Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
"Teologia" Kompeni, Berani Ambil Untung
Melalui sebuah jajak pendapat beberapa tahun lalu di Amerika Serikat, terungkap bahwa hanya 18% dari penduduk AS yang percaya bahwa pengusaha memiliki standar etika yang tinggi (George A. Brantley, Profil Pria Sukses, Kerygma Publishers, 2002).
Bisnis itu buat ngelaba... Agar dapat menghasilkan laba, integritas kerap tidak dipegang dengan teguh dalam banyak praktek bisnis. Sedikit curang, maklumlah. Di Indonesia, tiga serangkai korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di kalangan penguasa dan pengusaha terbukti telah memurukkan bangsa kita ke dalam krisis.
“Itu fakta, Brur.”
Benar, dan dengan begitu, banyak orang serta merta menyimpulkan bahwa bisnis itu dengan sendirinya adalah “kotor”. Dan, haram hukumnya mencampurkan bisnis dengan pekerjaan rohani.
Kita semua pasti sangat sependapat dengan A.M. Lilik Agung yang mengatakan “Etika bisnis tidak menolak keuntungan. Hanya saja untuk mendapatkan keuntungan tersebut, (seyogyanya) dengan cara yang fair, adil, dan sehat. Lebih indah lagi manakala keuntungan tersebut tidak masuk ke kantong pemilik saja, tetapi juga menetes kepada karyawan dan lingkungan sosialnya.” (Menumbuhkan Bisnis yang Beradab, Grasindo, 2002). Setiap perusahaan yang akan didirikan harus memiliki business plan yang mampu memperlihatkan bahwa kompeni tersebut akan menghasilkan profit. Walaupun tidak langsung untung pada tahun-tahun awal investasi, namun resikonya harus terukur. Sebaliknya, saya sering katakan bahwa jika sebuah bisnis tidak menghasilkan profit, maka bisnis tersebut justru tidak saleh. Mengapa? Bayangkan, apa yang terjadi dengan sebuah bisnis yang merugi? Bagaimana kompeni itu bisa mengupah karyawannya secara layak? Mungkin sang pekarya punya tanggungan. Mungkin dia harus membiayai adik-adiknya bersekolah. Mungkin dia harus menanggung biaya hidup dan pengobatan orangtuanya yang sakit-sakitan. Mungkin dia sudah berkeluarga. Mungkin dia punya pembantu dan tentu harus digajinya. Mungkin sang pembantu punya tanggungan. Mungkin sang pembantu harus membiayai adik-adiknya bersekolah. Mungkin sang pembantu harus menanggung biaya hidup dan pengobatan orangtuanya yang sakit-sakitan. Bayangkan, apakah company yang tidak menguntungkan tersebut saleh? Jika sebuah company (kompeni) merugi, bagaimana kompeni itu bisa melakukan riset dan pengembangan untuk memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat? Bayangkan, jika komputer yang kita gunakan saat ini masih berteknologi PC XT? Andai sabun yang kita gunakan ternyata merusak kulit dan lingkungan. Andai tak ada teknologi truk hemat BBM untuk mengangkut tuaian Pak Tani ke kota. Jika sebuah penerbitan majalah rohani tidak memberikan keuntungan bagi toko buku atau kolportase, akan efisienkah penjualan ritel sendiri oleh penerbit? Jika tak ada kompeni yang mau memasang iklan di majalah rohani, bersediakah kita merogoh kocek sebesar limapuluh ribu rupiah, atau lebih, untuk membeli sebuah majalah rohani? Karena, kalau kurang dari itu, penerbitan itu akan sulit menggaji karyawannya secara layak. --Mungkin sang pekarya punya tanggungan. Mungkin dia punya pembantu.-- Pun, penerbitan itu akan sulit mengembangkan mutunya. Oh, cari donatur dong! Oi, para pengusaha Kristen beri persembahan, dong! Wih, kita sungguh memuliakan mental jurupinta.
“Baiklah. Baiklah. Baiklaaah...!! Tidak ada salahnya cari untung. Tapi, nah ada tapinya. Tapi, mana ada kompeni yang bisa untung dengan cara yang sempurna benarnya? Sedikit ragi mengkhamiri seluruh adonan. Sudahlah, tak usah membantah bahwa bisnis itu memang sudah kotor dari ‘sononya’.”
Mari kita asahtajamkan pisau discerning kita sebelum mengasahtajamkan guilotine kita. Kita tentu paham untuk memisahkan antara praktek dan prinsip. Alangkah tak bijaknya kita jika kita menjatuhkan penilaian minor terhadap bisnis karena seringkali menjumpai praktek bisnis yang salah. Sama halnya dengan kita tak mau jika kekristenan dianggap buruk hanya karena amatlah banyak orang Kristen tidak dapat mempraktekkan kekristenan sejati. Apa Untung yang Akan Diperoleh? Dicurigai meninggalkan tugas penggembalaannya, Daud dimarahi oleh sang kakak, Eliab. "Mengapa engkau datang? Dan pada siapakah kautinggalkan kambing domba yang dua tiga ekor itu di padang gurun? Aku kenal sifat pemberanimu dan kejahatan hatimu: engkau datang ke mari dengan maksud melihat pertempuran." (I Sam 17:28). Tetapi jawab Daud: "Kaukira aku ngapain? Aku kan cuma nanya doang koq!" Apa yang ditanyakan oleh Daud? Inilah pertanyaannya: "Apa yang akan didapat oleh orang yang bisa ngalahin orang Filistin itu? Emangnya apa sih hebatnya orang Filistin itu!” “Orang yang mengalahkan dia akan dianugerahi raja kekayaan yang besar," jawab orang-orang Israel yang ketakutan terhadap Goliat itu. Untuk mendapat konfirmasi, sekali lagi Daud menanyakan hal yang sama kepada orang lain. Dan rakyat memberi jawab kepadanya seperti tadi (I Sam 17:30). Untuk pekerjaan menggembalakan kambing dombanya bapaknya, Daud tak menuntut bayaran sepeserpun. Namun, ia harus dua kali bertanya untuk memastikan hak memperoleh fee dari peluang proyek “bisnis security” tersebut. Daud memang jago dan berpengalaman dalam bidang tersebut oleh penyertaan Tuhan! Adalah wajar bagi seorang pendeta yang menggembalakan jemaat jika dia juga menulis artikel atau buku, maka dia harus mendapat honor sepantasnya. Perihal uangnya mau dikemanakan, dipakai untuk kebutuhannya atau akan dipersembahkan untuk keperluan pelayanan, itu tergantung aturan main dalam “rumah tangga” gereja yang dia layani. Sebagai penulis, pengarang lagu, penyanyi sekalipun di bidang kerohanian, wajar juga bagi kita untuk menerima fee. Seorang rekan saya pernah mengeluh bahwa kesaksiannya telah diperbanyak dalam bentuk VCD lalu dijual tanpa persetujuannya. Saya juga pernah menegur penjual VCD bajakan dalam sebuah seminar. Alasan mereka biasanya adalah ini kan pelayanan. Lha koq enak, untungnya mereka “makan” sendiri. Sedangkan, pemilik hak cipta dan perusahaan serta karyawannya, buntung! Seyogyanyalah, penerbitan ataupun studio rekaman harus mendapat untung dari bisnis ini. Tentu saja, bahkan apalagi ini bisnis di bidang kerohanian, haruslah lebih memperhatikan standar etika bisnis yang tinggi. Kalau bisa, malah menjadi contoh bagi bisnis-bisnis lainnya. Pada zaman ini, sudah lebih banyak orang yang paham bahwa bisnis harus dikelola dengan baik, good corporate government. Para mahaguru bisnis kini sering bertutur tentang prinsip-prinsip bisnis yang harus dilakukan jika kompeni mau untung dan sukses. Tanpa kemahiran melakukan prinsip-prinsip inilah, yang membuat sang pebisnis ambil jalan pintas alias curang! Inilah ragi yang mengkhamiri seluruh adonan. Kata pakar pemasaran, itulah dosa-dosa yang mematikan bisnis (Philip Kottler, Ten Deadly Marketing Sins, 2004).
Segala kebenaran adalah kebenaran Allah. Apa itu kebenaran? Dua kali tiga, atau tiga tambah tiga, sama dengan enam, atau satu tambah lima. Ini adalah kebenaran. Semut lebih kecil daripada gajah. Bumi berbentuk bulat. Manusia bernafas menghirup oksigen, bukan gas lain. Lapar jika tidak makan, kenyang jika makan, sakit jika salah makan.
Semua itu adalah kebenaran. Demikian juga, semua firman Tuhan adalah kebenaran. Walaupun mungkin ada kesalahan dalam penafsiran oleh beberapa pengajar Alkitab, sejatinya tidak ada yang salah dalam setiap perkataan dan pengajaran Tuhan sendiri.
Sedikitnya ada empat prinsip bisnis sukses. Prinsip kesatu, memperhatikan kebutuhan masyarakat. Prinsip kedua, belajar dari kompeni lain, baik kekuatan dan kelemahannya. Prinsip ketiga, melakukan community development. Prinsip keempat, memiliki program charity. Karena bukan pakar bisnis, di sini saya tidak bisa menjabarkan ilmu bisnis. Saya cuma mau bilang bahwa jika untuk suksesnya sebuah bisnis perlu melakukan prinsip-prinsip di atas, apalagi untuk suksesnya kehidupan kita. Bukankah Tuhan sudah berfirman kepada kita tentang prinsip-prinsip itu?
Bukankah jika kita bertindak hati-hati sesuai dengan firman-Nya, maka perjalanan hidup kita akan berhasil dan beruntung? (Yosua 1:8). Firman-Nya adalah kebenaran. Semakin presisi kita mengikuti prinsip-prinsip kebenaran, semakin besar tingkat keberhasilan dan keberuntungan kita.
Prinsip kesatu. Bukankah Tuhan berfirman agar kita jangan hanya memperhatikan kepentingan diri sendiri, tetapi hendaknya kita saling memperhatikan kebutuhan sesama? Tentulah kita tak perlu bertanya kepada Tuhan Yesus, "Siapakah sesamaku manusia?" (Lukas 10:29). Tentulah kita sudah mengenal siapakah orang Samaria yang Dia maksud. Prinsip kedua. Bukankah lebih baik kita “ambil untung” dari orang lain daripada sibuk menilai dan membuka topeng orang lain? Semua orang punya kebaikan dan keburukan. Anda tentu senang jika berada dalam situasi diperlakukan dengan baik oleh orang lain. Ambillah untung dari situasi tersebut, yaitu dengan belajar dari cara orang itu memperlakukan Anda. Sebaliknya, Anda tentu tak senang diperlakukan buruk oleh orang lain. Ambillah keuntungan dengan belajar untuk terhindar dari memiliki karakter buruk seperti orang itu, daripada memperbincangkan.. Prinsip ketiga. Bukankah tubuh Kristus akan lebih terbangun jika kita saling meng-encourage untuk memperbaiki kekurangan kita daripada saling mematahkan semangat? Tuhan meminta kita untuk saling membangun, bukan meruntuhkan. Tuhan meminta kita untuk menggembalakan, bukan menghakimi.
Prinsip keempat. Bukankah ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia. (Yakobus 1:27).
Bukankah Tuhan Yesus beberapa kali memakai pengusaha sebagai panutan dalam pengajaran-Nya? Bahkan Dia berkata, "Akulah pokok anggur yang benar dan Bapa-Kulah pengusahanya.” (Yohanes 15:1). Jonggol, Idul Fitri 1425 H.
- Johannes Darsum's blog
- 5096 reads
pencerahan
wah, betul sekali pak!
banyak yayasan yang ngakunya non-profit, tadinya saya pikir bagus sekali, pelayanan, dll, tapi ternyata setelah membaca artikel ini jadi tersadar, banyak hal yang dilupakan dan perlu dibenahi ya?
terima kasih untuk pencerahannya...
Berpikir Panjang
Mm... Bagus neh .. menurutku ini juga bisa melengkapi pendapat atas pembajakan, walau dengan atas nama "pelayanan" ataupun "yang penting jadi berkat". Sebelum berniat melakukan pembajakan, yuk berpikir panjang, pikirkan dan hargai orang yang telah berusaha keras menelurkan karya tersebut.
*yuk comment jangan hanya ngeblog*
*yuk ngeblog jangan hanya comment*
*yuk komen jangan cuma ngeblog*
*yuk ngeblog jangan cuma komen*