Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Which Language Do You Use?
Dalam satu lecture yang saya ikuti dalam beberapa bulan terakhir ini, salah satunya bertema “Thinking in Pictures: Autism and Visual Thought” yang diadakan Pdt. Joshua Lie (Reformational Worldview Foundation), ada beberapa hal menarik yang saya pelajari. Bukan tentang penderita Autism, meskipun itu juga menarik. Bayangkan saja sekarang ini diperkirakan bahwa satu dari sepuluh orang mengalami autism. Suatu jumlah yang tidak bisa diabaikan bukan?
Tapi yang saya bagikan ini bersumber dari satu pertanyaan tentang kecenderungan keharusan penguasaan bahasa yang lebih dari satu bagi banyak anak-anak di masa sekarang ini. Singkat saja. Ada dua point menarik yang Pak Lie sampaikan dari pertanyaan itu.
Mother Tounge.
Pak Lie menjelaskan bahwa sangat penting bagi seorang anak yang belajar berbagai bahasa untuk mulai dari satu bahasa dasar dahulu yang akan menjadi akar bagi bahasa-bahasa lain yang diharapkan untuk dikuasainya. Tanpa adanya bahasa dasar (mother tounge) ini, seorang anak akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi yang akhirnya bisa berdampak lebih jauh bagi perkembangan dirinya karena tidak dilatih menyampaikan pikiran dan perasaannya dengan baik.
Di masa sekarang ini tidak sedikit anak-anak yang sejak dini dilatih agar bisa paling tidak bilingual. Saya pun termasuk kategori ini, meskipun tidak dengan dipaksa oleh orangtua saya. Kebetulan saya sangat suka membaca dan lewat bacaan-bacaan inilah saya dilatih ber-bilingual. Saya juga mengamini penjelasan Pak Lie di atas karena saya menyadari salah satu faktor penolong saya belajar that second language adalah karena mother tounge saya cukup memadai, baik bahasa tulis maupun verbal.
Tapi satu hal yang membuat saya agak prihatin adalah betapa sedikitnya orangtua yang peduli akan bahasa dari Alkitab bagi anak-anaknya. Bahasa cinta Tuhan bagi kita semua. Kalaupun peduli, seringkali hanya sejauh membawa anak-anak mereka ke Sekolah Minggu dan menyerahkannya kepada guru-guru disana ataupun lewat persekutuan-persekutuan yang ada. Padahal itulah mother tounge yang paling dasar bagi setiap anak darimanapun dia berasal. Ah… mungkin ini hanya penyampaian pikiran yang basi. Sudah terlalu banyak pastinya hal-hal ini disampaikan dari dulu.
Understand the Language Philosophy.
Point kedua yang ingin saya ingat selalu adalah Pak Lie mengingatkan bahwa setiap bahasa memiliki filosofinya sendiri-sendiri. Menggunakan satu bahasa berarti mengadopsi filosofi yang terkandung di dalamnya. Sehingga akan menjadi satu peringatan bagi para orangtua yang berambisi agar anak-anaknya menguasai lebih dari satu bahasa tanpa mereka sendiri memahami filosofi yang ada pada bahasa-bahasa itu.
Akibatnya adalah, meskipun berbicara dalam bahasa yang sama, tetapi dengan pemikiran yang tidak sama karena perbedaan filosofi yang dianut.
Contoh sederhana mungkin adalah second generation dari kaum imigran. Dimana para anak mereka sudah begitu beradaptasi dengan filosofi yang dianutnya dari mother tounge mereka, sementara para orangtuanya masih lekat dengan filosofi mother tounge mereka yang jelas berbeda dengan si anak. Jika para orangtua ini tidak memahami filosofi yang terkandung dalam mother tounge anaknya, maka akibatnya adalah meskipun mereka bisa berkomunikasi dengan anak-anak mereka menggunakan mother tounge anak-anak mereka, tetapi pembicaraan mereka tidak akan bersambung.
Bicara tentang hal ini saya terpikir bahwa kitapun bisa “tidak nyambung” dengan Tuhan. Ada satu artikel dari John Piper berjudul “How To Query God”, disana disampaikan oleh John Piper bahwa jangan berpikir bahwa kita bisa seenaknya bertanya pada Tuhan. Senang sekali bahwa contoh yang digunakan John Piper adalah nabi Zacharias, karena sudah beberapa lama saya sering bertanya mengapa dia langsung dibuat bisu akibat pertanyaannya pada Tuhan yang disampaikan lewat malaikat Gabriel.
Saya terpikir bahwa “filosofi bahasa” yang kita gunakan pada Tuhan seringkali tidak tepat seperti yang disampaikan John Piper. Kita bisa bicara tentang satu ayat yang sama dalam Alkitab dengan hasil yang berbeda. Ada orang-orang yang tahu begitu banyak tentang Alkitab, tapi apa yang mereka kerjakan ternyata tidak bersambung dengan Tuhan sehingga dikatakanlah oleh Tuhan, “May will say to Me on that day, ‘Lord, Lord, did we not prophesy in Your name, and in Your name cast out demons, and in Your name perform many miracles?’ And then I will declare to them, ‘I never knew you; DEPART FROM ME, YOU WHO PRACTICE LAWLESSNESS.’” Matthew 7:22-23 NASB.
Banyak orang yang ingin mengerti kebenaran firman Tuhan, tetapi tanpa perkenanNya, yang dimengerti bukannya akan memimpin pada kebenaran, tetapi semakin menyesatkan. Banyak orang ingin mengerti kebenaran semata-mata demi pengetahuan itu sendiri tanpa merindukan Sang Kebenaran yang sejati.
May the LORD grant us the humble and sincere heart in understanding His words. What language do you use today to speak to the LORD? May it be His…
- xaris's blog
- 5524 reads
Mr. Lie, Maaf Saya Tidak Setuju!
Nona Xaris, maaf saya tidak setuju dengan Mr. lie, itu juga berarti saya tidak setuju dengan anda. Ha ha ha ...
Mother Taungoe? Ha ha ha ... bagi anak-anak, semua bahasa adalah bahasa asing, boro-boro mereka mampu membedakan mana yang mother tongue dan mana yang father atau brother bahkan tetangga tongue?
Mr. Lie benar, masing-masing bahasa ada filosofinya masing-masing, jadi yang perlu diajarkan kepada anak-anak adalah semua filosofi itu secara lengkap, bukannya menutup kesempatan bagi mereka menguasai berbagai bahasa. Saya beruntung, dibesarkan dengan empat bahasa, Hokian, sunda, jawa dan Indonesia. Ketika berbicara dalam keempat bahasa tersebut, saya berbicara sesuai filosofinya, tanpa harus berfikir tentang filosofinya. Saya baru berfikir kalau berbicara bahasa Inggris, karena saya baru belajar bahasa Inggris setelah dewasa. Enam tahun pelajaran bahasa Inggris di SMP dan SMA membuat saya benci bahasa Inggris, benci guru bahasa Inggris dan tidak bisa bahasa Inggris.
Banyak orang-orang Tionghua yang mengeluh, karena anak-anak mereka tidak memahami kesusilaan (Li) tionghua lagi dan mereka menyalahkan lingkungan di mana anak mereka dibesarkan. Sebenarnya merekalah yang bersalah, karena tidak mengajarkan kesusilaan (Li) kepada anak-anak mereka.
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Tanya Kenapa ....
Saya sering kaget, suka ketawa sendiri, tapi juga prihatin mendengar anak-anak kecil di daerah saya sekarang kesulitan dalam menggunakan bahasa jawa sesuai tata krama yang ada. Bahkan semakin banyak orang tua yang mulai meninggalkan bahasa jawa dan mengajarkan kepada anaknya bahasa indonesia.
Akhirnya anak-anak itu justru belajar bahasa jawa dari teman-teman sebayanya. Hasilnya mereka tidak tahu lagi apa itu tingkatan kesopanan dalam pemakaian kata. Ngoko, krama alus dll. Bahkan sering campur aduk antar bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.
Tanya kenapa ...
Bahasa itu Masalah Dibiasakan?
Bicara masalah bahasa, saya sendiri sebagai orang Jawa tidak terlalu menguasai bahasa Jawa. Dengan orang yang lebih tua ya bisa lah bahasa Krama, tapi kadang belepotan, ada banyak kata yang belum dimengerti. Waktu ada pernikahan adat jawa, saya sendiri ada banyak kata yang masih harus saya tanyakan, apa ya artinya. Waktu menghadap orang yang lebih tua biasanya saya lebih memilih minta ijin dulu untuk memakan bahasa Indonesia, lha daripada salah dan ditertawakan.
Saya pikir ini juga karena kebiasaan dirumah yang memakai bahasa Jawa ngoko, sangat jarang mendengar bahasa Krama di keseharian rumah. Di sekolah, saya dulu juga bingung dengan tingkatan-tingkatan dalam bahasa Jawa, njlimet lah. Ada yang mau mengangkat blog tentang bahasa Jawa? Bahasa yang punya nilai kesopanan, menurut saya lho.
Belajar bahasa Inggris dari sejak SD sampai SMA, tapi kok ya gak bisa fasih-fasih ya? hehe apa yang salah? Coba di rumah dibiasakan dengan bahasa Inggris, kemungkinan akan sangat membantu. Tapi sayang sekali, orang tua saya juga gak bisa bahasa Inggris .
*yuk comment jangan hanya ngeblog*
*yuk ngeblog jangan hanya comment*
*yuk komen jangan cuma ngeblog*
*yuk ngeblog jangan cuma komen*
Karena hobby
Hi Ri,
menarik baca cerita kamu tentang belepotan itu =D. Kamu mungkin baru aja memberikan salah satu filosofinya bahasa Jawa. Atasan saya pernah cerita ada rekanannya yang minta ijin berbahasa Indonesia daripada belepotan Kromo-nya, ternyata memang begitu yah =)
Soal dibiasakan itu mungkin bener juga, tapi ngga harus selalu di rumah dibiasakannya kan? Saya ngga pernah sekolah atau belajar bahasa Inggris di LN dan saya sempet benci banget bahasa Inggris saking jelek nilainya waktu SD. Di SMP lupa kira-kira kapan mulai lebih sadar tata bahasa bahasa Indonesia dan ternyata membantu saya mengerti bahasa Inggris. Sejak itu bahasa baca-tulis saya maju pesat di bahasa Inggris.
Saya mulai bisa berkomunikasi verbal dalam bahasa Inggris karena kebetulan berada di English-speaking environment aja waktu kerja, jadi analisa kamu memang bener tuh... Yang lucu, sebetulnya tidak semua dari kami mampu berbahasa Inggris dengan baik dan lancar. Tapi lantaran bahasa penghubungnya yang paling ok cuma English, jadilah yang tadinya malu jadi malu-maluin =D
Kalau boleh bagi tips sedikit, biar lebih semangat kalo belajar bahasa lewat bacaan, cari bacaan dalam bahasa itu yang topiknya sangat menarik buat kita. Jadi bisa lebih gigih berjuang pantang menyerah membacanya =D Atau libatkan diri dalam apa aja yang memang jadi minat kita dimana lewatnya kita 'dipaksa' terlibat berlatih. Jadi berjuang sambil menikmati, sip deh =D
Bahasa dasar mereka dan saya
Belajar 1 Bahasa Dulu
Benar Xaris, saya tidak setuju dengan pendapat, bahwa cara terbaik untuk mengajarkan bahasa kepada anak kecil adalah dengan mengajarkannya satu persatu. Pendapat itu salah, apalagi dengan menjadikan pilosofi di balik setiap bahasa sebagai alasan.
Penelitian yang diadakan oleh para ahli di amerika serikat, menyatakan, bahwa banyak anak-anak yang mempelajari bahkan hingga 13 bahasa dan mereka dapat menguasainya dengan baik, termasuk di dalamnya logat bahasa sesuai dengan cara guru yang mengajarkannya.
Mungkin yang dilupakan oleh pak Lie adalah cara anak kecil belajar bahasa dan cara anak-anak sekolah belajar bahasa asing pada umumnya.
Semakin awal anda mengajarkan bahasa asing kepada anak anda, maka semakin mudah anda mengausainya. Apabila Bapaknya berkomunikasi dengan anaknya dengan bahasa Jawa, Ibunya berkomunikasi dengan bahasa Perancis, pembantunya berkomunikasi dengan bahasa Sunda, gurunya berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, tetangga kiri berbahasa Inggris dan tetangga kanan berbahasa spanyol, maka anak umur satu tahun akan tumbuh dengan menguasai semua bahasa-bahasa tersebut bila dia berinteraksi dengan semua orang yang ada dan orang-orang tersebut berkomunikasi dengannya secara konsisten dengan bahasa ibu mereka masing masing.
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Bukan satu-persatu
Dear Ko Hai Hai,
saya coba baca lagi tulisan saya untuk mencari di bagian mana saya mengatakan bahwa seorang anak harus belajar bahasa satu-persatu. Tapi tidak ketemu bagian itu. Tapi kalau Ko Hai Hai bilang seperti itu, berarti memang ada bagian tulisan saya yang diinterpretasi seperti itu =).
Yang saya katakan, penjelasan Pak Lie adalah sebelum mengajarkan berbagai bahasa, ajarkan dulu satu bahasa dasar. Setelah itu mau diajarkan berapa banyak juga terserah, tergantung kemampuan si anak. Sekaligus pun tidak apa-apa (point ini rupanya tidak saya tulis). Dan memang betul kita lebih mudah diajarkan berbagai bahasa pada saat kita masih kecil. Yang saya pernah baca, hingga usia lima tahun anak-anak akan cepat sekali menyerap berbagai hal yang mereka pelajari dibandingkan usia-usia setelahnya, termasuk kemampuan belajar bahasa.
Selain itu yang saya tulis tentang filosofi bahasa tidak saya hubungkan dengan soal mengajarkan bahasa satu bahasa dasar dulu pada seorang anak. Penekanan saya tentang filosofi bahasa itu dikaitkan pada keharusan orang tua untuk mengenali filosofi yang terkandung dalam tiap bahasa sehingga bisa memahami anak-anaknya yang menggunakan bahasa yang berbeda dengan mereka. Coba Ko Hai Hai baca lagi tulisan saya =)
Sedikit berbagi cerita, saat saya coba amati anak-anak kecil yang berinteraksi dengan saya, yang diajarkan berbagai bahasa sekaligus tanpa diberikan bahasa dasarnya, mereka memang mengalami sedikit keterlambatan kemampuan berbicara dibandingkan anak-anak yang hanya terfokus pada satu bahasa dahulu dan baru kemudian diajarkan berbagai bahasa lainnya. Well, bisa juga itu hanya anak-anak kecil di lingkungan saya, tapi itulah hasil pengamatan saya selama ini.
Saya pernah baca kalau
Saya pernah baca kalau pada usia-usia dini tersebut kemampuan seseorang dalam mempelajari bahasa memang sedang tinggi-tingginya.
Benar juga sih kalau kita bisa menggunakan waktu yang tepat tersebut untuk mengajarkan beberapa bahasa ke anak-anak kita.
Tapi tata krama/kawruh bebasa, tingkatan bahasa (jika ada) itu, bagi saya tetap penting diketahui dan dipahami oleh anak-anak kita.
Kuasai Satu Lalu Boleh Kuasai Berapapun?
Xaris, anda menulis:
Pak Lie menjelaskan bahwa sangat penting bagi seorang anak yang belajar berbagai bahasa untuk mulai dari satu bahasa dasar dahulu yang akan menjadi akar bagi bahasa-bahasa lain yang diharapkan untuk dikuasainya. Tanpa adanya bahasa dasar (mother tounge) ini, seorang anak akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi yang akhirnya bisa berdampak lebih jauh bagi perkembangan dirinya karena tidak dilatih menyampaikan pikiran dan perasaannya dengan baik.
Point kedua yang ingin saya ingat selalu adalah Pak Lie mengingatkan bahwa setiap bahasa memiliki filosofinya sendiri-sendiri. Menggunakan satu bahasa berarti mengadopsi filosofi yang terkandung di dalamnya. Sehingga akan menjadi satu peringatan bagi para orangtua yang berambisi agar anak-anaknya menguasai lebih dari satu bahasa tanpa mereka sendiri memahami filosofi yang ada pada bahasa-bahasa itu.
Akibatnya adalah, meskipun berbicara dalam bahasa yang sama, tetapi dengan pemikiran yang tidak sama karena perbedaan filosofi yang dianut.
Berdasarkan kedua alinea tersebut diataslah saya menarik kesimpulan:
Mr. Lie benar, masing-masing bahasa ada filosofinya masing-masing, jadi yang perlu diajarkan kepada anak-anak adalah semua filosofi itu secara lengkap, bukannya menutup kesempatan bagi mereka menguasai berbagai bahasa. Saya beruntung, dibesarkan dengan empat bahasa, Hokian, sunda, jawa dan Indonesia. Ketika berbicara dalam keempat bahasa tersebut, saya berbicara sesuai filosofinya, tanpa harus berfikir tentang filosofinya. Saya baru berfikir kalau berbicara bahasa Inggris, karena saya baru belajar bahasa Inggris setelah dewasa. Enam tahun pelajaran bahasa Inggris di SMP dan SMA membuat saya benci bahasa Inggris, benci guru bahasa Inggris dan tidak bisa bahasa Inggris.
Lebih lanjut:
Benar Xaris, saya tidak setuju dengan pendapat, bahwa cara terbaik untuk mengajarkan bahasa kepada anak kecil adalah dengan mengajarkannya satu persatu. Pendapat itu salah, apalagi dengan menjadikan pilosofi di balik setiap bahasa sebagai alasan.
Anda lalu menulis:
Yang saya katakan, penjelasan Pak Lie adalah sebelum mengajarkan berbagai bahasa, ajarkan dulu satu bahasa dasar. Setelah itu mau diajarkan berapa banyak juga terserah, tergantung kemampuan si anak. Sekaligus pun tidak apa-apa (point ini rupanya tidak saya tulis). Dan memang betul kita lebih mudah diajarkan berbagai bahasa pada saat kita masih kecil. Yang saya pernah baca, hingga usia lima tahun anak-anak akan cepat sekali menyerap berbagai hal yang mereka pelajari dibandingkan usia-usia setelahnya, termasuk kemampuan belajar bahasa.
Nona, saya menarik kesimpulan, bahwa Mr. Lie mengajarkan dan anda menyetujuinya:
Sebelum menguasai bahasa kedua dan seterusnya, seorang anak harus menguasai satu bahasa dasar (mother taunge) dulu.
Itulah yang tidak saya setujui. Maksud saya, semua bahasa adalah bahasa asing bagi bayi. Jadi, kalau anda mengajarkan 2, 3, 10 bahkan 20 bahasa sekaligus kepada bayi, maka si bayi akan tetap menganggap semuanya adalah 1 bahasa asing.
Berapa lama waktu yang dibutuhkan seorang anak untuk menguasai bahasa ibu beserta filosofi yang terkandung di dalamnya? 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun, 5 tahun, bahkan 10 tahun?
Menurut penelitian Dr. Keith Osborn, Professor of Child Development, University of Georgia, Dr. Burton L. White, Former Director Harvard Preschool Project, dan Dr. Benjamin S. Bloom, Professor of Education, university of Chicago:
Pada saat berumur 2 tahun, maka peta emosi dan kecerdasan anak sudah terbentuk dengan sempurna.
Pada saat berumur 4 tahun, maka 50% dari volume otak manusia sudah terbentuk. Pada umur 8 tahun, maka 80% volume otak manusia terbentuk. Pada umur 18 tahun, 100% volume otak manusia terrbentuk. Hasil penelitian inilah yang melahirkan teori “The 5 Golden Year!” dari umur manusia.
Penelitian lebih lanjut membuktikan, bahwa, ketika mengucapkan kata-kata dalam bahasa yang dipelajari berumur 5 tahun, manusia melakukannya dengan reflek. Ketika mengucapkan kata-kata dalam bahasa yang dipelajari sesudah umur 5 tahun, dia melakukannya dengan berpikir. Itu berarti, bahwa bahasa yang dipelajari setelah umur 5 tahun mudah dilupakan. Bahasa yang dipelajari sebelum 5 tahun akan diingat terus. Nah, hasil penelitian inilah yang mendasari teori “Mother Taunge.”
Nah, apa yang anda maksudkan dengan filosofi bahasa? Bisa berikan contohnya?
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Berkenaan dengan kebudayaan
Dear Ko Hai Hai,
Kesimpulan yang saya bisa ambil dari penjelasan Ko Hai Hai di atas adalah ketidaksetujuan Ko Hai Hai dengan pendapat mengajarkan bahasa dasar dahulu sebelum mengajarkan bahasa-bahasa lainnya. Itu saja. Kalau soal interpretasi yang berbeda pada kalimat yang sama tidak akan jadi fokus saya ataupun saya bahas lagi.
Untuk ketidaksetujuan soal mother tounge itu buat saya wajar saja. Masing-masing kita punya pendapat sendiri berdasarkan apa yang kita ketahui tentang mana yang sesuai atau tidak untuk kita. Buat saya tetap belajar bahasa haruslah dengan bahasa dasar dahulu karena saya mengacu pada kepentingan si anak untuk bisa segera berkomunikasi dengan lancar. Saya coba bayangkan, lebih mudah buat seorang anak untuk mengingat misalkan kata "makan" dalam satu bahasa dulu dan baru kemudian memperkenalkan kata yang sama dalam berbagai bahasa (termasuk grammar-nya). Tapi sekali lagi kalau Ko Hai Hai percaya metode itu tidak tepat pasti karena punya pengetahuan /pengalaman lain dan tentu sah-sah aja menjalankannya sesuai dengan apa yang Ko Hai Hai yakini.
Untuk pertanyaan tentang filosofi bahasa, saat belajar satu bahasa kita sekaligus akan terpapar dengan filosofinya sehingga sangat mungkin pada akhirnya mengadopsi filosofinya. Yang dimaksud filosofi disini berkaitan dengan soal kebudayaan yang ada pada pengguna bahasa itu. Contohnya bahasa Inggris dengan filosofinya yang tercermin dari kebudayaan bangsa Inggris. Jadi saat belajar satu bahasa perhatikan pula budaya apa yang dianut so called 'pencipta/pengguna' bahasa tersebut untuk mencermati sesuai atau tidak dengan nilai-nilai yang kita anut. Untuk contohnya saya sudah lupa persisnya karena itu lecture beberapa bulan yang lalu, saya harus dengar rekamannya lagi. Contohnya yang saya coba berikan perbedaan antara bahasa Yunani yang punya variasi grammar lebih banyak dibandingkan bahasa-bahasa lainnya dimana ini mencerminkan perhatian bangsa Yunani akan soal waktu. Atau dengan bahasa Ibrani yang punya variasi kosakata sangat beragam yang mencerminkan perhatian bangsa Yahudi akan ketepatan arti.
Anyway, masih banyak yang perlu saya gali sebelum bisa share lebih jauh. Kalau Ko Hai Hai tertarik, langsung saja tanyakan pada Pak Lie, mau? =)
Berkenaan dengan kebudayaan
Dear Ko Hai Hai,
Kesimpulan yang saya bisa ambil dari penjelasan Ko Hai Hai di atas adalah ketidaksetujuan Ko Hai Hai dengan pendapat mengajarkan bahasa dasar dahulu sebelum mengajarkan bahasa-bahasa lainnya. Itu saja. Kalau soal interpretasi yang berbeda pada kalimat yang sama tidak akan jadi fokus saya ataupun saya bahas lagi.
Untuk ketidaksetujuan soal mother tounge itu buat saya wajar saja. Masing-masing kita punya pendapat sendiri berdasarkan apa yang kita ketahui tentang mana yang sesuai atau tidak untuk kita. Buat saya tetap belajar bahasa haruslah dengan bahasa dasar dahulu karena saya mengacu pada kepentingan si anak untuk bisa segera berkomunikasi dengan lancar. Saya coba bayangkan, lebih mudah buat seorang anak untuk mengingat misalkan kata "makan" dalam satu bahasa dulu dan baru kemudian memperkenalkan kata yang sama dalam berbagai bahasa (termasuk grammar-nya). Tapi sekali lagi kalau Ko Hai Hai percaya metode itu tidak tepat pasti karena punya pengetahuan /pengalaman lain dan tentu sah-sah aja menjalankannya sesuai dengan apa yang Ko Hai Hai yakini.
Untuk pertanyaan tentang filosofi bahasa, saat belajar satu bahasa kita sekaligus akan terpapar dengan filosofinya sehingga sangat mungkin pada akhirnya mengadopsi filosofinya. Yang dimaksud filosofi disini berkaitan dengan soal kebudayaan yang ada pada pengguna bahasa itu. Contohnya bahasa Inggris dengan filosofinya yang tercermin dari kebudayaan bangsa Inggris. Jadi saat belajar satu bahasa perhatikan pula budaya apa yang dianut so called 'pencipta/pengguna' bahasa tersebut untuk mencermati sesuai atau tidak dengan nilai-nilai yang kita anut. Untuk contohnya saya sudah lupa persisnya karena itu lecture beberapa bulan yang lalu, saya harus dengar rekamannya lagi. Contohnya yang saya coba berikan perbedaan antara bahasa Yunani yang punya variasi grammar lebih banyak dibandingkan bahasa-bahasa lainnya dimana ini mencerminkan perhatian bangsa Yunani akan soal waktu. Atau dengan bahasa Ibrani yang punya variasi kosakata sangat beragam yang mencerminkan perhatian bangsa Yahudi akan ketepatan arti.
Anyway, masih banyak yang perlu saya gali sebelum bisa share lebih jauh. Kalau Ko Hai Hai tertarik, langsung saja tanyakan pada Pak Lie, mau? =)
Dua kali
Mr. Lie? He is To Big To Me
Benar, Xaris, saya tidak setuju dengan pendapat bahwa untuk belajar bahasa harus memapankan 1 bahasa dulu.
Pandangan seperti itu sudah kuno dan ketinggalan jaman, sama sperti pandangan bahwa untuk belajar membaca kita harus hafal dulu dengan huruf atau yang disebut pinter itu adalah anak yang hasil test IQ nya tinggi. Penelitian-penelitian membuktikan bahwa semua pendapat tersebut salah. Tetapi kalau ada orang yang masih berpendapat demikian, silahkan saja sich. Kalau anda mau memahami sistem pendidikan anak-anak, saya anjurkan membaca buku-buku karya Glenn Doman.
Langsung bertanya pada pak Lie? Ha ha ha, terakhir saya mendengar kotbahnya adalah ketika dia bersiap untuk pergi kuliah ke Kanada (?). Kabar burung bilang saat ini dia melayani di Gereja Kritus? He is 2 big to me! Dia terlalu besar untuk saya, tidak berani menyita waktunya. Tetapi kalau ketemu, titip salam saja nona. Next time kalau dia memberi seminar lagi, saya mau ikutan ah!
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Public Lecture Pak Lie minggu ini
Saya bukan sedang promosi tapi kalau mau dibilang begitu ya sudahlah. Ini reply untuk Ko Hai Hai yang mau ikut seminar Pak Lie. Siapa tahu yang lain tertarik untuk ikut juga.
He's too big for you? Kenapa harus punya pendapat seperti itu?
A Survey & Analysis on Seven Churches:
Between Sites & Reality
Pembicara:
Artine S. Utomo
didampingi Pdt. Joshua Lie
Minggu, 11 November 2007 • 15:00 - 16:00
R. Flamboyan Jakarta Design Centre Lt 6, Slipi
FREE OF CHARGE
____________________________
Reformational Worldview Foundation
Informasi: Toni Afandi. MCS • 08161117128 • reformational.worldview@gmail.com