Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Pelajaran dari Anakku [2]
Pakaian favorit Kirana, anakku adalah jeans. Hampir setiap hari dia mengenakan jeans bergantian antara celana pendek, celana panjang atau rok jeans. Dulu, ketika belum punya jaket jeans, dia selalu menolak jika dikenakan jaket jika keluar dari rumah. Namun setelah dibelikan jaket jeans, dia malah minta sendiri untuk dikenakan jaket jeans kesayangannya. Sayangnya dia hanya punya satu jaket jeans. Akibatnya ketika jaket itu masih basah karena dicuci,dia menjadi ngambek dan uring-uringan. Maka ketika pergi ke Jakarta, kami gunakan kesempatan itu untuk mencari jaket jeans di Pusat Grosir Cillilitan (PGJ). "Kamu pilih yang mana?" kataku saat sampai di PGJ. Kirana meneliti jaket-jaket yang dipajang di sebuah kios. Dia menggelengkan kepala. Artinya tidak ada yang pas dengan keinginannya.Kami laku berputar-putar kesana-sini, tapi tidak menemukan yang pas. Lalu tiba-tiba Kirana berkata kepada Mamanya, "Ma, Kirana mau jaket yang ada bulunya." Kami agak kaget, soalnya selama ini dia merasa geli dan tidak suka dengan bulu. Meski perempuan, dia enggan bermain dengan boneka yang berbulu. Jika melihat ada bulu kemoceng yang copot, maka dia akan berteriak-teriak minta tolong untuk menyingkirkan bulu ayam itu. Eh, sekarang dia malah minta dibelikan jaket yang ada bulunya. Apa nggak salah, nih. "Benar, Kirana minta dibelikan jaket yang ada bulunya?" tanya istriku untuk menegaskan. Kirana mengangguk. Maka kami pun menuju kios yang menjual jaket jeans berbulu. Begitu sampai, Kirana aku suruh memilih model yang disukainya. Dia langsung menunjuk jaket yang ada bulunya di bagian leher dan ujung lengannya. Warnanya pink! Aduuuh, nduk! Pilihanmu warnamu kok norak banget, sih! "Ini saja ya, yang bulunya berwarna putih," bujukku. Menurutku model dan warnanya lebih elegan. "Nggak mau. Kirana mau yang ini saja," katanya sambil mencoba jaket pinik itu. "Yang ini bulunya lebih halus," kata istriku untuk mendukung pilihanku. Namun Kirana menggeleng. Pilihannya tetap tidak berubah. Ya sudah, kami pun membayar jaket jeans pink berbulu. Dalam perjalanan pulang, jaket itu dikenakan Kirana dengan bangga dan percaya diri. Kami justru yang sedikit malu, karena menjadi pusat perhatian di pusat perbelanjaan itu. Lalu tiba-tiba suara batinku berkata, "Kamu itu bagaimana sih? Kamu tadi menyuruh anakmu memilih sendiri. Tapi begitu anakmu menentukan pilihannya, kamu menolaknya. Itu namanya tidak konsisten." Ah, betul juga. Kalau aku memberi kesempatan kepada anakku untuk memilih, mestinya aku juga harus konsekuen dong. Kalau tidak, ya jangan menyuruhnya untuk memilih. Orang dewasa itu kadang merasa benar sendiri dan tidak mau mendengar suara anak. Kita menganggap anak-anak itu belum mampu berpikir kritis dan belum dapat membuat keputusan yang baik. Mungkin anggapan itu ada benarnya. Tapi kalau kita tidak pernah memberi kesempatan kepada mereka untuk membuat keputusan, darimana mereka bisa mendapatkan kemampuan itu kalau tidak belajar sejak dini? Sepanjang keputusan itu tidak menyangkut prinsip dasar iman dan tidak membahayakan hidupnya, maka kami akan berusaha memberi kesempatan kepada anak untuk menentukan pilihannya sendiri. Inilah pelajaran yang didapat dari anakku.
Baca juga:
------------
Communicating good news in good ways
- Purnawan Kristanto's blog
- 5282 reads
Wahai orang tua,......
Lord, when I have a hammer like YOU, every problem becomes a nail. =)
Orangtua baru
Ya..bacalah...bacalah...dan berilah saran kepada kami, orangtua baru yang miskin pengalaman ini.
Purnawan Kristanto
------------
Communicating good news in good ways
anak juga punya pilihan
Alkitab sering membuatku banyak bertanya dan sering tidak mendapatkan jawaban yang pas
Alkitab sering membuatku banyak bertanya dan sering tidak mendapatkan jawaban yang pas
Anak anda lucu juga
Anak anda lucu juga ya.....he...he...he...GBU
GBU
Faktor keturunan
Terimakasih. Mungkin faktor keturunan dari papanya...he..he..he...
Purnawan Kristanto
------------
Communicating good news in good ways
@pak wawan: putrinya cantik pak ^^
Dear Pak Pur,
Menjadi orang tua memang susah ya Pak. Ada sekolah guru; ada pula sekolah untuk jadi penerbang . Demikian pula untuk pekerjaan lain. Tapi tidak ada sekolah untuk menjadi orang tua yang baik. Padahal menjadi orang tua adalah tanggung jawab yang sulit. Salah asuh sedikit jadilah anak rapuh ^_^.
Salam buat putrinya yang cantik ya pak.
GBU
anita
@Clara: Peluang pelayanan
Terimakasih bu Clara....
Betul bu... kebanyakan kita memang masih gagap ketika menjadi orangtua baru. Kita belajar cara pengasuhan dari orangtua kita. Celakanya, kalau orangtua kita memberi model yang keliru, maka 'dosa' ini akan menurun kepada kita sebagai orangtua.
Saya rasa ini peluang pelayanan baru. Belum banyak orang Kristen yang menekuni pelayanan untuk memberikan panduan tentang Parenting. Sejauh yg saya tahu, yang serius menekuni bidang ini adalah kak Julianto Simanjuntak dengan LK3-nya.
Wawan
------------
Communicating good news in good ways
@pak pur: ijo lumutan :)
Pak Wawan menulis:
Terimakasih bu Clara....
Waduh pak..
Saya ini masih ijo royo-royo meskipun sudah lumutan. Jadi mohon jangan panggil bu ....
Bagaimana? Sepertinya pak Wawan akan segera memulai bentuk pelayanan baru nih
Tuhan Memberkati
anita
Bu guru
Lha kalau pekerjaannya guru kan dipanggil "bu guru". Nggak salah kan? Masa manggilnya "mbak guru" atau "dik guru". Kelihatan wagu gitu lho bu guru
------------
Communicating good news in good ways
bu guru betul
@ clara, anda betul
tidak ada sekolah 'formal' untuk menjadi orang tua, tapi lingkungan dan pergaulan pun bisa menjadi sekolah non formal untuk kita sebagai orang tua. Saya sedang belajar untuk bisa 'bijak' menurut hai-hai dimana kita bisa bijak dengan mengambil pengalaman dari org lain, dibandingkan 'pintar' dg pengalaman sendiri.
"buat anak kok coba2" hehehe...
pak wawan, salam buat keluarga
@ Purnawan Kristanto, Pilihan...
Itu foto anaknya ya? Imut, cantik, dan tidak salah pilihannya itu...
Anak seusia dia sangat mengedepankan emosi kita membuat suatu pilihan/keputusan. Itu sebabnya, sebagai makhluk yang lebih rasional, kita sebagai orangtua harus bisa memahami emosi si anak ketika ia memutuskan (atau menolak memutuskan) sebuah pilihan.
Rasionalitas kita tidaklah dimaksudkan untuk mendominasi atau mendikte emosi si anak, apalagi sampai meniadakannya. Karena, jika itu yang kita lakukan, maka justru kita menjadi tidak rasional bahkan menjadi lebih emosional dari si anak. (Dan, pastinya akan terlihat kekanak-kanakan...)
Adalah panggilan kita sebagai orangtua untuk mendampingi emosi si anak tanpa harus emosional. Dengan demikian, pada waktunya si anak perlahan tapi pasti akan tumbuh dan belajar tentang rasionalitas dari orang-orang terdekatnya.
Tuhan memberkati..!
I love my autistic son, Kefas!
I love my autistic son, Kefas!
Terimakasih
Terimakasih pak untuk wejangannya. Saya akan coba ingat-ingat tips ini.
------------
Communicating good news in good ways