Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
"Sedan Hijauku" Hilang
Sedan Hijauku Hilang
Cerpen: Purnawan Kristanto
Memandang keluar dari jendela bis, aku melihat banyak perubahan yang terjadi di kampung halamanku. Aku menyaksikan banyak yang sudah berubah sejak aku meninggalkan kabupaten Gunungkidul sejak dua puluh tahun yang lalu. Jalannya masih berliku-liku, namun sudah mulus dengan aspal hotmix. Angkutan umum dari Jogja ke Wonosari juga sudah banyak. Kata sopir yang kutumpangi, setiap 3 menit sekali ada bis yang berangkat dari terminal.
Dulu, jumlah kendaran umum masih sedikit. Meski seluruh kursi sudah terisi penuh, sopir belum juga menjalankan kendaraannya. Dia masih akan menjejalkan penumpang sehingga deretan kursi untuk empat orang, harus diisi lima penumpang. Itu saja masih ditambah bangku kecil yang disebut dingklik yang diletakkan di dekat pintu samping. Penumpang yang tidak mendapat tempat duduk harus bergelayutan di pintu mobil atau duduk di atap mobil.
Mobil berjalan terseok-seok meninggalkan jejak asap dan debu. Perjalanan menyelusuri punggung bukit kapur itu sungguh menyiksa. Kami melewati jalan-jalan yang berkelok-kelok dengan tanjakan yang curam. Setiap kali mobil merayapi tanjakan, kenek selalu memegang balok kayu seukuran paha manusia. Sewaktu-waktu mobil tidak kuat menanjak, dengan sigap dia melompat turun dan menyorongkan balok itu di belakang ban supaya mobil tidak melorot. Setelah itu, sebagian penumpang harus turun supaya beban menjadi ringan. Mereka harus berjalan kaki hingga puncak tanjakan.
Aku lebih suka duduk di atap kendaraan. Meski sedikit berbahaya, tapi di tempat ini bisa menghirup udara segar. Kalau duduk di dalam, mulutku menjadi mual-mual karena menghirup hawa panas bercampur keringat penumpang. Itu saja masih ditingkahi bau minyak angin yang dioles-oleskan penumpang untuk mencegah mabuk. Apalagi kalau pas hari pasaran. Aroma belanjaan seperti ikan asin, bawang dan terasi semakin menambah pengap.
Aku menyandarkan kepalaku di sandaran jok dan mencoba memejamkan mata. Tiba-tiba wajahku terpercik air. Rupanya tetesan air hujan memercik lewat jendela bis yang sengaja kubuka. Hmmm.... aku senang mencium bau tanah kering yang tersiram air hujan. Warga desa kami selalu menyambut hujan dengan sukacita, karena itu berarti kami mulai bisa menanami ladang. Kami juga tidak lagi harus meminum air telaga yang kecoklaktan. Pada musim kemarau, belik dan sumur menjadi kering. Satu-satunya sumber air yang tersisa adalah telaga di pinggiri desa yang bersama-sama dipakai untuk mandi, mencuci baju, dan memandikan sapi. Entah mengapa, kami jarang sakit meskipun mengkonsumsi air yang tidak hiegenis itu. Mungkin ini karunia Tuhan.
Hujan mengingatkan aku pada perayaan Natal di desaku. Tidak ada perayaan Natal tanpa guyuran hujan. Dulu, aku biasa berpayung daun pisang ketika berangkat ke perayaan Natal. Sepatu kubungkus plastik, lalu aku berlari menerabas jalan berlumpur dengan bertelanjang kaki. Sampai di balai desa, barulah aku mencuci kaki dan memakai sepatu.
Sehari sebelumnya, seluruh jemaat mulai dari anak-anak sudah sibuk menyiapkan perayaan itu. Anak-anak datang ke balai desa sambil membawa kayu bakar dan gulungan daun pisang yang sudah dilepaskan dari batangnya. Kayu bakar dipakai untuk memasak.Daun pisang digunakan untuk membungkus nasi. Kaum pria sibuk menyiapkan panggung dan menata kursi. Beberapa pemuda menebang pucuk pohon cemara di hutan pinggrian desa dan menghiasinya. Ibu-ibu menanak nasi dan menyiapkan lauk-pauk. Setelah matang, nasi dan lauk dibungkus dengan daun pisang. Kedua ujungnya dilipat dan ditusuk dengan batang lidi sehingga secara sepintas seperti mobil sedan. Iti sebabnya sambil bergurau kami sering menjulukinya "sedan hijau". Nasi panas yang menyentuh daun pisang itu menimbulkan aroma masakan khas. Beda sekali jika nasi itu dibungkus dengan kertas minyak atau piring.
Natal yang sederhana, namun kami merasakan kehangatan kebersamaan sejak menyiapkan perayaan itu. Begitu memasuki bulan Desember, anak-anak Sekolah Minggu mulai giat menghapalkan ayat yang akan dipertunjukkan pada tamu undangan. Aku paling senang melatih drama anak-anak, memakai naskah buatanku sendiri. Karena berbagai keterbatasan di desa saya memanfaatkan korden jendela dan sprei sebagai jubah pemeran orang-orang di tanah Palestina.
Sudah dua puluh tahun aku tidak merayakan Natal di desa.Seperti apakah Natal di desaku? Semoga saja masih seperti dulu. Bis berhenti di simpang tiga Mbranang. Aku turun di sini.
"Selamat datang, Mas," sambut Titus yang menjemputku dengan sepeda motor. Wah, anak ini sudah menjadi pemuda, batinku. Dia pernah menjadi murid Sekolah Mingguku. Waktu kecil, badannya kurus. Perutnya buncit karena cacingan. Hidungnya sering beringus. Tapi sekarang sudah menjadi pemuda yang berbadan tegap.
"Perayaan Natal nanti malam dimulai jam berapa?" tanyaku sambil melangkah di boncengan sepeda motor.
"Jam tujuh, di gedung gereja, Mas" jawab Titus.
"Lho, biasanya di Balai Desa, to?"
"Sekarang sudah lain, Mas?"
"Lain bagaimana maksudnya?".
"Sudah tiga tahun ini kami tidak boleh Natalan di Balai Desa?"
"Lho, mengapa begitu" tanyaku heran.
"Entahlah," jawab Titus,"Katanya sih ada peraturan kalau Balai Desa tidak boleh dipakai untuk kegiatan keagamaan."
"Alasanya apa?"
"Kata pak Lurah, ini untuk menjaga kerukunan antar umat beragama."
Aku tercenung sesaat. Lho, apa hubungannya penggunaan balai desa dengan kerukunan? Bukankah selama ini semaunya baik-baik saja? Sama seperti Lebaran, perayaan Natal sudah menjadi hari besar yang dirayakan seluruh warga desaku. Setiap kali perayaan Natal, hampir seluruh warga desa berbondong-bondong Balai Desa untuk melihat pertunjukkan hiburan. Maklumlah, di desa tidak banyak hiburan. Tapi aku diberitahu Titus kalau tradisi itu sudah menghilang. Perayaan keagamaan di desaku kini hanya menjadi milik umat agama itu saja.
Sampai di rumah, berbaring sejenak untuk melepas penat. Tidak banyak yang berubah di kamarku. Poster Gabriel Batistuta, pemain bola yang kukagumi, masih terpampang di pintu lemari. Kain tirai jendela kamar juga tidak berganti. Warnanya sudah memudar, tapi bersih dan harum. Kasurnya terasa empuk. Pasti baru saja dijemur.
Menjelang petang, aku mandi. Sekarang aku tidak perlu lagi mandi di telaga karena orangtua sudah berlangganan air PAM. Airnya cukup jernih karena diambil dari sungai bawah tanah. Aku sudah tak sabar untuk segera pergi ke gereja. Hujan sudah turun sejak pukul tiga sore. Kami sekeluarga berangkat bersama-sama, menyusuri jalan desa yang sudah dikonblok..
Aha itu dia si Aris! "Selamat hari Natal. Sekarang kerja dimana?" sapaku.
Aris mengeluarkan kartu namanya. Rupanya dia menjadi Webmaster sebuah situs berita. Aku masih ingat, dulu pakaiannya selalu kusut. Kamarnya berantakan.Buku-buku berserakan di lantai. Berbagai komponen elektronik tersebar di berbagai tempat Orang ini memang jenius. Mungkin itulah sebabnya dia tidak sempat mengurus diri. Tapi penampilannya sekarang cukup rapi. Rambutnya masih panjang, tetapi diikat rapi di belakang.
Nah, itu Wahyudi, si pedagang kain di pasar Tanah Abang. Waktu kecil, dia jago main ketapel. Kami suka berburu tupai di kebun kelapa milik mbah Kromosentono. Itu ada Suwardi, yang waktu kecil suka mencari belalang kayu untuk tambahan lauk.. Wah, sekarang dia menjabat Dirjen di Departeman Keuangan. Wah, sudah sukses anak ini. Hey, bukankah itu Yuli., si ibu Bidan? Dulu, teman- teman sering menjodoh-jodohkan aku dengan gadis hitam manis ini.
Aku senang teman-temanku sudah sukses. Mereka pulang kampung dengan mengendarai. Tak lupa, mereka menggenggam Handphone model terbaru. Ada yang dilengkapi kamera digital. Ada pula yang berbentuk PDA. Selama acara berlangsung, HP mereka tak henti-henti berbunyi. Mereka terlihat sibuk membalas SMS. Mungkin itu ucapan selamat Natal dari relasi mereka.
Aku memilih duduk di pojok belakang. Acara sambutan-sambutan itu membuatku tersisa. Dari sejak aku kecil sampai kini isi sambutan ya hanya itu-itu saja. Orang yang memberi sambutan pun hanya orang itu-itu juga. Mengapa sih tidak dihilangkan saja?
"Wah tidak bisa, Wan" kata Ayahku saat aku mengusulkan agar sambutan itu dikurangi saja. "Itu adalah bagian tradisi dan penghormatan kita kepada orang yang dituakan."
"Tradisi 'kan bisa diubah. Lha wong Undang-undang Dasar saja sekarang bisa diubah kok," batinku sambil ngedumel.
Nah ini dia, waktunya makan. Aku sudah mengidamkan "sedan hijau" itu. Sudah lama aku tidak menikmati nasi merah, sayur lombok, sambel kering, plus telur ayam kampung yang dibungkus daun pisang. Aku menelan air ludah. Tapi,.... lho yang dibagikan kok bungkusan sterofoam? Mana bungkusan "sedan hijau itu? Dengan ogah-ogahan aku membuka tutup sterofoam itu. Isinya nasi dan ayam goreng tepung dari sebuah restoran siap saji dari Amerika. Hmm...globalisasi sudah merembes sampai di Gunungkidul, bantinku.
"Lho mana sedan hijaunya?" bisikku pada Titus.
"Sekarang sudah diganti, Mas. Jemaat sekarang sudah ogah direpoti urusan menyiapkan makanan," jawab Titus sambil membuka kotak stereofoam. Minumnya juga sudah diganti. Tidak lagi segelas teh melati, tapi air putih dalam kemasan gelas plastik
"Dengan memesan makanan begini, 'kan lebih praktis dan lebih bergengsi," lanjut Titus sambil melahap makanan. Aku menyisihkan bungkusan itu. Tiba-tiba, aku kehilangan selera makanan, padahal sejak siang tadi sengaja kukosongkan perutku demi sedan hijau itu.
"Tapi mengapa tidak memesan makanan yang khas di sini saja?" tanyaku kecewa.
"Kami sudah bosan dengan menu yang itu-itu saja. Lagi pula ini sumbangan dari mas Joko Susilo. Itu lho, teman Mas yang menjadi akuntan publik,"terang Titus dengan mulut penuh. Dia lalu mengatakan bahwa jemaat tidak lagi dipungut iuran untuk biaya Natal ini. Semua biaya sudah disumbang oleh teman-temanku yang sudah sukses itu. Ada yang menyumbang makanan. Ada yang menanggung dekorasi dan video. Ada yang membayari penari profesional. Ada juga yang nanggap grup lawak untuk acara hiburan.
"Pantas ada banyak umbul-umbul dan spanduk perusahaan di depan gereja. Jadi, mereka mensponsori perayaan Natal ini, to?" tanyaku kaget.
Titus mengangguk bangga. Aku terdiam.
Teman-temanku membanggakan keberhasilan mereka. Lalu apa yang bisa kubanggakan? Seorang penulis lepas sepertiku, jelas tidak punya logo perusahaan untuk kupasang di spanduk di depan gereja. Aha! Sebaiknya kutulis saja ceritaku ini, lalu kukirimkan ke koran. Semoga Natal tahun depan aku bisa memfotokopi cerpenku yang sudah dimuat dan menunjukkan pada orang-orang di desaku.
Gunungkidul, Desember 2004
------------
Communicating good news in good ways
- Purnawan Kristanto's blog
- 4394 reads
Nampaknya Saya Lebih Beruntung
Mas Pur, nampaknya saya lebih beruntung. di gerejaku, sehabis perayaan natal, jemaat ngumpul di pastori, makan bersama. Nasi dan lauk pauknya adalah sumbangan dari para jemaat.
Masing-masing keluarga menymbangkan masakan andalannya masing-masing. Ada yang bawa daun pepaya, daun singkong rebus dengan sambal terasi. Ada yang bawa pepes ikan mas, ada yang bawa susu murni, ada yang bawa semangka, ada yang bawa sayur asem, pokoknya macam macam dech andalan keluargaku adalah tumis tempe mamaku, tempe dipotong kecil-kecil lalu digoreng setelah itu di tumis cabe. hasilnya adalah tempe kriuk yang renyah. Menu kedua andalan keluargaku adalah tumis ikan teri dengan kacang. Andalan ketiga mamaku adalah daging babi goreng. daging sapi dipotong tipis lalu digoreng. rasanya wow ..... dijamin nggak alot.
Ha ha ha ... Kami makan rebutan, gak peduli anak anak, remaja, pemuda, orang tua, telat sedikit, dijamin ludes. Prinsip jemaat kami adalah, "anggap rumah sendiri, yang nggak makan cuci piring!" Hal itu masih berjalan hingga saat ini.
Bulan April yang lalu saya ke Medan, untuk mengikuti tradisi Tionghua sembahyang kuburan (cengbeng). Hal itu saya lakukan setelah 35 tahun tidak mengikutinya. Walaupun banyak orang yang salah sangka menghakimi tradisi itu sebagai upacara untuk menyembah arwah orang mati, sesungguhnya yang terjadi adalah. Membersihkan kuburan, menyatakan rasa hormat kepada leluhur dan mengajar arwah leluhur menyembah Tuhan pencipta langit dan bumi (Di atau Hao Tu).
Sebagai orang Kristen, saya tidak menyalakan hio (dupa) untuk menghindari kesalah pahaman dari saudara yang Kristen dan yang non Kristen. Setelah mengheningkan cipta mengenang leluhur, pakde, bude, nenek, kakek, aku lalu menghadap altar Allah pencipta alam semesta (Yesus Kristus, Logos) dan memperkenalkan diri, Hamba yang rendah ini, anak dari si anu, ponakan si anu, cucu si anu, dengan rendah hati menghadap Allah Putera, pencipta alam semesta mengucap syukur atas berkat yang diterima selama ini dan memanjatkan doa mohon berkat untuk masa-masa yang akan datang serta minta pimpinan agar tetap berjalan di jalan Allah (Tian), sehingga berguna bagi handai taulan dan sesama manusia. Saya lalu menghormat sebanyak tiga kali.
Seluruh penduduk desa lalu berkumpul di halaman kuil, duduk di atas daun pisang dan makan bersama-sama. Makannya dimasak dan disajikan oleh penduduk yang mendapat giliran tahun ini. Sayang karena terlalu lama di kuburan saya tidak sempat ikut dalam acara makan demikian. Ketika kembali kekuil, acara sudah berakhir, daun daun pisang sudah dibersihkan. Jadilah saya duduk di bangku kayu seperti yang digunakan oleh Chenlung sebagai senjata dalam Film dan meja kayu dan makan dengan lahap sambil ngobrol dengan teman teman masa kecil.
Mereka bertanya, kenapa sebagai seorang Kristen saya tidak pantang melakukan semuanya itu, sedangkan saudara-saudara Kristen yang lain justru melecehkannya?
Saya katakan, itu karena saudara-saudara Kristen yang lain belum memahami makna cengbeng yang agung. Mereka memahami makna Cengbeng dari Film-film sejenis happy gost, sedangkan saya memahami makna cengbeng dari membaca kitab-kitab Tiongkok kuno.
Beberapa orang teman bertanya, apakah orang Kristen melakukan cengbeng? Saya bilang mereka juga melakukannya, sebagian melakukannya pada saat Natal, sebagian lainnya melakukannya ketika Paskah. Mereka ke kuburan, membersihkan kuburan lalu menyajikan bunga dan berdoa kepada Allah lalu makan dan minum bersama-sama. Tentu saja mereka tidak menjadikannya sebagai tradisi atau keharusan, melakukannya dengan sukarela.
Beberapa orang teman bertanya, kenapa orang-orang Kristen menuduh mereka menyembah arwah? Saya menjelaskan, karena orang Kristen menyajikan bunga, sedang kalian menyajikan dupa dan makanan. Karena bunga yang disajikan dibiarkan layu menjadi humus sedangkan kalian membawa kembali makanan yang disajikan untuk dimakan bersama-sama. Mereka pikir kalian membakar uang-uangan yang akan berubah menjadi uang benaran di alam baka. Beberapa orang teman tertawa terbahak bahak, katanya, kalau kami yakin hal itu akan terjadi, untuk apa kami bakar uang-uangan, bukankah lebih baik kami bakar cek kosong yang bisa diisi semaunya di sana?
Saya ikut tertawa, karena memahami makna cengbeng. Cengbeng adalah cara untuk mengungkapkan rasa hormat dan cinta, itu sebabnya yang tidak punya ikatan cinta kasih tidak boleh melakukannya. uang-uangan adalah simbol supaya manusia tidak menggunakan barang yang berguna untuk orang hidup sebagai alat untuk mengungkapkan cinta kasih dan rasa hormat.
Di kuburan, orang-orang Tionghua berdoa kepada Tuhan pencipta alam semesta, mengenai tradisi itu saya teringat orang Israel ketika berdoa,
"Allah Abraham, Allah Yakub ..." Saya beruntung pak Pur, karena di kampungku, walau banyak perubahan, namun yang inti dan alami tetap belum berubah.
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Sebuah pertanyaan ingin tahu.
kalian membawa kembali makanan yang disajikan untuk dimakan bersama-sama
Ketika kuliah dulu, saya dan teman-teman berpergian ke puncak tepat pada hari raya tahun baru cina. Kami bertandang ke rumah Yudhistira, yang letaknya dekat kelenteng besar dan terkenal disana. Begitu tahu, Yudhi kedatangan banyak tamu, tetangganya menghantarkan buah-buahan. Namun ketika salah satu teman kami memakannya, Yudhi sangat marah. Menurutnya adalah tidak baik memakan jeruk yang telah dipersembahkan di klenteng.
Sejauh manakah keradikalan kristen itu sendiri?
Lord, when I have a hammer like YOU, every problem becomes a nail. =)
Erick, menurut saya Rasul
Erick, menurut saya Rasul Paulus sudah menjawab masalah makanan yang dipersembahkan kepada berhala. Jadi silahkan mempelajarinya sendiri di dalam Alkitab.
Apa alasan orang Kristen menyajikan bunga pada saat perkabungan, memakaikan pakaian yang indah, menyertakan beberapa barang kesayangan almarhum. apa alasan orang Kristen menyajikan bunga ketika ke kuburan?
Kenapa bunga-bunga yang disajikan selama acara perkabungan dan penguburan serta waktu membersihkan kuburan tidak dibawa pulang? Kepada siapa bunga-bunga tersebut dipersembahkan? Apakah bunga-bunga tersebut tidak dibawa pulang karena sudah dipersembahkan kepada arwah? Atau tidak dibawa pulang karena dianggap tidak berguna lagi?
Dalam hal makan saya tidak memiliki pantangan, karena saya percaya roh jahat, dewa dewi tidak makan dan mustahil mencemarkan makanan. Saya juga percaya, mustahil roh jahat menguasai saya, menghinggapi saya, mengutuki saya ketika saya makan makanan yang pernah disajikan bagi dewa dewi dan arwah orang mati. Saya juga tidak mendikte orang yang tidak mau memakannya.
Silahkan menjelaskan kepada saya apa bahaya pete dan jengkol bagi tubuh dan betapa baunya kedua makanan itu serta tubuh adalah bait Allah yang tidak boleh dicemarkan, apalagi dibikin bau. Saya tetap akan memakannya, karena saya menyukai keduanya dan selama ini tidak ada masalah. Namun bila ada orang yang tidak makan pete dan jengkol dengan alasan tidak mau mencemarkan dan membuat bau bait Allah, silahkan saja.
Namun mengenai teman anda Yudhi, nampaknya dia terlalu berprasangka, atau dia sedang berusaha mencari perhatian untuk mendapat pujian? Atau dia sedang cari gara-gara.
Anda tahu berapa jumlah jeruk yang digunakan untuk sembahyang orang Tinghua? Paling sering 3, agak jarang 5 dan jarang sekali yang menyajikan 7 atau 9. Dan menurut saya, hanya orang-orang Tionghua gendeng yang memberikan jeruk yang telah disajikan untuk sembahyang sebagai hantaran tahun baru imlek. Itu melanggar kesusilaan (Li).
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Gereja Terjerat Arus Pragmatisme
------------
Communicating good news in good ways
Jangan Menghakimi Berdasarkan
Menurut saya itulah yang terjadi di gereja saya. Natal adalah memperingati kelahiran Tuhan Yesus Kristus. Pada perayaan Natal, semua jemaat adalah anak-anak, itu sebabnya dalam hal makan berlaku siapa cepat dia dapat. Secara total makanan selalu cukup untuk semua orang, namun makanan favorite bisa kehabisan. Makanan yang selalu saya kejar waktu natal adalah sambel tempe yang diuleg dengan jelantah (ampas minyak yang sudah digunakan). Satu hal yang aneh di gereja kami, makanan yang tidak enak selalu habis duluan. Hal itu terjadi karena kami walaupun tahu makanan itu tidak enak, namun ingin menghibur yang memasaknya, jadi kami bergotong royong menghabiskannya. Makan yang nggak enak, baru makan yang enak.
Menurut saya itulah yang terjadi dalam perayaan Cengkeng di kampung saya. Di kampung saya, di kuburan Hokian (kuburan khusus suku Hokian), semua jenazah memiliki hak yang sama, semua kuburan bentuknya sama, besarnya sama, tingginya sama. Tidak ada keistimewaan baik bagi orang miskin maupun orang kaya, bahkan bagi yang tidak memiliki uang sama sekali untuk membangun nisan.
Waktu kecil dulu hanya lelaki yang boleh mengikuti perayaan cengbeng, namun sekarang wanita boleh mengikutinya. Itu sebuah perubahan.
Namun untuk urusan duduk di atas daun pisang tetap dijaga karena itu bermakna, di hadapan Tuhan semua manusia memiliki derajat yang sama. Kesederhanaannya justru menunjukkan keagungannya. Altar Jiao (altar di perbatasan selatan kota) adalah altar yang paling agung bagi bangsa Tiongkok kuno. Altar itu hanya tanah yang disapu bersih. Kesederhanaannya justru menunjukkan keagungannya.
Dalam agama Tiongkok kuno, naga, kura-kura, kilin dan burung hong adalah empat makluk cerdas (malaikat) di hadapan tahta Tuhan. Naga juga sering digambarkan sebagai kendaraan Shang Di, Raja Segenap Raja. Naga juga adalah simbol bagi manusia. /span>Saya punya sebuah tulisan mengenai naga. Saya akan pasang di sabdaspace nanti.
Anda kembali benar, pak Purnawan, orang Kristen sekarang memang mudah berprasangka. Alih-alih mencari tahu, mereka justru menghakimi membabibuta. PAdahal Firman Tuhan dengan tegas mengajarkan
Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil.Yohanes 7:24
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Trimakasih
Lord, when I have a hammer like YOU, every problem becomes a nail. =)