Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Injih, Injih, Injih

Inge Triastuti's picture
Sinyo

“Aduh,” kata bik Ipah, “pagi tadi Sinyo ditampar dedinya ampe terjungkir dari kursi.”
“Apa sebab?”
“Abis, Sinyo bertanya kenapa dedinya lama di kamar kecil.”
“Tapi tak seharusnya ia ditampar sampai terlempar dari kursi.”
“Baeknya sih Tuan nampar pelan aja. Tapi Sinyo terpaksa dihajar karena ia juga tanya apa Tuan susah pipis.”
Sebulan kemudian bik Ipah ngrumpi lagi.
“Tuan aku itu hebat lho. Sinyo sekarang ndak berani tanya apa-apa lagi. Sinyo cuma bisa bilang ‘injih, injih, injih’ saja.”
“Bagaimana Tuan sendiri?”
“Tuan? Ia seneng. Ia cerita ame Nyonya kalo ia terbukti berhasil mendidik Sinyo jadi anak penurut dan tidak usil.”
“Itu bagus sekali.”
“Bagus apanya? Tadi pagi waktu Tuan mo ke kantor ia tanya sama Sinyo apa dia udah rapi pakeannya. Sinyo bilang ‘injih’ padahal matanya melihat risleting celana dedinya yang udah jadi algojo itu, belum ditutup. He he he.”


Maria

Maria hancur hatinya. Tunangannya pergi menggandeng puteri pemilik istana. Dengan otak yang masih utuh ia bertanya kepada Maminya, “Apa yang harus saya perbuat, Mami?”
Sang Mami membuka kitab suci, dengan senyum ia berkata,
“Berdoalah tiada henti anakku sayang.”
“Bagaimana saya bisa berdoa jika wajahnya masih terbayang saja?”
“Bacalah kitab suci, sayang.”
Tujuh kali tujuh hari Maria bertapa dalam kamar tidurnya menekuri kitab suci dan doanya. Pada hari ke lima puluh ia keluar dari kamarnya dengan tubuh ramping abis. Ia bertanya kepada Mami,
“Apa yang harus saya perbuat? Saya masih tak bisa melupakannya. Ijinkanlah saya pergi menemuinya menuntut janji sucinya.”
Sang Mami dengan wajah seteduh patung pualam menjawab,
“Tidak, anakku sayang. Hanya orang yang tidak beriman yang melakukan tuntutan. Penuhilah rohmu dengan kasih Tuhan. Bacalah kembali Firman Tuhan, dan berdoalah.”
Maria terpana memandang Maminya. Ia melihat Maminya telah menjelma menjadi malaikat-berwajah-alkitab. Tiba-tiba otaknya hancur dan lidahnya kelu.


Monang

Paman Monang pagi itu bergegas ke rumah ketua majelis gerejanya. Ia membawa buku-buku catatan keuangan gereja. Setelah membungkuk dalam-dalam ia duduk di depan Bapak Ketua dengan hormat. Sambil memainkan sebatang tusuk gigi Bapak bersabda,
“Monang yang rajin, mulai hari ini kau tak usah lagi bawa buku-buku itu.”
Wajah Paman Monang pegawai rendahan kantor tata usaha gereja itu berbinar. “Mengapa, Bapak? Apa saya dipromosi mengisi jabatan kepala kantor gereja yang sudah lama kosong itu?”
“Bukan begitu, Monang. Rapat majelis telah memutuskan, mulai hari ini kamu diistirahatkan.”
“Diistirahatkan? Maksud Bapak dipehaka? Mengapa?”
“Karena kamu terlalu banyak bertanya.”
“Hanya karena sering bertanya?”
“Kamu selalu bertanya mengapa majelis gereja sudah lima tahun tidak mengadakan rapat dengan jemaat membahas keuangan gereja.”
“Tetapi bukankah itu ada dalam peraturan gereja kita? Dan dalam pelantikan, bapak-ibu majelis mengucapkan janji di depan mimbar untuk melaksanakan semua peraturan gereja tanpa kecuali.”
Bapak Ketua dengan senyum beraroma sianida menjawab,
“Masalahnya, wawasan berpikirmu tidak seluas wawasan berpikir majelis. Dan itu berpotensi merusak stabilitas dan kenyamanan kehidupan bergereja. Monang, Monang, jangan menguatirkan masa depanmu. Majelis akan memberimu uang tali asih empat juta rupiah. Bahkan seorang majelis yang punya perusahaan penjualan air mineral isi ulang akan menampungmu tanpa testing.”
Dua tahun kemudian Paman Monang sudah menjadi kesayangan majikannya yang baru. Ia tak lagi punya hobi bertanya. Ia tak bertanya mengapa ijin Depkes dipalsukan. Ia tak bertanya mengapa mobil tengki air tidak lagi mengambil air dari gunung tetapi dari sumur artesis di rumah majikannya. Ia tak bertanya mengapa filter air tidak diganti pada waktunya. Pamang Monang tak lagi ‘monang’ karena ia telah membutakan mata, menulikan telinga dan memotong lidahnya.


Celakanya

kalau kita mencermati kejadian-kejadian dalam kehidupan bergereja, tidak sulit menemukan orang-orang yang bernama Sinyo, Maria dan Monang yang tampak patuh dan tak pernah mengeluh. Gereja senang mempunyai jemaat seperti mereka. Padahal ini sangat menyedihkan. Mereka diam bukan karena patuh, tetapi karena sudah mati rasa. Jangan kata satu keping genting gedung gereja jatuh pecah, seluruh atap gerejanya runtuh pun mereka tidak akan bereaksi.

Tidak sedikit anak Sekolah Minggu yang tidak berani bertanya karena telah mendapat stempel di jidatnya ‘anak cerewet, anak kurang ajar, anak tak beriman’ atas kegairahannya bertanya. Mengapa guru Sekolah Minggu merasa malu menunda jawabannya bila saat itu mereka tidak dapat menjawab pertanyaan ‘apa Tuhan Yesus mo denger doaku kalo aku doa buat anjingku yang kena diare’? Ini masalah jaim, jaga image.

Para Sinyo pun ada di dalam rapat-rapat panitia, komisi, majelis gereja yang cuma bisa omong ‘injih’. Mengapa? Karena mereka pernah angkat bicara yang membuat orang-orang terhormat tercabik kehormatannya sehingga para Sinyo itu harus dijungkirbalikkan dari kursinya.

Tidak sedikit pendeta dan majelis gereja yang telah menjadi Monang yang pecundang. Mereka tidak bisa omong apa-apa lagi melihat organisasi gereja sudah berubah seperti organisasi senat kerajaan romawi di mana kemantapan kedudukan sosial ekonomi seseorang berbanding lurus dengan kekuatan vetonya. Gigi mereka telah rontok berada di antara kelompok-kelompok yang sedang mempertandingkan kekuatannya, yang telah menjadi tuan besar atas kegiatan pelayanan yang ada.

Betapa banyak Maria-maria di dalam gereja. Mengapa demikian? Karena setiap bertanya, mereka selalu mendapatkan Alkitab terbuka di depan mereka. “Jangan gelisah hatimu, percayalah kepada Allah. Ia yang akan bekerja dalam kelemahan kita. Jangan rewel, beriman sajalah.” Dengan cara begini, Alkitab telah kehilangan RohNya. Alkitab sudah menjadi seperti semak tempat bersembunyi atau buku tebal daftar obat bius karena salah cara mempergunakannya.


So what?

Prestis atau wibawa tidak dapat dijaga dengan berlaku sok berkuasa, sok suci atau sok agung. Orang akan lebih disegani bila mulutnya terbuka untuk berbicara terus terang. Hatinya terbuka untuk menerima kritik. Tangannya terbuka untuk menerima bantuan. Orang lain tidak akan berani membantu bila kita tidak bersedia mengakui kelemahan kita, atau membicarakan pengalaman traumatis yang pernah kita alami. Kita tak pantas menutupi kelemahan dengan arogansi, keangkuhan, atau Alkitab yang dibuka lebar-lebar untuk bersembunyi di baliknya. Memang, untuk melakukannya diperlukan pengorbanan emosi yang bukan main. Tapi itulah solusinya untuk tidak berubah nama menjadi Dedi-sang-algojo, Malaikat-berwajah-alkitab, Bapak-empunya-senyum-sianida.

Bagi para Sinyo, Maria dan Monang, jangan pindah gereja karena itu bukan solusi. Trust me, bibit penyakit ini sudah menyebar kemana-mana. Tetaplah di tempatmu and do these following steps.

* Berkacalah! Jangan mempersoalkan keuangan majelis gereja sementara kamu sendiri malas membereskan keuangan komisi atau panitia yang menjadi tanggung jawabmu. Lakukanlah apa yang kamu ingin orang lain lakukan (Matius 7:12). Bukankah lebih baik menyalakan lilin di tangan daripada memaki kegelapan? Ketika strategi ini aku lakukan, jumlah orang ga benar di gerejaku paling tidak berkurang satu orang. At least, it’s me myself!

** Rubahlah tinggi nada kritikmu. Kalau kamu menyanyi pakai nada tinggi, orang tidak bisa mendengar syairnya karena selaput kendang telinganya sudah terlanjur rusak gara-gara lengkingan suaramu. Karena itu jangan melempar kritik-tembak-langsung. Begitu melihat kejadiannya, langsung berteriak, “Kamu ini gimana seh, yang kamu lakukan itu kan ga benar??!!” Kritik spontan lebih sarat emosi daripada rasio dan dipresentasikan dengan wajah seram sehingga lawan bicara segera menyiapkan jurus “laga kambing” untuk melakukan tabrakan frontal. Meminjam istilah asuransi, resiko “total loss” pun akan ia ambil akibat tidak terima direndahkan oleh bentakan kita.
Ambillah waktu, berilah kesempatan otak kita mencerna apa yang terjadi dan emosi mengendap. Satu dua hari kemudian, temuilah dia. Pasti tinggi nadamu sudah jauh lebih rendah. Bahkan syairnya lagunya tidak lagi berisi tuduhan. Tetapi, “Ada apa sih kamu kemarin sampai berbuat begitu?” yang diucapkan dengan wajah bersahabat sambil duduk berdampingan.

*** Jangan sekali-sekali lupa bahwa orang yang kamu kritik adalah saudaramu sendiri. So, jangan asal main gaplok, apalagi di forum umum, tapi dekatilah ia untuk menggandeng tangannya. Jikalau saudaranya sendiri menganiayanya habis-habisan ketika ia khilaf melakukan kecerobohan, kebodohan bahkan ketololan, kepada siapa lagi ia harus mengharapkan kasih sayang dan didikan? Kritiklah saudaramu, tanpa merendahkannya. Dengan demikian suatu saat tidak ada lagi kata “injih” bila kita melihat saudara kita lupa menutup kancing celananya karena ia akan mengatakan ‘matur sembah nuwun’ bila kita mengingatkannya dengan santun untuk rapi berdandan di depan hadirat Tuhan. *****

oegi99304y's picture

ah sebuah kritik yang tajam...

kritikan yang tajam yang disampaikan dalam cerita-cerita perumpamaan, sinisme, tapi mengena... semoga bisa dipratekan bersama... ^_^