Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Menggarap Pengantin Perempuan
Berita dari kantor gereja sampai kepada saya sudah terlambat hampir 1 minggu. Oom Lok ada di rumah sakit. Dalam perjalanan ke rumah sakit saya mampir ke rumah kakaknya. Cerita yang saya dapatkan sungguh mengenaskan.
Kakak iparnya yang sudah berusia 80 tahun bercerita ia ditelepon ketua RT-nya. Dari rumahnya tercium bau tidak sedap. Pintu pagar digedor-gedor tetapi ia tidak keluar. Iparnya ke sana membawa kunci duplikat. Oom Lok ada di atas tempat tidur tidak bisa bergerak. Entah sudah berapa hari. Ia berak kencing di tempat tidur. Segera ia dilarikan ke rumah sakit.
“Sekarang rumah itu siapa yang menunggui?” tanya saya.
“Untuk apa ditunggui. Rumah itu sudah kosong. Dua orang suruhanku perlu waktu 4 hari untuk membersihkan sampah yang disimpannya. Semua barangnya sudah aku jual. Rumah itu juga mau aku jual,” jawab iparnya.
Tetapi Oom Lok tidak tahu semua harta bendanya telah lenyap. Ia ada di sebuah kamar yang berisi 4 tempat tidur. Ia masih diinfus. Ia tidak menjawab walau saya panggil namanya berulang kali. Matanya tertutup. Nafasnya lemah tetapi masih teratur. Dari kelopak matanya yang bergerak-gerak saya tahu ia hanya pura-pura tidur.
“Oom Lok, mumpung Oom sedang kos di sini, bagaimana kalau rumah Oom saya bersihkan? Saya mau panggil pedagang rongsok untuk membeli semua buku, koran dan besi-besi tua. Nantinya uangnya saya berikan kepada panti asuhan yang miskin. Hitung-hitung Oom beramal. Tadi saya sudah mampir . . . . .”
Matanya terbuka dan, “Tidak bisa!” suaranya masih melengking sehingga mengagetkan tetangganya.
“Semua barang itu untuk keponakan saya.”
“Keponakan Oom yang di Jakarta? Ia sudah kaya. Mana mau menerima barang seperti itu. Sudahlah, berikan saja kepada rumah yatim piatu.”
“Yatim piatu itu urusan gereja, bukan urusan saya.”
“Gereja tidak punya uang untuk panti asuhan. Uangnya habis untuk membantu anggotanya yang miskin. Oom ini kok pelit sih.”
Ia mengangkat sedikit kepalanya dan menoleh ke arah saya di samping tempat tidurnya. Tangan yang tidak ditusuk jarum infus bergerak di udara. “Kamu minta uang ke dinas sosial saja. Itu tugas pemerintah! Sudah! Jangan tanya lagi. Saya mau tidur,” dan ia menjatuhkan kembali kepalanya di atas bantal. Matanya tertutup rapat.
Dari gerakannya yang singkat ini saya yakin ia tidak kena struk. Lalu mengapa ia terkapar di rumahnya berhari-hari? Jangan-jangan ia lupa makan karena berhemat sehingga waktu bangun pagi badannya lemas. Lalu ia tidur lagi. Ketika bangun kembali badannya makin lemas dan tidak bisa digerakkan. Dulu waktu ia ada di kantor yayasan pelayanan kematian saya pernah menyarankan agar menjual rumahnya dan uangnya dipergunakan untuk jalan-jalan ke luar negeri. Pulang dari wisata panjang, ia bisa masuk rumah jompo. Ia menolak saran saya. Buang-buang uang, katanya. Rumahnya nanti mau diwariskan kepada keponakannya. Ia tidak jujur mengatakan sebetulnya ia tidak punya apa-apa lagi. Kasihan.
Saya tidak tahan didiamkan olehnya. Mau ke tetangganya, 3 pasien sekamarnya sudah ada yang mengunjungi. Maka saya berpamitan.
“Oom Lok, saya mau pulang. Tidak mau titip apa-apa? Nasi gudeg, nasi ayam, nasi goreng, permen coklat, susu coklat? Nanti saya belikan di depan rumah sakit.”
Matanya terbuka. Kayak anak kecil saja, harus diiming-imingi.
“Bawakan saya obat kumur. Yang di sini mereknya murahan. Sikat gigi, odol . . . . kamu catat, jangan cuma diingat-ingat.”
Melayani orang sepuh memang menjengkelkan. Saya mengeluarkan secarik kertas dari tas saya dan membuat catatan. “Obat kumur, sikat gigi, odol, apa lagi?”
“Handuk kecil, kertas tisiu. Sudah segitu dulu,” dan ia meram kembali.
“Oom, jangan tidur dulu. Uangnya mana?”
“Minta Kiem Liong, ipar saya.”
“Oom Liong bezuk ke mari tidak?”
“Setiap pagi.”
“Kalau begitu besok pagi saja catatan ini Oom berikan kepadanya.”
“Kalau kamu berikan sekarang ‘kan besok pagi Kiem Liong sudah bawakan barangnya. Kamu ini disuruh orang sakit kok membantah.”
Saya meninggalkan kamarnya. Sambil berjalan ke gerbang rumah sakit saya menelepon iparnya dan membacakan daftarnya. Ternyata tadi pagi Oom Lok sudah memesan iparnya untuk membelikan barang-barang ini.
– o –
Dua hari kemudian saya mengunjunginya lagi. Ia sedang dijemur di halaman. Saya berdiri di samping tempat tidurnya dan terpaksa ikut berjemur matahari pagi.
“Mana Rudi?” tanyanya.
“Ada perlu apa?”
“Panggil dia ke mari,” perintahnya.
“Dia hanya keluar kantor kalau ada yang meninggal,” saya membohonginya.
“Saya mau meninggal,” suaranya masih nyaring juga.
“Tapi belum meninggal,” bantah saya dengan volume yang sama tanpa peduli orang yang berlalu-lalang menoleh.
Ia tampak jengkel. “Kalau begitu saya titip pesan. Catat!”
Saya mengeluarkan kertas dan balpoin.
“Kalau saya mati, jenasah saya jangan dikubur, tetapi dikremasi.”
“Mengapa?”
“Lebih murah dan tidak merepotkan yang hidup.”
Tahu diri juga orang ini, pikir saya. “Nanti abunya dilarung di mana?” saya bertanya.
“Terserah Rudi.”
“Mau di Marina Semarang, Cilincing Jakarta atau di pantai Bengkulu?”
“Memang bisa memilih?”
“Di pantai Singapura juga bisa,” saya menantangnya.
“Kalau begitu di Singapura.”
“Ongkos larungnya tambah 10 juta rupiah.”
“Kok mahal sekali?”
“Untuk ke sana saya perlu beli tiket pesawat pergi-pulang kelas satu karena bawa abu orang mati. Menginap satu malam. Makan tiga kali. Sepuluh juta itu tidak bersisa banyak. Tapi masih cukuplah buat beli oleh-oleh buat Rudi.”
“Sudah, sudah, yang murah saja.”
“Yang murah? Yang gratis saja ada. Di belakang kantor Rudi ada selokan besar.”
“Mau dibuang ke selokan juga ndakpapa. Nanti juga sampai ke laut. Terus bisa ke Singapura ke Honolulu ke Florida,” jawabnya enteng.
“Makanya, tak perlu mikir pusing-pusing lagi abu Oom mau diapakan. Nanti di surga juga dapat tubuh baru dari Tuhan Yesus.”
Ia tidak menjawab. Matanya tertutup.
“Biar saya lama jadi Kristen, saya masih saja punya rasa iri hati,” cerita saya tanpa peduli ia mendengar atau tidak karena alamat cerita saya bukan telinganya lagi. “Sampai hari ini saya masih iri kepada penjahat yang disalib di samping Tuhan Yesus. Ia masuk surga hanya karena memercayai Tuhan Yesus. Coba dipikir, allah mana sebaik Tuhan kita? Ia tidak pernah ke gereja, tidak pernah berdoa, tidak pernah berpuasa, tidak pernah menyanyi memuji Tuhannya, tidak pernah menyumbang uang ke gereja, tidak pernah berbuat baik kepada orang lain, e dapat surga. Harusnya Tuhan Yesus pada saat terakhir membuat mujizat biar ia tetap hidup sehingga . . .”
“Saya bukan penjahat!” mendadak ia berseru membuat orang-orang yang duduk di kursi panjang dekat kami menahan senyum.
“Yang bilang Oom penjahat, siapa? Tetapi yang namanya penjahat itu ‘kan tidak harus membunuh orang dulu. Setiap orang yang pernah menjahati istrinya, anak-anaknya, tetangganya, temannya, atau siapa saja, pantas disebut penjahat. Seorang penjahat itu najis di mata Tuhan. Seharusnya ia tidak boleh masuk surga.”
“Itu bukan urusan saya.”
Seorang perawat mendekati kami. Sambil tersenyum ia memberi tanda akan membawanya masuk.
“Mau didoakan dulu, Oom?”
“Ndak usah, kamu bukan pendeta. Saya bisa berdoa sendiri.” Lalu ia memejamkan mata. Perawat mendorong tempat tidurnya masuk ke dalam kamarnya. Setelah mengangguk kepada mereka yang duduk di bangku panjang, saya melangkah keluar rumah sakit.
– o –
Pada kunjungan ketiga ketika saya melintas meja perawat saya mendengar seorang yang duduk di situ menyebut nama Oom Lok. Ada seorang lelaki separoh baya di situ dan berkata dengan nada jengkel,
“Saya ini pendeta, Sus. Saya baru saja mendoakan pasien ini dan saya butuh nomor telepon saudaranya yang di Semarang.”
Perawat memintanya ke front office karena memberikan nomor telepon keluarga pasien bukan wewenangnya. Nomor telepon keluarga hanya boleh dipergunakan olehnya untuk keadaan darurat. Memang agak aneh bila seorang pendeta mengunjungi pasien rumah sakit tetapi tidak mengenal keluarganya. Saya mendekati meja itu dan berkata kepadanya, “Maaf, Pak. Bisa kita bicara sebentar?”
Saya mengajaknya duduk di kursi sofa di depan meja perawat.
“Saya punya nomor telepon keluarga Oom Lok di Semarang dan bisa memberikan kepada Bapak setelah saya tahu kepentingannya.”
“Bapak keluarganya?”
“Bukan. Saya hanya segereja dengan Oom Lok.”
“Bapak pendeta?”
“Bukan.”
“Majelis?”
“Saya hanya jemaat biasa yang kebetulan kenal Oom Lok. Tidak ada larangan seorang jemaat melawat jemaat lainnya, bukan? Bapak pendeta gereja mana?”
Ia menyebut nama sebuah gereja yang saya tahu jemaatnya tidak banyak tetapi berada dalam denominasi besar. “O, saya tahu gereja itu. Di jalan yang ada di belakang gereja Bapak, Bapak punya jemaat perempuan yang bekerja sebagai pramugari Garuda ‘kan?”
“Kok tahu?”
“Saya pernah datang ke gereja Bapak. Bagaimana Bapak bisa sampai mengunjungi Oom Lok?”
“Begini. Kemarin waktu saya bezuk jemaat saya di sini, saya bertemu dengan keponakannya yang datang dari Jakarta. Ia meminta saya mendoakan pamannya ini. Keponakannya bercerita pamannya sudah tidak sadar tetapi masih memberi respon ketika ia menyanyikan lagu rohani di telinganya. Keponakannya memberi nomor hapenya kepada saya. Tadi saya mengunjungi pamannya dan mendoakannya.”
“Lalu mengapa Bapak butuh nomor telepon keluarganya di Semarang?”
“Saya juga menginjilinya dan ia mau terima Yesus.”
“Berkabar kepada keponakannya saja ‘kan sudah cukup, Pak.”
“Tetapi saya ingin keluarganya yang di Semarang juga tahu.”
“Biar saja keponakannya yang meneruskan kabar ini kepada yang di Semarang.”
“Tetapi kalau kabar itu bisa lebih cepat sampai kepada yang di Semarang ‘kan lebih baik?” masih saja ia berkukuh.
Untuk apa? Agar amplopnya bisa lebih cepat diterimanya? Ah, saya selalu berprasangka jelek.
“Tadi Bapak mengatakan Oom Lok tidak sadar. Lalu bagaimana Bapak tahu ia mau terima Tuhan Yesus?”
“Waktu ia saya tanya kesediaannya menerima Tuhan Yesus, ia menghela nafas dalam,” jawabnya sambil memperagakannya.
“Dan itu Bapak yakini sebagai jawaban setuju dari Oom Lok?” tanya saya dengan mata mulai terasa panas.
“Ya.”
“Sebentar, Bapak tunggu di sini. Saya mau menengok Oom Lok sebentar. Jangan ke mana-mana,” dan saya bergegas menuju ke kamar Oom Lok.
Tubuh kurus kering itu terbujur diam. Matanya tertutup rapat. Wajahnya tenang teduh. Selang infus menempel di tangannya. Mangkuk masker oksigen menutupi mulut dan hidungnya. Saya menempelkan punggung tangan saya ke dahinya. Terasa hangat. Saya pegang tangannya. Terasa dingin. Apakah ia masih bernafas? Saya menjulurkan jari telunjuk saya di depan hidungnya. Bodoh. Mana bisa jari saya yang berkulit tebal merasakan nafasnya. Ketika saya akan memasukkan telunjuk saya ke dalam mulut saya agar basah, saya ingat dalam kamar itu ada 3 pasien lain beserta sanak familinya sehingga saya mengurungkannya. Mata saya mengikuti selang plastik oksigen sampai ke sebuah kantong plastik yang berisi cairan. Biasanya ada gelembung-gelembung udara di kantong ini. Tetapi sekarang saya tidak melihatnya. Saya menoleh ke botol infus. Cairannya tidak menetes di tabung kecil yang berada di bawah botol. Segera saya keluar kamar dan pergi menemui perawat di mejanya.
“Sus, tolong pasien The Sing Lok di kamar 114 diperiksa apa masih bernafas.”
“Tenang, Pak. Tadi sudah diperiksa. Tensinya normal.”
“Sekarang tolong diperiksa lagi.”
“Tadi sudah. Baru saja,” jawabnya sambil membereskan berkas-berkas di mejanya.
“Apa perlu saya memanggil perawat dari unit lain atau dokter di rumah sakit ini yang saya kenal?” tanya saya dengan suara rendah.
Dengan wajah cemberut 2 orang perawat itu membawa alat pengukur tekanan darah ke kamar Oom Lok. Saya mengikutinya. Mereka memeriksa. Sampai 3 kali. Dan akhirnya seorang dari mereka menoleh kepada saya,
“Pasien sudah meninggal.”
“Terima kasih, Sus. Tolong keluarganya dikabari.”
Saya kembali menemui pendeta yang ternyata masih sabar menunggu saya. Saya membuka phone book di hape saya dan menunjukkan kepadanya sebuah nomor.
“Ini nomor telepon kakak ipar Oom Lok di Semarang, Pak.” Ia segera mengetik nomor itu ke hapenya. “Silakan meneleponnya sekalian mengabari Oom Lok sudah meninggal.” Jemarinya berhenti mengetik sebelum seluruh angka itu diselesaikannya.
“Pak, kalau Bapak sering menunggui orang yang akan meninggal, Bapak seharusnya tahu helaan nafas yang dalam itu lebih mungkin ditafsirkan sebagai tarikan nafas terakhir. Silakan Bapak melihatnya untuk memastikannya. Yaaa, siapa tahu Oom Lok memberi Bapak tanda lagi.”
“Saya kira tidak perlu.”
“Betul, tidak perlu. Tetapi perlu Bapak ketahui sebulan yang lalu Oom Lok sudah menerima baptisan di rumahnya dalam keadaan sadar. Sebentar, saya mau menelepon gereja saya.”
Saya menekan satu tombol di hape saya menghubungi gereja. Pendeta saya memberitahu ia akan segera ke rumah sakit. Kemudian saya menekan tut lainnya. Suara Rudi menjawab.
“Rud, Oom Lok bagi warisan. Bukan untuk siapa-siapa, tetapi hanya untuk kamu,” saya berkata sambil melirik ke pendeta yang masih memandangi saya dengan mulut sedikit terbuka. “Kamu kirim orang-orangmu ke rumah sakit untuk mengurus jenasahnya. Apa? Bagus, kalau kamu bisa sekalian datang. Tolong kamu kontak iparnya dulu untuk mengkonfirmasi jenis peti matinya dan kapan mau dikremasi. Oke,oke. Tengkiu.”
Saya menoleh ke pak pendeta. “Bagaimana sekarang?”
“Saya kira saya bisa pergi sekarang.”
“Masih perlu nomor telepon dari saya?”
Ia menggelengkan kepala. Ia berdiri, saya juga. Saya mengulurkan tangan untuk menyalaminya.
Saya berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju kamar jenasah. Hari ini tanggal 23 Mei 2005. Setelah diperiksa oleh dokter, 2 jam kemudian jenasah Oom Lok akan dipindahkan ke sana. Ah, Oom Lok memang seperti penjahat di samping salib Tuhan Yesus. Ia dibaptis pada hari Senin tanggal 4 April. Belum ada 2 bulan usia rohaninya. Ia belum memraktekkan kasih Tuhan. Bahkan ia belum belajar rela menyumbangkan sedikit “harta”nya kepada orang lain. Orang bisa saja meragukan apakah ia sudah mengamini “Tuhan ada di dalam hatiku”. Tetapi ketenangannya menghadapi ajal yang makin mendekat membuat saya yakin ia telah memegang iman percaya yang paling mendasar. Yaitu, “Aku ada di dalam hati Tuhan”.
(the end)
Catatan: semua nama dalam kisah ini telah disamarkan.
Serial Menjemput Ajal:
Bagian-1: Perawan Pendamping Kematian.
Bagian-3: Menggarap Pengantin Perempuan.
Belum ada user yang menyukai
- Purnomo's blog
- Login to post comments
- 5622 reads
Tua Getir
"Ah, Oom Lok memang seperti penjahat di samping salib Tuhan Yesus..."
Apalagi kalau dilihat kelakuannya, bisa bikin saya cekik sana-sini. Ah, tapi saya juga...
Mempelai wanita cerewet
Purnomo, CARA anda menggarap dan mempersiapkan calon pengantin perempuan, sangat menarik. Mendandani dan merias mempelai wanita meski kerempeng, cerewet, galak, ngeyelan pula, memang membuat tensi tekanan darah tinggi naik pol.. Tapi bagaimana lagi, mau nggak mau mesti mau, karena mempelai pria mengasihinya..
Belajar sabar juga ah.. jadi tukang rias mempelai wanita itu anugerah..
Matur nuwun untuk serial Om Lok ini,..
sory pak pur
pak pur sory ya, bisa minta tolong ajarin saya memasang gambar yang tidak bisa di "klik" gambar nya kaya punya pak mujizat disini , kan gambar anggur nya tidak bisa di klik khan pak?
sebelumnya trimakasih ya pak pur
JBU&m
Kerjakanlah Keslamatanmu dengan takut dan gentar...
Petunjuk Pasang Gambar
Hai BIlly, Pak Wawan sudah membahasnya dengan baik di blognya:
http://www.sabdaspace.org/cara_pintas_memasang_gambar_di_ss
Mudah-mudahan membantu, silahkan berkomentar di blog tersebut untuk pertanyaan lebih lanjut
@rusdy
maS , yang saya tanyakan adalah bagaimana cara pasang gambar yang tidak bisa di klik.
seperti kaya punya pak mujizat disini
tuh kan gambar anggur nya kaga bisa di klik, tapi bila pakai metode punya mas pur gambarnya bisa di klik dan menunjukan album seluruhnya,
apakah anda bisa bantu saya?
Makasij JBU&M
Kerjakanlah Keslamatanmu dengan takut dan gentar...
Pasang Gambar
Caranya, kalau pakai Picasa:
copas link dari kolom 'Embed image' pokoknya kolom dibawah 'Link'
Jangan lupa pilih ukurannya dari drop down box
Jangan lupa tick 'Image only (no link)'
klik yang ada gambar gunung
Lalu di kolom 'URL', paste link yang sudah dikopi dari Picasa
Lalu klik OK
Mudah-mudahan membantu
@rusdy kam sia
akan saya coba dulu mas , ntar kalo ada trobel jangan bosan bosan mengajari saya yah
NB:bagaimana kalau nga picasa? misal photobucket?
thanks before
JBU&m
Kerjakanlah Keslamatanmu dengan takut dan gentar...
Bill, Anda bertanya ke alamat yang salah
Bill, lha wong yang punya gambar Mr.Mujizat kok nanyanya sama saya? Saya tidak tahu ada di tingkat mana "keakraban" Anda dengan Mr.M sehingga tidak tahu mengapa Anda tidak todong ia saja. Believe me, misalnya saja Anda sering pibu dengan Mr.M, tidak perlu sungkan menadahkan tangan kepadanya. Ini tradisi tak tertulis di situs ini.
Contoh yang paling eksem itu hai-hai yang hobi mengajak pibu siapa saja. Tetapi tangannya yang terkepal segera terbuka kok kalau ada "seteru"nya yang bilang "help me".
Saya bisa menempel gambar (tepatnya gambar lagu) karena belajar dari blog yang direkomendasikan oleh Rusdi, milik Pak Wawan.
Btw, saya tidak tahu yang Anda maksud dengan frase "gambar anggur nya kaga bisa di klik" karena setelah saya klik kanan, muncul alamatnya di http://gudangs.wordpress.com/files/2009/08/anggur.jpg Untuk tahu seluruh albumnya klik alamat ini.
Saya bisa mengkopi gambar ini dengan, setelah klik kanan, klik copy image untuk kemudian paste di file pribadi.
Kalau ilmu Pak Wawan masih kurang, todong SF yang galaknya luar biasa sekaligus dermawannya (dalam membagi ilmu) juga luar biasa.
Salam.
@rusdy sulit
bang, mumet bang.... gimana sih urutan nya?????
Kerjakanlah Keslamatanmu dengan takut dan gentar...
@purnomo
iya salah alamat, saya kira anda sepuh jadi pasti bisa mengajar juniornya hehehehe maaf deh pak
JBU&m
Kerjakanlah Keslamatanmu dengan takut dan gentar...
@billy Jangan cantumin link-nya
Billy coba kamu pelajari ini deh kalau yang di copas seperti ini
<a href="http://antowi.com/"><img src="http://antowi.com/wp-content/uploads/2009/07/logo.jpg"></a>
maka akan muncul seperti ini :
Nah jika yang di copas seperti ini
<img src="http://antowi.com/wp-content/uploads/2009/07/logo.jpg">
maka munculnya akan seperti ini :
Jadi hilangkan saja tag <a href="http://alamatweb.com"> dan </a>
Salam..hormat
Semut,bangsa yang tidak kuat, tetapi yang menyediakan makanannya di musim panas, Amsal 30:25
@antowi , begitu toh
eh begitu toh mas antowi, makasih deh mas , ini yang saya maksud, anda memang top markotop huehehehehe
ban ban kamsia mas, beribu makasih ye
semoga Tuhan yang balas kebaikan anda hehehehe
JBU&m
Kerjakanlah Keslamatanmu dengan takut dan gentar...