Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Ramadhan Tanpa Sajadah
Tak banyak sajadah di rumahku walau ada lima penghuni di dalamnya. Hanya satu sajadah, dan kami tak pernah berebutan memakainya. Walau begitu, sajadah itu tetaplah terjaga, tetap tampak bersih.
Bila mengingat masa kecil, ramadhan adalah saat aku dan bapakku membuat lampion. Waktu itu belum ada listrik di desaku sehingga setiap menjelang bedug berpuasa aku selalu memasukkan lampu minyak ke dalam lampionku. Aku paling suka membuat lampion perahu, sebab paling gampang dibuat.
Ramadhan adalah saat makan ketupat dengan bumbu kacang dan opor. Biasanya aku makan sepotong ketupat di pagi hari sebelum keliling desa bersilaturahmi. Rombonganku termasuk yang paling banyak. Bapak berjalan paling depan, disusul ibuku, dan saudaraku yang semuanya berjumlah lima anak. Aku paling suka acara silaturahmi ini karena aku bisa memamerkan baju baruku pada semua tetangga.
Setiap tahun kami pasti kelililing desa hingga hapal kata-kata yang musti diucapkan: " ngaturaken sugeng riyadi. Mugi-mugi sedhaya kalepatan kula saged lebur ing dinten riyadi menika...". Yang artinya: kami mengucapkan selamat hari raya, semoga segala kesalahan saya dapat lebur di hari raya ini..."
Biasanya bapak dan ibu berpesan agar kami anak-anaknya tidak makan setiap bertamu ke rumah tetangga. Itulah sopan-santun khas Jawa budaya kami.
Tetangga yang kami kunjungi semuanya ramah dan menyambut kami dengan hangat. Bapakku cukup disegani karena bapak adalah guru demikian pula dengan ibu.
Selepas kami berkeliling desa, kami pun membuka pintu rumah lebar-lebar. Giliran tetangga datang ke rumah kami dan silaturahmi dengan bapak-ibu.
Kami pun menerima semua tamu sama hangatnya.
***
Ramadhan selalu datang dan pergi setiap tahunnya. Namun masa kecil itu telah berlalu 25 tahun silam. Kadang ada kerinduan untuk memasuki kembali alam masa lalu dimana kami adalah keluarga satu-satunya yang tidak menjalankan sholat di desa. Bapak sudah tak ada demikian pula ibu. Kasih mereka sudah tergantikan dengan keturunan baru, anak-anakku.
***
Ramadhan adalah budayaku. Dan selalu kusiapkan satu sajadah di rumahku. Untuk pembantu dan tamu yang mungkin sekali waktu memerlukan.
- anangyb's blog
- 5645 reads
Wow!
Daniel Zacharias
nice one
@Dennis, saya tidak sedang mogok
tetapi sedang mengasah gergaji.
Akhir-akhir ini banyak blog bagus yang muncul, di antaranya karya Anang ini. Kata teman, seorang penulis harus mau membaca tulisan orang lain untuk berkaca. Saya sangat menggemari tulisan-tulisan seperti ini yang mengutamakan keindahan menyusun kata tanpa mengaburkan substansinya, seperti juga Kembang Api-nya Anita. Saya menikmatinya, meresapinya, bahkan sering sampai bisa hafal luar kepala kalimat-kalimat kuncinya.
Saking senangnya, saya menggandakannya untuk dibagikan kepada teman-teman di gereja, atau yang sedang kos di rumah sakit, agar mereka juga bisa ikut menikmatinya dan mendapat berkat darinya.
Mudah-mudahan Anita tidak membaca komen ini. Kok? Tanpa "kulanuwun" terlebih dahulu saya menggandakan kisah perjalanannya ke Bandungan sampai lebih dari 100 exemplar dan artikelnya ini mengundang banyak "terima kasih". Saya korupsi. Anita yang menulis, saya yang dapat terima kasihnya. Tetapi saya mencantumkan alamat situs ini, agar mereka mau mencari tulisan-tulisan lain dari penulis yang sama.
Ini saya kisahkan agar para penulis di Sabda Space tidak merasa sia-sia membuat tulisan yang bagus, yang mungkin perlu perenungan yang lama
Saya berharap Mas Anang mengunggah karya-karya berikutnya agar saya bisa lebih lama mengasah gergaji.
Btw, saya senang kalimat provokatif favoritnya Mas Den, yang selalu didahului kata-kata "sudah lama tidak ada tulisan yang seperti ini . . . ." . Tetapi saya setuju memang tulisan Mas Anang ini "paten" (karena membuat pembacanya desiring the good and finally doing the good) dan untuk itu saya berkata "matur sembah nuwun".
Keduluan deh ....
melambung...
www.jejakgeografer.com