Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Agama tidak menolak keindahan
KETIKA kita memberi penilaian dan penghargaan kepada seorang penulis, semata-mata ditentukan oleh ketajaman pikirannya dalam menganalisa berbagai permasalahan. Dan secara tidak langsung di dalamnya tercakup gaya bahasa yang segar untuk menyampaikan jalan pikirannya. Oleh sebab itu seorang penulis mempunyai seni tersendiri agar tulisannya dibaca oleh masyarakat.
Tentu saja seorang penulis diharapkan mau belajar agar analisa tulisannya menjadi tajam dan tepat sasaran. Belajar tidak harus melalui kuliah saja, tetapi dapat juga lewat berbagai buku yang ada, belajar dari pengalaman, belajar dari alam dan belajar teknik menulis yang memikat.
Bagaimanapun juga seorang penulis selalu punya potensi untuk mengetahui sesuatu secara lebih dalam, sehingga selalu merasa bahwa dirinya kurang.
Sebuah tulisan kadangkala diperlukan suatu gambar atau ilustrasi, bisa berupa seni fotografi atau lukisan, untuk mendukung tulisan tersebut atau agar pembaca tertarik dengan gambar tersebut dan membuatnya terhanyut untuk membaca tulisannya. Namun kadangkala sebuah tulisan tidak memerlukan satu buah pun gambar karena nanti bisa mengganggu tulisannya yang lebih penting dibandingkan ilustrasi yang menyertainya. Tentu keduanya tergantung kebijakan sang penulis dalam menentukan perlu tidaknya sebuah gambar dalam karya tulisnya itu.
Yang namanya problema-problema kesenian bila dihubung-hubungkan dengan ajaran suatu agama sepertinya tak akan pernah terhenti, memerlukan suatu proses yang amat panjang. Apalagi bila masalahnya sudah terinfiltrasi oleh oknum-oknum yang senantiasa bercuriga terhadap eksistensi kesenian ataupun sikap-sikap yang naif dan negatif. Pasti akan menghadapkan dan mengadakan "adu domba", maupun sikap-sikap yang mengagitasikan kepada hal-hal yang tidak sehat, serta membuat sesuatu yang sifatnya antisipasi terhadap kehidupan kesenian.
Disinilah letak titik permasalahannnya, sekaligus sosok resiko dan aral serta bahaya gelombang tantangan yang harus diarungi. Dan jelas akan melahirkan hal-hal yang sifatnya "riskan", penuh dengan bau pro dan kontra, dimana TESA dan ANTITESA akan bergumul dengan serunya untuk menciptakan sintesa baru yang lebih kreatif nilainya.
Kita tahu bahwa seni adalah karya seniman yang untuk dinikmati. Agar bisa dinikmati harus dipublikasikan atau dipertontonkan. Penonton harus disuguhi ekstra-ekstra agar mereka suka akan dagangan yang dipajangkan. Selanjutnya penonton diharapkan menjadi pelanggan tetap.
Sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban manusia yang modern ini, seni ikut mengalami perubahan-perubahan. Perubahan-perubahan itu mengikuti keinginan-keinginan manusia yang semakin aneh. Sebuah foto, suatu misal, bisa di ubah, didandani atau dirusak, dengan berbagai macam teknik komputer yang canggih untuk diterbangkan ke alam imajinasi. Gelombang ambisi yang melatarbelakangi suatu seni yang makin modern ini maka timbul kreatifitas yang nampak serius dan tegas.
Memandang seni dan misi agama harus tidak membuat antisipasi atau mendikhotomi mati permasalahan. Tapi ia bagaikan dua sisi mata uang yang sama, sejajar dan seimbang. Apabila seseorang menyampaikan suatu ajaran agama, maka ia mentransformasikan simbol-simbol ajaran agama ke dalam realitas. Tetapi kalau seni, transformasi simbol dari realitas ke dalam nilai-nilai estetis dan melalui FILTER-FILTER yang ETIS.
Tugas seniman sama beratnya dengan seorang misionaris. Kalau seorang misionaris harus pandai menginterpretasikan ajaran-ajaran agama dengan jitu dan akurat, namun seniman harus mampu bagaimana agar karya seninya itu estetis sekaligus etis.
Dan yang penting lagi adalah dua tanggung jawab yang harus dipenuhi yakni tanggung jawab kepada sesama manusia dan tanggung jawab kepada Sang Maha Kuasa. Bagaimana kalau tidak demikian itu karena karya seni tak akan lebih berarti kalau tanggung jawab mengenai dimensi-dimensi tersebut di atas tak dipenuhi.
Harus diakui dan disadari dengan penuh kejernihan hati bahwa misi-misi agama yang disatukan dalam kesenian belum secara total diterima oleh masyarakat. Memang kurang wajar dan tepat apabila antara seni dan tugas-tugas suci agama kita pertentangkan. Keduanya haruslah serasi, seimbang dan selaras. Kiranya agama yang merupakan pesan-pesan Illahi itu tidak menolak keindahan-keindahan. Tetapi kita yang bersangkutan harus memegang prinsip-prinsip yang telah ditetapkan serta etika dalam diri harus dijaga dan ditaati.
Karena kita berasal dari keturunan Allah, kita tidak boleh berpikir, bahwa keadaan ilahi sama seperti emas atau perak atau batu, ciptaan kesenian dan keahlian manusia. (Kis.17:29)
Kemiskinan dan cemooh menimpa orang yang mangabaikan didikan, tetapi siapa mengindahkan teguran, ia dihormati. (Ams 13:18)
Orang bodoh menolak didikan ayahnya, tetapi siapa mengindahkan teguran adalah bijak. (Ams 15:5)
Semoga Bermanfaat Walau Tak Sependapat
Semoga Bermanfaat Walau Tidak Sependapat
- Tante Paku's blog
- Login to post comments
- 3501 reads
tante tante.....nice
+ 1 for tante paku
Love n Peace Lady silent
Love n Peace Lady silent
TP : siapa yang menetapkan etis tidaknya suatu karya seni ?
TP, thanks atas jawabannya untuk pertanyaan saya. Saya sangat tertarik dengan pernyataan ini :
Tetapi kalau seni, transformasi simbol dari realitas ke dalam nilai-nilai estetis dan melalui FILTER-FILTER yang ETIS.
Saya jadi ingat kejadian beberapa tahun lalu ketika pameran foto-foto Isabel Yahya dan Anjasmara yang berpose ala Adam dan Hawa di Taman Eden didemo oleh sekelompok orang yang menganggap karya foto tersebut melanggar nilai-nilai moral. Namun, sebagian pekerja seni menganggap karya tersebut mempunyai estetika yang baik dan juga 'etis'.
Jadi pertanyaan bagi saya, siapa yang menetapkan filter-filter yang etis tersebut bagi karya seni ?
Bagaimana pula dengan karya jurnalistik (atau seni ?) seperti acara di teve (Negeri Impian) dimana (ketika itu) Wapres JK diparodikan oleh Jarwo Kwat yang kadang-kadang bertutur genit padahal sejatinya Pak JK tidak begitu ? Atau karikatur Panji Koming di Kompas, yang wajah dan peran tokoh-tokohnya dengan mudah dikaitkan dengan tokoh di republik ini, tetapi tidak selalu merepresentasikan apa yang nyata-nyata diucapkan atau dilakukan oleh sang tokoh real ? Sejauh yang saya tahu, acara dan karikatur tersebut belum pernah tersandung dengan isu pelanggaran etika, meskipun mereka mengoprek-oprek karakter orang-orang yang berkuasa di republik ini. Pertanyaan yang sama mengusik saya : Siapakah yang menetapkan etis tidaknya suatu karya ? Mungkinkah itu ditetapkan berdasar suara terbanyak ? Atau suara terkeras ?
Berpegang pada prinsip
Bygrace,
Seorang seniman/penulis haruslah berpegang pada prinsipnya, bukan sekedar hanyut dalam arus air. Seorang seniman berkarya tidak boleh kalau hanya sekedar berkarya. Bagaimanapun juga karya tersebut akan dinikmati oleh masyarakat , sehingga jalan pikiran dan hasilnya akan dilahap oleh masyarakat. Kalau kita memberikan makanan yang mentah, memuakkan dan busuk, akan menjadikan sakit perut, oleh sebab itu bisa dimaki-maki oleh masyarakat.
Seniman pun tidak boleh sekedar menyenangkan orang lain, karena kadang-kadang justru menjerumuskan masyarakat. Seniman yang demikian kadang-kadang dapat dicap tidak mempunyai prinsip. Ia akan terombang-ambing oleh keadaan. Kendatipun karya-karyanya sah sebagai karya seni. Tetapi paling tidak mempunyai tanggung jawab moral untuk menyampaikan kepada masyarakat yang membutuhkan.
Dalam hal ini seniman/penulis dituntut kepekaan dalam menangkap, merenungkan suatu moment itu sendiri. Menyeleksi mana yang perlu dan mana yang tidak, kemudian menyajikannya kepada masyarakat.
Demikian jawaban saya.
Semoga Bermanfaat Walau Tidak Sependapat
Seni Adalah Ungkapan Jiwa
Ikutan urun rembuk ah.
Seni adalah ungkapan jiwa. Apabila anda ingin karya seni anda dinikmati orang lain, maka penuhilah tuntutan STANDARD yang berlaku bagi orang-orang lain tersebut. Bila memaksa orang-orang lain untuk menikmati karya seni anda dengan STANDARD anda, itu bukan DIKTATOR namanya, bukan seniman.
Apabila menghendaki karya seni anda dinikmati kaum muslim, maka anda harus menyajikan karya seni yang tidak melanggar ajaran Alquran. Alquran mengajarkan bahwa auarat harus ditutup, maka mustahil anda mengharapkan kaum muslim menikmati karya-kayar foto telanjang apalagi bila melibatkan wanita. Apabila memaksa kaum muslim menikmati seni foto telanjang itu berarti anda bukan seniman, namun diktaror.
Ketika SMA, salah satu guru saya adalah seniman, Salah satu lukisan Kristusnya diakui internasional sebagai salah satu karya terbaik dari seinam-seniman Asia. Ketika dia menunjukkan lukisan itu kepada kami, saya hanya diam, namun di dalam hati saya berkata, itu bukan karya seni karena karya seni tidak boleh melanggar KEBENARAN. Yesus Kristus adalah orang Yahudi, bukan orang Jawa. Bila anda melukis Yesus Kristus sebagai orang Jawa itu melanggar KEBENARAN. silahkan menganggap itu simbol namun jangan berharap masyarakat menerimanya karena masyarakat tahu Yesus orang Yahudi, bukan orang Jawa.
Banyak teman seniman yang mengeluh bahwa masyarakat TIDAK mampu menikmati karya seni mereka. Kepada mereka saya selalu katakan, "Lebih mudah memakai sepatu dari pada mengaspal semua jalan yang akan anda lalui." Bila karya seni anda tidak dihargai, itu berarti anda BELUM mampu mengomunikasikannya kepada masyarakat.
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Nudity dalam gereja
Dan yang penting lagi adalah dua tanggung jawab yang harus dipenuhi yakni tanggung jawab kepada sesama manusia dan tanggung jawab kepada Sang Maha Kuasa. Bagaimana kalau tidak demikian itu karena karya seni tak akan lebih berarti kalau tanggung jawab mengenai dimensi-dimensi tersebut di atas tak dipenuhi.
Dua tanggung jawab ini amat sulit untuk dijalankan secara bersama-sama. Seorang seniman tidak ingin adanya pembatasan pengungkapan ide-idenya. Menurutnya, ia bisa mempertanggungjawabkan karya-karyanya kepada Tuhan. Mungkin pada awal karirnya ia masih mau memperhatikan respon masyarakat. Tetapi kepekaannya terhadap kepentingan sekeliling makin tumpul dengan makin populer dirinya.
Hal ini melanda gereja ketika terjadi “kelahiran kembali” (renaissance) dalam dunia seni yang mengusung ketelanjangan tubuh pria dalam gedung gereja melalui karya-karya Michaelangelo. Ketenaran Malaikat Mikhael ini mendorong lahirnya karya-karya seni telanjang tokoh-tokoh Alkitab tanpa lagi memedulikan gender yang pasti memerihkan mata dan hati umatnya. Atas nama seni ketelanjangan dibentang di mana-mana.
Kejadian yang mirip ada dalam dunia jurnalistik masa kini. Kebebasan pers diingini betul-betul bebas tanpa batas. Pers ingin setiap acara pengadilan terbuka tanpa kecuali termasuk pengadilan kekerasan seks. Apakah atas nama kebebasan orang harus ditelanjangi atau tampil telanjang?
Dalam ranah yang jauh lebih sempit kita bisa menelisik jurnalisitik Kristen. Pernah saya mempertanyakan apa yang mendasari pemuatan sebuah humor dalam sebuah majalah Kristen kepada redaksinya. Humor itu berkisah seorang yang nyaris tenggelam ditolong oleh Yesus yang mendatanginya dengan naik perahu. Ketika ia mengherani mengapa Yesus tidak berjalan saja di atas air agar ia tidak kebanyakan minum air, Yesus menjawab ia tak lagi bisa melakukannya sejak turun dari kayu salib (Saya sengaja menulis kata ganti Yesus ‘ia’ dengan huruf kecil karena saya tidak suka Yesus dengan kata ganti ‘Ia’ dijadikan bahan dagelan seperti ini).
Saya berharap di situs ini saya bisa memegang teguh statement di atas. Tanggung jawab vertikal dan horisontal bagaimanapun disiasati tetap membentuk salib bagi pelaku seni tulis di sini. Saya tidak ingin suatu hari nanti ketika seorang mengakses www.sabdaspace.org mendapatkan pertanyaan dengan huruf besar, “Apakah Anda telah berusia 17 tahun atau lebih?” seperti layaknya sebuah situs porno.
Gereja di Indonesia memang tidak menolak keindahan selama keindahan tidak diartikan ketelanjangan tubuh manusia.
Salam