Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Tanggul Tempoe Doeloe
Beberapa waktu lalu, aku sengaja pergi ke kawasan tanggul yang ada di dekat rumah nenek. Dulu, sebelum keluargaku pindah ke daerah Mojosongo di bagian utara kota Solo, aku menghabiskan masa kecilku di rumah ini, di derah Dawung Kulon selatan kota. Tanggul ini sudah berdiri lama. Mungkin dibangun pada zaman Belanda. Sempat jebol sekitar tahun 60-an, yang berimbas pada terjadinya bencana banjir bandang di Solo.
Saat saya menengok tanggul, ternyata kawasan tanggul sudah banyak berubah. Tanggul telah berubah menjadi kawasan pemukiman padat. Terlalu banyak perubahan terjadi hingga hampir tidak tampak lagi sebagai tanggul seperti yang saya kenal dulu. Hanya tinggal bangunan pintu air yang masih tampak tetap sama, berdiri kokoh di sana.
Aku ingat dulu ketika tanggul masih berupa tanggul yang indah dan bersih, setiap sore banyak ibu-ibu yang berjalan-jalan di sekitar pintu air, mengajak anak-anak mereka yang masih kecil sambil menyuapinya makan. Aku dan teman-teman sering bermain luncuran di pinggiran tangga bangunan pintu air. Kebetulan Sekolahku, SDN 70 ada di dekat situ.
Tanggul adalah tempat bermain ku. banya kenangan-kenangan indah masa kecilku dulu terukir di tanggul ini. Aku ingat, dulu kawasan tanggul memang indah. Jalan di atas tanggul tertutup oleh batu-batu kecil yang tertata rapi, hingga terlihat bersih dan tidak becek diwaktu hujan. Sisi-sisi tanggul tertutup rumput hijau, aku sering bermain luncuran dengan pelepah pisang ditebingnya. Atau tiduran di rumput sambil memandang langit yang biru terbentang.
Jika musim layangan tiba, tanggul pasti dipenuhi anak-anak yang bermain layangan. Tidak hanya anak-anak, bahkan bapak-bapak juga sering mengadu layangan di sana. Di antara tanggul dan sungai di sisi selatan terbentang tanah landai yang cukup luas. Kami sering menggunakannya untuk bermain bola, atau membuat gundukan-gundukan untuk bermain trek-trekan dengan sepeda. Kadang di bulan Agustus warga sering memakainya untuk melakukan berbagai lomba tujuh belasan di sana.
Di sisi selatan tanggul, terdapat sungai dengan airnya yang jernih. Di musim kemarau, ketika air sungai surut aku dan teman-temanku sering bermain air, mandi di sungai sambil mencari ikan-ikan yang terjebak diantara batu padas. Tentu saja dengan sembunyi-sembunyi. Karena kalau ketahuan bibiku, aku bisa dimarahi dan dijewer. Karena itu usai bermain di sungai, sebelum pulang kami suka duduk-duduk di ngarai tanggul sambil mengeringkan baju. Sebrang selatan sungai, merupakan daerah pertanian. Sejauh mata memandang terhampar persawahan hijau. dari kejauhan tampak gunung Merapi dan Merbabu berdiri gagah berdampingan. Saat musim ulangan, sering kami menyeberangi sungai, bermain di sawah, duduk-duduk santai di gubuk untuk belajar, sambil menikmati semilirnya angin. Kadang kami sampai tertidur. Yang paling indah adalah duduk-duduk di atas ketika senja, semua tampak berkilau kekuningan oleh cahaya matahari yang mulai terbenam di ufuk barat, menghilang di antara Merapi dan Merbabu.
Agak jauh ke selatan lagi, terdapat perkebunan tebu. Sesekali kami pergi ke kebun tebu. Oleh para CB (polisi kebun tebu) kami dibolehkan mengabil tebu dengan syarat harus dimakan di sana dan tidak boleh dibawa pulang. Sekarang perkebunan tebu itu sudah tidak ada, berubah menjadi kawasan pemukiman serta pesantren Al-Mukmin yang terkenal itu.
Kini semua hanya tinggal kenangan. Tanggul yang sekarang sudah berubah wujud menjadi kawasan pemukiman padat dan sumpek. Sungai yang dulu jernih sudah menjadi keruh dan bau. Aku sendiri heran, bukankah daerah itu merupakan daerah aliran sungai yang tidak boleh dimukimi karena berbahaya.
Aku ingat awalnya dulu, ada tetanggaku, Mbah Darmo namanya, yang mencoba memanfaatkan tanah di sekitar tepi sungai untuk berkebun. Mulai dari menanam beberapa pohon pisang dan sayuran yang ternyata tumbuh subur. Mbah Darmo lalu memagari kebunya itu agar tanamannya tidak dirusak oleh binatang. Selang berjalannya waktu, ia kemudian mulai membangun gubuk kecil yang kemudian malah menjadi tempat tinggalnya. Kelakuan Mbah Darmo ini kemudian diikuti oleh beberapa orang, yang juga mulai ikut menanami tanah landai di sisi selatan tanggul dengan berbagai tanaman sayuran.
Cuma itu yang saya tahu, selebihnya saya tidak tahu, karena kemudian saya harus pindah rumah ke ujung utara kota. Tak disangka ternyata semakin banyak orang yang mengikuti jejak Mbah Darmo. Tidak hanya gubuk dan kebun, bahkan sudah banyak rumah semi permanen dn permanen yang berdiri. Yang mengherankan saya, ternyata instalsi listrik juga masuk ke sana. Jadilah tanggul menjadi kawasan pemukiman baru.
Memang susah memiliki tanah kosong yang luas di Solo. Jika tanah itu hanya dianggurkan, dijamin lama-kelamaan akan dikapling para pemukim liar. Tidak hanya di kawasan tanggul, di sekitar UNS, dan beberapa tempat yang lain juga mengalaminya. Bahkan kawasan monumen Banjarsari sekarang sudah berubah fungsi menjadi pasar klitikan yang dipenuhi bangunan kios-kios semi permanen.
Para pemukim ini memang cukup cerdik. Biasanya, setelah tanah kosong dimukimi, mereka lalu membangun sarana ibadah di sana, entah gereja atau mesjid, tapi biasanya sih mushola yang dibangun. Mereka berharap dengan adanya bangunan tempat ibadah, maka mereka akan sedikit aman jika kemudian tanah tersebut disengketakan. begitulah praktek yang selama ini saya lihat. Yang lebih lucu, ternyata tanah tersebut juga bisa diperjual-belikan meskipun tanpa sertifikat resmi. Itulah yang membuat Pemda agak kesulitan untuk menertibkan. Karena sebagian pemukim merasa berhak atas tanah yang dalam kenyataanya mereka beli entah dari si A atau dari si B.
Mungkin akan lebih mudah jika dulu, Pemda bisa bertindak tegas. Dulu, ketika mulai terjadi pengaplingan dan bukan sekarang, ketika semuanya sudah menjadi begitu kompleks.
Begitulah Solo... saya hanya bisa berharap semoga kita semua bisa belajar dari pengalaman.
Dan kawasan tanggul ... bagiku tanggul adalah saksi indahnya masa kecil ku.
Dan sekarang semua sudah berlalu, Saya cuma bisa mengenang, betapa indahnya tanggul tempo dulu.
kalau saya tida ada di rumah, cari saya di sini
- Waskita's blog
- 5128 reads
Tempoe Doeloe