Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Seorang Dukun dan Anak yang "Diculik Setan"
"Ada anak kecil diculik setan," kata adikku penuh semangat. Ia yang tidak seharusnya keluar rumah setelah makan malam memang pantas mendapat sebutan wartawan keluarga. Apapun yang terjadi di kampung, ia pasti tahu. Telinganya ada di mana-mana, sehingga kalau kebetulan duduk di teras dan melihat Dein masuk ke dalam rumah, kakek suka menggodanya dengan pertanyaan, "Siapa lagi yang meninggal hari ini?"
"Siapa?" tanyaku berpura-pura tidak tertarik. Hanya sebuah akal-akalan, karena kalau orang terlalu bersemangat dan penasaran, ia pasti menahan dulu apa yang akan diceritakannya.
"Riou!" jawabnya, "kamu pasti tidak kenal, putrinya Pak Pendi. Umurnya baru lima tahun; Sudah menghilang sejak senja tadi setelah bermain di bawah rumah. Sekarang orang lagi mencarinya ke arah matahari terbenam, karena kata Pak Tiyo, setan membawa Riou menuju ke arah kematian."
Waktu itu, sebagai anak kelas lima SD, aku belum tahu tentang aturan "Apa Siapa Bagaimana Mengapa dan Dimana" dalam penyampaian berita. Sekarang, setelah kami sama-sama dewasa dan Dein sudah berkeluarga, aku menyadari ia memang punya bakat menjadi wartawan. Tanpa sempat menghela nafas panjang, ia telah memenuhi syarat penyampaian sebuah berita.
Sekilas melirik jam di dinding ruang tamu. Sebuah jam yang selalu berdentang sepuluh menit sebelum waktunya. Kata ayah ada baiknya segala sesuatu lebih cepat dari seharusnya, tetapi kami tahu alasan sebenarnya, ia tidak pernah berhasil membuka kaca penutup jam itu sehingga tidak bisa menggerakan jarum panjangnya sepuluh menit ke depan. "Dua puluh menit lagi jam ini berdentang tujuh kali." kataku dalam hati, mempertimbangkan akibat yang akan terjadi bila keluar rumah di atas jam setengah tujuh malam.
Tidak ada acara pernikahan atau hajatan sehingga tidak akan ada alasan keluar malam-malam, tetapi ikut mencari orang yang diculik setan sepertinya alasan yang cukup masuk akal. Aku tahu adikku yang tadi keluar karena mendengar ada ribut-ribut di jalan, saat ini sedang mencari teman untuk pergi ke rumah Pak Pendi. Kami sering melakukannya, bersekongkol sehingga tidak harus menanggung kemarahan itu sendirian. Membuat ibu kadang bercerita sama tetangga kalau mengurus dua anak laki-lakinya ternyata sama repotnya dengan mengurus enam anak perempuannya yang lain.
"Tidak usah bilang Ibu ya." kataku, tentu saja diiyakan Dein. Walaupun demikian kami tetap menitip pesan sama Deni, adik perempuan nomor enam yang masih kelas satu. "Nanti kalau Mamah mencari, bilang kami ikut membantu mencari orang yang diculik setan."
"Tidak mau!" teriaknya, tetapi kami tidak peduli, ia pasti melakukan tugasnya dengan baik. Tidak ada harapan lain, si kembar tidak bisa diharap, karena masih terlalu kecil. Sedangkan kakak-kakak kami tidak masuk akal, karena sebelum lenyap di tikungan, kami pasti sudah mendengar teriakan ibu. Sekarang yang penting sudah ada yang akan mengatakan kemana kami pergi pada saat ibu menyadari kedua anak lelakinya sudah tidak kelihatan batang hidungnya. Ia tidak akan mencari kemana-mana, hanya akan menunggu di rumah dan membuat beberapa persiapan. Tidak masalah, karena ada orang diculik setan adalah sebuah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan begitu saja. Semuanya baik-baik saja selama kami pulang sebelum ayah kembali dari latihan paduan suara di gereja.
Rumah Pak Pendi jauhnya hanya satu kilometer, terang benderang dan penuh tamu. Beberapa orang berdiri sambil mengobrol di depan rumah yang terasnya bisa disentuh dari pinggir jalan. Dari apa yang kudengar, mereka ini kelompok yang baru saja kembali dari arah matahari terbenam. Sudah mencari-cari sampai masuk ke hutan, tetapi tidak menemukan apa-apa sehingga memutuskan kembali saja. Berharap kelompok yang melawan anjuran Pak Tiyo, dukun kampung kami, bernasib lebih baik. Kelompok satunya itu memang bergerak ke arah matahari terbit, padahal dukun kampung menyuruh semuanya bergerak ke arah matahari terbenam.
Kami mengenal dua sistem arah, arah aliran sungai dan arah matahari terbit atau terbenam. Arah aliran sungai dipakai dalam kehidupan biasa, sedangkan arah matahari dipakai dalam hal-hal yang berhubungan dengan alam gaib. Arah matahari terbit yang disebut arah kehidupan digunakan jika orang mau menyembelih ayam. Ia harus mengarahkan kepala ayamnya ke sana, sehingga ayam sial itu tidak harus mati dalam kesialan. Orang sakit dan orang mati juga harus menghadap ke arah ini. Arah sebaliknya, arah matahari terbenam yang disebut arah kematian berhubungan dengan nasib sial, kejahatan dan kegelapan. Bahkan orang yang melakukan kejahatan akan melarikan diri ke arah ini, karena ia tahu di arah sebaliknya ia akan bernasib lebih sial lagi. Itulah sebabnya dukun kami menyuruh orang bergerak ke arah kematian. karena jika setan menculik seorang anak kecil, ia pasti membawanya ke arah kematian, sebab disanalah ia tinggal.
Ada yang tidak yakin kelompok satunya berhasil, lalu mengusulkan bagaimana kalau meminta bantuan dukun lagi. Bukan hanya meminta arah kepergian setan, karena anak yang baru lahirpun pasti sudah tahu setan selalu pergi ke arah matahari terbenam. Mereka perlu tahu dimana tepatnya setan akan menyembunyikan anak yang diculiknya, kalau tidak bisa-bisa semua orang harus berjalan ke arah matahari terbenam sampai mati.
Semua sepakat lalu meninggalkan rumah yang masih terang benderang. Aku dan Dein ikut bergabung dengan rombongan yang bergerak ke arah kuburan ini, di dekat situlah rumah Pak Tiyo. Semua orang membawa lampu senter, kecuali kami berdua. Di tengah jalan kami berpapasan dengan kelompok yang barusan mencari ke arah matahari terbit. Semua orang lalu berhenti.
Ada sebuah aturan tidak tertulis, jika orang saling berpapasan di kegelapan malam, dan sama-sama membawa senter, tidak seorangpun boleh mengarahkan senternya ke arah orang yang dipapasi. Masing-masing harus mengarahkan senternya ke bawah, sehingga menerangi dirinya sendiri. Jadi, sekarang kami hanya bisa melihat kaki-kaki sekelompok pria yang berdiri di depan kami.
"Ketemu tidak?" teriak salah seorang dari rombongan kami.
"Tidak!" aku sangat mengenal suara itu, suara ayah. "Kami pikir kalian sudah menemukannya."
"Kami mau ke rumah Pak Tiyo lagi. Kita harus tahu tepatnya anak itu akan dibawa kemana." kata Pak Dempak, ketua RT. Bersyukur juga ada beberapa anak sebaya yang ikut dalam rombongan, sehingga ayah mungkin tidak memperhatikan kami.
"Hau,... hau,... Nak!" kata ayah yang sedang melanggar aturan tidak tertulis. Ia mengarahkan senternya langsung ke muka kami berdua secara bergantian. Tidak ada gunanya bersembunyi, ia melihat kedua anak laki-lakinya, "Mamah kalian tahu kalian disini?"
"Sudah bilang ke Deni." jawabku, berharap ayah tidak banyak bertanya. Urusan keluarga bisa diurus belakangan.
Seseorang menyelamatkan kami, Pak Pendi, ayah anak yang diculik setan mendekati ayah. Bertanya apakah ayah mau ikut ke rumah pak dukun. Ayah setuju, ternyata ia yang memimpin rombongan kedua. Ia juga tidak punya pilihan selain tetap mengijinkan kami berdua ikut ke sana, asal tidak jauh-jauh darinya. Lalu berkata kami tidak boleh ikut masuk hutan setelah pulang dari rumah pak dukun, tetapi langsung pulang kerumah.
Sudah tinggal seratus meter dari kuburan ketika seseorang berlari di belakang, sepertinya menyusul kami. Terengah-engah berkata anaknya Pak Pendi sudah ketemu. Tadi sore bertengkar dengan kakaknya, lalu mengambek dan pergi ke belakang rumah. Bersembunyi di bawah pohon durian, di pondok yang biasa digunakan waktu menunggu durian jatuh. Ia ketiduran di sana, lalu terbangun karena banyak nyamuk dan menangis ketakutan karena kegelapan di sekelilingnya.
Semua orang tertawa, dan siap-siap pulang ketika tiba-tiba Pak Dempak, ketua RT berkata, "Kita ini nanggung, sudah sampai di sini. Bagaimana kalau tetap saja ke rumah si Tiyo, pura-pura bertanya di mana anak itu? Supaya kita tahu apakah ia memang layak menjadi dukun di kampung ini."
Kecuali Pak Pendi yang ingin segera melihat anaknya, semua yang lain setuju. Hanya ia yang kembali ke rumah, bahkan pembawa pesan tadi ikut bergabung dengan rombongan kami.
Untuk pertama kali aku tidak berkeringat dingin melewati kuburan. Bulan yang sedikit memancarkan sinarnya membuat beberapa atap kuburan tampak mengerikan. Deretan salib di kuburan yang tidak beratap tampak seperti sosok angker, membuat bulu tengkukku akhirnya berdiri juga. Bersyukur ada ayah di belakang.
Kami semua masuk ke rumah pak Tiyo, sebuah rumah sederhana. Tuan rumah menerima kami dengan pakaian hitamnya, pakaian yang menjelaskan mengapa istrinya yang membukakan pintu tadi. Pasti ia masuk dulu ke dalam kamar untuk memakai pakaian serba hitam ala dukun.
Tidak ada kursi di ruang tamu, kami semua duduk di lantai. Aku dan Dein duduk mengapit ayah, sama-sama bersandar di dinding papan. Pak dukun duduk di tengah-tengah ruangan, membakar sejenis kemenyan yang baunya membuatku sedikit merinding. Ruangan yang hanya diterangi lampu templok membuat wajah semua orang hanya tampak samar-samar, membuat suasana tambah menakutkan. Tidak ada kata-kata, bahkan tidak ada yang menjelaskan maksud kedatangan ini, Pak Tiyo juga tidak bertanya. Seolah-olah sebagai dukun ia sudah tahu pasti maksud kedatangan ini, mencari informasi yang lebih lengkap.
Pak Tiyo menggumamkan sesuatu yang tidak kami pahami, sejenis bahasa yang mungkin hanya digunakan untuk berbicara dengan makhluk dunia lain. Suaranya sama sekali berubah dan seolah-olah bergetar. Lama kelamaan seperti muncul sebuah tanya jawab, dua suara berbeda sedang bercakap-cakap dengan satu mulut. Satunya suara asing yang pertama tadi, tetapi yang satunya lagi terdengar lebih berat dan bergetar serta berwibawa. Membuatku makin merapatkan tubuh kepada ayah.
"Kalian harus tetap mencari anak ini ke arah matahari terbenam. Tetapi sekarang kalian harus mencarinya sambil memukul sebuah gong serta berteriak-teriak memanggil namanya." kata Pak Tiyo setelah tanya jawab itu selesai. Sebelum berkata-kata dengan suara normal ini, ia sempat berdiam diri selama beberapa menit dengan mata terpejam.
Dulu aku tidak mengerti, mengapa semua orang tidak mengatakan kepada Pak Tiyo bahwa anak yang dikira diculik setan sudah ditemukan. Semua orang meninggalkan rumah itu tanpa menjelaskan maksud kedatangan ini sebenarnya hanya untuk menguji kemampuannya. Kalau memang ia dukun sakti, ia pasti tahu anak itu sudah ditemukan dan bukan hilang diculik setan. Dalam perjalanan pulangpun tidak ada yang membahasnya, semua orang diam atau membicarakan topik lain, seperti mengatakan betapa tidak enaknya berjalan di jalan berbatu yang tidak beraspal.
Kamipun pulang. Karena pulang bersama ayah, ibu tidak terlalu marah. Ia berkata, "Mengapa kalian tidak bilang langsung kalau mau keluar?" Tetapi ia tidak mengejar kami. Ibu sedikit tertarik pada cerita si Dein, cerita yang kutahu beberapa bagian ditambahnya sendiri, seperti cerita ini juga. Kakak perempuan semuanya ikut berkumpul di ruang tamu mendengar cerita petualangan kami. Deni sudah tidur, apalagi si kembar. Tidak masalah, karena mereka masih terlalu kecil untuk mendengar cerita itu.
- anakpatirsa's blog
- 6198 reads
hohohohoho