Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Teh Real House of God
Pagi hari tanggal 1 Agustus 2007, dalam saat teduh aku tiba pada bacaan Yohanes 2:13-25 dengan perikop “Yesus Menyucikan Bait Allah”. Sebelum aku membagikan apa rhema firman Tuhan yang aku dapatkan dari perenungan ini, aku akan menuliskan kisahnya berikut ini:
Ketika hari raya Paskah orang Yahudi sudah dekat, Yesus berangkat ke Yerusalem. Dalam Bait Suci didapati-Nya pedagang-pedagang lembu, kambing domba dan merpati, dan penukar-penukar uang duduk di situ. Ia membuat cambuk dari tali lalu mengusir mereka semua dari Bait Suci dengan semua kambing domba dan lembu mereka; uang penukar-penukar dihamburkan-Nya ke tanah dan meja-meja mereka dibalikkan-Nya. Kepada pedagang-pedagang merpati Ia berkata: “Ambil semuanya ini dari sini, jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan.” Maka teringatlah murid-murid-Nya, bahwa ada tertulis: “Cinta untuk rumah-Mu menghanguskan Aku.” Orang-orang Yahudi menantang Yesus, katanya: “Tanda apakah dapat Engkau tunjukkan kepada kami, bahwa Engkau berhak bertindak demikian?” Jawab Yesus kepada mereka: “Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali.” Lalu kata orang Yahudi kepada-Nya: “Empat puluh enam tahun orang mendirikan Bait Allah ini dan Engkau membangunnya dalam tiga hari?” Tetapi yang dimaksudkan-Nya dengan Bait Allah ialah Tubuh-Nya sendiri. Kemudian, sesudah Ia bangkit dari antara orang mati, barulah teringat oleh murid-murid-Nya bahwa hal itu telah dikatakan-Nya, dan merekapun percayalah akan Kitab Suci dan akan perkataan yang telah diucapkan Yesus.
Sejak sekolah Minggu pun aku sudah mengetahui kisah ini. Tentunya guru sekolah Mingguku yang menceritakannya. Ketika remaja, pemuda dan sampai sekarang kisah ini kerapkali aku dengar dari para pembicara [baca: pengkhotbah] dalam sebuah ibadah ataupun diskusi.
Namun sepanjang yang aku dengar selama ini, pesan yang disampaikan lebih banyak menitikberatkan hubungan Yesus dengan para pedagang itu. Bahwa Yesus marah kepada para pedagang dan kemudian menunggang-langgangkan meja-meja pedagang sehingga semuanya berhamburan. Sehingga kesimpulan dari kisah ini biasanya adalah jangan sampai kita menjadikan Bait Allah tempat berbisnis dan lain sebagainya yang berhubungan dengan uang dan materi. Mungkin itu juga yang Anda dengar selama ini.
Namun menarik sekali meskipun aku sudah membaca kisah ini berulang-ulang, aku tidak mendapatkan rhema yang lain sampai waktu saat teduhku pagi ini. Pagi ini aku menemukan “kekayaan” yang baru yang ada di dalam kisah ini. Ketika aku membacanya dan mengamati kisah ini secara seksama aku justru terpikat pada percakapan Yesus dengan orang-orang Yahudi. Ketika membandingkan kisah yang sama dalam Markus 11:18, aku mendapati bahwa orang-orang Yahudi yang dimaksud adalah imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat. Berikut kutipannya, “Imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat mendengar tentang peristiwa itu, dan mereka berusaha untuk membinasakan Dia…” Dan kisah di atas yang aku beri tanda ‘bold’ adalah bagian yang menarik perhatianku.
Saat itu Yesus berkata, “Rombak Bait Allah ini, dan dalam waktu tiga hari Aku akan mendirikannya kembali.” Lalu kata orang Yahudi kepada-Nya: “Empat puluh enam tahun orang mendirikan Bait Allah ini dan Engkau membangunnya dalam tiga hari?”
Aku memperhatikan, ketika Yesus berbicara mengenai Bait Allah, orang Yahudi, para imam dan ahli Taurat pikirannya tertuju kepada Bait Allah secara fisik. Buktinya; mereka langsung menjawab Yesus bagaimana mungkin hal itu terjadi, karena Bait Allah itu dibangun dalam waktu yang sangat lama, 46 tahun. Dan Yesus dapat melakukannya dalam waktu 3 hari saja? Begitu pikirnya. Padahal bukan itu yang Yesus maksudkan.
Aku melihat beberapa perbedaan antara cara pikir Yesus dengan para imam dan ahli Taurat. Saat Yesus berbicara mengenai Bait Allah, Ia mengacu kepada tubuh-Nya. Berbicara mengenai Bait Allah, ternyata Yesus jauh lebih tertarik kepada hal yang esensi, yaitu tubuh dan kehidupan. Paulus, sebagai orang yang meneruskan ajaran dan pemikiran Yesus menuliskan hal ini di dalam Roma 12:1 “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.”
Sedangkan bagi para imam dan ahli Taurat, ketika berbicara mengenai Bait Allah pikiran mereka langsung tertuju pada Bait Allah secara fisik yang dibangun selama 46 tahun. Oh my God!
Ternyata tinggal menahun di dalam tembok agamawi dapat membuat orang lupa hal yang esensi dari sebuah kata: Bait Allah. Dan ironisnya hal ini masih berlaku di era Kekristenan pada masa kini. Sudah menjadi sebuah warisan.
Tidak heran ketika beberapa tahun yang lalu kita menemukan ada gereja yang dikecam karena menyelenggarakan kebaktian di hotel, restoran, ruko dan bioskop [ketika masih kecil pendetaku bahkan pernah berkata bahwa menonton di bioskop itu berdosa]. Dan bukan kebaktian di gedung gereja dimana di depannya ada tanda salib yang besar, lengkap dengan kursi kayu yang panjang dan iringan musik yang lembut. Pada masa ini, mereka menganggap bahwa aliran gereja yang baru itu sesat! Mereka lupa, gereja itu sebenarnya adalah kumpulan orang-orang yang dipanggil untuk menerima kerajaan Allah. Itulah esensi yang sebenarnya. Dan bukan kumpulan batu bata yang disusun rapi sehingga membentuk sebuah ornamen gedung yang indah dengan arsitektur bergaya Eropa. Namun dengan berjalannya waktu, aku melihat hal itu tidak terlalu menjadi issue yang hangat lagi.
Namun, aku melihat kumpulan orang-orang yang beribadah di bioskop, hotel, restoran dan ruko pun—dengan berjalannya waktu, sudah menahun—sudah mulai terikat kepada pemikiran bahwa inilah tempat Bait Allah itu. Yaitu lagi-lagi bicara mengenai ‘bangunan fisik’ lagi, meskipun dalam bentuk yang berbeda dan lebih modern. Dan bukan kembali kepada hal yang esensi yaitu ‘tubuh’. Kerap kali aku mendengar orang berdoa, “Tuhan, hadirlah di tempat ini, di ruangan ini” [kenyataannya Tuhan memang hadir di mana-mana] dan bukannya berdoa supaya Tuhan hadir di dalam pribadi orang-orang yang berkumpul di dalamnya dan melawat mereka. Sehingga ritual keagamaan pun dilakukan seperti menumpangkan tangan satu persatu ke kursi-kursi yang sudah disiapkan, dan mengklaim seakan-akan hanya di tempat itulah Tuhan melakukan mujizat. Kalau begini keadaannya, gereja bisa jadi mengalami kemunduran.
Ruangan boleh sama, tapi atmosfernya berbeda.
Ketika lawatan Tuhan menyapu Wales – Inggris pada tahun 1904 [kalau tidak salah], banyak tempat yang mungkin tidak kita kira dilawat Tuhan. Orang-orang yang sedang mabuk di tempat hiburan tiba-tiba menangis dan bertobat serta kembali kepada Tuhan. Orang-orang yang sedang berselingkuh di kamar hotel tiba-tiba dilawat Tuhan sehingga mereka menangis dan minta ampun sama Tuhan. Bahkan aku pernah membaca kisah seorang hamba Tuhan ketika diutus mengunjungi sebuah bar. Di dalam bar tersebut matanya tertuju pada seorang wanita. Dan Tuhan berbicara kepada hati kecilnya, “Kamu hampiri wanita itu, dan menarilah bersamanya. Karena aku mau berperkara dengan wanita itu. Namun sebelum menari, berdoalah terlebih dahulu.” Kemudian ia menghampiri wanita tersebut seraya bertanya, “Bolehkan aku menari denganmu?”’ O, tentu saja,” jawab wanita cantik tersebut. “Tetapi bolehkah sebelumnya aku berdoa terlebih dahulu, karena aku biasanya memulai segala sesuatu dengan doa.” Dan wanita itu mempersilakannya. Anda tahu apa yang terjadi? Ketika hamba Tuhan itu berdoa, wanita itu dilawat hadirat Tuhan yang kuat. Tiba-tiba ia menangis dan diingatkan akan dosanya selama ini. Hari itu ia “berjumpa” dengan Tuhan dan hidupnya berubah. Namun Anda jangan coba melakukannya jika tidak kuat iman he he he…
Tidak ada yang salah dengan kita berkumpul beribadah di bangunan gedung gereja, bioskop, hotel atau apapun. Kenyataannya kita bisa berkumpul di mana saja. Bahkan kalau tidak ada tempat lain lagi, kita bahkan bisa menyewa ruangan diskotik untuk beribadah. Ruangannya boleh sama, tapi atmosfer-nya yang berbeda. Terkadang orang Kristen menganggap tempat-tempat semacam itu najis dan tidak layak ditempati. Come on, man… bukan ruangannya tetapi siapa orang-orang yang ada di dalamnya. Kalau kita mau jujur, Alkitab justru menulis bahwa Yesus banyak mengubah hidup orang bukan ketika di berada Bait Allah. Sebut saja; Dia berkhotbah di bukit, Dia melakukan mujizat pertama di resepsi pernikahan, Dia memberi makan lima ribu orang di lapangan [kalau dalam Bait Allah mana cukup ruangannya?], Zakheus berjumpa dengan-Nya di jalan bahkan wanita Samaria yang menganut poliandri [lawan dari poligami] berjumpa Yesus di sumur. Nah loh…
Kalau aku renungkan dan baca Bible dengan seksama, Yesus TOP BGT!!!!!!!! Dia banyak melakukan hal yang tidak lazim sama sekali. Dia melewati tembok agama yang dibangun para imam dan ahli Taurat selama ini. Meskipun demikian, Dia tidak alergi berada di dalam Bait Allah. Ia tetap mengajar di dalam Bait Allah dan berdiskusi dengan para imam dan ahli Taurat. Bahkan Ia sudah melakukannya sejak berusia 12 tahun. Ia bersikap inklusif, bukan eksklusif. Ia merangkul dan mengundang semua kalangan. Dan, banyak orang takjub serta terpikat kepada-Nya. Sehingga hal ini menimbulkan rasa cemburu para imam dan ahli Taurat.
Para imam dan ahli Taurat memiliki paradigma bahwa Bait Allah adalah bangunan yang dibangun selama 46 tahun. Tidak heran ketika Yesus menghadirkan paradigma baru bahwa Bait Allah itu adalah tubuh-Nya sendiri, mereka berusaha untuk membinasakan Dia. Berapa sering ketika membaca Bible kita mendapati bahwa mereka berulang kali berusaha mencoba untuk membunuh Yesus. Betapa mengerikan ketika pikiran seseorang terkungkung dalam pola agamawi dan ritual-ritual, cara-cara dan metode-metode manusia. Dia bisa “membunuh” orang lain.
Ketika aku masih sering naik angkutan umum, aku terkadang merasa hadirat Tuhan lebih kuat di bis kota ketika ada pengamen menyanyi lagu-lagu rohani dan dapat didengar semua kalangan, dibandingkan di gereja dengan pola yang itu-itu saja.
Pagi ini, dalam sebuah perenungan aku diingatkan kembali untuk kesekian kalinya bahwa Bait Allah yang sesungguhnya itu adalah tubuh kita, hidup kita sendiri. Meskipun aku yang notabene orang gereja, masih ke gereja dan bahkan pelayanan di gereja, aku tidak boleh berpikir sama seperti para imam dan ahli Taurat berpikir. Sebab aku bisa saja "terhilang sementara melayani". Namun pagi ini - untuk kesekian kalinya- aku belajar dari Sang Guru Agung, Yesus bahwa tubuh kitalah Bait Allah yang sesungguhnya. Tubuh juga bukan dalam arti fisik saja, tetapi kehidupan yang ada di dalamnya. Kemanapun kita berada Bait Allah ini mengikuti kita, karena ia ada di dalam diri kita. Itulah sebabnya Kerajaan Allah seharusnya ada di mana-mana. Kitalah Bait Allah itu. Di mana ada orang percaya berada dan berkumpul, di situ seharusnya Kerajaan Allah hadir. Di panggung hiburan, di lapangan hijau sepakbola, di pentas politik, di dunia kerja, di pasar dan di mana saja. Hadir dan memberikan warna baru sehingga orang dapat merasakan manisnya buah dari perubahan paradigma tentang ‘Bait Allah’.
*****
- Kendrick Sumolang's blog
- 5984 reads
great...