Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Pilihan dalam sebuah kurungan ayam
Asih duduk dalam kurungan ayam yang berisi berbagai mainan dan barang. Ia diharap mengambil satu di antaranya. Ia menoleh berkeliling kepada orang-orang yang duduk mengelilingi kurungan itu. Ayahnya menunjuk-nunjuk Alkitab berharap puterinya kelak jadi pendeta. Tetapi ibunya menunjuk stetoskop berharap Asih menjadi dokter. Tante-Oomnya tak mau ketinggalan ikut menunjuk barang-barang lain. Riuhlah suasana dan Asih menangis.
Asih, cucu mbakyu ibuku, genap berumur pitung selapan (7 x 35 hari). Neneknya mengundang Ibu untuk menghadiri upacara tedhak sinten (menginjak tanah) Asih sekalian reuni keluarga. Bude juga menyuruhku datang agar aku tidak menjadi “wong Jowo kelangan jowone” (orang Jawa kehilangan ‘jawa’nya).
Walau yang diundang hanya sanak famili saja, rumah orang tua Asih sudah terasa sesak. Setelah menyapa sekitar 30 orang yang hadir yang semuanya aku kenal, aku mendekati Ibu. Aku mendekatkan mulutku ke telinganya.
“Apa pendeta gereja Bude belum datang?” tanyaku.
“Bude tidak mengundang pendeta. Pendetanya tidak mengerti tradisi Jawa.”
“Seharusnya Bude tidak usah menyelenggarakan upacara ini.”
“Sssh, jangan usil. Begitu upacara dimulai, kamu harus ada di samping Ibu. Ini perintah, bukan himbauan.”
“Biar I’in tidak berkotbah luruskanlah jalan Tuhan?” bisikku sambil menahan tawa.
“Biar Ibu bisa menjelaskan makna setiap acara. Mau tidak?”
Sekitar pukul 10, acara dimulai. Ayah Asih dalam pakaian tradisional Jawa tanpa keris terselip di pinggang, didampingi istrinya yang tampak tambah cantik dalam pakaian tradisional, mengucapkan terima kasih atas kehadiran para tamu undangan.
Acara dilakukan di ruang keluarga yang lantainya telah dialasi tikar. Kami duduk berkeliling di atas tikar. Selembar plastik panjang dibentangkan di tengah ruangan. Di atasnya diletakkan 7 potong jadah yang dibuat dari beras ketan dalam berbagai warna. Asih yang belum bisa berjalan, dituntun oleh orangtuanya menginjakkan kakinya di jadah pertama yang berwarna merah. Sepertinya Asih senang menginjak barang lunak. Ia berteriak-teriak sambil melompat-lompat di atas jenang itu. Yang menonton tertawa melihat tingkah lucunya.
“Kita lihat Asih sudah memulai acara tedhak sega pitung warna, menginjak jadah tujuh warna.” Kata Bude dengan suara lantang.
“Pemandu wisata budaya amatir tidak terpakai,” aku berbisik ke telinga Ibu. Ibu mencubit pahaku.
“Jadah pertama berwarna merah, melambangkan keberanian,” Bude meneruskan presentasinya. “Dalam menapaki kehidupan ini, orang harus memulainya dengan keberanian.”
“Tetapi keberanian saja tidak cukup,” suara bariton membuat aku menoleh ke arah lain. Ternyata Pakde sekarang yang berbicara. Bukan main, dua orang dalam sebuah presentasi seperti di tivi saja. “Keberanian saja bisa membuat orang menjadi arogan, otoriter bahkan melawan Tuhan. Karakter yang harus menyertainya dilambangkan oleh warna jadah kedua, putih, kesucian. Keberanian tidak boleh meninggalkan kesucian yang terkandung dalam hukum dan perintah Tuhan.”
“Jadah ketiga berwarna merah muda,” Bude melanjutkan. “Merah muda melambangkan kelembutan hati. Kita berharap Asih kelak mengamalkan kesucian agamanya dengan kelembutan hati, bukan dengan kekerasan.”
“Mulai tendesius,” bisikku membuat mata Ibu mendelik.
“Jadah keempat berwarna hijau yang melambangkan kehidupan dan alam semesta. Kita berharap dengan keberanian, kesucian dan kelembutan hati, Asih memperoleh kehidupan yang baik tanpa merugikan masyarakat sekelilingnya atau merusak alam semesta.”
“Jadah kelima berwarna kuning yang melambangkan sinar matahari yang memberi kehangatan dan kehidupan bagi isi dunia ini. Alangkah indahnya ketika kelak Asih menjadi berkat bagi seisi dunia ini.”
“Jadah keenam berwarna ungu, melambangkan kesempurnaan hidup, yang akan dicapai Asih dengan tetap berada di jalan Tuhan dan tulus merendahkan diri di hadapan Tuhan. Bagaimana dengan jadah terakhir, Yangkung (eyang kakung, kakek)?”
“Jadah terakhir berwarna hitam yang melambangkan keabadian. Akhir kehidupan di dunia ini bukan akhir segalanya. Keabadian bersama Tuhan Sang Pencipta akan menyambut Asih,” kata Pakde.
Setelah jadah terakhir, Asih dituntun ke sebuah nyiru yang biasanya dipergunakan untuk menampi beras. Nyiru itu berisi tanah. Asih menginjak-injak tanah. Inilah inti acara tedhak siten.
“Jika di desa, nyiru tidak diperlukan karena acara ini dilakukan di halaman rumah,” bisik Ibu. “Orang desa tidak mengubin halaman depannya. Begitu lepas dari jadah terakhir maka si anak langsung menginjak tanah.”
“Acara kedua adalah menaiki tangga yang dibuat dari tebu berwarna kehitaman. Tebu wulung, orang Jawa menamainya,” kata Bude. “Orang Jawa senang mengotak-atik sebuah kata sehingga menjadi sebuah kalimat yang menjelaskan kata itu sendiri atau sebuah nasehat. Misalnya, dubang, idu abang, ludah merah. Kerikil, keri ning sikil, geli di kaki. Kain yang dikenakan untuk menutup tubuh dari pinggang sampai mata kaki disebut jarik. Kata jarik ini bisa dipanjangkan menjadi aja gampang serik, jangan mudah iri. Apalagi Yangkung?”
Dengan wajah serius Pakde menjawab, “Sepur (kereta api), asepe metu nduwur (asapnya keluar atas). Sepeda, asepe tidak ada.”
Hadirin terbahak. “Dukati!” seorang di antara keponakan Pakde berteriak menyela.
“Dukati? Dukati, kudu kalem lan ngati-ngati (harus tenang dan berhati-hati),” kata Pakde disambut tawa ramai.
Pakde punya kesayangan sebuah sepeda motor kuno bermerek Ducati. Tidak ada seorangpun yang bisa meminjamnya. Beberapa keponakannya diam-diam bertaruh 100-ribuan. Siapa yang bisa lebih dulu meminjam kesayangan Pakde untuk satu hari, ialah pemenangnya. Hari dengan akal bulusnya berhasil memenangkan sayembara itu. Ia mengendarai kendaraan itu mengunjungi sepupu-sepupunya untuk menagih uang taruhannya. Dalam perjalanan pulang untuk mengembalikan Ducati itu, mendadak hujan turun dengan lebatnya. Ia panik karena tahu ia harus melalui beberapa ruas jalan yang rawan banjir. Maka ia mempercepat laju motornya. Ia lupa pesan Pakde untuk menjaga kecepatan lajunya tidak melebihi 25 km. Ia tancap gas sampai mentok dan mesin motor kuno itupun rontok. Pakde marah. Bahkan amat sangat marah ketika ada yang memberitahu Ducatinya dijadikan bahan taruhan. Hari harus memperbaiki dengan uangnya sendiri. Hari nombok karena uang yang dimenangkannya tidak mencukupi.
“Dekawe!” teriak seseorang.
“Tebu wulung!” teriakan Bude membuat Pakde batal menanggapi fansnya. “Tebu biasa dimaknai dengan anteb ing kalbu, mantap dalam semangat. Kita berharap Asih meniti karir hidupnya dengan semangat mantap sampai puncak tertinggi.”
Tangga tebu itu disandarkan di dinding. Tingginya tidak lebih 1 meter. Dengan bantuan kedua orang tuanya kaki Asih ditapakkan dari anak tangga terbawah sampai yang tertinggi untuk kemudian ia diangkat tinggi-tinggi di udara oleh ayahnya.
Jajaran jadah sudah disingkirkan dan sebagai gantinya di tengah ruangan diletakkan sebuah nyiru. Sepotong kue berwarna merah-putih-kuning selebar dua telapak tangan orang dewasa diletakkan di dalamnya.
“Sekarang kita memasuki acara ceker-ceker, yang bisa diartikan mengais-ngais dengan mempergunakan kaki. Asih akan menginjak-injak jenang yang disebut jenang blowok yang melambangkan perjalanan hidup Asih kelak. Kata blowok berasal dari kata keblowok atau terperosok. Walaupun semua orang ingin hidupnya lancar-lancar saja, tetapi kenyataan hidup itu tidak mulus seperti yang kita inginkan. Kita sering terperosok. Ceker-ceker mengingatkan kita untuk tidak berdiam diri, menyerah, tidak melakukan usaha apapun dan kehilangan semua harapan saat terperosok atau berada di titik nadir.”
Acara ini berjalan singkat karena Asih tidak suka kakinya menginjak barang yang lengket. Jangankan mengais, setelah kakinya menyentuh jenang itu Asih mengangkat kedua kakinya tinggi-tinggi sehingga tubuhnya bergantung pada tangan ayahnya. Segera ibunya membersihkan kakinya dengan air yang sudah disediakan.
Jenang disingkirkan dan sebuah kurungan ayam berhias kertas warna-warni menggantikannya. Di dalam kurungan itu dimasukkan berbagai macam mainan dan benda-benda kecil.
“Sesaat lagi kita akan menyaksikan acara kurungan ketika Asih dimasukkan ke dalam kurungan ayam yang berisi banyak barang. Asih diharapkan mengambil satu atau beberapa barang itu. Acara ini untuk melambangkan dunia yang menyediakan berbagai pilihan untuk kita ambil dan kemudian hidup bersamanya. Yangkung, mengapa kurungan ayam yang diwajibkan dalam acara ini?”
Setelah berdehem beberapa kali, Pakde menjawab. “Kalau pakai kurungan burung, mana cukup buat Asih? Kekecilan,” kata Pakde melucu. “Kalau pakai kurungan kerbau, pasti orangtuanya dan kita semua ikut-ikutan masuk.”
Pakde mengangkat tangan meminta hadirin menghentikan tawanya. “Tenang, ini serius bukan dagelan. Jika kita berpendapat upacara tedhak sinten ini diselenggarakan untuk si anak, itu salah besar. Tradisi ini dipelihara dengan maksud untuk mengingatkan para orangtua akan tanggungjawabnya dalam membimbing hidup anaknya. Waktu menginjak jadah 7 warna, Asih dibimbing orangtuanya. Waktu naik tangga, ayah-ibunya ada di kanan-kirinya. Waktu Asih jijik menginjak jenang blowok, ia bergayut pada tangan ayahnya. Tetapi dalam acara kurungan ini, Asih harus menjalaninya sendiri. Ini untuk mengingatkan para orangtua untuk membiarkan anak menetapkan pilihannya sendiri. Misalnya dalam bidang studi. Orangtua memaksa anaknya masuk seminari tanpa mau tahu anaknya senang akutansi.”
“Nyindir nih, nyindir,” seseorang berteriak.
“Memangnya teologi sama akutansi tidak bisa disatukan?” Hari gendut berargumen.
“Kalo eloe sih pintar nyatuin apa saja,” komentar Wawan kakangnya. “Sekolah teologi, taruhan tetap hobi.” Semua cekakakan. Gara-gara Ducati, Wawan yang tidak ikut taruhan harus merelakan sebagian tabungannya untuk mensubsidi Hari.
“Juga dalam memilih pasangan hidup,” Pakde meneruskan, “orangtua tidak boleh menentukan siapa yang harus menjadi jodoh anaknya. Biarkanlah anak memilih sendiri.”
“Ikut membantu anak menyeleksi calon finalis apa tidak boleh?” tanya Bulik Mira.
“Itu ‘kan terserah orangtuanya mau jadi moderator, promotor, provokator, atau fasilitator,” Diva puteri Bulik Mira yang ada di sampingku berkomentar. “Kalau mau menyenangkan anak, orangtua sebaiknya jadi fasilitator. Senang sekali ya Wan?”
“Senang apanya?”
“Hari ini kita nonton Asih injak tanah. Tahun depan kita nonton Wawan injak telor,” teriak Diva. Tiba-tiba saja sepupu-sepupunya memeluknya ramai-ramai. Wawan berteriak-teriak kesakitan karena tubuhnya berada di tumpukan paling bawah. Apalagi Gendut ikutan menindih kakangnya.
“Diharap semua tamu tetap tenang, tidak histeris atas munculnya breaking news ini,” teriak Bude mengatasi emosi massal ini. “Mengapa yang dipergunakan kurungan ayam? Ayam adalah binatang yang mandiri. Ayam waktu masih anak-anak sudah mencari makan sendiri. Ia tidak disuapi oleh induknya seperti burung. Kurungan ayam ini diharapkan mengingatkan orangtua bahwa anaknya mempunyai hak dan kewajiban untuk mandiri. Acara dimulai!”
Asih duduk dalam kurungan ayam yang berisi berbagai mainan dan barang. Ia diharap mengambil satu di antaranya. Ia menoleh berkeliling kepada orang-orang yang duduk mendekat mengelilingi kurungan itu. Ayahnya menunjuk-nunjuk Alkitab kecil berharap puterinya kelak jadi pendeta. Ibunya menunjuk stetoskop berharap lain. Tante-Oomnya tak mau ketinggalan ikut menunjuk barang-barang lain. Riuhlah suasana dan Asih menangis ketakutan.
Ibunya segera mengeluarkannya dari kurungan dan menggendongnya. “Adegan ini harus diulang karena belum tuntas,” usul Ida yang bertugas mendokumentasikan semua acara ini dengan hendikemnya. Tetapi ibu Asih mengangkat tangan kiri anaknya. Ternyata Asih menggenggam 2 batang pinsil warna. “Asih mau mewarnai dunia,” katanya.
“Acara berikutnya disebut nyebar udhik-udhik,” Bude kembali berhalo-halo. “Dalam acara ini orangtua si anak menyebarkan beras, kacang hijau, kacang merah dan uang logam untuk diperebutkan oleh hadirin. Tetapi untuk Asih acara yang mengingatkan kita untuk memelihara semangat berbagi ini telah dimodifikasi. Asih bersama orangtuanya akan ke halaman depan untuk melakukan acara nyebar udhik-udhik. Para tamu boleh ikut keluar melihatnya, boleh juga tetap di sini menikmati jajan pasar tradisional Jawa.”
Di halaman depan telah berkumpul banyak orang. Melihat Asih dan orangtuanya telah keluar, petugas memulai acara. Satu persatu mereka datang ke meja panitia menukarkan selembar kupon dengan kantong plastik yang telah disediakan. Lalu mereka menyalami orangtua Asih untuk mengucapkan terima kasih.
Ibu yang ada di sampingku berbisik, “Bude membagikan 50 lembar kupon kepada mereka yang kurang mampu di dua RT. Dalam kantong plastik itu ada beras 2 kilo, gula pasir ½ kilo, uang 20 ribu rupiah dan jajan pasar.”
Melihat Asih mulai rewel karena dicoleki orang, Ibu mengambilnya dari gendongan ibunya dan membawanya ke dalam. Aku mengikutinya. Ibu menyerahkan Asih kepada Bude dan memberitahu aku ia mau ke dapur untuk ikut menyiapkan konsumsi. Baru saja aku menghabiskan satu pincuk blenduk, orangtua Asih telah kembali ke ruang upacara. Bude segera menempatkan dirinya kembali sebagai emsi.
“Kita tiba di acara penutup yang disebut siraman. Air untuk keperluan ini harus diletakkan di luar rumah agar kena embun semalaman. Paginya dijemur di bawah sinar matahari. Kata orang, ini untuk menyerap energi alam malam dan siang. Selain itu juga beberapa jenis bunga ditaburkan di atas air itu. Bagaimana pendapat Yangkung?”
“Yangkung berkata itu tidak benar. Dengan membiarkan air itu di udara malam dan pagi serta memberi taburan bunga sebetulnya orang ingin unsur-unsur energi yang terkandung dalam air itu sama dengan yang ada di sendang atau telaga di desa jaman dahulu. Tetapi melakukan proses ini sekarang malah berisiko tinggi. Jika ada tetangga membakar sampah, abunya bisa mengotorinya. Nyamuk debe mungkin menitipkan telurnya. Karena itu air itu diganti dengan air yang kebersihannya sama dengan air sendang jaman dulu, untuk mengingatkan orangtua Asih agar selalu menjaga kebersihan lahir-batin anaknya setiap hari. Untuk siraman telah disediakan air mineral sebanyak 2 galon. Setelah itu kepada Asih akan dikenakan pakaian baru. Bagaimana Yangti (eyang putri, nenek)?”
Kembali Bude berpidato. “Agar tidak dituduh sengaja melanggar undang-undang porno, maka acara siraman dilakukan di kamar mandi belakang oleh orangtua Asih dan hanya boleh disaksikan oleh tamu-tamu sepuh dan perempuan.”
Lima belas menit kemudian Asih kembali ke ruang upacara dengan baju baru, gaun batik. Semua hadirin bertepuk tangan. Beberapa petugas dapur datang meletakkan 7 nyiru berisi nasi tumpeng dengan beraneka lauk yang menerbitkan selera. “Kita akan makan bersama,” kata Yangkung.
“Horeeeeee!”
“Tetapi sebelumnya kita akan merenungkan satu dua ayat Alkitab dan kemudian menaikkan doa syukur.”
“Huuuuuuu”
Mendadak suara ungkapan kekecewaan itu lenyap bagai kena mantera sirep. Semua menatap ke arah Yangkung. Di sebelahnya telah berdiri seorang wanita. Kebayanya berlengan panjang dari kain brokat merah keunguan ujungnya sampai ke pinggul. Di bagian depan kebaya bertaut serenteng peniti. Jariknya berwarna kuning tua keemasan dengan lipatan wiron di sisi kiri dan sehelai selendang tersampir di pundak. Rambutnya disanggul model kerucut berhias untaian bunga melati dengan sepasang tusuk konde emas. Kedua telinganya yang tak tertutup rambut memperlihatkan keindahan subang kecil yang dikenakannya. Ia bagai hendak memunculkan kembali pesona busana klasik Jawa. Bersama dengan senyumnya yang samar penampilannya memancarkan daya pukau yang membuat orang terpana. Ia memegang sebuah Alkitab terbuka.
Mungkin ketika berusia pitung selapan ia juga dimasukkan ke kurungan ayam dan membawa keluar sebuah cermin dan Alkitab. Tetapi biarlah aku mencari kepastian ini nanti sewaktu kami berada di rumah. Sekarang, biarlah aku diam menyimak apa yang akan dikatakannya tentang upacara tedhak sinten. ***
Belum ada user yang menyukai
- Inge Triastuti's blog
- Login to post comments
- 5339 reads
"Tedhak sinten..."
Shallom,
Wah - wah tulisan ini mampu membuatku masuk ke dalam suasana budaya jawa yang sangat kental, meski skrg aku tinggal di negeri orang....
Salut buat mbak Inge....
Aku memang sudah tunggu lama tulisan - tulisan mbak Inge yang aku kategorikan sebagai cerpen kristen bila search di google.
Aku tunggu tulisan berikutnya ya mbak Inge........!
GBU
laskris007