Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Kisah Seorang Ayah[1]: Berita Duka
Aku benar-benar sangat marah. Sudah 09.10, tetapi penumpang diam, pengeras suara juga bungkam. Hanya aku yang mendatangi petugas—sebagai bukti jarang melakukan perjalanan—menanyakan alasan keterlambatan, “Karena pesawatnya terlambat dari daerah.” Bisa kutangkap artinya, “Bukan salah kami, daerah yang salah.” Bila di daerah, mereka mungkin berkata, “Bukan salah kami, pesawat dari Jakarta yang terlambat datang.”
Darah semakin mendidih karena penumpang hanya menoleh sekilas, nrimo, ketika pengeras bernyanyi Telat Lagii. Padahal kalau maskapai yang terlambat, pesawatnya tidak bakalan menunggu. Makhluk merah bertanduk, bertombak mata tiga, mau keluar dari kepala saat penumpang bangkit bersamaan begitu pengeras suara menyelesaikan nyanyian, “Penumpang jurusan Jakarta-Palangkaraya bisa mengambil makanan dan minuman yang kami sediakan di pintu depan.”
Batu yang melintas di kepalaku sebesar buah kelapa ketika aku melirik dinding kaca samping kanan.
Tadi, ketika dua petugas maskapai menyeduh teh celup di termos besar, aku pikir mereka nanti mendatangi penumpang satu persatu. Sudah kurancang aksiku, menolak dengan berkata, “Maaf, aku tidak butuh minuman, aku butuh sampai di Palangkaraya sesuai jadwal supaya bisa melihat ayah dalam keadaan hidup.” Panggilan makanan ini merenggut kesempatan memberi tahu kalau saudara-saudaraku sampai menunda keberangkatannya. Mereka tidak jadi berangkat pagi-pagi karena mendengar pesawatku mendarat di Bandara Cilik Riwut jam 10.45. Sekarang sudah setengah sepuluh, maskapai ini bahkan hanya meminta maaf dengan segelas teh, dan kotak raksasa yang pasti hanya berisi dua potong kue.
Aku tidak bisa menunggu. Aku harus bertemu ayah sebelum ia menghembus nafas terakhir. Ia sudah memanggil namaku. Stroke pertama, aku tidak datang; strokekedua, juga tidak datang. Apakah aku juga harus terlambat saat ia menghembuskan nafas terakhir? Kami sudah tahu aturan mainnya, saat orang tua yang sakit keras memanggil anak-anaknya, itu bukan kritis, itu tanda. Ayah sudah melupakan nama anak-anaknya, stroke pertama menghancurkan ingatannya, stroke kedua menghancurkan tubuhnya. Saat memanggil namaku, itu berarti baterei cadangan sudah terpakai. Baterei itu tidak tahan lebih dari dua puluh empat jam.
Sekarang aku tidak punya pilihan selain menunggu.
Tadi perjalanan Solo-Jakarta cukup menyenangkan. Aku duduk di pinggir, dekat sayap. Tempat duduk yang walaupun tempat favoritku, selalu membuat leher sakit. Sejak tinggal landas, kepalaku menutupi jendela, tanpa mempedulikan penumpang di samping. Ia pasti lebih sering naik pesawat sehingga tidak tertarik melihat kota Solo dari atas. Salah, waktu menggerakkan leher yang mulai pegal, bisa kulihat ia terpaksa menonton awan dari jendela di kursi belakangku. Sekarang aku mendapat balasannya, untunglah setelah menunggu—merasa bangga karena tidak menyentuh makanan sogokan--pengeras suara kembali bernyanyi. Kali ini lagunya terdengar merdu.
Penerbangannya kurang menyenangkan. Bukan hanya karena terlambat lebih dari satu jam tadi; juga bukan hanya karena wanita setengah baya sebelah memakai parfum tanpa mandi; tetapi karena pria yang duduk dekat jendela mendengkur sepanjang perjalanan. Membuatku malas melihat awan. Dengkurannya juga baru berhenti ketika pengeras suara berbunyi. Ia mengencangkan sabuk pengaman, lalu menutup jendela dengan kepalanya. Aku berharap ada gambar orang berperut buncit tidur dengan mulut terbuka di bawah tanda dilarang merokok. Tentu saja gambar yang ada tanda silangnya.
Diaz bersama ayahnya berdiri di pintu keluar bandara. Kuangkat tubuhnya yang sudah besar. Berat. Ia kelas satu. Empat tahun lalu, saat masih mengalami kesulitan berbicara, aku bisa menggangkatnya dengan satu tangan.
“Mana yang lain,” tanyaku pada iparku, ayahnya Diaz.
“Menunggu di mobil,” jawabnya sambil menarik tasku.
Belum pantatku menyetuh jok belakang mobil charter-an. Tiara berkata, “Kakeknya Diaz sudah tidak ada.”
Aku belum paham, bahkan ketika Diaz berkata, “Wah, terlambat kita,” aku masih belum mengerti.
“Tepat jam dua belas tadi,” lanjut Tiara.
Aku baru paham, kulihat jam ponsel, 12.06. Ayah meninggal tepat saat aku mencapai pintu keluar bandara.
Sedih? Tentu saja. Rasa sedih bercampur kecewa dan rasa bersalah. Kecewa karena ayah meninggal saat kami dalam perjalanan. Seandainya aku bisa datang lebih cepat. Seandainya begitu mendengar ayah melemah, aku langsung mempersiapkan diri. Seandainya begitu adikku berpesan, “Kamu siap-siap saja,” aku langsung menanyakan biro perjalanan. Menanyakan cara tercepat sampai di Palangkaraya. Tidak harus langsung memesan tiket, hanya bertanya. Sehingga begitu menerima telpon “Kamu harus pulang,” aku sudah siap. Seandainya dan seribu seandainya, rasa bersalah itu pasti berkurang. Aku pasti masih sempat melihat ayah dalam keadaan hidup. Seandainya, dan seribu seandainya, kakak dan adikku pasti tidak terlambat. Kerena mereka tidak harus menungguku.
Mobil bergerak meninggalkan bandara, kami berdiam dalam kebisuan. Sopir yang sebenarnya sepupuku, juga diam. Padahal tadi, di bandara, satu menit sebelum menerima kabar itu, ia mengodaku, “Bukan kamu Nurdin M. Top itu, kan?” Teringat adegan di kaki bukit itu, aku membalas “Nama saya Nurdin.” Ia membalas dengan setengah mengejek, “Di Solo pisau cukur mahal, ya?”
Sunyi, terasa ada yang terenggut.
Ada tujuh orang di mobil. Ayah Diaz duduk di depan sambil memangku si sulung Diaz. Tiara duduk di kursi tengah menggendong Vero, si bungsu. Deni, musuh bebuyutan si kembar duduk di samping Tiara sambil memangku Fani, anaknya Maria. Di Belakang sopir, duduk Maria sambil memangku Dio, anak sulungnya, si hiperaktif yang suka memasukkan ponsel orang ke aquarium, si penerus kenakalan Diaz. Aku sendiri duduk di belakang, bersama Nyai, kolektor potongan kayu. Di pojok kiri, duduk orang yang tidak kukenal. Ia tidak mengucapkan sepatah katapun. Ia pasti merasa berada di tempat dan waktu yang salah, semobil dengan satu keluarga yang barusan mendengar berita kematian ayahnya.
“Padahal dua hari lagi ayah berulang tahun,” kataku memecah kebisuan. Ayah berulang tahun hanya satu hari sebelum tujuh belasan.
“Heh… Itu belum tentu tanggal lahirnya. Tanggal lahir kita pun ia buat salah-salah. Apalagi tanggal lahirnya sendiri,” timpal Tiara, kakak tertua.
Jawaban Tiara merupakan sebuah isyarat, kami tidak perlu memperlihatkan bagaimana seharusnya orang berduka. Ia yang menjadi anak tertua sudah memberi komando. “Jangan terlalu sedih.”
Jawaban Tiara mencairkan kebekuan. Membuat kami bisa mengenang ayah yang tidak menganggap penting tanggal lahir. Waktu itu sebentar lagi si kembar masuk TK, ayah mendatangi kantor lurah, membuat akta kelahiran. Ia lupa tanggal lahir mereka, hanya ingat harinya, Jumat minggu ketiga Pebruari 1983. Daripada pulang hanya untuk melihat catatan, ia langsung melihat kalender di kantor lurah. Di sana, minggu ketiga Pebruari 1988 menunjuk angka 19. Ayah pun menggunakan tanggal tersebut. Aku begitu lama meninggalkan kampung sehingga tidak tahu, Nyai yang sedang mengambil mata kuliah Bahasa Komputer menemukan sebuah fungsi yang bisa menunjukkan 19 Pebruari 1983 bukanlah hari Jumat. Begitu pulang kampung, ia langsung menginterogasi ayah.
Terlambat, semua ijazah mereka sudah menyatakan mereka lahir tanggal 19 Februari 1983, padahal mereka lahir Jumat, 18 Pebruari 1983. Aku benar-benar sudah pergi terlalu lama, sehingga banyak ketinggalan cerita seperti ini.
“Jangan-jangan tanggal lahir kita juga salah,” kata Maria.
“Bisa jadi,” balas sepupu kami. Ada nada menggoda di suaranya. Seakan-akan berkata, Rasain.
“Ingat waktu kita belajar membuat pentol, Nyi?” kata Deni sambil menoleh ke belakang.
“Ya,” jawab Nyai, “Ayah tidak pernah mau mengakui kalau kalah. Ia akan mati-matian membuktikan kalau pendapatnya yang benar.”
Nyai melanjutkan, “Waktu itu aku, Mantuh dan Deni mau belajar membuat pentol. Ayah berkata, ‘Membuat pentol itu mudah, giling daging sapi, campur dengan tepung, lalu goreng dengan minyak goreng.’ Aku bilang, teman kami bilang tidak seperti itu. Ayah langsung menyuruh kami menggiling daging sapi yang sudah kami beli. Setelah selesai, ia campur dengan tepung lalu digorengnya.”
“Jadi?” tanyaku, penasaran.
“Jadi! Tetapi tidak ada rasanya.”
“Ayah bilang apa?” tanya Tiara. Ia juga pasti baru mendengar cerita ini.
“Ia bilang, ‘ini juga pentol.’”
Perjalanan Solo-Jakarta-Palangkaraya sudah menguras tenaga dan emosi. Perjalanan melewati bekas kebakaran hutan ini benar-benar menguras cadangan tenaga. Tawa sepanjang perjalanan tadi hanyalah ganja. Satu dua kenangan habis, saat itulah kami ingat ayah sudah meninggal. Tidak ada yang memulainya, tiba-tiba saja semua kembali membisu. Tidak ada yang mengatakannya, tetapi sepertinya semua menyadari, diam adalah obat yang lebih baik.
Sisa perjalanan kami habisi dalam kebisuan. Mengenang ayah di hati masing-masing.
“Nanti kita langsung masuk ke rumah,” Deni memecahkan kesunyian. Hari sudah gelap, beberapa kilometer lagi kami sampai.
“Ya, kalian harus langsung masuk ke rumah, jangan urus barang dulu,” kata sepupuku.
“Nyi, nanti buang senyum dari mulutmu, ya,” kataku kepada Nyai, berusaha bercanda. Ia selalu kesulitan mencegah mulutnya tersenyum. Waktu ia masih kerajingan MTV, aku suka merusak maskernya. Hanya perlu memandangnya lekat-lekat selama lima detik. Tidak perlu bersajak, “Bulan Purnama di siang bolong.”
“Kita sudah sampai, Nak.” kata Tiara pada anak bungsunya begitu mobil berhenti di depan rumah.
Aba-aba untuk masuk ke dalam rumah.
Kubuka kain yang menutupi kepala ayah. Aku kira menemukan wajah menakutkan, tetapi kutemukan muka tenang. Lebih tenang daripada mukanya saat tidur. Damai. Mukanya juga bersih, sudah dimandikan. Aku bersyukur atas apa yang kulihat. Kucium ayah. Terasa kaku dan dingin. Selama ini aku tidak pernah menyentuh jenazah, takut dan jijik, tetapi sekarang rasa itu hilang.
Wajahnya yang tenang menghapus sebagian kesedihan itu. Aku tahu ayah tidak bisa mendengarnya, aku juga tahu tidak ada gunanya. Tetapi tidak bisa kucegah mulut ini membisikkan sesuatu yang tidak pernah kubisikkan saat ia masih hidup, “Ayah, aku sayang ayah.”
Bersambung
- anakpatirsa's blog
- Login to post comments
- 6211 reads
AP.. ayah
AP, ikutan sedih ya..
me too
me too, my deepest condolence to you and your family
Don't Swallow the Press
Larut dalam blog ini, jadi
Larut dalam blog ini, jadi ikut sedih n ngga bisa nahan air mata ini.
Senadainya...seandainya seribu seandainya..., menyesal, sedih kecewa tapi juga harus kuat.. lalu tertawa bercanda untuk menepis kesedihan yang ada, mengingat yang berkesan saat beliau hidup...
thanks kak, sudah berbagi dengan kami...
Ikut Berduka
Bahkan dalam masa perkabungan pun AP masih dapat menulis dengan luarbiasa indah. Ikut berduka AP
------------
Communicating good news in good ways
@AP
AP :
Ayah sudah melupakan nama anak-anaknya, stroke pertama menghancurkan ingatannya, stroke kedua menghancurkan tubuhnya. Saat memanggil namaku, itu berarti baterei cadangan sudah terpakai. Baterei itu tidak tahan lebih dari dua puluh empat jam.
Hiks.
Deepest condolences. Really.
Daddy min, stroke ke dua datang saat ia tertidur. Lalu ia tidak pernah bangun. Min benci itu.
U wrote a very beautiful one, AP.
^-^
@all: Terima kasih Terima
@all: Terima kasih
Terima kasih untuk dukungannya. Tulisan ini memang kutulis untuk mengenang ayah. Suatu saat aku berharap saudara-saudaraku menemukan tulisan ini tanpa aku harus memberitahunya.