Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Tahun Baru (1)
Di tepi tebing sungai, nampak samar dari celah daun-daun hijau, langit merah muda, menghantar matahari kembali keperaduannya. Bila dapat memandangnya dari tengah sungai pastilah akan tampak jelas garis-garis cahaya merah muda yang indah karya Maha Agung itu.
Senja indah milik setiap mahluk yang mampu mengetahui keberadaannya. Ketika itu kaki kecilku berlari kesana kemari mengitari jalan setapak yang terletak di mulut tebing. Menari diiringi irama dentuman yang saling bersahutan, menciptakan gejolak di hati.
Kaki kecilku tak ingin berhenti, terus berlari, mendekat kemudian menjauh dari potongan bambu-bambu yang berjejer di sepanjang tebing, sumber dentuman dasyat memekak telinga.
Kebebasan senja di mulut tebing, tak ada yang melarang kami berlari dan berteriak, kerena senja itu kini menjadi milik kami.
Terlalu lama ternyata aku berlari, terasa dari kakiku yang sudah mulai terasa letih dan tubuhku yang telah bermandi keringat. Membuatku terpaksa harus kembali ke rumah untuk beristirahat sejenak, memulihkan keletihanku. Namun tidak demikian yang ku rasakan, setelah meneguk beberapa gelas air, aku malah merasa ingin berbaring, sehingga akupun berbaring kemudian tertidur lelap.
Beberapa jam melayang ke dunia mimpi. Tiba-tiba dari kejauhan, terdengar samar suara jeritan merintih, yang kemudian terdengar sangat jelas. Suara jeritan itu seolah mengancamku.
Seketika aku tersentak, terjaga dari tidurku. Namun aneh, pada alam alam sadar teriakan itu masih terbawa.
Tanpa berfikir panjang, dengan segera aku mencari sumber suara itu. Melangkah, berjalan ke arah jendela kamar, dan membukanya, berharap segera menemukan sumber suara itu, meski dengan sedikit rasa was-was, karena kuatir suara itu memang sedang mengancamku.
Dari balik celah jendela yang hanya sebagian ku buka, sekilas terlihat sesuatu bercahaya, berlalu dari arah depan rumah menuju ke belakang rumah diiringi suara teriakan. Aku yakin itulah sumber suara yang baru saja membangunkanku.
Berusaha meyakinkan diri bahwa tidak sedang bermimpi, aku menepuk wajahku berkali-kali, rasa perih di bagian pipiku akhirnya meyakinkanku bila saat ini tidak sedang bermimpi.
Segera aku melangkah ke depan rumah, membuka pintu kemudian berlari menuruni tangga rumah. Mendengar teriakan lain dari arah tebing tempat kami bermain senja tadi, aku pun memutuskan mengarah ke sana. Karena mungkin di sana aku akan lebih aman dengan beberapa orang yang tengah berlari tak beraturan.
Disana, dalam dalam kegelapan, nampak dari sorotan cahaya samar-samar dari lampu rumah-rumah di sekitar, orang-orang di sana nampak panik, menambah kepanikanku yang sedari tadi hampir menghentikan denyut jantungku.
Langsung saja aku menghampiri bayang-bayang di bawah pepohonan itu, berharap dapat mengetahui apa yang sedang terjadi. Sesampai di sana aku tak sempat bertanya, aku hanya diberi kesempatan mendapat jawaban dengan mengikuti arah bayang-bayang itu membawaku turut berlari ke belakang rumah-rumah yang berjejer mengikuti jalan.
Aku tak percaya dengan apa yang sedang aku saksikan, kobaran api, sedang membakar sesuatu yang bergerak. Sadar bila sesuatu itu adalah seorang anak sebayaku, aku terpaku, tak mampu berteriak dan bergerak lagi.
Kekuatan api yang tadi terang menderang itu, terlihat melemah. Karena baju yang baru saja ia makan telah habis terbakar. Sehingga api yang masih tersisa dengan mudah dipadamkan. Meninggalkan tubuh lemah tak berdaya.
Menyaksikan hal itu, aku tak dapat berbuat apa-apa, kakiku serasa tak lagi berpijak pada tanah, badanku lemah. Namun tidak demikian dengan mataku, yang tetap saja terbuka, menyaksikan tubuh itu diangkat, melewatiku, menyisakan tangisan pilu dan bau rambut terbakar, entah mungkin juga bau daging masak.
Masih mematung, seseorang menarik tanganku, membawaku melangkah bersamanya. Hingga akhirnya aku kembali menginjakkan kaki di rumahku.
Orang yang kemudian aku ketahui adalah mamaku itu, segera memberiku segelas air. Sepertinya mama baru saja pulang dari gereja, sehabis mengikuti ibadah tutup tahun. Karena dari depan terdengar suara orang ramai, seperti biasa bila orang-orang pulang dari gereja melewati jalan di depan rumahku.
Suara-suara yang kemudian menghilang begitu saja dari pendengaranku, tanpa ku ketahui arahnya, aku tak sadar lagi sadar.
***
Pagi aku terbangun, perasaan asing meliputiku, aku seperti baru saja melewati mimpi panjang yang mengerikan. Kesadaranku yang perlahan kembali, mengingatkanku pada kejadian semalam.
Mendengar ramai suara di sebelah rumah, aku pun berusaha untuk berdiri, ingin tau apa yang sedang terjadi. Dari balik jendela kamar, aku melihat ramai orang berkunjung di rumah yang tepat bersebelahan dengan rumahku.
Mama yang baru terlihat dari sana, menghampiri dan berdiri disampingku.
Dengan perlahan, mama menjelaskan apa yang telah terjadi semalam.
Mendengar penjelasan mama, aku merasa sekujur tubuhku kembali serasa berada di atas angin. Aku menyangka bila semalam yang terlihat oleh mataku adalah Luat, seorang teman yang bermain bersamaku senja kemarin.
Siraman bensin pada tubuhnya mengakibatkan api dengan lahap menyambar tubuhnya.
Kejadian yang terjadi ketika seorang teman berusaha memanjat sebuah pohon yang berada tepat di samping Luat yang sedang duduk mengerjakan meriam bambunya, yang sedang dikobari api.
Belum lagi ia sempat duduk disebuah cabang pohon, akinya terpeleset. Tanpa dapat dihindari, tangan yang memegang potongan jerigen 5 liter berisi bensin, tergoyang dan menumpahkan bensin tepat ke belakang tubuh Luat.
Dalam sekejap, api dari dalam meriam bambu langsung menyambar, membakar bagian belakang baju dan rambut Luat.
Mendengar cerita mama, teringat jelas kejadian senja kemarin. Ketika mama memintaku mengambil beberapa batang serai yang ditanam di belakang rumah. Ketika sedang mencabut batang-batang serai, sekilas aku melihat Luat berada di atas serambi belakang rumahnya, sedang menumpahkan bensin dari jerigen 20 liter ke dalam potongan jerigen 5 liter.
Waktu itu aku hanya diam, karena sibuk dengan batang-batang seraiku. Hanya sempat terdengar dia mengajakku, menyaksikan meriam bambu miliknya yang akan terdengar lebih nyaring dari meriam bambu teman lain, karena menggunakan bahan bakar bensin.
Setelah menyelesaikan pekerjaanku, dengan segera aku berlari ke arah mulut tebing, tak sabar ingin mendengar kebenara kata Luat.
Benar yang dikatakan Luat, meriam bambu miliknya, berdentum lebih keras dari pada milik teman teman lain, yang hanya menggunakan minyak tanah. Kami anak-anak perempuan tidak memiliki meriam, sehingga kami hanya dapat menyaksikan meriam-meriam itu dari jarak sedikit jau.
***
“Seandainya bukan bensin tentu kejadiannya tidak sampai seperti itu” , kata mama lagi.
Aku masih terdiam, tetap memandang ke rumah sebelah. Samar-samar terdengar rintihan, rintihan kesakitan. Ingin sekali aku mengetahui keadaannya. Entah keberanian dari mana, aku akhirnya melangkah ke rumahnya. Orang-orang tua dan anak-anak telah memenuhi rumahnya. Badanku yang kecil, memudahkanku untuk menyusup hingga ke pintu kamar, tempat di mana Luat di baringkan.
Beberapa kali menarik nafas tak juga membuatku tenang. Sulit dipercaya, aku melihat tubuh berbalut kulit merah, kehitaman melepuh berbaring di atas helaian daun-daun pisang. Beberapa orang terlihat sedang mengipas-ngipas tubuh itu. Karena tak tahan melihat lebih lama aku kemudian keluar dan kembali ke rumah.
Aku benar-benar sedih mengetahui keadaan Luat, pasti ia kesakitan sekali, kesakitan yang sangat, yang tak dapat ku bayangkan.
***
Daun pisang yang digunakan sebagai alas tempat Luat dibaringkan ternyata berfungsi sebagai alas agar kulit-kulitnya yang telah melepuh tidak lengket atau tergersek pada kain atau tikar tempat di mana Luat dibaringkan. Demikian penjelasan yang aku dapat dari mama.
***
Karena di kampung hanya ada puskesmas, tempat pengobatan penyakit ringan, maka keluarga Luat memutuskan, untuk membawanya ke kota supaya segera mendapatkan perawatan dan pengobatan lebih baik.
Tidak ingin menunggu terlalu lama, tubuh Luat pun segera diangkat dengan tandu bambu yang dilapisi daun pisang. Aku dan teman-teman lain telah berjejer di sepanjang jalan setapak yang merupakan jalan dari rumah Luat menuju sungai.
Aku tak akan pernah lupa dengan wajah-wajah tegang teman-teman yang bersamaku saat itu. Kami sama-sama terpaku, menyaksikan iringan tandu yang lewat di depan kami.
Sosok tubuh melepuh, merah kehitaman itu, membuat airmataku yang sedari tadi tertahan kini tumpah deras. Aku samasekali tak menyangka, baru kemarin kami bermain, tertawa dan berteriak bersama.
Suara ketinting dari arah sungai pun terdengar, iring-iringan yang mengantar kepergian Luat, dengan perlahan berpencar meninggalkan jalan setapak, menyisakan kesunyian dan harapan yang terhantar.
Bersambung ke Tahun Baru (2)
Lakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia ...
- ely's blog
- Login to post comments
- 4467 reads
"Musibah mercon bumbungkah..?"
Wah ini juga pernah terjadi betulan dikampungku sekitar 25 tahun lalu sewaktu masa kanak - kanankku dulu,sungguh mengerikan permainan yang cukup berbahaya.
Dulu aku menyebutnya "mercon bumbung" karena terbuat dari batang bambu sebagai meriamnya dan karbit sebagai mesiu dikombinasikan dengan air.Bila disulut menghasilkan dentuman yang cukup keras bak meriam betulan.
Ini true stori penulis atau karangan ya...?
salam kenal buat 3m1 dariku...
GBU
@Kaswan,
Lakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia ...