Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Pergi Memancing
Kelas lima, masih segar dalam ingatan ketika mendapat tugas mengarang. Mengarang apa saja, terserah. Tidak ada aturan, tidak ada batasan. Bukan karena pak guru sudah membaca Toto Chan, tetapi karena kesempatan baginya sedikit santai. Kesempatan meninggalkan kelas dan mengobrol di ruang guru.
Aku juga menyukainya. Guru pergi artinya bebas jalan-jalan di dalam kelas. Lalu boleh mengarang apa saja dengan gaya apa saja, artinya bukan tentang gaya tulisan, tetapi kebebasan mengarang dengan gaya berdiri, gaya duduk, atau gaya jalan-jalan di kelas mencari ide dengan mengganggu yang lain.
Aku bingung mau mengarang apa. Akhirnya ingat Om Siber, tetangga samping rumah yang suka memancing. Tiap hari pergi ke sungai dengan setangkai pancing. Aku sering melihatnya duduk sambil tiduran di sebuah ceruk, tidak jauh dari rakit tempat kami mandi.
Rakit, ukuran sebuah jarak. Setiap rumah pasti punya sebuah rakit. Bila mau tahu jumlah rumah di kampung, cukup mudah. Hitunglah jumlah kelompok rakit yang berderet sepanjang sungai. Kalikan dua kemudian hasilnya dikurangi dua juga. Bila musim hujan, ada tambahan rumus, tambahi dengan lima persen.
Mengapa? Kampung kami, seperti kampung lain sepanjang sungai ini, memanjang sejajar sungai. Sebuah jalan memanjang mengikuti arah sungai juga. Lalu rumah-rumah penduduk saling berhadapan ikut berderet sejajar sungai pula. Tentu saja, rumah yang berhadapan pasti memiliki rakit yang sama. Itulah sebabnya mengapa harus dikalikan dua, dalam keadaan normal, dua rumah yang saling berhadapan berbagi satu rakit.
Dua orang yang kebetulan rumahnya berhadapan sedang bermasalah. Seorang dari mereka membuat keputusan ekstrim, membuat rakit sendiri di seberang sungai, setiap pagi naik perahu ke sana, perahunya ditambat di rakit tetangga sebelah. Itulah sebabnya mengapa rumus tadi harus dikurangi dengan dua, ada dua rumah saling berhadapan memiliki dua rakit.
Di musim hujan, pasti ada kemungkinan satu-dua rakit penduduk yang hanyut. Ada juga yang tersambar rakit perusahaan. Rakit berbentuk rantai ratusan kayu gelondongan, mengikuti arus melakukan perjalanan ke kota atau keluar daerah, kadang menyambar rakit penduduk. Itulah sebabnya rumus sederhana tadi harus ditambahi lima persen, namanya kompensasi. Sebuah angka kerusakan yang dilaporkan ke kota oleh perusahaan-perusahaan kayu.
Tempat Om Siber memancing, lima puluh meter hilir rakit kami, dua puluh meter dari rakitnya sendiri. Ia bisa berjam-jam di sana. Kalau dapat ikan, sebagian di jual untuk membeli beras, sebagian dimakan sendiri. Ia belum menikah, walaupun sudah tua. Bila ditanya kenapa tidak menikah, ia menjawab dengan enteng, "Lebih enak sendiri, tidak perlu pusing-pusing memikirkan makan apa."
Puas jalan-jalan di kelas, aku mulai mengarang.
***
Inilah ceritaku, tentu aku tidak ingat kata-kata persisnya, tetapi aku masih ingat inti apa yang kukarang waktu itu:
Pada suatu hari, aku sedang memancing, berjam-jam menunggu tanpa seekorpun ikan melirik kepompong yang kuambil dari rumpun pisang di belakang rumah. Sabar aku menunggu, sambil bersandar di sebatang
pohon yang daunnya begitu lebat, menutupi sampai jauh ke tengah sungai. Tempat yang benar-benar cocok untuk memancing.
Air mengalir dengan tenang di pertengahan musim kemarau ini. Suasana tenang ini membuatku tertidur, entah apa yang membuatku masih tetap bisa memegang tangkai pancing. Pancing yang tidak perlu kutahan sebenarnya, sudah menempel di tanah.
Tidak tahu berapa lama tertidur, tiba-tiba ada sebuah tarikkan. Cukup kuat untuk membuatku terbangun. Hanya refleks yang membuatku bisa mencegah tangkai pancing ditarik ke air.
Tepat waktunya untuk menarik kail, melihat ikan yang cukup besar, sebesar betis. Aku sangat senang, saking senangnya, lupa ikan ini masih meronta dan akhirnya melepaskan diri.
Dan akhirnya aku pulang dengan tangan hampa.
***
Kami masih punya waktu bermain sampai akhirnya guru masuk dan menyuruh mengumpulkan karangan masing-masing. Hari itu juga kami mendapatkan kembali karangan kami dengan nilainya juga. Aku mendapat empat, teman-teman ada yang mendapat delapan bahkan sembilan. Guruku berkata, suatu saat aku akan mengerti mengapa karanganku mendapat nilai serendah itu. Dan menambahkan, saat sekarang, aku akan sulit memahaminya.
Aku tidak pernah memikirkannya. Mendapat angka empat bukanlah masalah besar. Tetapi sekarang, setelah sekian lama, aku mulai mengerti sedikit apa maksud guruku. Mengerti mengapa ia tidak bisa menjelaskannya.
Ia berkata suatu saat aku akan mengerti sendiri. Ya, akhirnya aku mengerti.
- anakpatirsa's blog
- 7888 reads
Aku tidak mengerti
Aku tidak mengerti. Anakpatirsa kenapa kamu dapat angka empat? Karanganmu waktu kelas lima SD itu aku nilai cukup lumayan. Kenapa ya kamu dapat angka empat? Maukah kamu menjelaskan?
@SF: Ada Latar Belakangnya
Guruku ini pernah berpesan pada ayah, "Anakmu disuruh jadi pengarang saja nanti."
Ide itu kami tertawai. Di kampung, menjadi pengarang artinya menjadi orang yang tidak punya pekerjaan.
Lalu mengapa ia memberi nilai empat? Karena setelah membacanya, ia tahu aku tidak sungguh-sungguh mengerjakan tugas ini. Ia menilai karanganku dengan membandingkannya dengan tugas karanganku sebelumnya.
Mengapa aku mengerti sekarang? Aku sering menuntut orang menilai hasil pekerjaanku dengan membandingkannya dengan hasil orang lain. Sekarang aku menyadari, tidak seperti itu. Kadang orang menilai hasil pekerjaan kita dengan seberapa besar potensi ada yang kita keluarkan untuk menyelesaikannya.
Guruku tahu aku bisa mengarang sesuatu yang lebih baik dari sekedar cerita tentang kemalasan.
Kamu memang berbakat jadi pengarang
Kamu memang berbakat jadi pengarang. Semoga kamu diberkati dengan sukacita, kesehatan dan umur panjang sehingga saya dan banyak orang lainnya bisa tetap menikmati tulisan-tulisanmu.
@AP: semoga sukses....
Semoga sukses sebagai pengarang hebat nantinya bro AP.
Tidak sabar untuk menunggu, suatu saat di koran-koran nasional nanti, ketika bro AP melaunching karya-karyanya.
Saat itulah saya akan berkata kepada teman-teman saya: "Inilah Anak Patirsa, sahabatku di Sabda Space dulu...."
Shalom!
(...shema'an qoli, adonai...)
(...shema'an qoli, adonai...)
AP
nulis kok bisa bagus tuh piye tho carane?? bener yang noni bilang, kita2 yang kebanyakn "nyerocos" susah kalo mau nulis, udah habis bahannya pas waktu nyerocos hehehehehe
but the one who endure to the end, he shall be saved.....
but the one who endure to the end, he shall be saved.....
Bila bosan, sahabat, dan supaya bagus
@SF:
Terima kasih atas doanya. Kadang timbul kebosanan, tetapi semangat itu kembali timbul bila menyadari, ada orang yang mau menikmati tulisan itu.
@ebed_adonai:
Terima kasih kawan.
Kalau orang menanyakan sahabat-sahabat saya, pasar ini membuatku punya banyak sahabat. Termasuk seorang yang selalu menyapa kami setiap malam. Menyebut kami kekasih.
@AES:
Gara-gara avatar itu, saya mengira AES itu seorang bertubuh kecil, ternyata saya salah.
Menulis yang bagus? Saya tetap suka kalimat ini, Practice makes perfect.
Saya menyukai istilah draft, menulis apa yang ada dalam pikiran. Setelah selesai, itu belum menjadi sebuah "tulisan". Saat memperbaikinya, itulah saat menikmati indahnya menulis. Saat itu mungkin rasanya seperti seorang pematung yang tidak lagi mengolah batang kayu menjadi sesuatu bentuk. Tetapi seperti pematung yang sedang mengolah kayu yang sudah ada bentuknya.
Mengerjakan draft, bagiku berarti memperbaiki susunan kalimat, memperbaiki jalan cerita. Itu membutuhkan waktu lebih lama daripada menyiapkan tulisan kasarnya. Tetapi saat itulah aku menikmatinya.