Saya tahu yang di dalam sekolah teologi ada yang merasa terhina bila disamakan dengan orang yang kuliah di kedokteran, farmasi, teknik apalagi sastra. Mereka yang masuk teologi adalah orang-orang yang berhasrat melayani Tuhan sepanjang hidupnya sedangkan yang lain hanya akan melayani perutnya sendiri. Komunitas Kristen juga mengamini. Buktinya, mahasiswa teologi lebih mudah mendapatkan beasiswa daripada mahasiswa non-teologi. Buktinya, mahasiswa teologi masuk dalam daftar doa syafaat dalam ibadah Minggu di gerejanya sedangkan yang lain boro-boro didoakan, diingat saja tidak.
– o –
“Pendeta itu bukan profesi, tetapi panggilan,” jawab seorang istri pendeta yang lulusan sekolah teologi papan atas menjawab pertanyaan itu. “Panggilan untuk melayani Tuhan,” ia menjelaskan.
“Jika saya masuk fakultas ekonomi dengan cita-cita mengentaskan orang-orang desa dan pedalaman dari kemiskinan, apa boleh setelah lulus saya menyebut diri sarjana ekonomi karena panggilan?”
“Itu motivasi, bukan panggilan.”
“Kemudian setelah sama-sama lulus, sang pendeta bekerja di kota besar dan menjadi kaya karena mengoplos minyak urapan dan menjualnya sedangkan sang ekonom menjual rumahnya untuk mendirikan koperasi simpan pinjam di banyak desa. Siapakah yang telah mendapat panggilan untuk melayani Tuhan?”
Dan selalu saja bincang-bincang bertopik “pendeta: profesi atau panggilan” berubah menjadi “adu pokoke”. Pendek kata, singkat kata, pokoke, pendeta itu panggilan bukan profesi. Titik! Biar ramai saya juga ngotot mengatakan pendeta itu profesi yang tidak beda dengan dokter, insinyur, programmer, designer atau pedagang. “Pendeta adalah panggilan” adalah slogan KKR jaman dulu dalam memobilisasi kaum muda Kristen masuk sekolah teologi.
Saya tahu yang di dalam sekolah teologi ada yang merasa terhina bila disamakan dengan orang yang kuliah di kedokteran, farmasi, teknik apalagi sastra. Mereka yang masuk teologi adalah orang-orang yang berhasrat melayani Tuhan sepanjang hidupnya sedangkan yang lain hanya akan melayani perutnya sendiri. Komunitas Kristen juga mengamini. Buktinya, mahasiswa teologi lebih mudah mendapatkan beasiswa daripada mahasiswa non-teologi. Buktinya, mahasiswa teologi masuk dalam daftar doa syafaat dalam ibadah Minggu di gerejanya sedangkan yang lain boro-boro didoakan, diingat saja tidak. Buktinya, ketika mahasiswa teologi lulus langsung diminta bekerja dengan honor paling tidak 3 juta rupiah ditambah akomodasi dan uang transport, sedangkan yang non-teologi kesana kemari mengiba-iba meminta pekerjaan. “Tak apa di bawah UMR. Yang penting gue dapat kerjaan biar calon pacar tidak mencibir,” kata seorang fresh graduate yang sampai dua bulan belum juga dapat job dengan memelas.
Mengapa kata profesi haram dilekatkan pada baju pendeta padahal menurut KBBI profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (ketrampilan, kejuruan, dsb) tertentu/khusus? Dari rumusan ini jelas pekerjaan pendeta tidak berbeda tuntutannya dengan pekerjaan programmer karena butuh pendidikan keahlian khusus. Kamus kuno The American College Dictionary (edisi 1951) mengatakan bahwa proffesion is vocation requiring knowledge of some department of learning or science, especially one of the three vocations of theology, law and medicine. Tiga disiplin ilmu yang disebut menunjukkan bahwa proffesion hanya dipakai untuk pekerjaan yang menyangkut kepentingan setiap orang. Dulu seorang petani bisa saja tidak butuh pedagang atau insinyur pertanian. Tetapi ia tidak bisa lepas dari kebutuhan bantuan ahli medicine, law dan thelogy dalam hidupnya.
Mari kita lihat sekeliling menyimak 3 bidang pekerjaan ini. Dalam bidang medicine sekarang sudah muncul nasihat miring, “Orang miskin dilarang sakit!” Orang kaya pun bisa jatuh miskin bila sakit dan dokternya mengutamakan uang. Ketika ayah saya di rawat di rumah sakit, dokter menyodorkan sebotol cairan infus berwarna kuning yang harganya sekitar 1 juta rupiah. Saya tanya apakah dengan cairan ini Ayah akan sembuh. Dokter menggelengkan kepalanya. Lalu buat apa saya membelinya?
Ketika kasus malpraktek yang membawa maut terjadi dan si korban tidak bisa menggalang massa melalui internet, ke manakah ia harus pergi? Ke pengadilan? “Tak usahlah, nanti malah tambah repot,” begitulah yang mereka katakan. Dokter atau rumah sakit memberi uang tali asih sekedarnya, selesai. Hampir setiap hari surat kabar berkisah tentang ahli hukum yang melanggar hukum.
Jika begitu, bagaimana bila kita sebagai korban datang menghadap pendeta? Harusnya begitu. Sayang kenyataannya membuat kita berpikir “apa harus?” Ketika harapan kita begitu besar tertuju kepada pendeta, ternyata mereka sekarang ini sedang mengalami krisis kredibilitas yang tampaknya semakin parah saja. Gembala yang telaten merawat domba-dombanya karena tahu domba-domba itu milik Allah adalah produk purbakala. Yang sekarang ada adalah gembala yang hobi menyantap domba-dombanya karena merasa memiliki domba-domba itu. “Sekolahnya saja butuh uang puluhan juta, masa mau digaji UMR?” seorang calon pendeta pernah mengeluh demikian kepada saya. “Nanti saya carikan sabetan,” kata saya yang selalu punya ide gila bila sedang menemani orang gila.
Dengan keadaan yang seperti itu apakah 3 bidang pekerjaan ini masih pantas disebut profesi menurut kamus The American College Dictionary? Proffesion is vocation requiring knowledge of some department of learning or science, especially one of the three vocations of theology, law and medicine. Lalu menurutnya, apakah vocation itu? Kata kamus itu, vocation is divine call to God’s service; particular occupation, business or profession. Jelaslah istilah “panggilan” lengkapnya berbunyi divine call to God’s service.
Sering kita memilah pekerjaan menjadi dua. Yang pertama untuk Allah, pro Deo. Kata prodeo juga berarti cuma-cuma sehingga dulu penjara sering dijuluki hotel prodeo. Yang kedua bersifat duniawi atau profan, pro fana. Fana menurut KBBI berarti dapat rusak, hilang, mati; tidak kekal. Dalam kamus Inggris kuno tersebut di atas profane means not sacred or not devoted to sacred purpose.
Jadi tidak salah mengatakan pendeta adalah panggilan suci. Di pihak lain saya tidak bisa disalahkan bila bersikukuh mengatakan pendeta adalah profesi. Yang membingungkan sebetulnya adalah tidak sedikit orang gemar berkreasi mengaduk yang prodeo dengan yang profan. Tidak sedikit mereka yang ada di ranah profan diam-diam juga berkiprah prodeo. Sejarah kedokteran Indonesia mencatat beberapa nama dokter yang dalam menjalankan profesinya dengan tulus melaksanakan divine call to God’s service. Di pedalaman dan desa terpencil juga ada dokter-dokter muda yang diam-diam melayani Tuhan di bidang keahliannya.
Tidak sedikit pedagang yang tidak berani mengambil untung banyak untuk barang-barang kebutuhan pokok karena takut akan Tuhan seperti yang pernah saya tulis dalam blog berjudul “The war of the waroengs”.
Di pihak lain, apa yang terjadi pada ranah prodeo dalam profesi pendeta? Sangat keterlaluan bila seorang pendeta yang sudah berpenghasilan di atas 5 juta rupiah mencari sabetan di luar gerejanya, bukan? Tetapi apakah ia bersalah bila ada orang yang meminta ia memimpin sebuah seminar dan setelah berceramah selama 3 jam ia disodori uang 1 juta rupiah? Apakah ia bersalah bila keberhasilannya mencari 25 orang yang mau berwisata ke Holy Land menghasilkan bonus sebuah sepeda motor baru?
Lebih sulit lagi mengatakan benar atau salah bila menyangkut diri pendeta di gereja kecil. Kasihan istri mereka yang harus bekerja di ranah profan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Ada yang menjadi jururawat, ada yang menjadi guru SD, ada yang menjadi guru musik, ada yang memberi les privat, ada yang berkeliling menjual produk MLM. Ada juga yang buka warung fotocopy.
“Lumayan,” ceritanya, “dari warung fotocopy ini anak-anak bisa masuk SMA di ibukota propinsi.”
Karena warungnya berada di halaman depan pastori dan pastori itu menempel gedung gereja, saya bertanya, “Apakah tidak sulit memilah biaya listrik yang harus dibayar gereja dengan yang harus dibayar oleh warung Ibu?”
“Rekening listriknya ‘kan atas nama gereja. Jadi yang bayar semua ya gerejalah.”
Ah, kecerdikan seorang merpati.
Para penatua gereja di kota kecil mulai was-was begitu pendetanya minta ijin sekolah lagi mengambil S2. Dan kekuatiran mereka selalu terbukti. Pendetanya pindah ke kota (lebih) besar setelah bergelar master. Mendengar keluhan penatua yang berkepahitan ini saya coba menghiburnya, “Kalau pendetamu terbang ke kota besar itu artinya ia menuruti nasihat ‘Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun kecukupan makanan.’ Kalau burung tetap di tanah, makannya tak enak karena tidak bervariasi. Cacing melulu. Begitu juga dengan pendeta. Di kota kecil little-little to me but salary not up-up. Di kota besar pendeta tinggal menulis SOP di atas kertas dan para aktivis gereja tak berbayar yang mengerjakannya. Makanya gereja kecil jangan sombong. Cari pendeta tak perlu pakai test IQ. Otak isi setengah tak apa asal hati isi penuh. Karena biasanya ketika otak isi penuh hati kosong melompong.”
Namun demikian janganlah satu dua kasus jelek itu membuat kita melakukan globalisasi dengan mencurigai semua pendeta brengsek karena mengutamakan “panggilan” uang. Ketika membicarakan kejelekan pendeta kepada seorang pendeta saya berkata, “Dalam ruang tertutup, bau wangi seratus dupa tak bisa mengalahkan bau busuk bangkai seekor tikus.” Walau bukan orang India, beliau menggeleng-gelengkan kepala dengan mulut mengiyakan.
Karena itu mari kita melihat masalah ini tidak dalam ruang tertutup. Bukalah jendela lebar-lebar. Perluas wawasan. Lihatlah ladang-ladang di luar kamar yang sumpek. Saya tidak peduli orang bilang pendeta itu profesi atau panggilan. Saya hanya ngotot mengatakan pendeta itu profesi bila selera beragumentasi saya sedang kumat di mana saya lebih mengutamakan kenikmatan berdebat daripada menelisik esensinya.
Apapun pekerjaan kita – yang profan terlebih lagi yang proDeo – mari kita kerjakan dengan profesional karena it has to be devoted to sacred purpose: the divine call to God’s service.
(the end)
@mas pur: pilih romo
makanya saya lebih senang profesi romo.....bukan pendeta
walaupun bagaimana tetep ada rel yang membatasi agar panggilan tetap menjadi sebuah panggilan walaupun digempur oleh sang waktu.dan digoda oleh kehidupan
tetapi.......sayang saya tidak mungkin menjadi romo
Jikalau ada kata -kata yang yang kurang berkenan itu murni karena kebodohan saya .JBU
Panggilan-profesi
Dulu, waktu saya kecil, saya sangat2 mengagungkan seorang pendeta/ penginjil dan guru sekolah minggu. Bahkan saya merasa mereka orang yang paling suci/paling baik sedunia:). Tapi dengan pertambahan usia, semua malah berganti... bukan berubah paling jahat seh...tapi beralih, saya malah mengganggap orang-orang di luar kependetaan itu, malah melakukan suatu panggilan yang lebih besar dibanding para pendeta/penginjil. Pendeta / penginjil hanya bertugas di dalam gereja- anggapannya berhubungan dengan hal-hal rohani, sedangkan orang-orang di luar sana berhadapan dengan yang abu-abu dan malah harus melayani di gereja di balik kesibukan mereka di hari biasa.
Dulu , saya anggap itu sebagai panggilan, sekarang tidak lagi, sebagai suatu profesi sama seperti panggilan/profesi di luar.
Tapi satu hal lagi yang terjadi di dalam masyarakat.. ini sering saya lihat...pada saat makan bersama, jikalau makan dengan seorang pendeta/penginjil, pasti jemaat berbondong-bondong untuk membayari pendeta/penginjil tersebut atau tidak enak untuk menagih dengan mereka:p Misal : jalan-jalan kemana, Pendeta/penginjil selalu mendapat gratis:p
Di lain pihak, ada orang / jemaat biasa yang ikut, tapi mereka harus bayar, dan tidak ada seorang pun yang mengatakan :' udah gratis aja " atau sini saya bayarin , karena kamu masih kuliah , tidak ada duit:" Apakah karena berkat yang diberikan pendeta lebih besar yah, dibandingkan dengan sesama manusia??
Tour Rohani ke Israel...akan dapat jalan gratis jikalau dapat 10 orang:) he..he.... siapa yang membayar??
Sekuler vs Agama
Saya pikir masalahnya ada di dualisme, kasus di blog Purnomo adalah dualisme sekuler vs agama. Yang satu dianggap lebih mulia daripada yang lain. Yang satu bahkan kadang dianggap jahat, sementara yang satunya lagi dianggap kudus (tapi pada saat yang sama, gak jarang saya dengar/liat orangtua yang menyuruh anak2 mereka yang paling bejat/bandel untuk masuk sekolah pendeta. Entah supaya mereka berubah jadi baik, atau karena gak ada harapan lagi).
Bukankah semua orang percaya dianggap sebagai PEKERJA oleh Tuhan? Bukankah orang yang memberi air minum kepada nabi diberikan UPAH nabi?
Pendeta juga manusia. Bahkan romo2 katolik setau saya diberikan makanan dan tempat tinggal, cmiiw. Saya percaya seorang pendeta, dokter atau pembantu atau tukang kebun, semua akan mendapat upah, baik di bumi maupun di sorga.
One man's rebel is another man's freedom fighter
@pb: romoku sayang
PB:
Bahkan romo2 katolik setau saya diberikan makanan dan tempat tinggal, cmiiw.
dulu fasilitas kehidupan untuk para romo memang ada kesan berlebihan...karena memang sudah dipercaya menyerahkan hidupnya untuk umat.jadi gak masalah ya itung itung balas jasa atas keloyalaan/pengabdian dia .
sekarang tidak lagi benda yang dipunyai adalah benda yang dia kenakan ,artinya bila dia dipindah tugaskan maka ia hanya akan membawa sebuah koper berisi pakaiannya saja.bahkan kalau dulu beliau beliau itu bisa memiliki anak asuh ,sekarang tidak lagi karena memang dia tidak digaji.tapi hanya dijamin hidupnya.jadi kalau dia ingin membayari sekolah sesorang misalnya kponakannya maka dia hanya bisa membantu sebatas merekomendasikan kemudian gereja yang menindak lanjuti.mungkin dimurnikan kekonsep pelayanan.gak tahu juga ding...cmiiw
kalu anda bertemu romo coba deh tanyakan hal ini kepadanya.
Jikalau ada kata -kata yang yang kurang berkenan itu murni karena kebodohan saya .JBU
@Okul: Romoku Malang
Terima kasih koreksinya.
Saya juga berpikir begitu, maksudnya ada tunjangan untuk hidup walaupun minimum atau sekedar kebutuhan primer (makan, tempat untuk tinggal). Itu berarti memang ada upah di bumi ini. Alias para romo, para pendeta, selain panggilan, juga adalah profesi atau pekerjaan.
One man's rebel is another man's freedom fighter
@purnomo: dikotomi profesi-panggilan..
Mas Pur..,
Dulu ada dosen saya yang mengatakan: "Jadi pendeta itu bak jadi manusia setengah dewa."
Sederhananya maksud beliau adalah seperti ini. Dalam tatanan sosial kita (dan saya kira juga berlaku di berbagai belahan dunia lainnya), bidang kerohanian seringkali dianggap sebagai yang tertinggi, sehingga orang-orang bergerak di dalamnya pun otomatis dianggap sebagai kaum elit, berbeda dengan orang-orang yang bergerak di bidang lain, seperti yang mas Purnomo ungkapkan di atas.
Apakah memang demikian adanya?
Ijinkan saya omong-omong ringan sejenak di kiosnya mas Pur...
Menurut hemat saya, dalam semua bidang pekerjaan (termasuk kependetaan), panggilan dan profesi adalah seiring sejalan, dan sulit untuk dibuat demarkasi yang tegas di antara keduanya. Profesi, selain bermakna pekerjaan yang memerlukan ketrampilan, juga menuntut adanya upah sebagai imbalan jasa profesional yang diberikan. Panggilan, merupakan dasar dari segala dasar bagi kita dalam melakukan suatu pekerjaan, yang membuat kita merasa comfort, senang, cocok, dalam melakukannya.
Kembali ke bidang kependetaan tadi. Kalau mau jujur diakui, meski dilakukan dengan dasar mencintai Tuhan dengan setulusnya, pendeta mana yang berani mengatakan bahwa ia tidak butuh balas jasa atas pelayanan yang dilakukannya (paling tidak, untuk makan minumnya sendiri sehari-hari)? Tanpa bermaksud merendahkan profesi kependetaan, adalah wajar saya kira, kalau kita mengharapkan pemeliharaan Tuhan atas hidup kita (berupa alat transportasi, tempat tinggal, biaya sekolah anak, dll), walau itu tidak berarti dengan serta merta kita menganggap Tuhan bak manajer pabrik yang harus memberikan sekian uang kepada kita setiap tanggal muda sebagai balas keringat kita selama sebulan penuh.
Apakah itu lantas menjadi dosa, bertentangan dengan kemurnian dari tugas kependetaan? Tidak bukan? Apakah dengan demikian tugas kependetaan yang kita lakukan menjadi tidak tulus lagi adanya (=melulu mengharapkan imbalan)? Tidak juga bukan? Lha sehari-hari kan kita juga berdoa mengharapkan pemeliharaan Tuhan atas hidup kita, sekarang dan seterusnya, sebagai "upah" (perhatikan tanda petik pada kata ini) mengikuti kehendakNya?
Sebaliknya. Ini sekedar contoh saja. Bagi seorang ibu-ibu pada umumnya (profesi=ibu rumah tangga), yang dengan sepenuh hati membesarkan anaknya, menyuapinya, menyusuinya, memandikannya, menyebokinya; bukannkah hal itu dilakukannya karena dilandaskan oleh panggilan untuk melayani Tuhan juga, walau yang bersangkutan mungkin tidak menyadarinya? Apakah karena dia tidak naik mimbar setiap Minggunya, lalu apa yang dilakukannya itu lebih rendah dari apa yang dilakukan seorang pendeta, dan bukan merupakan panggilan yang sama mulianya?
"..Jadi tidak salah mengatakan pendeta adalah panggilan suci. Di pihak lain saya tidak bisa disalahkan bila bersikukuh mengatakan pendeta adalah profesi.."
Setuju 110% mas Pur..
"..Jika saya masuk fakultas ekonomi dengan cita-cita mengentaskan orang-orang desa dan pedalaman dari kemiskinan, apa boleh setelah lulus saya menyebut diri sarjana ekonomi karena panggilan.."
Sekali lagi setuju 110% mas Pur..
Sistem kita sendirilah yang menciptakan permasalahan seperti ini..
Shalom!
PS: Selamat Hari Raya Waisak 2554, bagi teman-teman dan segenap sanak saudara yang merayakan..
(...shema'an qoli, adonai...)
(...shema'an qoli, adonai...)
Romo dan suster
Jadi inget Romo ama suster nya,...
Suatu ketika seorang Romo berkata kepada seorang biarawati yang biasa dipanggil suster.
Romo : Suster,....tolong masuk ke kamar saya,...
Suster itu lalu menuruti sang Romo dan ketika mulai memasuki kamar ,sang romo kembali berkata, " cepet suster, sekalian tutup pintu dan tutup gordyn semua jendela ..."
Suster tersebut menjadi cemas dan ragu untuk memasuki, karena desakan romo akhirnya dengan perasaan tadi suster itu memberanikan mauk ke dalam kamar si romo.
Dan setelah masuk sang romo berkata lagi : " suster,sini duduk deket saya...."
Suster itu makin cemas dan takut. dengan hati hati serta jantung yang deg deg plasss.... akhirnya suster itu duduk dekat disamping romo.
Dan setelah posisi mereka bersebelahan, sang romo berkata :
"BAGUS, YAH JAM G SHOCK SAYA...NYALA DALAM GELAP..."
hihihihi......mungkin cerita basi, tapi mengingatkan smile akan seorang romo dengan jam G Shock barunya,....triiiing.
sincerely,
smile
*Penakluk sejati adalah orang yang mampu menaklukkan dirinya sendiri*
"I love You Christ, even though sometimes I do not like Christians who do not like You include me, but because you love me, so I also love them"
Dualisme
Yah,Hidup kekristenan memang seolah berada dalam dualisme. Kredibilitas seorang pendeta/penginjil sekarang tidak sama lagi seperti masa dulu. Tidak tahu kenapa?? Apa karena masyarakat yang membuat itu terjadi atau emang pendeta/penginjil yang ada dan membuat itu terjadi??
Panggilan/profesi sebagai HT lebih suci dibandingkan dengan panggilan/profesi sebagai yang lain sehingga didoakan, ada altar call, mungkin termasuk beasiswa tersebut . Apalagi zaman sekarang, sering ada survey gereja ke Korea atau ke negara lain yang dilihat perkembangan gerejanya sangat bertumbuh. Melihat kehidupan pendeta zaman sekarang, emang sangat berbeda dengan zaman dulu- tapi kata temanku : Yen, itu adalah berkat yang Tuhan berikan untuk mereka:).
Aku sendiri berkesimpulan, semua profesi apapun, itu adalah suatu panggilan. Menjadi apapun dia, itu adalah panggilan dia. Jadi antara panggilan dan profesi seperti tidak ada bedanya. Profesi hanya terlihat lebih tidak rohani-dianggap hamba uang, sedangkan panggilan- namanya juga panggilan - seolah Tuhan memberikan suara tersebut : mungkin tiba-tiba ada seruan :" Yenti, jadilah engkau menjadi A..... he..he... :)
Panggilan/profesi tetap UUD - ujung-ujung duit:). Sebagai apapun tetap aja UUD-ujung-ujung duit:).
Atau Pendeta/penginjil adalah Hamba Tuhan, sedangkan profesi/panggilan lain Hamba Uang?? he.he. yah nggak toh:p
panggilan atau profesi
SEBAGAI SEORANG YANG BUKAN ORANG TEOLOGIA DAN PELAYAN DALAM GEREJA HANYA ANAK MUDA YANG INGIN HIDUP SESUAI DENGAN PANGGILANNYA MENURUT SAYA :
YANG PENTING DARI SEMUA ITU ADALAH APAKAH SESEORANG LEWAT PANGGILANNYA ATAU PROFESINYA MEMBERI DAMPAK POSITIF BAGI ORANG LAIN..MENJADIKAN ORANG2 YG MELIHAT HIDUPNYA AKAN TERTARIK UNTUK MENGENAL YESUS..JGN HANYA BISA BERTEORI..ALIAS NATO..
SAYA SENDIRI TIDAK BERMINAT MASUK TEOLOGI WALAUPUN BEBERAPA ORANG BAHKAN ORANG TUA ROHANI SAYA MENDORONG SAYA MASUK SEKOLAH UNTUK MENJADI FULLTIMER KARENA SUNGGUH DORONGAN DARI DALAM JUSTRU LEBIH KUAT UNTUK MELAYANI DI MARKET PLACE.. BAHKAN IDE2 KREATIF UNTUK BERKARYA DI MARKET PLACE MAKIN HARI MAKIN KENCANG TERASA...
MEKARLAH DI MANA KAMU DI TANAM...SETIAP ORANG PASTI PUNYA PANGGILANNYA MASING2..BAGI SAYA SEMUA PEKERJAAN ADALAH PANGGILAN, PANGGILAN UNTUK MENCERITAKAN DIA PADA DUNIA LEWAT KARYA DAN HIDUP KITA...KLO MENURUT ORANG LAIN SEBALIKNYA WAJAR2 AJA..HORMATI PERBEDAAN..
www.fredrik-kristen.blogspot.com
Akademis VS Teologis
Terlepas pendeta profesi atau panggilan, maka selalu aja ada yang iseng bertanya lebih jauh, "Profesi mana (pendeta vs de el el) yang lebih mulia?"
Asal jangan disimpulkan lebih jauh menjadi "Kerjaan saya lebih mulia daripada situ, jadi layanilah saya", dan kesimpulan aneh lainnya.
---o0o---
"Profesi mana (pendeta vs de el el) yang lebih mulia?" adalah pertanyaan yang sangat aneh jika ditujukan kepada kalangan akademis terdahulu. Universitas dahulunya diawali dari komunitas gereja (saya tahu dari ceramah para teologis yang ahli sejarah gereja, juga dari sumber yang ini: http://en.wikipedia.org/wiki/University). Jadi, seorang akademis pada waktu itu juga mengemban tugas mulia, layaknya seorang pengajar (atau pendeta).
Saya juga sempat tercengang, campur bangga, ketika tahu bahwa gerejalah yang pada waktu itu memulai sejarah akademis (universitas), yang bertujuan untuk membantu komunitas sekitarnya melalui ilmu kedokteran, ekonomis, dan termasuk teknis.
Salah satu buku teknis referensi yang pernah saya baca (dari awal 1900-an), anehnya, diawali dengan ayat Alkitab (Amsal 25:2). Dari banyak membaca, saya juga tercengang untuk mengetahui bahwa ilmu akademis lainnya pun berawal dari ilmu moral (yang berawal dari moral teologis).
Contoh, mengutip seorang ekonomis (sumber: http://www.smithlecture.org/images/stories/documents/transcripts/2009-sm...):
"... economics began life as a branch of moral philosophy. If this lecture were held in the 19th century rather than the 21st century, it would completely perplex the audience that I should even suggest that a discussion of economics could be divorced from moral philosophy."
Diterjemahkan asal-asalan:
"... ekonomi dimulai sebagai cabang dari filosofi moral. Kalau ceramah ini diadakan di abad ke-19, dibanding abad ke-21 (sekarang), untuk memberi ide bahwa ilmu ekonomi terpisah dari filosofi moral akan membuat para hadirin tercengang."
Ya, kita semua sudah terjebak arogansi manusia. Karena cabang akademis (yang bermula dari moral) telah berkembang begitu majunya, kita mulai berpikir, "Ooo, itu toh bagaimana cara kerjanya ini/itu", dan menyimpulkan "Kalau begitu, Tuhan tidak perlu yah?"
Kesimpulan ini dengan baiknya dikemukakan oleh Stephen Hawking:
"This doesn't prove that there is no God, only that God is not necessary"
Diterjemahkan asal-asalan:
"Ini (ilmu pengetahuan) tidak membuktikan tidak adanya Tuhan, hanya Tuhan tidak diperlukan"
---o0o---
Kembali ke topik, profesi (atau panggilan) mana yang lebih mulia?
"Dan Allah telah menetapkan beberapa orang dalam Jemaat: pertama sebagai rasul, kedua sebagai nabi, ketiga sebagai pengajar. Selanjutnya mereka yang mendapat karunia untuk mengadakan mujizat, untuk menyembuhkan, untuk melayani, untuk memimpin, dan untuk berkata-kata dalam bahasa roh" 1 Korintus 12:28
Dari pola ayat di atas, menurut saya, profesi (atau panggilan) sebagai 'pengajar' sepertinya memang lebih penting dibanding yang lain (yang mana rasul dan nabi sepertinya sudah tidak relevan di abad-21 ini).
Tapi, sebuah profesi (atau panggilan) tentunya tidak bisa menjadi alasan untuk 'saatnya-kumpul-duit', atau alasan aneh lainnya. Karena ini jelas-jelas melanggar hukum kasih yang pertama dari Yesus. Bukannya melayani Tuhan, kok melayani uang (atau lainnya)?
Dari uneg-uneg si rusdi yang super panjang ini, sebenarnya hanya mau berkata, "Trims mbah Pur, sudah mengingatkan saya lagi, bahwa saya sudah dipilih Allah di tempat pekerjaan saya yang sekarang ini. Saatnya saya berhenti iri dengan orang lain yang profesinya kok dilayani terus? Atau, iri sama yang bisa berbahasa roh, dan lain sebagainya"
Seperti seseorang sudah mengingatkan saya dulu, "Kalau pekerjaanmu itu tidak menyenangkan, ingatlah kalau kamu itu dibayar! Kalau tidak, ngapain orang harus membayar kamu untuk mengerjakannya! Nah, uangnya kan bisa diberi kepada pelayan-pelayan Tuhan!"
Ah iya, betul juga, kalau saya diberi karunia 'melayani' (bahasa inggrisnya 'administration'), tidak ada salahnya menggunakan karunia tersebut. Kok mesti iri sama sesama saudara/i dalam Kristus, yang mana mereka juga masih belajar untuk lebih serupa seperti Yesus. Kalau mereka salah, toh, bukan alasan saya untuk tidak membantu mereka toh?
Kasih itu sabaaaaar katanyaaaa...
---o0o---
"Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing. Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama, demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain. Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita: Jika karunia itu adalah untuk bernubuat baiklah kita melakukannya sesuai dengan iman kita. Jika karunia untuk melayani, baiklah kita melayani; jika karunia untuk mengajar, baiklah kita mengajar; jika karunia untuk menasihati, baiklah kita menasihati. Siapa yang membagi-bagikan sesuatu, hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ikhlas; siapa yang memberi pimpinan, hendaklah ia melakukannya dengan rajin; siapa yang menunjukkan kemurahan, hendaklah ia melakukannya dengan sukacita." Roma 12:3-8
Blog ini jadi bagus
karena dilengkapi dan diperkaya oleh komen-komen yang mengikuti. Terima kasih untuk Okulasi, Yenti, PB, Ebed, Fredrik, Rusdy dan Smile yang punya hobi berbelok tanpa lampu sein. Sementara yang lain menulis serius, ia menyodorkan anekdot yang menunjukkan sisi kehidupan pastor yang kurang menyenangkan. Jangankan orang luar, rekan sekerja sendiri bisa menyimpan kecurigaan terhadap pendeta/pastor karena hidupnya penuh rahasia, tidak terbuka. Bagaimana seorang pendeta bisa berbicara ceblang-ceblung seperti saya bila otak dan hatinya menyimpan banyak rahasia hidup warga jemaatnya yang pernah konseling dengannya tanpa kuatir kelepasan omong? Pendeta sering dilanda kesepian. Ia bisa depresi tanpa bisa minta tolong kepada jemaatnya. Ia bisa melangkah salah karena orang di sekitarnya tidak pernah berpikir seorang pendeta bisa salah. Ia ditempatkan di pucuk gunung, sendirian, siang maupun malam. Semoga Tuhan tidak mempermalukan hamba-Nya sehingga ia bisa tetap menjadi NYALA DALAM GELAP.
Beratnya beban moral profesi seorang pendeta membuat Fredrik bersaksi, “Saya sendiri tidak berminat masuk teologi.” Saya juga menasihati anak saya “Jangan jadi pendeta” karena dia tidak yakin seyakin-yakinnya akan panggilan itu. Pendeta itu profesi sampai mati. Sekali kita ambil tidak bisa ditukar. Tidak ada pendeta karena bosan melepaskan jubahnya lalu mendorong gerobak keliling kota jual pisang bakar penyet. Dokter gigi tidak diributi orang bila alih profesi jadi salesman odol atau buka warteg.
Ebed mengatakan “Sistem kita sendirilah yang menciptakan permasalahan seperti ini.” Sayang Ebed belum menjelaskannya dengan rinci. By the way memang pendeta juga harus menghadapi sistem-sistem yang ada dalam sebuah organisasi di mana ia berkarya, yang bisa menjelma menjadi setumpuk masalah baginya bila ia tidak merasa nyaman di dalamnya. Contoh yang paling umum adalah honor. Belum tiba pada sistem perhitungannya, istilah honor saja bisa menjadi perdebatan panjang. Ada yang tidak suka dengan istilah honor apalagi gaji. Dalam perhitungan besarannya, ada gereja yang menentukan honor pendetanya tidak boleh melebihi UMR dengan alasannya jam kerjanya di bawah karyawan sekuler. Di gereja lain honor pendeta naik turun karena besarannya dalam bentuk prosentasi atas persembahan yang masuk. Tetapi beliau tidak protes dengan bagiannya yang hanya 10% karena persembahan yang masuk dalam sebulan konon kabarnya tidak kurang dari 100 juta rupiah.
“Mekarlah di mana kamu ditanam,” kata Fredrik. Tentu mekar kalau ditanam di gereja yang sangat care terhadap pendetanya. Jika di gereja yang gersang, anjuran itu bisa berubah menjadi “mekarlah di mana kamu dikubur.” Bagaimana bisa mekar kalau dikubur? Bisa, apabila ia berani tetap mengandalkan Tuhan dan menaruh harapannya pada Tuhan, bukan kepada jemaat atau organisasi gerejanya sehingga –
Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah.(Yeremia 17:7,8)
Kita mengritik pendeta biasanya karena iri melihat tingkat kehidupannya yang jauh lebih baik daripada jemaatnya. Padahal jumlah pendeta yang seperti ini tidak banyak. Daripada iri bukankah lebih baik kita berusaha melayani Tuhan dalam pekerjaan sekuler kita?
Hanya saja pernyataan Rusdy “Saatnya saya berhenti iri dengan orang lain yang profesinya kok dilayani terus?” membuat otak saya tergelitik. Pendeta itu pekerjaannya melayani orang banyak, jemaatnya. Tetapi ini tidak berarti jemaat adalah atasan pendeta, bukan? Atasannya adalah Tuhan. Karena itu pendeta disebut Hamba Tuhan (saya tidak mau meniru Yenti yang menyingkat dengan kata HT agar tidak terpeleset berpikir pendeta itu tugasnya seperti handy talky saja). PRT-nya Presiden SBY tentu fasilitasnya beda dengan PRT-nya Rusdy (itu pun kalau ia punya). Pendeta itu ibarat PRT-nya presiden yang ditugaskan melayani Rusdy. Biar Rusdy bepergian ke sana ke mari naik sepeda, PRT-nya datang ke rumahnya naik mobil sedan. Wow, keren!
Dalam posisi seperti ini seorang pendeta yang sebetulnya PRT Tuhan bisa saja berkata kepada kita sambil menepuk dada, “Aku hamba Tuhan, kamu hamba siapa?”
Jadi? Sekali lagi, terima kasih atas komentar inspiratif Anda semua.
Salam.
PA Purnomo membuka pikiran saya yang lama terkunci
Pendeta sering dilanda kesepian. Ia bisa depresi tanpa bisa minta tolong kepada jemaatnya. Ia bisa melangkah salah karena orang di sekitarnya tidak pernah berpikir seorang pendeta bisa salah. Ia ditempatkan di pucuk gunung, sendirian, siang maupun malam
Wah Pa Pur,....untaian kalimat anda diatas membuat saya sadar, selain mengkritik pendeta, begitu beratnya beban mereka...Banyak yang menjijikan, tapi banyak juga yang hidup penuh beban dipundaknya. Saya tidak menerima keluhan pendeta, karena bagi saya sekali memilih menjadi pendeta dia sudah tahu konsekuensinya, saya juga selalu mengatakan "JANGAN MENGATAKAN PENDETA JUGA MANUSIA....saya benci dengan pernyataan cengeng itu,..tapi hari ini,..seorang Purnomo membuka pemikiran saya, hanya lewat untaian kalimat, yang tidak sama sekali sok mengajari. Terimaksih Pa...anda membuka pikiran saya yang tertutup, anda membuka pintu hati saya yang tertutup untuk pendeta, karena dibalik semua yang dikritikan, ternyata banyak dari mereka juga berjuang tanpa kita ketahui...
Terimaksih Bapa yang baik,..Yesus Kristus...terimaasih Pa Pur...
Untuk pendeta : semoga (T)uhan tidak meninggalkan anda dan melihat anda mempermalukan atau dipermalukan siapapun,..
sincerely,
smile
*Penakluk sejati adalah orang yang mampu menaklukkan dirinya sendiri*
"I love You Christ, even though sometimes I do not like Christians who do not like You include me, but because you love me, so I also love them"
sungguh blog yang rapi dan bagus tanpa debat kusir... :)
BIG GBU!
BIG GBU!
Tugas berat Pendeta/penginjil
Kebanyakan jemaat tidak menerima kredibilitas pendeta/penginjil mungkin karena : kehidupan pendeta/penginjil yang sekarang kurang dapat menjadi teladan, mungkin banyak juga yang memperkaya diri sendiri dengan persembahan yang diperoleh , mungkin banyak juga yang akhirnya berbondong-bondong pindah ke gereja besar dan kota besar sehingga terlihat Firman bukan lagi yang utama. Apalagi dalam kalangan tertentu, menjadi pendeta/penginjil sangat gampang sekali hanya dengan belajar di sekolah alkitab berapa lama...dan langsung bisa. Ada yang bisa bekerja paroh waktu dan punya perusahaan di luar sana.
Mengenai kesepian yang mereka rasakan, atau beban moral yang mereka tanggung, itu emang bisa dibenarkan. Makanya ada teman yang mengatakan, saya tidak akan pernah menjadi istri pendeta, karena akan menjadi kritikan jemaat nanti, soalnya dia sendiri suka memakai pakaian yang rada minim:p Mungkin Jaim akan selalu dijaga jikalau seseorang menjadi Pendeta/penginjil
Kalo mengenai pekerjaan pendeta/penginjil yang seumur hidup, jawaban harusnya ya. Panggilan menjadi pendeta/penginjil memang adalah suatu panggilan khusus. Panggilan menjadi pekerja sekuler adalah suatu panggilan umum. So, bergumullah dengan baik, jikalau seseorang dipanggil menjadi pendeta/penginjil, dan mengerti bahwa panggilan ini bukan suatu mainan, tetapi harus mengerti bahwa ini adalah suatu pekerjaan yang berat. menjadi Hamba Tuhan.Tuhan tentu akan memberikan kekuatan saat dia menjalaninya dan tidak meninggalkan dia sendiri.
Saya sendiri punya seorang teman yang mengambil sekolah teologi dan telah lulus. Awalnya dia melakukan misi di Aceh selama 2 tahun, sekarang mungkin karena faktor keuangan, dia beralih menjadi seorang Guru Pendidikan Agama di sekolah dan mengajar les sekuler di luar. Banyak yang mengatakan, sekolah teologi tidak lagi mengharuskan seorang untuk menjadi seorang pendeta/penginjil. Seseorang yang lulus sekolah teologi, bisa saja beralih menjadi pekerja sekuler lain, karena hanya bersifat untuk menambah pengetahuan teologi di sekolah tersebut. Tidak tahu benar/tidak kesimpulan demikian:).
Kesimpulan menurut saya : dipanggil menjadi apapun, itu emang alat Tuhan, mau disebut profesi kek, panggilan kek:) . Yang berbeda hanya , mungkin panggilan selama ini dianggap lebih rohani dibandingkan profesi.
Tugas pendeta/penginjil emang sangat2 berat dan dilihat semua orang, so tugas jemaat adalah berdoa bagi pendeta/penginjil gereja agar mereka pun tidak terjerumus ke dalam kelemahan daging mereka. Sebagai pendeta/penginjil, tentu saja harus belajar juga bisa menerima setiap kritikan dan masukan dari jemaat karena pendeta juga manusia yang kadang2 bisa salah juga:)
@pur ( both of them purnawan dan purnomo)
Dulu ada dosen saya yang mengatakan: "Jadi pendeta itu bak jadi manusia setengah dewa."
Jangankan orang luar, rekan sekerja sendiri bisa menyimpan kecurigaan terhadap pendeta/pastor karena hidupnya penuh rahasia, tidak terbuka
“Mekarlah di mana kamu ditanam,” kata Fredrik
Membaca penggalan kalimat-kalimat dari beberapa komentar di atas mengingatkan saya perjalanan ke solo dan klaten akhir medio february kemarin. Dalam kopdar mini yang ilegal ini kami ngalor ngidul ngobrol ringan, sampai kepada sebuah topik soal gembala jemaat, dimana pak purnawan bercoleteh, "Ketika seorang ditasbihkan jadi gembala jemaat, maka sekeluarga dia saat itu "disalibkan" , rumah kita seperti aquarium yang di tonton oleh banyak orang." (@mas wawan cmiiw).
Mungkin untuk konsep dualisme ataupun dikotomi ini, SS punya ahlinya dalam menceritakan pengalamannya, bagaimana sebuah profesi bisa bersatu dengan sebuah panggilan. Bagaimana konsep dualisme ini bisa dijalankan di masyarakat tanpa mengalami benturan benturan dalam konsep pemahaman masyarakat yang berbeda.
jadi, bagaimana jika di undang saja pak purnawan di blog ini ataupun membuat blog lain untuk menceritakan pengalamannya?
Karena kita sungguh berharga bagi-Nya dan Dia mengasihi kita.
kasihan pendeta
Profesi atau panggilan ?? sulit bedakannya, bahkan nggak tahu bedakannya.
penampakannya podo wae, semakin profesional atau semakin kuat panggilannya semakin bagus. Yang payah adalah yang tidak profesional namun berkoar sebagai "yang diurapi"
Entah kenapa sejak kecil, hingga dewasa, sosok pendeta adalah selalu terlintas sebagai yang perlu dikasihani. Mungkin krn ketika kecil, mama selalu memberi uang untuk persembahan dengan pesan "masukin kantong di gereja ya, mesake/kasihan pendetanya, untuk makan". Waktu itu mama belum kristen.
Jadi konsep persembahan adalah untuk makan pendeta, mesakake pendetane, hingga sekarang masih nyantol di otak ini.
Sehingga ketika ketemu pendeta yang suka uang, mesti gemes, ya, biarinlah wong mesake :(
Walah jadi ngelantur ngalor ngidul, balik ke profesional/panggilan
Kebetulan sekali Joli bergereja di GKI, gereja yang sangat terkenal dengan kekuatan organisasinya, mempunyai sinode yang am, yang memandang kesatuan lebih utama dari segala-galanya.
Di GKI pendeta adalah jabatan gerejawi, kedudukannya sama dengan penatua. Dalam kepemimpinannya kolektif kolegal (walah istilahnya keren)
Hal panggilan adalah termasuk dalam komitmen-nya pendeta.
Hal hak dan tugasnya diatur dalam tata gereja, tata laksana secara lengkap, hingga biaya jaminan hidupnya, frame kaca mata berapa tahun mesti ganti dll. Sangat profesional.
Meski sistem sudah amat jelas, namun pada pelaksanaannya sangat tergantung [erilaku pendeta dan umat/anggota jemaat.
Bila umat mempertuhankan pendetanya, maka pendeta akan mempertuhankan "berkat".
Purnomo: Saya tahu yang di dalam sekolah teologi ada yang merasa terhina bila disamakan dengan orang yang kuliah di kedokteran, farmasi, teknik apalagi sastra.
Jadi ingat seorang pendeta yang mudah tersinggung-an, bila di minta ngantor di gereja, "Emang saya karyawan?" jawabnya, krn beliau merasa "lebih" dalam status pendetanya.
"Saya adalah yang diurapi" kalimat yang selalu diulang untuk menakut-nakuti para domba anak-an.. supaya lulut/jinak
kami suka memanggil beliau dengan "kau tahu siapa dia" karena mirip dengan lord volde*** he..he..
Pendeta berkusta
Jadi ingat seorang pendeta yang mudah tersinggung-an, bila di minta ngantor di gereja, "Emang saya karyawan?" jawabnya, krn beliau merasa "lebih" dalam status pendetanya.
"Saya adalah yang diurapi" kalimat yang selalu diulang untuk menakut-nakuti para domba anak-an.. supaya lulut/jinak
kami suka memanggil beliau dengan "kau tahu siapa dia" karena mirip dengan lord volde*** he..he..
Pendeta kaya gini diceburin ke kali atau sungai terdekat aja 7 kali (kalo gak ada sungai, parit juga bisa), mana tau kustanya bisa sembuh.
One man's rebel is another man's freedom fighter
Profesi sebagai Hamba Tuhan
Profesi Hamba Tuhan / Pendeta masih termasuk dalam daftar Top Ten Profesi yang prestisius di Amerika meskipun bertengger di urutan ke 8.
Menurut seorang hamba Tuhan, profesi Pendeta sampai abad ke 20 awal masih merupakan profesi utama ( baca no.1 ) sebagai profesi yang paling dipandang dan dijunjung tinggi.
Dunia sudah berubah bukan ?
Apakah dengan mengatakan kebenaran kepadamu aku telah menjadi musuhmu?
Apakah dengan mengatakan kebenaran kepadamu aku telah menjadi musuhmu?