Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Residen yang Tidak Pernah Terlambat
Banyak yang bisa kudapati dari sebuah majalah tua. Sejak dulu aku memang terbiasa membaca buku atau majalah jenis ini. Aku juga menyukai baunya, ini juga yang menjadi alasanku membeli lima majalah tua tahun 70-an yang bahkan sudah tidak terbit lagi. Harganya seribu per majalah. Jadi, dengan lima ribu rupiah, aku mendapat lima majalah "PRIMA"--di pasar loak buku tentunya. Lumayan! Ketika membaca edisi Januari 1978, aku menemukan sebuah artikel pendek yang cukup menarik. Sebenarnya bukan artikel, hanya sejenis tulisan kecil pengisi halaman kosong. Judulnya "Residen yang Tak Pernah Terlambat".
Berkisah tentang sebuah kejadian di antara tahun 1939-1940, tentang Residen Kedu yang tentu saja orang Belanda. Ia selalu menepuk dada karena menjadi Mr. Punctually. Dalam segala kesempatan, tidak pernah ia datang terlampat. Selalu datang tepat waktu, termasuk ketika mengikuti rapat atau menghadiri undangan hajatan.
Suatu hari, sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Jawa Tengah, ada rapat kwartalan (rapat per tiga bulan) di pendopo Kabupaten Kabumen. Semua pejabat pemerintahan, mulai dari asisten wedana (camat) sampai bupati, serta semua kepala dinas tingkat kabupaten harus hadir. Dalam rapat kali ini, Asisten Residen Kabumen dan Residen Kedu akan hadir. Sesuai jadwal biasa, rapat ini seharusnya dimulai jam 10:00 pagi.
Jam 09:58 Residen Kedu belum datang, tetapi bupati tidak kehilangan akal. Dengan sepengetahuan Asisten Residen Kabumen yang sudah hadir, ia memerintahkan supaya jam di pendopo kabupaten dimatikan. Ini terjadi tepat pada jam 09:59.
Kira-kira jam 10:20 terdengar klakson khas dari mobil Residen Kedu. Pertanda orang yang ditunggu akhirnya datang. Cepat-cepat bupati memerintahkan menghidupkan kembali jam lonceng itu. Dengan demikian, tepat jam 10:00 lonceng berbunyi 10 kali.
"Apakah arloji saya terlampau cepat Bupati?" tanya residen yang tadinya berwajah muram.
"Saya kira begitu tuan Residen, maka silahkan duduk," jawab sang bupati.
***
Saat membaca artikel kecil itu, apa yang muncul dalam hatiku adalah sebuah pertanyaan. Apakah tindakan mematikan jam itu perlu? Dan aku menjawab sendiri. Tidak perlu! Apakah penjajah zaman dulu memang sebegitu parahnya sampai menghukum orang lain hanya karena ia (si penjajah) datang terlambat dalam sebuah rapat? Tidak tahu! Belum lahir aku waktu itu.
- anakpatirsa's blog
- Login to post comments
- 4036 reads
@ Anakpatirsa
Yang pasti ketika membaca tulisan anda...jam saya selalu tepat...tidak pernah terlambat....06.09...pagi...he...he...he
GBU
GBU
tempo doeloe
Lakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia ...
Bos tak pernah salah; apa
Bos tak pernah salah;
apa pun yang dititahkannya harus dipatuhi dengan tunduk dan sikap pasrah 'sendiko dawuh'...
Jadi terpikir, mungkin karena telah sekian lama terjajah itulah banyak orang Indonesia yang masih punya mental bangsa jajahan -- melakukan apa pun demi menyenangkan atasan. Jilat sana, jilat sini sampai lidahnya lecet-lecet semua....
Moga-moga saja kita bisa belajar jadi lebih baik dan benar-benar merdeka setiap harinya...
BTW, jadi inget kalau studi dulu selalu jadi yang paling terlambat datang... (dan parahnya nggak pernah benar-benar merasa bersalah...) :P
GBU
nita
6.00 -- mood -- ABS
@hiskia:
Kalau saya, setiap jam 6.00 otomatis komputer ini hidup, bunyi "beep"nya menandakan saatnya mengunjungi Pasar.
@3m1:
Salah satu cara untuk bersembunyi pada zaman dulu?
Bersembunyi mungkin kurang tepat. Tetapi yang pasti, kalimat terakhir tidak saya kutip. (Memang sengaja, menunggu ada yang bertanya). Intinya, saat rapat itu, Sang Residen hatinya senang sehingga tidak marah-marah.
@clara_anita:
Saya lebih suka istilah 'standardnya', ABS.
Tentang dosen yang terlambat datang, kalau dosennya tidak datang dalam setengah jam, saya pulang ke kos. Dalam beberapa kali kejadian, besoknya aku dikasih tahu dosennya datang dan tersinggung karena para mahasiswa yang katanya tidak tahu diri.