Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
pluralisme agama dan dialog
PLURALISME AGAMA DAN DIALOG:
Perspektif
dan relevansinya dalam
membangun kehidupan bersesama secara damai dalam konteks majemuk
Indonesia.
Pengantar
Pluralitas
agama sekarang ini
telah menjadi suatu keniscayaan dan men-desak agama-agama, termasuk
kekristenan untuk menghadapi dan mengubah paradigma teologinya.
Semua agama menurut Eka Darmaputera, tidak hanya didesak untuk
memikirkan sikap praktis untuk bergaul dengan agama yang lain, tetapi
juga didesak untuk memahami secara teologis apakah makna kehadiran
agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan yang lain itu1.
Mengembangkan teologi agama-agama bukan tanpa kesulitan dan resiko.
Tantangan internalnya adalah teologi tradisional (Barat) yang berakar
kuat dalam gereja serta resistensi fundamentalisme kristen. Secara
eksternal, pluralisme agama dicurigai sebagai misi terselubung
kekristenan untuk mempertobatkan yang lain dan sekaligus keengganan
mengakui bahwa kebenaran agamanya relatif. Sikap penolakan
terang-terangan terhadap pluralisme agama dilakukan Majelis Ulama
Indonesia (MUI) lewat fatwa hasil Munas VII tahun 2005, karena
paham ini bertentangan dengan ajaran Islam2.
Sekalipun
muncul kecurigaan, perlawanan dan penolakan terhadap pentingnya
pluralisme agama dan dialog bukan berarti sikap demikian disetujui
dan menyurutkan tekad mengembangkan pluralisme agama dan dialog.
Makalah ini berusaha mendeskripsikan dan menganalisis sejauh mana
relasi kekristenan dengan agama-agama lain, khususnya agama Islam.
Benarkah gereja telah dan masih bersikap superioritas terhadap
agama-agama lain sampai sekarang atau memang dalam tubuh gereja
sudah terjadi perubahan sikap mendasar? Bukan tidak mungkin jika
ditelisik lebih jauh, dalam kekristenan sendiri tidak terdapat
kesatuan dalam menyikapi pluralisme agama.
Selanjutnya,
bagaimana sebenarnya kekristenan mengatasi kebenaran mutlaknya saat
berjumpa dengan agama-agama lain serta mencari titik temu sehingga
kehadiran agama-agama bukan sebagai sumber masalah bangsa (problem
maker), tetapi
sebagai pemberi solusi atas masalah-masalah sosial yang muncul
(problem solver)?
Lebih jauh lagi, sejauh mana pluralisme agama memberi ruang pada
partikularitas atau keunikan dari masing-masing agama dan
tujuan-tujuan semacam apakah yang hendak dicapai dalam dialog.
Akhirnya
pada bagian refleksi, penulis mengutarakan pentingnya pluralisme
agama dan dialog untuk dikembangkan guna menanggulangi masalah
kemanusiaan kontemporer, menghadirkan kedamaian dan sekaligus dapat
saling memperkaya kehidupan beriman dalam konteks majemuk Indonesia.
Superioritas
keagamaan
Kekristenan
dapat dikatakan berkembang di Eropa dengan bungkus kebudayaan Barat
dan menganggap agama-agama bukan Kristen di Asia lebih rendah
nilainya dibanding-kan agama Kristen, sehingga tidak perlu
dipertim-bangkan. Orang Kristen (Barat) menanggung beban khusus
untuk membawa terang ke dalam dunia gelap3.
Para misionaris telah didoktrin sedemikian rupa untuk memberangus
kekafiran dalam agama-agama lain dan menyelamatkan jiwa-jiwa mereka
bagi Kristus.
Misionaris
Kristen ibarat dokter yang mendatangi pasiennya yang sedang sakit
(penganut agama-agama lain)4.
Secara khusus, umat Islam dianggap ”orang sesat yang dihormati”
kemudian menjadi ”orang sesat yang tidak disegani”. Ketika jalan
perang dinilai tidak memadai untuk memantapkan penjajahan, studi
intensif dilakukan dan umat Islam dianggap ”penganut agama
terbelakang” yang perlu diperadabkan5.
Mentalitas perang salib, mengakibatkan umat Islam dipandang
sebagai musuh yang harus ditaklukkan; dan penaklukkan yang paling
efektif adalah dengan mengkristenkan mereka6.
Penjajahan
Belanda atas Indonesia telah memberi citra negatif bahwa kekristenan
adalah kaki tangan penjajah. Gereja, khususnya zending dan orang
Kristen telah menikmati hak-hak istimewa yang tidak didapati sama
sekali oleh orang Islam. Tuduhan seperti itu didasarkan kemajuan
kuantitatif orang Kristen, termasuk dari kalangan Islam, dan secara
kualitatif dengan meningkatnya kesejahteraan sosial-ekonomis orang
Kristen dan tampilnya tokoh-tokoh Kristen dalam panggung politik.
Ketidakadilan
dirasakan umat Islam ketika pemerintah Belanda dengan politik
etisnya memberi subsidi kepada pihak zending/gereja dalam mengurusi
program pendidikan, kesehatan dan pertanian, sehingga mengo-barkan
kebencian dan kemarahan orang Islam7.
Sejak masa kemerdekaan sampai sekarang, ekspresi kebencian dan
kemarahan terhadap orang Kristen dilampiaskan antara lain dengan cara
pembatasan siar agama, pengrusakan dan pembakaran gedung gereja8.
Paradigma
teologi Kristen
terhadap agama-agama lain
Isu
sentral dalam hubungan antara kekristenan dan agama-agama lain
adalah apakah umat dari agama lain itu akan diselamatkan
sama seperti kesela-matan yang diterima orang Kristen. Perspektif
historis memperlihatkan semacam evolusi paradigma teologi Kristen
menyikapi kehadiran agama-agama lain. Paradigma atau tipe sikap
teologis dalam kekristenan terhadap isu kemajemukan agama menurut
Alan Race dapat dikategorikan sebagai (1) eksklusivisme, (2)
inklusivisme dan (3) pluralisme9
yang dapat dimengerti sebagai berikut ini.
1.
Paradigma Eksklusivisme
Paradigma
eksklusivisme berangkat dari dua ide pokok yang bertolak belakang.
Di satu sisi, agama-agama lain lain tak lepas dari keberdosaan
manusia yang mendasar dan karena itu tidak memiliki kebenaran. Di
lain pihak, hanya Kristuslah yang menyediakan jejak paling absah
menuju keselamatan. Kristus bersifat unik, normatif dan hakiki bagi
keselamatan. Dasar biblis utamanya10
adalah Yohanes 14:6, ”Akulah jalan, kebenaran dan hidup. Tidak ada
seorang pun yang sampai kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” dan
Kisah Para Rasul 4:12, ”Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa
pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak
ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita
diselamatkan,” serta surat 1 Yohanes 5:12, ”Barangsiapa memiliki
Anak, ia memiliki hidup; barangsiapa tidak memiliki Anak, ia tidak
memiliki hidup.”
Paradigma
ini dapat dikenali dalam sikap Gereja Roma Katolik (GRK) pra- Konsili
Vatikan II yang menempatkan gereja sebagai pusat keselamatan dengan
istilah extra
ecclesiam nulla salus
(di luar Gereja tidak ada keselamatan). Paus Boniface VIII dengan
tegas berkata: ”Kita dituntut oleh iman untuk meyakini dan
mempertahankan bahwa ada satu Gereja yang kudus, katolik dan
apostolik; kita dengan tegas mempercayainya dan tanpa ragu
mengakuinya; di luarnya tidak ada keselamatan atau pengampunan
dosa.” Akibatnya, GRK bersikap tertutup dan kurang memandang
positif agama-agama lain11.
Paradigma
ini dapat ditemui juga di kalangan Protestan. Karl Barth dalam
bukunya Church
Dogmatics
menegaskan bahwa agama adalah bentuk ketidak-percayaan (Religion
as Unbelief) dan
mustahil dapat mencari dan mengenal Allah. Dengan pendekatan teologis
a priori,
Barth dapat mengatakan hanya ada satu agama yang benar yaitu agama
Kristen karena Allah menghendakiNya demikian. Sebaliknya betapapun
baik dan benarnya agama-agama lain tampaknya,
namun tetap saja mereka salah dan tak selamat karena terang Allah
tidak mengenai mereka.
Dalam
Sidang Raya Dewan Gereja-gereja se-Dunia di Nairobi tahun 1975,
seorang peserta sidang dengan paradigma eksklusivisme berkomentar:
”Para pemimpin gereja sangat peduli dengan nasib orang-orang yang
miskin dan menderita, tetapi tidak memperhatikan nasib 2.700 juta
orang yang akan binasa (orang-orang non-Kristen)”. Jelas
pandangan demikian mengambarkan kemus-tahilan berdialog dengan
agama-agama lain. Mereka yakin bahwa semua orang non-Kristen akan
binasa (masuk neraka), dan karena itu mereka harus ditolong dengan
cara memberitakan Injil kepada mereka12.
2.
Paradigma inklusivisme
Paradigma
inklusivisme melampaui eksklusivisme dengan mengatakan bahwa
keselamatan Allah berlaku universal dan hadir dalam agama-agama lain
dengan tetap mengakui finalitas Yesus Kristus. Yesus Kristus menjadi
pemenuhan final bagi agama-agama lain. Inklusifisme menolak segala
bentuk konfrontasi antar agama lain dengan kekristenan.
Malah sebaliknya, berusaha secara kreatif agama-agama lain
diintegrasikan ke dalam refleksi teologis kristiani. Inklusivisme
berusaha memadukan dua pengakuan teologis: bekerjanya anugerah Allah
serta paham keselamatan agama-agama lain dan keunikan anugerah Allah
dalam Yesus Kristus13.
Paradigma
ini dianut oleh GRK lewat Konsili Vatikan II yang meninggalkan cara
berpikir
eksklusivistis-eklesiologis
menuju cara berpikir inklusivistis-universalistis.
Keterbukaan baru terhadap agama-agama lain berhubungan erat dengan
pengalaman GRK mengenai kekerasan massif dan keinginan untuk
memperbarui diri sesuai perubahan zaman14.
Dalam hal ini perlu dicatat sumbangsih Karl Rahner sebagai insinyur
atau arsitek utama sikap Kristen inklusivistis pasca Konsili Vatikan
II15.
Rahner berpendapat bahwa orang Kristen bukan hanya bisa, tetapi
harus menganggap agama-agama lainnya sebagai ”sah” dan merupakan
”jalan keselamatan”16.
Mengapa
demikian? Karena Allah menawarkan anugerah Allah kepada semua orang
di seluruh dunia. Benar bahwa keselamatan ada dalam Yesus Kristus,
namun gereja tidak boleh mengutuk agama lain sebagai palsu dan tidak
mempunyai keselamatan. Walaupun tidak sesempurna yang dimiliki
gereja, namun karena anugerah yang universal itu, maka keselamatan
dalam Kristus pun ada di sana walaupun tidak memakai nama Kristus.
Jadi dalam agama-agama
lain, Kristus yang menyelamatkan itu pun ada di sana tanpa bernama
Kristus. Rahner menyebutnya sebagai Kristus tak bernama,
(anonymous Christ)
dan oleh sebab itu penganut agama-agama lain sebenarnya adalah juga
orang-orang Kristen tanpa nama (anonymous
Christians).
Implikasinya bahwa tugas misioner gereja bukan mempertobatkan dan
menjadikan mereka Kristen, melainkan berusaha menyadarkan orang-orang
beragama lain tentang hadirnya Kristus yang menyelamatkan di tengah
mereka. Dengan menyadari hal itu, maka mereka sudah menjadi orang
Kristen dan pengikut Kristus dalam agama mereka sendiri tanpa harus
menjadi orang Kristen dan menjadi anggota gereja. Keselamatan pun ada
di luar gereja17.
Paradigma
inklusivisme bersikap positif terhadap agama-agama lain karena
agama-agama lain dipahami sebagai jalan keselamatan. Pemahaman ini
memberi ruang amat luas bagi munculnya kehidupan antar-iman yang
dialogis. Gereja memiliki penghargaan besar terhadap agama-agama
lain. Perjumpaan agama-agama tidak lagi diwarnai konfrontasi
frontal, tetapi mengupayakan titik-temu. Para penganut agama lain
tidak dicap sebagai kafir, melainkan sebagai saudara yang harus
dikasihi. Nostra Aetate mencatat, ”Kita tidak dapat sungguh-sungguh
menyapa Allah, Bapa dari semua, jika kita menolak memperlakukan
semua manusia dalam sebuah persaudaraan yang diciptakan sebagaimana
ia ada dalam citra Allah”.
Walaupun
paradigma ini terbuka, namun konsep Kristen
anonim dapat
menjadi penghalang besar bagi munculnya sebuah dialog yang jujur dan
seimbang.; justru hanya menciptakan jalan buntu bagi sebuah dialog
yang bermakna. Konsep ini terjebak pada imperialisme
teologis yang tidak
adil karena menekankan normativitas Kristus bagi agama-agama
lain.Konsep ini dinilai tidak memiliki dasar yang dapat
dipertanggungjawabkan secara teologis, karena tidak mampu memandang
agama-agama lain sebagai yang unik dan setara dengan agama Kristen.
Agama-agama lain masih tetap dipandang rendah sehingga dialog yang
terjadi adalah meminjam istilah Knitter, dialog
antara gajah dan tikus18.
3.
Paradigma
Pluralisme
Jika
eksklusivisme dan inklusivisme tidak memadai bagi kekristenan dalam
relasi dengan agama-agama lain, maka paradigma pluralisme menjadi
pilihan terbaik. Paradigma
ini merupakan kritik atas eklesiosentrisme dan kristosentrisme yang
muncul dalam eksklusivisme dan inklusivisme. Pluralisme menggunakan
pendekatan teosentris yang menekankan pada kehendak universalitas
Allah untuk menyelamatkan seluruh manusia. Paradigma pluralisme ini
tidak satu sebab dikembangkan banyak orang seperti John Hick, Paul F.
Knitter, Gordon D Kaufmann, Wilffred Cantwel Smith, Rosemary Ruether,
dsbnya19.
Di sini penulis mengangkat pluralisme yang digagas oleh Paul F.
Knitter.
Pendekatan
pluralisme menurut Knitter berangkat dari keprihatinan utama
bagaimana kepelbagaian agama dapat berdialog secara jujur dan terbuka
sehingga dapat memberikan sumbangsih penting dalam menanggulangi
penderitaan manusia dan kerusakan lingkungan yang akut. Tidak pada
tempatnya dalam relasi dengan agama-agama lain mengutarakan bahasa
absolutis seperti:
hanya satu-satunya, definitif, superior, absolut, final, tak
terlampaui dan total untuk menjelaskan kebenaran yang ditemukan
dalam Injil Yesus Kristus. Tanpa mengklaim bahwa semua agama itu
setara
(equal), umat Kristen dengan mentalitas korelasional berpendapat
bahwa sejak permulaan semua pihak harus saling mengakui persamaan
hak di dalam dialog
antar-agama sehingga setiap penganut agama berhak berbicara, atau
membuat klaim, dan peserta lain membuka hati dan pikiran terhadap
kebenaran baru dari partner dialognya.
Di
dalam semua agama bagi Knitter terdapat suatu ”kesamaan yang kasar”
(rough parity).
Maksudnya, bukan berarti semua agama pada dasarnya memberi-takan hal
yang sama, tetapi bahwa karena perbedaan mereka dari agama Kristen,
agama-agama lain mungkin juga sama efektif dan berhasilnya dalam
membawa para penganutnya kepada kebenaran, perdamaian dan
kesejahteraan bersama Allah. Dengan kata lain, dengan teologi
korelasional umat kristen berpegang pada kemungkinan dan mendorong
kemungkinan bahwa Sumber kebenaran dan transformasi yang mereka sebut
Allah dalam Yesus Kristus memiliki lebih banyak kebenaran dan
bentuk-bentuk transformasi lainnya yang mampu dinyatakan daripada
yang telah dinyatakan dalam Yesus. Teologi pluralis atau korelasional
tidak hanya mengakui adanya berbagai perbedaan antar-agama yang
mencolok bahkan tak terbandingkan, tetapi juga mengakui nilai dan
keabsahan dari dunia yang serba berbeda ini. Agama-agama lain bukan
hanya sangat berbeda, namun bisa juga sangat bernilai20.
Secara
teologis, umat Kristen
mengatakan bahwa mereka percaya kepada suatu Allah yang benar-benar
mau menyelamatkan semua orang yaitu Allah dari Yesus Kristus, Allah
”kasih yang murni tanpa terikat”, yang merangkul semua dan
menghendaki kehidupan dan keselamatan. Allah merangkul semua manusia
yang dikasihiNya di dalam dan melalui tidak hanya persekutuan
gerejawi, tetapi juga dalam persekutuan dari penganut agama-agama
lain. Umat Kristen bisa dan harus mendekati agama-agama lain bukan
hanya dengan harapan bahwa mereka mungkin
(possibly) akan
menemukan kebenaran dan kebaikan tetapi bahwa mereka lebih
mungkin (probably)
menemukannya. Dengan demikian teologi pluralistik mendorong agar
umat beragama untuk mengkomunikasikan dan membagikan kandungan yang
bernilai dari agama mereka. Agama-agama harus berdialog. Kebenaran
setiap agama bukan untuk dirinya sendiri dan mengabaikan yang lain,
tetapi untuk dipertemukan sehingga terjadi proses belajar yang
memperdalam kebenaran masing-masing. Hakikat agama jelasnya
relasional dan dialogis. Jadi semua agama perlu berbicara dan
bertindak bersama. Perbedaan dalam masing-masing agama tidak
menghalangi hubungan antar sesama di antara mereka21.
Keunikan
Yesus (Kis 4:12) seharusnya tidak ditafsirkan secara statis. Masalah
keunikan Yesus tetap terbuka terhadap berbagai pemahaman baru. Di
sini umat Kristen bisa terus menegaskan dan memberikan kepada dunia
tentang Yesus sebagai benar-benar
(truly) ilahi dan
juruselamat, namun mereka tidak perlu bersikeras bahwa Dia
satu-satunya
(solely) ilahi dan
juruselamat. ”Benar-benar, namun bukan satu-satunya”, merupakan
upaya baru untuk menegaskan pentingnya Yesus dalam dunia
kepelbagaian agama. Secara teologis berarti di satu pihak kita
memberitakan Yesus sebagai Juruselamat, dan di pihak lain bisa
terbuka terhadap kemungkinan bahwa ada pribadi lain yang bisa diakui
umat Kristen sebagai anak Allah. Kristologi pluralistik semacam ini
mengizinkan dan mensyaratkan umat Kristen untuk sepenuhnya percaya
kepada Kristus, namun sekaligus bisa terbuka terhadap umat lainnya
yang mungkin memiliki berbagai peran yang sama pentingnya. Secara
gerejawi, gereja dapat saling memberi dan menerima dalam interaksinya
dengan agama-agama lain dengan pesan relevan dan penting22.
Teologi
pluralistik mensyaratkan dialog sebagai elemen penting dalam
berhadapan dengan agama-agama lain. Dialog antar-agama bukan
bertujuan menciptakan satu agama tunggal dan final, melainkan
kepelbagaian yang semakin berkembang dan berarti dalam agama-agama.
Dialog korelasional ini harus disertai dengan tanggungjawab global
dan karena itu pendekatannya bukanlah eklesiosen-tris,
kristosentris
atau teosentris,
melainkan soteriosentris.
Dasar
bersama bagi dialog antar-agama adalah soal penderitaan manusia dan
kerusakan ekologi atau dengan kata lain kesejahteraan manusia dan
lingkungan.23
Dasar bersama dialog ini penting ditetapkan agar tidak terjadi
kelesuan
atau kesepian moral
sehingga dapat
mengambil keputusan etis bersama demi kesejahteraan manusia dan
Bumi24.
Terobosan kongkret yang dapat dibuat adalah merumuskan suatu etika
global bagi tindakan bersama. Etika global ini dapat menjadi
kenyataan jika dilakukan dialog global terlebih dahulu sehingga
akhirnya tanggung jawab global dapat dilakukan bersama. Di sini
menjadi religius berarti menjalani kehidupan yang bertanggung jawab
secara global. Dengan tanggung jawab global yang menjadi tugas etis
bersama, maka semua umat beragama bisa lebih saling menghidupkan dan
memperbarui25.
Dialog
dan tujuannya
Pluralisme
agama memberi peranan penting bagi terselenggaranya dialog agar
tercapai saling pengertian
yang mendalam. Dialog bukanlah suatu kegemaran intelektual melainkan
suatu keharusan26.
Dialog sejatinya dilakukan dalam kesetaraan, par
cum pari (setara
dengan setara). Dalam dialog tidak boleh prinsip diabaikan dan tidak
boleh sekedar mencari kedamaian palsu (irenicisme),
sebalik-nya harus ada kesaksian yang diberi dan diterima guna saling
memajukan satu sama lain di dalam perjalanan pencarian dan pengalaman
keagamaan; dan saat yang sama menyingkirkan prasangka, sikap
intoleran dan kesalahpahaman.
Kalaupun
seseorang mengalami pertobatan lewat dialog, kenyataan itu harus
dapat diterima semua pihak secara positif dan wajar. Dialog
mensyaratkan sikap konsisten, terbuka, kerendahan hati dan
keterus-terangan sehingga dialog dapat memperkaya dan memperbarui
masing-masing pihak. Dialog meminta keseimbangan sikap, kemantapan
dan menolak indeferentisme
(paham yang menyamakan semua agama sama) dan tidak menghendaki
teologi universal27.
Dalam dialog setiap
orang harus diterima sebagaimana ia memahami dirinya sendiri. Oleh
sebab itu, masing-masing hanya dapat berbicara untuk dirinya sendiri
berdasarkan posisinya sediri. Tentu
posisi ini tidak boleh menjadi dogma kaku, melainkan ia harus
dinamis sesuai situasi yang berubah28.
Beragam
bentuk dialog dapat dipraktekkan
seperti (1) dialog kehidupan di mana masing-masing memelihara
solidaritas dan kebersamaan; (2) dialog melalui percakapan di mana
para ahli mempercakapkan ajaran agama mereka masing-masing; (3)
dialog spiritualitas lewat ibadah dan doa bersama dari beragam agama;
dan (4) dialog dalam tindakan lewat kerjasama mengusahakan kedamaian
dan keadilan29.
Tujuan dalam dialog dapat ditetapkan misalnya (1) memupuk
persauda-raan lintas agama, (2) merayakan bersama hari raya agama dan
nasional,
(3)
menghindari sikap intoleran dan mencegah konflik komunal, dan (4)
mengupa-yakan keadilan
sosial dengan merancang berbagai pendekatan konstruktif terhadap
masalah-masalah sosial30.
Refleksi
teologis
Nurcholish
Madjid benar dengan perkataannya bahwa Islam memberikan landasan
teologis yang memadai untuk mencari titik temu antara penganut
berbagai agama berkitab suci (Q.S. Ali ’Imran/3:64) dan jika titik
temu gagal atau ditolak, maka masing-masing harus diberi hak untuk
secara bebas memperta-hankan sistem keimanan yang dianutnya. Titik
temu antara agama-agama adalah paham Ketuhanan Yang Maha Esa dalam
sila pertama Pancasila31.
Jelas bahwa Islam pun terbuka terhadap pluralisme agama dan dialog
dan ini dapat menjadi pintu
masuk bagi
kekristenan berdialog dengan umat Islam. Dengan belajar dan mengerti
pemahaman agama lain dari sumbernya langsung, maka jelas sikap
eksklusivisme dan inklusivisme sudah tidak tepat dipertahankan dalam
konteks kemajemukan Indonesia. Jika masih dan tetap dipertahankan,
itu dapat menya-kitkan hati, melukai perasaan dan menyuburkan sikap
antipati umat beragama lain terhadap umat Kristen. Kekristenan harus
keluar dari ketertutupannya dan mem-perbaharui paradigma teologinya
secara menyeluruh.
Pluralisme
agama menolong kita
untuk rendah hati menyadari bahwa sikap superioritas tidak
bermanfaat untuk mengerti orang lain lebih baik sebab Allah
mengasihi semua manusia tanpa terkecuali, dan karenanya kita harus
menjadi sesama (Lukas 10:36) atau menjadi sahabat bagi
saudara-saudara kita yang berkepercayaan lain32.
Pluralisme agama bukan berarti percampuran atau sinkretisme,
sebab keunikan masing-masing agama tetap dapat dipertahankan dan
dapat dikomunikasikan; dan bukan untuk dipertandingkan. Dengan
demikian kita dapat mengatakan bahwa agama Kristen bukan jalan
keselamatan satu-satunya, melainkan satu dari antara bebarapa jalan
lainnya dan begitu sebaliknya. 33
Keterbukaan semacam ini menumbuhkan perdamaian dan toleransi dan
bukan pada tempatnya lagi saling menghujat, menyalahkan, apalagi
membunuh34.
Model
pluralisme Knitter
dengan dialog pluralistik yang bertanggungjawab global menurut saya
dapat dipertimbangkan untuk mengatasi masalah kemiskinan dan
kerusakan ekologi dalam konteks kita. Agama-agama harus memberikan
kontribusi yang berarti mengatasi kedua masalah besar itu. Tentunya
sebelum melangkah lebih lanjut perlu Gereja mempersiapkan dirinya
lebih baik dan hati-hati sehingga tidak ada motif terselubung yang
tidak etis misalnya mencari petobat baru atau kegamangan dalam
implementasinya. Model ini mendorong warga masya-rakat untuk
berdialog sebab dialog agama bukanlah monopoli kaum elit agama.
Musibah bencana alam dan kelaparan yang diderita sebagian rakyat
Indonesia tidak bisa ditangani secara darurat dan sambil lalu saja.
Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang dilakukan pemerintah tidak efektif
dan hanya merugikan keuangan negara. Masyarakat harus dilatih
kepekaan dan solidaritas terhadap sesama yang menderita apapun agama
dan kepercayaannya. Menumbuhkan kepekan dan solidaritas terhadap
sesama merupakan tugas agama yang hakiki.
Dalam
era globalisasi, agama-agama tetap memainkan peranan penting agar
masyarakat tidak hanyut dalam arus fundamentalisme dan liberalisme,
karena keduanya tidak peduli dengan eksistensi orang lain.
Jika agama-agama tidak dapat berdialog, maka kekerasan atas nama
agama dapat mencederai kesatuan bangsa dan menciptakan ketakutan
dalam masyarakat. Pluralisme agama menjadikan dikotomi
mayoritas-minoritas tidak relevan lagi sebab semua umat beragama
berpotensi sama baiknya membangun kehidupan bersesama secara damai
dalam bingkai kepelbagaian dalam kesatuan
(bhineka tunggal ika).
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdullah,
M. Amin, “Kebebasan Beragama atau Dialog Antar-agama”, dalam
J.B. Banawiratma, dkk., Hak
Asasi Manusia Tantangan bagi Agama,
Jogyakarta:
Kanisuis, 1999.
Adiprasetya,
Joas, Mencari
dasar bersama: Etik global dalam kajian
post-modernisme dan pluralisme
agama, Jakarta:
Gunung Mulia dan STT Jakarta, 2002.
Aritonang,
Jan S. “Sejarah Perjumpaan Gereja dan Islam di Indonesia”, dalam
Panitia Penerbitan Buku Kenangan
Prof. Dr. Olaf Herbert Schumann, Balitbang PGI, Agama
dan Dialog: Pencerahan, Pendamaian dan Masa depan. Punjung tulis 60
tahun Prof. Dr. Olaf Herbert Schumann,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.
Darmaputera,
Eka. “Prediksi dan proyeksi isu-isu teologis pada dasawarsa
sembilanpuluhan: Sebuah introduksi”,
dalam Soetarman SP, dkk., Fundamentalisme,
Agama-agama dan Teknologi,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.
Darmaputera,
Eka, “Teologi Persahabatan antar umat Beragama”, dalam Karel
Erari,
et.al., Keadilan
bagi yang lemah, Buku Peringatan Hari Jadi ke-67 Prof. Dr. Ihromi,
MA, Jakarta,
tanpa penerbit, 1995.
Hick, Jhon dan Knitter, Paul F,
Mitos Keunikan
Agama Kristen.
Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2001.
Knitter,
Paul F. No Other Name?; A Critical
Survey of Christian Attitudes
Towards theWorld Religions,
Maryknoll, New York: Orbis Book, 1995.
Knitter,
Paul F. Satu
Bumi Banyak Agama: Dialog multi-agama dan tanggung-
jawab global,
diterjemahan oleh Nico A. Likumahuwa, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2003.
Lefebure,
Leo D. Penyataan
Allah, Agama dan Kekerasan,
diterjemahkan oleh
Bambang Subandrijo, cet. 2, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2006.
Mulder,
D.C. “Perkembangan Dialog Antar Agama”, dalam Th. Sumartana,
dkk.,
Dialog: Kritik dan Identitas
Agama,
Yogjakarta: Penerbit Dian/Interfidei, t.th.
Riyanto,
F.X.E. Armada, Dialog
Agama dalam pandangan Gereja Katolik,
Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Schumann,
Olaf H. Menghadapi
Tantangan Memperjuangkan Kerukunan,
kata
pengantar oleh Komarudin Hidayat, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2004..
Sitompul,
Einar M. Gereja
menyikapi perubahan,
Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2004.
Suleeman,
F. dkk., (peny.) Bergumul
dalam pengharapan; Buku Penghargaan
Untuk Pdt. Dr. Eka Darmaputera,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.
Tanja,
Victor I.
Spiritualitas, Pluralitas dan Pembangunan di Indonesia,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994.
Urban,
Linwood, Sejarah
ringkas pemikiran Kristen,
diterjemahkan oleh Liem
Sien Kie, Jakarta: Gunung Mulia, 2003.
Surat
kabar
Kompas
28 Juli 2005.
1
Eka Darmaputera, “Prediksi dan proyeksi isu-isu teologis pada
dasawarsa sembilanpuluhan:
Sebuah
introduksi”, dalam Soetarman SP, dkk., Fundamentalisme,
Agama-agama dan Teknologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1993), hlm. 14-15.
2
Kompas 28 Juli 2005.
3
Einar M. Sitompul, Gereja menyikapi perubahan,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004),
hlm.
4.
4
Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agma: Dialog multi-agama
dan tanggungjawab
global,
diterjemahan oleh Nico A. Likumahuwa, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2003),
hlm.
4-5
5
Einar M. Sitompul, Ibid.,
hlm. 5
6
Jan S. Aritonang, “Sejarah Perjumpaan
Gereja dan Islam di Indonesia”, dalam
Panitia
Penerbitan Buku Kenangan Prof. Dr. Olaf Herbert Schumann, Balitbang
PGI, Agama dan Dialog: Pencerahan,
Pendamaian dan Masa depan. Punjung tulis 60 tahun Prof. Dr. Olaf
Herbert Schumann, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1999), hlm. 182.
7
Jan S. Aritonang, Ibid., hlm. 187.
8
Ibid.,
hlm. 194-197.
9Joas
Adiprasetya, Mencari dasar bersama:
Etik global dalam kajian
post-modernisme
dan pluralisme agama, (Jakarta:
Gunung Mulia dan STT Jakarta, 2002)
hlm.
49.
10
Linwood Urban, Sejarah
ringkas pemikiran Kristen,
diterjemahkan oleh Liem
Sien Kie, (Jakarta: Gunung Mulia, 2003), hlm. 478.
11
F.X.E. Armada Riyanto, Dialog Agama
dalam pandangan Gereja Katolik,
(Yogyakarta:
Kanisius, 1995), hlm. 23.
12
D.C. Mulder, “Perkembangan Dialog Antar Agama”, dalam Th.
Sumartana, dkk.,
Dialog:
Kritik dan Identitas Agama,
(Yogjakarta: Penerbit Dian/Interfidei, t.th), hlm. 241.
13
Joas Adiprasetya, Ibid., hlm. 64.
14
Leo D. Lefebure, Penyataan Allah, Agama dan Kekerasan,
diterjemahkan oleh
Bambang
Subandrijo, cet. 2, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hlm. 4.
15
Joas Adiprasetya, Ibid.
16
Paul F. Knitter, Ibid., hlm. 7
17
Victor I. Tanja, Spiritualitas,
Pluralitas dan Pembangunan di Indonesia,
(Jakarta: BPK
Gunung
Mulia, 1994), hlm. 123.
18
Paul F. Knitter, No Other Name?; A Critical Survey of
Christian Attitudes Towards the
World
Religions, (Maryknoll, New York: Orbis Book, 1995), hlm
hlm. 142
19
Lihat uraian lengkapnya dalam Jhon Hick dan Paul F Knitter,
Mitos Keunikan Agama Kristen. ( Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2001)..
.
21
Ibid., hlm. 49.
22
Ibid., hlm. 50-51.
23
Ibid., hlm. 81.
24
Ibid., hlm. 83.
25
Ibid., hlm 102-152.
26
Olaf H. Schumann, Menghadapi Tantangan Memperjuangkan
Kerukunan, kata
pengantar oleh Komarudin Hidayat,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 122.
27
F.X.E. Armada Riyanto, Ibid., 113-115.
28
Olaf H. Schumann, Ibid., hlm 122-123.
29
Victor I. Tanja, Ibid., hlm. 4-6.
30
Paul F. Knitter, Ibid., hlm. 245.
31
Nurcholish Madjid, “Islam dan Substansiasi Paham Kebangsaan di
Indonesia”, dalam
F.
Suleeman, dkk., (peny.) Bergumul dalam pengharapan; Buku
Penghargaan untuk
Pdt.
Dr. Eka Darmaputera, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), hlm.
490.
32
Eka Darmaputera, “Teologi Persahabatan antar umat Beragama”,
dalam Karel Erari, et.al.,
Keadilan
bagi yang lemah, Buku Peringatan Hari Jadi ke-67 Prof. Dr. Ihromi,
MA, (Jakarta, tanpa penerbit, 1995), hlm. 194.
33
John Hick, “Ketidakmutlakkan Agama Kristen“, dalam, Jhon Hick
dan Paul F Knitter,
Ibid.,
hlm . 55.
34
M. Amin Abdullah, “Kebebasan Beragama atau Dialog Antar-agama”,
dalam
J.B.
Banawiratma, dkk., Hak Asasi Manusia Tantangan bagi Agama,
(Jogyakarta:
Kanisuis,
1999), hlm 58-59.
- Stephen's blog
- 13949 reads
Tulisan yang bagus Stephen
Tulisan yang sangat bagus Stephen! Saya akan memberi komentar lebih lanjut setelah benar-benar memahaminya. Yang anda perlukan adalah mengeditnya agar lebih mudah untuk dibaca. Mungkin anda harus mengcopy tulisan anda ke notepad, baru mengcopy dari notepad ke blogg. Kemudian mengeditnya kembali.
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak