Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
TELEVISI
Kami boleh menebang bambu apapun dari rumpun yang tumbuh dekat pohon durian, tetapi ada sebatang yang tidak boleh kami apa-apakan. Bambu yang paling besar dan paling tinggi dibandingkan bambu-bambu yang lain itu tidak boleh kami ganggu. Semua bambu boleh kami tebang untuk membuat mainan, bambu besar boleh kami jadikan meriam atau rakit kecil untuk bermain di sungai; bambu kecil boleh kami jadikan senjata berpeluru kertas atau sekedar tombak mainan. Tetapi bambu paling tinggi dan paling besar itu tidak boleh kami apa-apakan, bambu itu akan menjadi tiang antena televisi saat ayah memenuhi janjinya membelikan kami televisi.
Selama ini kami terpaksa menonton televisi di rumah tetangga. Peraturan tidak boleh keluar malam sedikit melonggar saat tetangga yang rumahnya terletak lima rumah dari rumah kami memiliki televisi. Bersama teman-teman sepermainan, kami menonton televisi dari teras, tetapi sepertinya lama kelamaan pemiliknya merasa terganggu. Rumahnya selalu terkunci rapat saat hari gelap. Untunglah tetangga sebelah rumah akhirnya bisa membeli televisi sehingga kami bisa menonton televisi sambil makan rambutan tanpa harus duduk di teras lagi. Bahkan malam minggu kami boleh membawa bantal sendiri dari rumah.
Kalau ayah berada di kota, bila ada kapal berhenti di lanting kami, aku dan adikku yang pertama kali sampai di pinggir sungai. Baru kemudian ketiga kakak perempuan kami menyusul sambil menggendong ketiga adik kami yang paling kecil. Sebenarnya bukan hanya karena kemungkinan ayah pulang maka kami berlarian, tetapi setiap kali ada kapal berhenti, aku dan adik laki-lakiku tidak bisa menahan godaan untuk berlomba siapa yang paling cepat melihat penumpang yang turun. Peserta lombanya baru bertambah bila ayah sudah dua minggu berada di kota.
Saat tiba di atas tebing, ayah sudah berdiri di atas lanting, beberapa orang tampak membantunya mengeluarkan sebuah kotak besar dari atap kapal. Kami tidak tahu apa isinya sampai melihat tulisan 14 Inch Black and White Television. Tulisan inipun tidak akan membuat kami yakin isinya jika tidak melihat kotak sepanjang dua depa tergeletak di atas lanting. Tulisan VHF TELEVISION ANTENNA membuat kami yakin ayah telah memenuhi janjinya beberapa tahun lalu, saat batang bambu itu belum menjulang setinggi sekarang.
Selain kotak televisi, sebuah kotak sebesar kardus mie juga diturunkan dari kapal. Kotak ini kelihatan sangat berat, perlu dua orang untuk menurunkannya ke atas lanting. Kami tidak tahu isinya sampai ayah yang sedang menggendong si kembar berkata, "Itu akinya." Kami sudah lama tahu, untuk membuat gambar yang besar bergerak, televisi bukan hanya membutuhkan antena, tetapi juga aki. Waktu masih menonton di teras, sebelum benar-benar menutup pintu, pemiliknya sering mematikan televisi kalau acaranya tidak bagus. Katanya supaya aki tidak cepat soak. Ketika kami kembali setengah jam kemudian, berharap bisa menonton acara yang lebih bagus, rumah itu sudah terkunci rapat. Tetangga sebelah rumah tidak mengenal penghematan aki sebagai alasan pengusiran. Tidak ada acara mematikan televisi, tiba-tiba saja gambarnya mengecil dan menyusut, membentuk sebuah titik lalu layar menjadi gelap. Artinya aki habis dan kami harus pulang. Besoknya mereka menyetrum akinya di pasar dengan bayaran 500 rupiah.
Malam itu kami tidak menonton televisi di rumah tetangga. Pohon bambu belum sempat ditebang dan aki belum diisi. Kata ayah, aki yang masih baru juga harus diisi air aki serta disetrum dulu sebelum dipakai. Padahal sebenarnya kami ingin melihat televisinya menyala, tanpa antenapun tidak apa-apa. Walaupun demikian, malam itu kami berkumpul di ruang tamu, mendengar cerita perjalanan ayah di kota sambil memandang televisi baru yang terpasang di meja dekat radio tua milik kakek.
Baru dua hari kemudian kami bisa menonton televisi sendiri. Sebatang bambu berdiri tegak dekat pohon jambu di samping rumah. Waktu televisi pertama kali dihidupkan, tidak muncul gambar apa-apa. Kata tetangga yang punya televisi, TVRI-nya masih belum buka. Jam lima baru kami bisa benar-benar menontonnya, setelah beberapa orang membantu memutar tiang bambunya sehingga ujung antenanya tempat mengarah ke pemancar di kota yang ratusan kilometer jauhnya. Akhirnya kami benar-benar bisa menikmati televisi.
Kata TVRI begitu melekat di hati waktu itu.
***
Apa yang kuingat dari TVRI, garis-garis melayang yang membentuk tulisan TVRI. Kemudian muncul tulisan di bawahnya. Bersamaan dengan itu terdengar lagu "TVRI Menjalin Kesatuan dan Kesatuan." Setelah beberapa tahun, baru aku tahu logo itu tidak berwarna hitam dan putih saja.
Kami selalu menunggu kemunculan seorang pembawa acara yang menyampaikan “Acara malam ini”. Biasanya ia muncul setelah penyampaian Berita Nasional. Kami memang tidak menonton televisi sampai muncul lagu Padamu Negeri di tengah malam, tetapi kami senang bisa mengetahui acara-acaranya saat sedang tidur nyenyak.
Banyak acara yang tidak pernah bisa kami lupakan, Film Cerita Akhir Pekan, yang boleh kami tonton sampai selesai karena besoknya libur. Losmen yang katanya menjadi cikal bakal sinetron Indonesia, posternya menghiasi dinding ruang tamu kami, disamping poster Gepeng dan Barry Prima serta poster Him Damsyik yang menjadi penjahat dalam sebuah film silat.
Artis yang kami kenal cukup banyak, ada Titiek Puspa, Titik Sandora, dan Suzzana. Sebelumnya kami mengenal para penyanyi hanya melalui kaset, sekarang kami bisa melihat sebagian dari mereka dalam acara Album Minggu Ini atau Aneka Ria Safari ataupun Aneka Ria Anak-anak Nusantara yang membuat kami begitu akrab dengan lagu Abang Tukang Baso dan Semut-semut Kecil.
Asap tidak pernah jauh dari kehidupan kami. Acara seperti Album Minggu Ini juga tidak pernah jauh dari asap di tengah atau di belakang panggung. Heran juga karena panggungnya tidak sampai terbakar dengan asap sebanyak itu. Ayah yang memang selalu mempunyai jawaban untuk segala sesuatu berkata, asap yang mereka pakai itu asap yang tidak berbau. Ini menjawab keheranan kami yang begitu akrab dengan asap. Asap membantu kami mengusir nyamuk, tetapi di musim kemarau, kabut asap bukanlah sesuatu yang enak untuk dihirup. Jadi wajar kami heran orang kota bisa menyanyi di tengah kepulan asap. Setahu kami, orang akan terbatuk-batuk jika membuka mulut di tengah kepulan asap.
Asap di tengah panggung inilah yang membuat panitia tujuhbelasan kampung kami membakar jerami di balik panggung. Mereka ingin membuat malam final lomba karaoke yang lebih meriah. Hasilnya hampir saja terjadi kebakaran, untung ada sungai kecil di belakang tanah lapang yang menjadi tempat pasar malam.
Acara humor yang sebenarnya tidak kami ketahui letak lucunya adalah Ria Jenaka. Tokoh-tokohnya mengingatkan pada Petruk dan Gareng dalam komik Tatang S. Acara ini menjadi kenangan karena sebentar lagi listrik yang sudah menggantikan aki akan padam. Listrik hanya malam hari hidup, kecuali hari minggu. Bahkan sampai sekarang, setelah lebih dari duapuluh tahun, keadaannya tetap sama. Bedanya, sekarang televisi mati sendiri saat Buletin Siang, bukan di pertengahan film Little Missy atau Sengsara Membawa Nikmat.
Si Unyil membuat malas sekolah minggu. Masih ingat pak Raden yang berkumis tebal dan serta Pak Ogah yang ogah-ogahan, sosok favorit kampung kami. Film kartun Academy Policy membuat kami benar-benar makin jauh dari bangku gereja. Sosok kecil tokoh-tokohnya tampak menyenangkan dengan tongkat serbaguna, berbeda sekali dengan sosok polisi yang selama ini ada dalam bayangan kami, polisi yang hanya menjadi alat menakut-nakuti anak kecil.
Ingat si Unyil jadi ingat sebuah lagu plesetan tanpa nada yang suka kami nyanyikan setelah si Unyil tidak pernah lagi muncul.
Acara keroncong membuat kami harus memikirkan kakek juga. Keroncong berarti saatnya memanggil dia. Sebenarnya bukan hanya lagu Jembatan Merah dan Begawan Solo saja yang membuat kakek yang menjadi bagian masa kecil ini bertahan di depan televisi. Ia menonton Dari Gelanggang ke Gelanggang sampai Arena dan Juara dalam jarak setengah meter dari televisi. Tidak semua acara olah raga ia sukai, hanya tinju dan sepak bola. Ia benar-benar menyukai kedua olah raga ini. Kadang ibu heran, hidup bersama seorang kakek yang begitu kerajingan bola, tidak membuat kedua cucu laki-lakinya ketularan. Keduanya lebih suka memilih duduk jadi kiper bila anak-anak tetangga memutuskan bermain bola saja. Semua orang tahu, dijaga atau tidak, tidak ada yang terlalu berminat mengarahkan bola ke gawang lawan. Orang yang paling sering mendapat kesempatan menendang bola itulah pemenangnya, jadi penjaga gawang bisa duduk sambil menjaga gawang sepinya masing-masing.
Acara lain yang tidak bisa hilang dari kenangan adalah kuis “Siapa Dia?”. Kami biasa ikut ambil bagian dengan menebak siapakah orang yang berada di balik tirai. Ikut mendengarkan dengan teliti ketukan palu yang menandakan jawaban “ya” atau “tidak”. Kami juga ikut menebak hadiah apa yang pemenang dapatkan. Aku bahkan pernah bertengkar dengan Maria, saudara perempuanku hanya gara-gara setiap minggu ia selalu menebak pemenangnya mendapatkan hadiah paket perjalanan wisata. Aku merasa ini bukan permainan tebak-tebakan lagi. Percuma bermain tebak-tebakan dengan orang yang selalu menebak hal yang sama setiap kali menebak.
Pak Harto dan asistennya, Harmoko ikut mengisi hari-hari kami. Pak Harto tidak pernah absen muncul di berita dan senyum Harmoko tidak pernah hilang dari layar televisi. Suatu hari adikku bertanya mengapa setiap hari hanya ada Harmoko. Ayah berkata, itu wajar, karena TVRI miliknya. Adikku malah bingung sehingga ayah menjelaskan tentang Departemen Penerangan dan tugas-tugasnya. Departemen Penerangan ternyata tidak mengurus listrik tetapi mengurus TVRI katanya. Acara lain yang jarang jauh dari Pak Harto adalah Laporan khusus, Laporan Pembangunan, Dinamika Pembangunan, dan lain-lain. Acara seperti ini membuat kami yakin negara ini sebentar lagi benar-benar tinggal landas.
Film, tentu saja sesuatu yang sangat kami tunggu. Ini yang paling sulit dilupakan. Hammer si jago tembak yang keras kepala. Hunter, polisi yang sedikit botak. Ohara, film kesukaan kakek. Remington Steele, dan masih banyak yang lain lagi.
***
Antena parabola, hanya mendengar ceritanya. Saat orang terkaya di kampung membelinya, aku hanya bisa melihat kuali besar mencuat di atap rumah besarnya. Beberapa tahun kemudian, beberapa orang yang hidup sedikit pas-pasan juga mulai mampu membelinya. Sayang rumah mereka terlalu jauh, sehingga kami tidak bisa ikut menumpang kabelnya dengan bayaran sepuluh ribu rupiah sebulan.
Suatu hari, salah satu keluarga termiskin di kampung mendapat undian SDSB sebesar 35 juta. Terjadi kehebohan di kampung, tetapi itu tidak terlalu penting, karena disamping membeli rumah dan motor, mereka membeli antena parabola. Rumahnya tidak terjalu jauh sehingga ayah hanya perlu membeli dua rol kabel bertuliskan coaxial cable. Sebelum antena parabolanya terpasang, ujung kabel kami sudah ada di rumah mereka.
Kamipun mulai menikmati acara yang lebih menarik. Ada MacGyver yang tidak suka memakai senjata api. Ada The Return of the Condor Heroes, kisah cinta guru dan murid. Ada The Grand Canal, Si Jenggot Naga. Ada Legenda Ular Putih, lebih kami kenal sebagai Dewi Ular Putih. Juga sempat mengalami masa ketika kantor pemerintah tidak melayani masyarakat saat pemutaran melodrama Asia Lady of the Poor. Kata orang yang pernah mengalami masa kejayaan sandiwara radio Saur Sepuh, apa yang terjadi pada jam dua belas sampai jam satu siang di kantor pemerintah, sama seperti jaman orang duduk manis di depan radio. Mendengarkan kisah Brama Kumbara dan Mantili.
Tahun berganti tahun, juga sempat mengalami masa orang keranjingan makhluk halus. Setiap malam ada acara pencarian hantu dan adu keberanian, kemudian lebih banyak mata melotot di depan televisi, berharap penampakan makhluk halus di antara dahan pohon. Tetapi masa inipun berlalu juga. Orang mulai kerajingan hiburan bertema religius, bosan dengan hantu yang malu-malu di depan kamera infra merah. Orang mulai bertobat sehingga menyukai cerita yang berpesan, babi ngepet, tuyul dan sejenisnya membuat orang sulit mati atau mayatnya tidak bisa masuk ke liang lahat.
Muncul pula acara kuis berupa pertanyaan yang sesuai dengan kemampuan penonton. Hanya perlu menjawab “Pengeran Anu menaiki kuda putih. Apa warna kudanya? Pilihlah jawaban berikut: (a) Putih, (b) Mobil, atau (c) Tidur?” Orang tinggal mengirimkan jawabannya lewat SMS atau menelpon. Aku juga sempat mengalami masa orang menyukai gaya bencong. Kalau ada yang namanya acara gosip, tidak sip jika pria pembawa acaranya tidak bisa bergaya kemayu. Masa logat Batak dan Ambon juga sudah berlalu, aku masih sempat mengalami masa kejayaan logat bule baru belajar bahasa Indonesia.
Panggung? Aku mengalami dua masa, jaman asap mengepul di atas panggung dan jaman orang berpegangan tangan di atas panggung, berharap teman di sebelahnyalah yang tereliminasi. Untuk bisa naik ke atas panggung, ia harus ikut audisi. Kalau lolos, orang sekampung yang ikut bangga ramai-ramai mengirim SMS. Tidak hanya orang sekampung yang melakukannya, bisa-bisa satu propinsi. Apalagi bila gubernurnya ikut bangga karena ada putra daerahnya yang bakalan menjadi artis. Bukan artis biasa, artis bergelar IDOL, AFI, KDI, dan lain-lain. Anak-anak juga tidak mau ketinggalan, masa plesetan lagu Mabuk Lagi menjadi Ngompol Lagi sudah lewat. Sekarang masanya anak-anak di atas panggung menyanyikan lagu Hasrat Bercinta.
***
Televisi, aku telah menghabiskan sebagian dari hidupku di depannya. Ternyata sudah puluhan tahun berlalu sejak masa kecil penuh kenangan indah ketika menonton Laporan Khusus di teras.
- anakpatirsa's blog
- 7941 reads
Penyiar TVRI
Ayo kita ingat lagi penyiar Dunia Dalam Berita TVRI:
Tuti Aditama
Usi Karundeng
Magdalena Daluas
Sam Amir
Idrus
.....
------------
Communicating good news in good ways
ingetnya
ingetnya
1. max sopacua (soalnya tv jadul jadi keliatannya beliau item banget tapi suaranya empuk)
2. yan partawijaya
3. tengku malinda (katanya penyiar paling cakep di masanya, kalo sekarang sih pilih liat grace natalie sama penyiar metro siapa tuh atau mbekayu rahma di jogja tv hehehe...)
4. kalo bung sambas masuk nggak ya? yg provokator eh narator pertandingan badminton
Jika bermasalah dengan HA HA HA!
pakailah hehehe...
Dwi Fungsi
Zaman dulu, penyiar TVRI sering berdwi fungsi. Jadi tidak hanya ABRI saja yang dwifungsi. Selain jadi Anchor (-embaca berita), mereka juga merangkap jadi Host (pemandu acara). Kadang bung Sambas pun baca berita kok.
Kalau nggak salah, dulu ada penyiar TVRI yang di-black list gara-gara membaca berita yang salah. Beritanya tentang kematian salah satu petinggi negara, ternyata orang yang bersangkutan masih segar bugar. Saya lupa namanya. Kasihan tuh orangnya. Padahal yang salah kan bagian redaksinya yang nggak cek dan recheck
------------
Communicating good news in good ways
Ingat Ilmu Budaya Dasar
Saya tidak mendengar sendiri berita itu, tetapi semua orang di kampung membicarakannya. Kalau tidak salah orang nomor dua di negeri ini yang diberitakan meninggal waktu itu.
Saya sudah melupakannya, sampai tahun 1996, mengambil mata kuliah Ilmu Budaya Dasar. Saya sedang membaca buku wajib mata kuliah ini, saat menemukan bagian yang membahas tentang seorang pembaca berita yang menyampaikan berita yang salah ini. Di situ disebutkan, sebagai akibatnya ia "pasti" mengalami pengucilan.
Dikatakan, beberapa perbuatan akan mendapat gancaran sendiri. Itulah "Manusia dan Keadilan" dalam mata kuliah Ilmu Budaya Dasar yang pernah saya ambil.
Jadi ingat masa kecil..
Hehe AP, jadi ingat masa kecil dulu di kampung..
Saya lupa persisnya tahun 80-an, bapak saya beli TV hitam putih, terus pake aki juga, karena belum ada PLN. Bila aki soak maka gambar TV akan mengecil sendiri sampai akhirnya mati. Besoknya harus berjalan kaki sekitar 3 km untuk men-charge kembali.
Beberapa tahun kemudian baru ada listrik diesel, itupun hanya jam 6 sore sampai jam 10 malam.
Nah tapi ada bedanya nih, tiang antena-nya dari tiang pipa besi, awalnya diputar pake tangan untuk bagus-in gambar. Terus belakangan diputar pake dinamo listrik.
Bagusnya selain TVRI, tanpa parabola sudah bisa menangkap siaran dari negara tetangga Malaysia: ada RTM1, RTM2, TV3.
Acara favorit: Donald Bebek, Flash Gordon, Mac Gyver, The A Team, dll.
Hingga saya pindah dari kampung itu tahun 1986, listrik PLN belum juga sampai ke rumah saya itu.
Tapi ku pikir2, aku dulu cukup beruntung juga, karena nun jauh dipelosok-pelosok, sekarang ini masih banyak warga Indonesia yang belum bisa menikmati listrik, TV dan teknologi lainnya..
Debu tanah kembali menjadi debu tanah...
olahraga
nongkrong tiap hari di depan TV,
kadang sampai lupa segalanya lho...
misalnya: lupa olahraga...
___________________________
giVe tHank’s wiTh gReaTfull heArt
www.antisehat.com
tradisi tvri
kalo ada tradisi dan sensasi soal tvri yg pernah aku liat dan rasakan, antara lain:
1. jalan di tempat dengan langkah tegap di samping tivi pas lagu garuda pancasila sekitar jam 7 malam berkumandang dengan gambar kartun burung garuda pancasila yang dizoom pelan-pelan? (tapi aku ga pernah loh hehe...)
2. ikut senam di depan tv, tiap minggu pagi pas ada siaran SKJ 88 (ini sih pernah, bareng2 lagi)
3. ketiduran, ga sempat nglanjutin nonton lanjutan film gara-gara habis dunia dalam berita (dulu tvri suka motong film nih) ternyata masih ada laporan khusus nya harmoko (ini kayaknya sudah zaman rcti juga deh)
4. ngeri, deg-degan dan ketakutan kalo orang gila (di mana anakku di mana istriku) nya si unyil ngejar anak-anak desa sukamaju itu
5. sok-sokan lihat acara cerdas cermat, kirain bisa ikut ketularan cerdas hehe.. sementara kakak saya ada yang suka sok-sokan liat anton hilman ngomong bahasa inggris, tapi dalam hati saya bermimpi mengirim gambar saya supaya dipuji pak tino sidin.. sayang ga pernah kesampaian
apa lagi ya? inget2 dulu deh
kok jadi kayak blog lapanpuluhan ya hehe
Jika bermasalah dengan HA HA HA!
pakailah hehehe...
Anakpatirsa hardisk-nya besar
Setiap membuka situs Sabdaspace dan mata melihat nama AP, segera saya membukanya untuk copy-paste ke flashdisk. Apa yang ia tulis selalu mengherankan saya. Meminjam istilah komputer, otaknya bagai hardisk bervolume besar. Saya tidak tahu bagaimana ia sanggup mengingat peristiwa yang sudah berlalu sekian puluh tahun sampai ke rinciannya. Tidak mungkin ia waktu sekecil itu sudah punya buku harian.
Walaupun apa yang ditulis tentang dirinya, nostalgia masa kecilnya, tetapi caranya berkisah membuat saya hanyut masuk ke masa yang sedang dikisahkannya. Artikelnya mengingatkan kembali apa-apa yang sudah lama saya lupakan. Ini yang membuat saya ketagihan membaca karya-karyanya.
Semoga AP kelak membukukan artikel-artikel NOSTALGIA-nya.
TV 80an & 00an
kenapa tayangan tv 80an terasa lebih aneh, lucu, dan menarik (bagi yg sempat mengalami) dibandingkan televisi 2000an? bukankah 80an adalah masa-masa jaya orba sedangkan 2000an adalah masa reformasi dan kebebasan? apakah budaya orba lebih bagus dari sekarang?
saya kira sebaliknya. kuncinya adalah pada pendidikan dan budayanya. para konseptor acara tv 80an adalah orang yang tumbuh dan belajar di masa 'susah', masa vivere perilocoso orla, tapi juga sekaligus di masa ketika pendidikan karakter dan kebangsaan (nation and character building), dengan slogan2 berdikari, revolusi, dan go to hell with your aid benar-benar dilaksanakan pemerintah saat itu. ketika acara tv tvri 80an berjaya, meski mereka dikekang atau menjilat pemerintah tapi itu diekspresikan dengan lebih beragam, bahkan kreatif
sedangkan konseptor tivi 2000an adalah hasil pendidikan orba yang seragam, money oriented, tidak bisa bersaing, inferior dengan budaya barat, dengan pendidikan agama yang hanya lipstik tanpa disertai pendidikan budi pekerti. jadilah acara sinetron remaja yg sejak film AADC atau Jaelangkung laris langsung semua bikin yg sama.
bagaimana dengan karya anak-anak produk pendidikan tahun 2000 ini? saya tidak bisa membayangkan.
Jika bermasalah dengan HA HA HA!
pakailah hehehe...