naik ke Merapi. Bayangkan jika malam itu tidak ada rapat koordinasi dan mobilnya langsung ke Merapi yang curam. Hiiiiii......ngeri. Kami tidak menceritakan soal rem blong ini pada Afia dan Erni yang pada hari H menumpang mobil ini. Mungkin mereka belum tahu sampai membaca blog ini karena sepanjang perjalanan wajah mereka terlihat tenang. Bahkan sempat tertidur, sementara kami berdebar-debar]
Baca juga:
Kolaborasi Gereja dan Banser NU
------------
Communicating good news in good ways
- Purnawan Kristanto's blog
- Login to post comments
- 3882 reads