Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Pintar plus!
“Aku ndak pacak nyetir, pak,” jawabnya dengan dialek Palembang.
“Kalau kamu tidak bisa nyetir mengapa dulu melamar pekerjaan ini.”
“Di iklan koran ditulis punya SIM-A. ‘Kan tidak ditulis bisa nyetir mobil? SIM-A aku punya, pak,” jawabnya serius tanpa bermaksud membuat dagelan.
Biar bodoh tapi jujur.
Dia calon pegawai baru di kantor cabang Palembang, dengan jabatan penyelia salesman. Setelah sebulan putra daerah ini menumpang di mobil-mobil salesman untuk pengenalan pekerjaan, sore itu ia saya panggil ke kamar kerja saya.
Saya sorongkan kunci mobil. “Mulai sore ini kamu boleh membawa mobil kantor pulang rumah. Hati-hati. Jangan lupa pakai safety belt karena bila terjadi kecelakaan dan ketahuan kamu tidak pakai sabuk pengaman, kamu dipecat.” Dalam tugas sehari-hari seorang penyelia (supervisor) tidak didampingi supir walaupun sehari ia harus mengemudikan mobil sampai 300 kilometer jauhnya.
“Aku ndak pacak nyetir, Pak,” jawabnya dengan dialek Palembang.
“Apa? Kalau kamu tidak bisa nyetir mengapa dulu melamar pekerjaan ini.”
“Di iklan ditulis punya SIM-A. Kan tidak ditulis bisa nyetir mobil. SIM-A aku punya, Pak,” jawabnya serius tanpa bermaksud membuat dagelan.
Saya tidak tahu apakah harus terbahak atau mengaum. Saya tahu petugas seleksi yang datang dari kantor pusat akan pindah ke perusahaan lain. Tetapi saya tidak tahu ia melakukan his lastest activity ini begitu ceroboh. Ia tidak melakukan drive test.
“Kalau saya tulis bisa punya SIM-A dan bisa nyetir mobil, saya bisa dipenjara polantas, tahu! Orang kalau sudah punya SIM-A ya pasti bisa nyetir mobil.”
“Ndak juga, Pak. Banyak teman aku punya SIM-A tapi ndak pacak nyetir,” bantahnya tak mau kalah.
Singkat cerita, saya memberinya waktu 1 bulan untuk belajar mengemudi mobil dari seorang sopir perusahaan setiap sore hari di luar jam kerja. Bila ia gagal, saya akan menghentikan masa percobaannya. Ia berhasil lolos dari penalti ini karena selain belajar dari sopir perusahaan, ia juga mengambil kursus privat pada hari Minggu.
- o -
Suatu pagi ketika saya memberikan pengarahan kepada semua penyelia, saya bertanya kepadanya. “Kalau produk ini modalnya 10 ribu dan kita jual dengan keuntungan 10% tetapi kita harus bayar pajak 725 rupiah, berapa untung bersihnya?” Dia mengeluarkan kalkulator. Saya minta ia menghitung luar kepala. Sampai 2 menit ia tidak menjawab. Keringat membasahi dahinya. Sore hari setelah ia kembali dari lapangan, empat mata dia saya interogasi habis-habisan. Berapa 325 ditambah 400 ditambah 500? Berapa 10.000 dikurangi 5.995? Berapa 3.000 ditambah 450 ditambah 350? Kesimpulan akhir saya?
“Apa kamu dulu beli ijasah SD?”
“Kenapa saya harus mikir, Pak. Lalu apa gunanya kalkulator saya?”
“Saya beri kamu waktu satu bulan untuk belajar berhitung luar kepala. Sekarang kamu ke lapangan dan mampir ke Pasar 16 Ilir cari buku bekas SD kelas 5 dan 6. Kalau saya tes kamu masih bodoh berhitung, saya pecat kamu. ”
Sekretaris saya yang kamar kerjanya bersebelahan dengan saya agaknya mendengar perbincangan kami. Ketika ia menyodorkan beberapa dokumen untuk saya tandatangani, ia berkata, “Budak itu sebaiknya jangan ditugaskan di lapangan, daripada nanti ia nombok uang jutaan karena dibodohi pelanggan.”
Tetapi ia lolos lagi. “Berapa banyak buku bekas yang kamu beli, Jack?” tanya saya. Namanya Zakaria, tetapi teman-temannya memberi nickname Jack biar terdengar trendy. Ia menyukai nickname ini. Rupanya ia tidak mematuhi nasehat saya. Kebetulan anak-anak SD di lorong tempat tinggalnya patungan memanggil guru les matematika. Ia ikut menumpang belajar di situ.
“Kamu tidak malu belajar bersama anak-anak SD? Tidak malu ditertawain orang satu lorong?”
“Daripada dipecat Bapak,” jawabnya enteng.
Terbit hormat saya kepadanya. Bukan main pemuda ini! Pada dasarnya ia tidak bodoh, tetapi telah diperbodoh oleh lingkungannya yang mau serba instan. Ia jujur mengakui kebodohannya, tetapi ia tidak berhenti di situ. Ia kemudian belajar sekuat tenaga tanpa peduli orang sekitarnya menertawakan kebodohannya.
Dari Palembang saya kemudian dipindah-tugaskan ke kota-kota lain. Lima tahun kemudian saya harus memberi pelatihan pengolahan data dengan komputer kepada para penyelia di seluruh Sumatra, dari Banda Aceh sampai Bandar Lampung. Di Palembang saya tercengang melihat kecepatannya menangkap pelajaran padahal semua penyelia sebelumnya tidak pernah menyentuh komputer. Bahkan ia membantu membimbing rekan-rekannya yang dulu pernah menjadi pembimbingnya. Karena itu ketika saya melanjutkan perjalanan ke Bandar Lampung, dengan seijin atasannya ia saya bawa serta menjadi asisten saya.
Sebelum saya meninggalkan Palembang untuk pindah ke Padang, ia sudah populer di departemen kami. Setiap ada pertemuan nasional, ia selalu didaulat untuk menceritakan pengalaman-pengalamannya di depan forum, untuk selingan segar menghilangkan rasa kantuk, Orang menyukai kisah-kisahnya yang diceritakan dengan lugu dalam logat Palembangnya yang kental. Apalagi cerita-cerita tentang kejengkelannya terhadap atasannya yang gelo. Gara-gara ia tidak tahu nama perdana menteri Singapura, ia saya hukum mengisi TTS koran Kompas 2 kali seminggu selama 2 bulan. Sampai sekarang ia tidak tahu apa hubungannya PM Singapura dengan pekerjaannya, karena saya hanya menjawab sekenanya, “Siapa tahu PM Singapura suatu hari ingin ikut pacu bidar di Sungai Musi waktu perayaan tujuhbelasan dan kamu saya suruh menjemputnya di bandara.”
Di kesempatan yang lain ia memulai ceritanya dengan pembukaan seperti ini. “Waktu makan pagi tadi kita dapat jatah nasi goreng dan telur dadar. Apa saya salah kalau nasinya saya makan, telurnya saya bungkus untuk dimakan nanti malam?”
Manajer personalia yang duduk di sebelah saya berbisik, “Orangmu ini sudah mulai pintar. Mau cerita pakai analogi segala.” Saya menjawab, “Dan mulai memakai kata ‘saya’ dalam pertemuan formal.”
“Bapak-Ibu bilang tidak salah. Tetapi lain dengan boss saya. Saya pernah dimarahi boss setelah laporan bulanan pembelian bensin dan buku catatan kilometer mobil saya diperiksanya. Jack, mengapa malam hari ase mobil kamu nyalakan, tanyanya. Saya tidak tahu dari mana dia tahu kalau malam ase mobil saya nyalakan. Saya malah bingung waktu saya diajak hitung-hitungan. Daripada saya sakit karena stres, saya mengaku.”
“Anak pertama saya sekarang umur 6 bulan. Saya tidak punya pembantu. Jadi saya gantian dengan istri saya merawatnya. Saya dapat giliran jaga jam 9 malam sampai jam 2 pagi. Waktu kerja ase mobil tidak saya pakai. Saya rela kepanasan dalam mobil. Jatah ase saya pakai malam hari. Kalau pas giliran jaga anak saya bangun dan rewel, saya tidurkan dalam mobil dan ase saya nyalakan. Jam 2 istri saya bangunkan. Gantian dia tidur dalam mobil dan saya tidur dalam kamar.”
“Saya rela mendapat surat peringatan. Malah saya memintanya biar bisa saya tunjukkan kepada istri saya. Tapi boss tidak mau memberi walaupun saya paksa. Kamu tidak salah Jack, katanya. Asenya yang salah. Harusnya dia kerja siang hari, malah kerja malam hari. Lalu ase mobil saya disegel sehingga tidak bisa saya pakai selama sebulan. Malah boss bilang kalau ase itu salah lagi, dia mau memecatnya. Heran saya, ase bisa juga kena pehaka.”
Saking populernya beberapa kepala cabang menawarinya pindah tugas ke wilayah mereka karena menyukai karakternya. “Otaknya average saja, tetapi karakternya excellent,” begitu alasan mereka. Ia memang memiliki karakter kristiani, walaupun ia bukan orang Kristen. Rendah hati, suka menolong, pemaaf, penghibur, berdisiplin, berdedikasi, berkomitmen tinggi, tegas sekaligus lembut hati, dan suka membagi gratis ilmunya.
Cum laude tanpa nurani.
Di tempat kerjanya yang lama jabatannya direktur. Sebagai calon manajer senior di kantor pusat, ia dikirim ke cabang untuk magang kepada saya selama 3 bulan. Otaknya bukan main, cerdas sekali. Setelah sebulan berkelana bersama para salesman di pasar, saya minta ia membuat proposal untuk meningkatkan keuntungan perusahaan di wilayah saya. Semua lemari arsip dan komputer di kantor, saya umumkan terbuka untuknya agar ia bisa membaca semua data yang diperlukan. Hanya dalam bilangan hari, proposal itu sudah selesai. Kalaulah itu skripsi, saya yakin ia lulus dengan cum laude. Ia memang lulus S1 cum laude dan saat itu sudah menyandang gelar S2.
Tetapi ada sesuatu dalam proposalnya yang membuat saya sedih sehingga saya menelepon seorang rekan di kantor pusat untuk mendapatkan informasi lebih banyak tentang dirinya. Everything is okey, kemampuannya di semua bidang di atas standar, kata rekan saya. Bahkan ia lulus seleksi dengan catatan kaki “highly recommended” dari presiden direktur. Nah loe, apa tidak ngeri kalau sudah ada rekomendasi seperti itu dari orang nomor satu di perusahaan.
Saya tidak bisa mengerti bagaimana bawahan saya di matanya hanyalah sebuah bilangan yang bisa ditambah dikurangi seenaknya saja. Atau, paling tinggi hanyalah senilai sebuah mobil yang kalau sedikit cacat lebih baik diganti. Kesalahan-kesalahan karyawan yang terjadi dua tahun yang lalu dijadikan alasan untuk memecatnya. Status karyawan tetap dirubah menjadi karyawan harian agar lebih mudah menggantinya bila kinerjanya menurun. Sistim gaji bulanan dirubah menjadi komisi harian. Bagaimana bila hujan turun seharian sehingga mereka tidak bisa pergi menjual? Memangnya ia sekeluarga disuruh minum air hujan agar tidak kelaparan? Untungnya itu hanya sebuah proposal pembelajaran.
Tetapi kejadian-kejadian berikutnya membuat saya melihat betapa ia sangat egois sehingga bila perlu ia tidak segan menghancurkan orang lain demi keselamatan kariernya. Ketika ia kembali ke kantor pusat, saya mengirim imel ke big boss number one, “His brain is Enstein’s. Unfortunately he has no heart. I do not like to work with this cyberman.” Setahun kemudian ia di-terminate, karena manajer-manajer lain tak berhasil membantunya menemukan hatinya yang hilang.
Quo vadis pendidik Kristen.
Untuk suatu keperluan saya mengunjungi sebuah perguruan tinggi Kristen. Saya heran melihat busana mahasiswa-mahasiswanya. Kayak sedang dolan ke tetangganya saja bahkan tidak sedikit yang bersandal jepit plastik. Rasanya saya seperti berada di kampus seni rupa yang mahasiswanya sering tidur larut malam menunggu si ilham turun dari langit sehingga besok pagi terpaksa ke kampus tanpa sempat mandi. Saya merasa risih melihat hampir semua mahasiswa perguruan Kristen ini begitu bebas berpakaian sementara rektor sebuah IKIP sedang marah karena (hanya) beberapa mahasiswinya memamerkan pusar. “Mereka tidak boleh berpakaian seperti itu. Mereka itu calon pendidik,” begitu alasannya di surat kabar lokal sebagai reaksinya atas tuduhan menciderai HAM para mahasiswanya.
Tetapi sarjana lulusan universitas Kristen ‘kan tidak harus jadi pendidik? begitu saya coba menghibur diri. Lalu apa bedanya dengan universitas swasta lain yang tidak menempelkan atribut agama?
Seorang teman lulusan universitas Katolik berkomentar. “Dulu, waktu saya kuliah di jurusan eksakta, saya mendapat falsafat 4 semester. Dosennya impor dari seminari luar negeri, killer lagi. Waktu saya protes karena falsafat, yang sebetulnya agama dalam tanda petik, tidak punya hubungan dengan ilmu eksakta, dia bilang begini. Universitas ini ingin memproduksi sarjana yang dalam memraktekkan ilmunya, selalu melambarinya dengan iman kepada Tuhan. Jikalau tidak begitu, kata Katolik harus dilepas dari nama universitas ini.”
Itu dulu. Dulu sekolah-sekolah Kristen didirikan sebagai kepanjangan tangan Gereja dalam memperkenalkan iman kepada Tuhan Yesus. Tidak sedikit siswa yang ingin menjadi pendeta, bukan karena kotbah pendetanya, tetapi karena mendengarkan kesaksian-kesaksian gurunya. Sayang sekali sekarang Gereja sibuk berebut menambah jumlah anggota gerejanya sehingga tidak lagi care terhadap yayasan-yayasan pendidikannya. Dulu, renungan pagi dibacakan di depan kelas. Sekarang, renungan pagi dibacakan di kantor TU untuk disalurkan ke pengeras suara ke kelas-kelas sehingga murid bisa mendengar sambil cekikikan. Dulu, saya sampai sebel ditanya guru kapan mau pergi ke kebaktian remaja di gerejanya. Sekarang, guru-guru bila wisata keluar kota pada hari Minggu merasa tidak bersalah tidak mengagendakan jadwal ke gereja. Dan ketika saya yang ikut tur itu protes, mereka malah heran. “Masak absen satu kali saja kamu ribut. Pengurus yayasan saja nggak apa-apa.”
Saya tidak tahu mengapa para pendidik Kristen tidak lagi berusaha menanamkan karakter kristiani kepada anak didiknya ketika memberikan ilmunya. Jujur saya katakan, selama saya bekerja di perusahaan besar ini saya lebih banyak melihat orang-orang yang bukan Kristen mempunyai etos kerja yang jauh lebih baik daripada saudara-saudara seiman kita. Apa yang dikatakan oleh orang-orang Kristen yang kalah bersaing dalam berebut promosi? “Biasalah. Kalau kita mau pindah agama pasti karier lancar. Ini memang salib yang harus kita tanggung.” Bah, salib siapa pula itu? begitulah yang sering saya katakan kepada bawahan saya ketika saya bertugas di kota Medan.
Tetapi seorang teman saya tidak setuju dengan keluhan saya ini. “Bagaimana pun juga kesibukan gereja dalam menambah jumlah anggotanya masih punya hasil positip. Sekarang, di kota kecil saja kita dengan mudah – tidak seperti dulu – bisa menemukan dokter kristen, jururawat kristen, polisi kristen, pedagang kristen, sopir kristen, pengamen kristen, pengemis kristen, copet kristen, maling kristen, preman kristen, mucikari kristen, koruptor kristen.”
Iya ya. Betul juga dia.
(selesai)
Belum ada user yang menyukai
- Purnomo's blog
- Login to post comments
- 4836 reads
i like him
gue suka sama si jack... andai di kantor gue lebih banyak orang dengan karakter kayak dia :-)
tentang ini: "Apa yang dikatakan oleh orang-orang Kristen yang kalah bersaing dalam berebut promosi? “Biasalah. Kalau kita mau pindah agama pasti karier lancar. Ini memang salib yang harus kita tanggung.” Bah, salib siapa pula itu?"
ya, kata2 itu sering banget terdengar di lingkungan gue. dan sama kayak elo, gue juga jijik mendengarnya... sindrom martir (yang sayangnya kayaknya ga berani mati).
Nice blog, thank u purnomo..
Nice blog, thank u purnomo.. rasanya kayak diguyur air padahal di luar lagi ujan :) apa hubungannya ya? ga tau yah, cuma pengen komentar aj sih...
Tapi klo boleh jujur hari saya terselamatkan oleh blog Anda, karena Anda telah membuat saya tersenyum dari almost bad hair day yang menyebalkan dan mood yang roller coaster seharian...
I want to go home, but it's still raining out side :(
We can do no great things; only small things with great love -- Mother Theresa
Luar-biasa untuk ukuran orang biasa..
Purnomo :
Jujur saya katakan, selama saya bekerja di perusahaan besar ini saya lebih banyak melihat orang-orang yang bukan Kristen mempunyai etos kerja yang jauh lebih baik daripada saudara-saudara seiman kita.
Beberapa waktu lalu ketika membantu test wawancara recruitment di kantor .. kenyataan ini juga Joli lihat.. daya juang anak-anak raja sangat kalah jauh.. mungkin karena mental anak raja? karena "bapa" mereka kaya dan punya segalanya sehingga para anak-anak raja lebih suka menantikan pertolongan dibanding berjuang..
SI Jack dan boss nya sama-sama luar biasa untuk orang ukuran orang biasa..
Pergeseran nilai
Dunia pendidikan memang terus mengalami pergeseran nilai. Saya kira nilai-nilai kekristenan harus terus direproduksi lewat cara-cara yang lebih cocok dengan zaman ini. Pendidikan tadinya bisa demikian diandalkan dan sekarang tidak lagi. Web 2.0 seperti social networking dan blog menjadi salah satu frontier baru yang terbuka. Tinggal kita mau memanfaatkannya atau tidak.
.
hmmmm...
hmmmm... salah satu blogger favorit saya hehehe
but the one who endure to the end, he shall be saved.....
but the one who endure to the end, he shall be saved.....