Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
"Orang Yang Tak Berpengalaman" Menurut Kitab Amsal
Oleh: Deky H. Y. Nggadas
Pendahuluan
Secara umum, dapat dikatakan bahwa pokok penekanan kitab Amsal berkenaan
dengan persoalan tentang bagaimana seseorang hidup secara berhikmat.
[1]
Dalam
bagian prolognya (Ams. 1:1-4), pokok ini dideskripsikan sebagai tujuan kitab
ini ditulis, yaitu untuk mengetahui hikmat dan didikan, untuk mengerti
kata-kata yang bermakna, untuk menerima didikan yang menjadikan pandai, serta
kebenaran, keadilan, dan kejujuran, untuk memberikan kecerdasan kepada orang
yang tak berpengalaman, dan pengetahuan serta kebijaksanaan kepada orang muda. Menurut
para ahli, misalnya Tremper Longman dan Raymond B. Dillard, bagian prolog ini
merupakan tambahan redaktor terakhir dari kitab ini, mengingat nuansa religius
yang tercantum di dalamnya.
[2]
“Takut
akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan
didikan” (Ams. 1:7). Jadi, tujuan ini bukan bersifat etis saja, sebagaimana
yang sering terdengar dalam amsal-amsal ancient Near-East, melainkan
juga bersifat teologis.
Adapun tujuan di atas dieksplorasi sang kolektor
[3]
dengan
menempatkan amsal-amsal yang berbicara tentang tema yang beragam untuk
dikaitkan dengan hikmat sebagai tema utama. Eldon Woodcock menjelaskan, Istilah
“hikmat” yang muncul sekitar 101 kali dalam kitab Amsal tidak bisa tidak harus
dilihat sebagai tema utama dari kitab ini”
[4]
Selain
itu, salah satu penekanan yang juga sering kali muncul dalam kitab ini, yang
digunakan sebagai antitesis dari hikmat adalah kebodohan. W. S. Lasor, dkk., menyatakan bahwa pengoleksian
amsal-amsal tersebut memiliki tendensi yang kuat untuk “memperlihatkan secara
tajam kontras antara akibat mencari dan menemukan hikmat dengan akibat mengejar
kehidupan yang bodoh”.
[5]
Masalah
hikmat dan kebodohan mewarnai seluruh isi kitab Amsal. Tidak heran jika dalam
komentar-komentar tentang kitab ini, selalu disertakan pilihan: mengikuti
hikmat atau kebodohan.
[6]
Dalam makalah ini, penulis akan menggunakan
pendekatan tematis
[7]
,
khususnya untuk meneliti makna “orang bodoh” dalam kitab Amsal. Menurut Denis
Green, kitab ini memuat tiga istilah yang merujuk kepada “orang bodoh” (lywIa/), yakni: orang yang tidak berpengalaman (ytiP,), orang bebal (lysiK.), dan
pencemooh (!Acl').
[8]
Meskipun
demikian, penulis akan membatasi penelitian dan analisis pada istilah “orang
yang tidak berpengalaman”. Namun sebelumnya, penulis akan menguraikan secara
ringkas tentang personifikasi hikmat dan kebodohan dalam kitab ini. Jadi,
sistematika penulisan makalah ini adalah: A) Personifikasi Hikmat: Wanita
Bernama Hikmat dan Wanita Bodoh; dan B) Amsal-amsal tentang Bodoh: “Orang yang
Tidak Berpengalaman”
A. Personifikasi Hikmat: Wanita Bernama Hikmat
dan Wanita Bodoh
Beberapa paragraf dalam kitab Amsal menampilkan hikmat dengan karakteristik
manusiawi. Hikmat digambarkan sebagai seorang wanita yang berupaya menarik
perhatian orang-orang di jalanan, di lapangan-lapangan, di atas tembok dan di
depan pintu gerbang kota (Ams. 1:20-23) serta menawarkan upah yang menarik bagi
mereka yang tertarik kepada seruannya (Ams. 8:34-35). Mungkin tempat-tempat ini
penting untuk didatangi hikmat karena terkait dengan Social Setting pada
waktu itu. Menurut David Atkinson, tempat-tempat ini selain merupakan pusat
keramaian dan kehidupan publik, juga merupakan tempat-tempat di mana
keputusan-keputusan seputar masalah keadilan, dan kesejahteraan rakyat
dibicarakan oleh tua-tua kota.
[9]
Wanita
bernama hikmat ini mendatangi tempat-tempat tersebut karena di sana ia dapat
mempengaruhi sebanyak mungkin orang dari semua kalangan. Ia ingin agar sebanyak
mungkin orang menikmati berkat dan kesuksesan karena berelasi dengannya (bnd.
3:13-18).
Selanjutnya, ketika memperkenalkan hubungannya dengan Allah, hikmat
menyebut dirinya sebagai putri kesayangan yang setiap hari bermain dengan riang
di hadapan Allah (8:22-30). Sebelumnya hikmat menginformasikan bahwa ia berasal
dari Allah, yakni “sebagai permulaan pekerjaan-Nya, sebagai perbuatan-Nya yang
pertama-tama dahulu kala” (8:22 dst.). Maka kita dapat memahami mengapa di awal
kitab ini diingatkan kedekatan perolehan hikmat dan relasi yang baik dengan
Tuhan (Ams. 1:7; diulangi lagi dalam ps. 9:9). Goldberg
[10]
menegaskan
bahwa salah satu jalan terpenting yang memimpin seseorang memperoleh hikmat
adalah “communion with God” (selain beajar dari observasi, pengalaman, dan
tradisi).
[11]
Di lain pihak, kebodohan juga dibahasakan secara personifikatif (Ams. 9:12-17).
Identitasnya tidak dijelaskan panjang lebar. Ia hanya digambarkan sebagai
seorang wanita yang “bebal cerewet, sangat tidak berpengalaman ia, dan tidak
tahu malu.” Perempuan ini berupaya menularkan sifat-sifat buruknya dengan
panggilan yang menarik perhatian audiensnya. Ia menawarkan kenikmatan dari
suatu relasi yang intim, padahal kebersediaan untuk mengikutinya akan menuntun
kepada maut.
Para ahli Pernjanjian Lama sampai saat ini masih memperdebatkan tentang
identitas Wanita Hikmat dan Wanita Bodoh. Longman, walaupun mengakui adanya
kepelbagaian pendapat soal identitas mereka, yakin bahwa Wanita Hikmat mewakili
Yahweh sendiri, sedangkan Wanita Bodoh mewakili dewa-dewa Mesir, atau Mesopotamia
(dewa-dewi Kanaan yang sering kali memikat hati Israel adalah Baal dan Asherah).
Ia mendasarkan pendapatnya atas deskripsi tentang tempat tinggal kedua wanita
tersebut (bnd. Ams. 9:1-2, 13-18).
[12]
Di lain
pihak, tampaknya R. B. Y. Scott tidak sependapat dengan Longman, karena ia
menyatakan, “Personification of wisdom is indeed poetic and not ontological.”
[13]
Selain
itu, B. Lang menyatakan, “Woman Wisdom is a pedagogical device.”
[14]
Sebenarnya pendapat Lang berpusat pada asumsi tentang monotheisme patriakhal
Israel. Penulis sendiri lebih sependapat dengan Roland E. Murphy, yang menyatakan
“Pendapat yang mengasosiasikan secara ketat Wanita Hikmat dengan YHWH masih
membutuhkan penjelasan lebih lanjut”, karena nuansa teologi Israel yang
patriakhal juga tidak dapat diabaikan,
[15]
selain
perspektif puitis yang diungkapkan Scott.
Mengapa hikmat dan kebodohan dipersonifikasikan sebagai wanita? Pertanyaan
ini juga memiliki jawaban yang bervariasi. Salah satu jawaban yang disepakati
mayoritas ahli adalah daya tarik hikmat dan kebodohan sebagai penekanan yang
ingin diperlihatkan para penulis kitab Amsal. Daya tarik tersebut berusaha
ditonjolkan dengan menempatkan figur wanita sebagai personifikasi hikmat maupun
kebodohan. Hal ini didukung oleh adanya nuansa seksual di balik undangan hikmat
dan kebodohan.
[16]
Longman, misalnya, menjelaskan bahwa meskipun kedua wanita tersebut menawarkan
sifat jamuan yang bertolak belakang (wanita bernama hikmat menawarkan jamuan
yang bersifat positif, sedangkan wanita bodoh sebaliknya), namun berdasarkan
latar belakang sosialnya, kita dapat memahami bahwa “dalam kebudayaan
Timur-Dekat purba, duduk makan bersama seseorang adalah suatu bentuk relasi
yang intim dengan orang tersebut”.
[17]
Seseorang
tidak dapat bersikap tidak serius terhadap hikmat atau kebodohan. Ini adalah
natur dari relasi antara seseorang dengan kedua wanita tersebut. Itulah
sebabnya, Atkinson menekankan, “Personifikasi itu merefleksikan natur dari
relasi dengan keduanya.”
[18]
Ditinjau
dari daya tariknya, hikmat dan kebodohan tidak boleh dianggap hanya sebagai
konsep yang abstrak; mereka dapat menjadi nyata seperti halnya seorang
perempuan dengan daya tarik yang sangat kuat, karena keduanya “embodied”.
[19]
Menarik
untuk dicermati bahwa baik wanita bernama hikmat mapun wanita bodoh mendatangi
tempat dan audiens yang sama. Audiens
mereka adalah semua orang yang mereka temui di jalanan, lapangan-lapangan, dan
pintu gerbang kota. Hal itu berarti bahwa mereka yang mendengarkan ajakan kedua
wanita itu dapat digambarkan sebagai orang yang berada “di persimpangan jalan”.
Keputusan mereka terhadap ajakan kedua wanita itulah yang nantinya menentukan
identitas apakah yang layak dilekatkan kepada mereka (termasuk konsekuensi dari
keputusan tersebut).
B. Amsal-amsal tentang Orang Bodoh: “Orang yang
Tidak Berpengalaman”
Sebelum masuk ke dalam uraian tentang “orang
yang tidak berpengalaman”, terlebih dahulu penulis akan menjelaskan tentang apa
yang dimaksud dengan istilah “orang bodoh” dalam kitab Amsal.
1. Istilah “Orang Bodoh” dalam Kitab Amsal
Saat ini, mayoritas orang memahami bahwa
kebodohan lebih terkait dengan intelektualitas atau aspek kognitif. Pengertian
yang demikian juga terlihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mengaitkan
pengertian “bodoh” dengan orang yang “tidak mudah tahu atau tidak dapat
mengerjakan sesuatu” dan “tidak memiliki pengetahuan”.
[20]
Tampaknya
definisi ini menekankan tentang kesulitan seseorang dalam hal pengetahuan (knowledge)
dan praktiknya. Maka konsekwensi logis dari penekanan ini menempatkan istilah
“bodoh” sebagai antitesis dari “pintar/pandai”.
[21]
Mungkin
presuposisinya adalah bahwa kualitas intelektual seseorang memberikan dampak
langsung kepada kemampuannya untuk mengetahui dan bertindak.
Konkretnya, orang yang (mampu untuk) mengetahui banyak hal, kemungkinan besar
dapat mengerjakan sesuatu dengan baik; sedangkan orang berpengetahuan sedikit
akan kesulitan untuk mengerjakan sesuatu. Kualitas intelektual seseorang sangat
menentukan kualitas tindakan atau pekerjaannya.
Dalam TDOT, dijelaskan bahwa Kata Ibrani
lywIa/
(“bodoh”; yang digunakan sebanyak 19 kali dalam kitab Amsal), selain digunakan
sebagai antitesis untuk hm'k.x' (hikmat), juga sebagai antitesis dari kata rv'y" (tegak
lurus, jujur, tulus) dan kata lk;f' (bijaksana). Arti
dari kata ini berbeda-beda sesuai dengan konteks penggunaannya. Dalam awal
sirkulaisinya (mungkin dalam konteks Mesopotamia, dimana kata ini diasosiasikan
dengn dewa Marduk) kata lywIa digunakan
untuk menggambarkan cacat tubuh atau mental. Namun dalam konteks literatur
hikmat (khususnya literatur hikmat PL), istilah ini digunakan sebagai
penghinaan yang ditujukan kepada “untactful babbler of the Wisdom School”. Dalam
konteks international wisdom kata ini hanya digunakan secara praktis-etis:
tidak bertindak benar, mengabaikan nasihat orang tua, dsb. Hal itu berarti
bahwa awalnya istilah “bodoh” tidak berkoneksi dengan Yahweh atau hukum
sebagaimana dalam koleksi hikmat dari Salomo. Selanjutnya, secara teologis,
arti kata ini merujuk kepada orang yang mengabaikan, menolak, menghina Allah
dan kebenaran-Nya melalui sikap, tutur kata, maupun pikiran mereka (bnd. Ul.
28:34; Mzm. 14:1; Yes. 19:11; Yer. 22:16; Hos. 13:13, dsb)
[22]
Lasor dkk., menyatakan,
Kebodohan bukanlah ketidaktahuan,
melainkan sikap meremehkan prinsip-prinsip moral dan kesalehan secara sengaja.
Kemerosotan moral, hilangnya tanggung jawab rohani dan ketidakpekaan sosial
yang digambarkan dalam Yesaya 32:6 merupakan ringkasan yang cocok untuk
pandangan kitab Amsal tentang orang bodoh.
[23]
Scott menulis, “Sebagaimana hikmat, demikian
pula kebodohan terkait dengan nilai-nilai religius”.
[24]
Jadi, bodoh bukan semata-mata antonim dari “pintar atau pandai”, melainkan
dapat juga dipahami secara etis maupun teologis.
2. Orang yang tidak
berpengalaman
Istilah
“orang yang tidak berpengalaman” digunakan dalam kitab Amsal sebanyak 14 kali (Ps.
1:4, 22, 32;7:7; 8:5; 9:4, 13, 16; 14:15, 18; 19:25; 21:11; 22:3; dan 27:12). Kata
bahasa Ibrani yang digunakan dalam bagian-bagian ini adalah: ytiP, yang dapat
diterjemahkan sebagai: “simple, foolish,
young, naive person”.
[25]
William
Dyrness menjelaskan bahwa sebenarnya secara sederhana, istilah ini
mengindikasikan suatu sikap yang lugu.
[26]
Artinya
tidak terdapat nuansa negatif di balik arti literal istilah ini. Namun dalam
perkembangannya, istilah ini digunakan secara idiomatis untuk orang yang karena
terlalu polos sehingga mengabaikan segala pertimbangan yang seharusnya
dilakukan.
[27]
Demikian
pula yang dijelaskan dalam TWOT bahwa ide dasar dari istilah ini adalah
“be open, spacious, wide,”. Berdasarkan ide dasarnya, istilah ini kemudian
direlasikan dengan ketidakdewasaan atau orang yang bersikap terbuka terhadap
segala sesuatu tanpa mempersoalkan benar atau salahnya (bnd. Kel. 22:15; Hak.
14:15-16; dan 2 Kor. 18:19-21).
[28]
Itu
berarti terjemahan LAI terhadap kata ini lebih
mendekati arti idiomatisnya daripada arti literalnya (beberapa versi Alkitab,
antara lain: NIV, KJV, YLT, ASV, NJB, dsb., menerjemahkan kata ini secara
literal: “simple”)
Paling
tidak terdapat tiga karakteristik yang tergambar melalui penggunaannya dalam
amsal-amsal tentang orang yang tidak berpengalaman.
Pertama, orang tidak berpengalaman
adalah orang yang tidak berpikir panjang. Amsal 7:1 dst., mengisahkan tentang nasihat
seorang ayah kepada anaknya (atau seorang guru kepada muridnya)
[29]
agar menjauhi bujuk rayu dari seorang perempuan jalang. Sang ayah menganjurkan
agar anaknya memperhatikan nasihat tersebut dengan serius. Misalnya, dalam ayat
1 & 2, sang ayah memerintahkan agar anaknya
“berpegang” (rmoæv) kepada perkataan-perkataannya (rm,ae noun
common masculine plural construct suffix 1st person cs; LAI
menerjemahkannya dalam bentuk tunggal: “perkataanku”),
yang memberikan kesan tentang suatu sikap yang sangat serius dalam hal
memperhatikan, menjaga atau memelihara sesuatu yang sangat berharga “seperti
biji matamu”.
[30]
Namun sebenarnya kesan ini timbul karena pengaruh vokalisasi Masoretik
Teks terhadap frase “the apple of the eye”.
[31]
Pengertian yang sebenarnya dari istilah ini lebih dekat kepada fungsinya, yaitu
sebagai alat penerang di dalam kegelapan (bnd. Ams. 20:20).
[32]
Perintah sang ayah penting untuk dipelihara karena memiliki
manfaat yang signifikan.
Sang
ayah menguatkan introductory di atas dengan menceritakan pengalamannya
ketika melihat seorang pemuda mengikuti memasuki rumah seorang wanita jalang yang
telah bersuami (Ams. 7:19).
[33]
Wanita
jalang tersebut digambarkan sebagai “woman occasionally or
professionally committing fornication or prostitute”.
[34]
Hal ini terbukti dari cara berpakaian, motif tersembunyi di balik
penampilannya, dan dari cara ia menggoda pemuda tersebut dengan “berbagai-bagai
bujukan” (Ams. 7:22).
[35]
Berdasarkan
“profesionalitas” wanita tersebut, kita dapat menduga bahwa perjumpaan tersebut
tidak terjadi secara tiba-tiba. Mungkin tempat wanita tersebut sudah diketahui
umum, termasuk pemuda tersebut sehingga ia “melangkah menuju rumah perempuan
semacam itu, pada waktu petang, senja hari, di malam yang gelap” (Ams. 7:8). Pemuda itu tidak mendapat “serangan tiba-tiba” yang membuatnya
mengikuti perempuan itu “seperti lembu yang dibawa ke pejagalan, dan seperti
orang bodoh yang terbelenggu untuk dihukum” (7:22). Dalam hal ini, penulis
tidak sependapat dengan David Wyrtzen yang menganggap pemuda ini jatuh ke dalam
pelukan perempuan itu karena bepergian tanpa rencana.
[36]
Menurut penulis, kata “tiba-tiba” (~aoït.) dalam ayat 22 (NAS:
“suddenly”; NIV: “all at onces”; dan NJB: “forthwith”) sangat tepat mewakili
nuansa ketergesaan untuk memuaskan hasrat seksual yang telah “menawannya”
sebelum berjumpa dengan wanita tersebut. Obsesi terhadap daya tarik
seksual si wanita jalang membuat pemuda tersebut, sebagaimana yang ditulis
Charles Bridges, “menyerah seperti prajurit yang tidak bersenjata di bawah
dorongan hasrat seksualnya”.
[37]
Selanjutnya, dua amsal yang
isinya identik satu sama lain (27:12 dan 22:3)
[38]
juga
memberikan penekanan yang kuat akan pengabaian pertimbangan yang matang dalam
melakukan sesuatu. Dalam kedua amsal tersebut, orang yang tidak berpengalaman
dikontraskan dengan orang bijak dalam sikap terhadap malapetaka. Orang bijak
akan berupaya sedapat mungkin menghindari malapetaka sedangkan orang yang tidak
berpengalaman menghampirinya. Label “orang bijak” dan “orang yang tidak
berpengalaman” diberikan bukan karena mereka “berani atau tidak berani
menghadapi persoalan”. Jika demikian, orang yang tidak berpengalamanlah yang
patut dipuji karena ia “terus berjalan” menuju malapetaka. Label-label tersebut
terkait dengan kemampuan mereka melihat seberapa besar efek yang merugikan dari
malapetaka tersebut. Woodcock menjelaskan bahwa yang seorang disebut bijak
bukan semata-mata karena ia menghindari malapetaka, melainkan juga karena ia
memilih tempat perlindungan yang sesuai yaitu tempat yang mampu melindunginya
dari besarnya malapetaka tersebut. Demikian juga, yang tidak berpengalaman
tidak dipuji karena kenekatannya berhadapan dengan malapetaka, tetapi justru
dicela karena tindakannya itu adalah tindakan yang “blindly plunge into
dangers”.
[39]
Jadi, dalam amsal-amsal di
atas, sebutan orang yang tidak berpengalaman digunakan bagi orang yang
mengabaikan pertimbangan yang matang atau yang lebih dikuasai oleh
keinginan/hasrat seksualnya. Ia tidak memperhitungkan akibat dari perbuatannya;
yang ia pentingkan adalah bagaimana memuaskan birahinya. Mungkin salah satu
contoh terkenal yang dapat digunakan untuk menggambarkan tipe pemuda seperti di
atas adalah Daud. Oleh karena birahinya ketika melihat Batsyeba, Daud melakukan
dosa yang berakibat fatal seumur hidupnya (bnd. 2 Raj. 11:2-27). Seperti pemuda
di atas, sebelum terlibat secara fisik dengan Batsyeba, sesungguhnya Daud telah
“menyerah” kepada tuntutan hawa nafsunya.
Kedua, orang yang tidak berpengalaman adalah orang mudah
mempercayai segala sesuatu (14:15).
[40]
Akar
kata Ibrani dari “mempercayai” adalah !m;a'. Dalam ayat ini, kata !m;a' digunakan
dalam bentuk hiphil, yang berarti: “to believe in”.
[41]
Makna yang
sama juga terlihat jelas dalam terjemahan LXX: pisteu,ei (verb indicative
present active 3rd person singular) yang berarti: “believe (in), have faith (in)
(with God or Christ as object); believe, believe in; have confidence (in
someone or something), entrust something to another (bnd. Rm. 14.2)”.
[42]
Selanjutnya, kata “segala perkataan” (ITB; KJV; LXX) di sini sebaiknya
diterjemahkan dengan “segala sesuatu” (NAS; NIV). Oleh karena rb"+D"-lk'l disandingkan
dengan Ar*vua]l; yang
secara figuratif mengindikasikan suatu tindakan yang konsisten dengan kehendak
Allah (bnd. Ayb. 31:7; Mzm. 17::5; 44:19; 73:2).
[43]
Jadi
dari segi literary context-nya, rb"+D"-lk harus dimengerti dalam
pengertian “segala sesuatu”.
Pemuda ini disebut tidak berpengalaman karena ia telah kehilangan filter
terhadap segala sesuatu yang ia lihat, alami, dan dengar. Ketika berhadapan
dengan realitas, pemuda ini tidak memiliki suatu dasar pertimbangan yang dapat
dia pakai untuk menilai atau mengevaluasinya. Kondisi pemuda ini mungkin dapat
disamakan dengan “rumah yang telah dibersihkan” dalam perumpamaan Yesus, yang
karena tidak berpenghuni maka akhirnya dikuasai kembali oleh kejahatan (bnd.
Mat. 12:43-45; Luk. 11:24-26).
[44]
Salah
satu bahaya yang rentan dialami oleh tipe orang seperti ini adalah sebagaimana
yang disebutkan Woodcock, yakni ia adalah “orang yang mudah ditipu.
[45]
Dalam
bagian lain, Yesus juga mengingatkan orang-orang dengan maksud yang sama
seperti yang diantisipasi dalam Amsal 14:15. Jika amsal ini mengungkapkan
maksudnya secara indikatif, maka maksud yang sama juga dikemukakan Yesus dalam
bentuk imperatif:
Waspadalah
supaya jangan ada orang yang menyesatkan kamu! Sebab banyak orang akan datang
dengan memakai nama-Ku dan berkata: Akulah Mesias, dan mereka akan menyesatkan
banyak orang…. Jadi, apabila orang berkata kepadamu: Lihatlah, Ia ada di padang
gurun, janganlah kamu pergi ke situ; atau: Lihat, Ia ada di dalam bilik,
janganlah kamu percaya (Mat. 24:4, 26).
Rasul Paulus
menasihatkan: “ujilah segala sesuatu” (1 Tes 5:21). Demikian pula Yohanes
mengingatkan: “ujilah roh-roh itu apakah mereka berasal dari Allah” (1 Yoh.
4:1). Beberapa kutipan PB di atas mengasumsikan tentang betapa pentingnya
sebuah sikap evaluatif berdasarkan pertimbangan yang matang dan benar.
Karakteristik-karakteristik
yang terlihat dari cara orang yang tidak berpengalaman menavigasi hidupnya,
sebagaimana yang diuraikan di atas, tentu saja tidak bersesuaian dengan
karakteristik-karakteristik dari mereka yang mendedikasikan hidupnya kepada
hikmat. Itulah sebabnya, Amsal 1:32 menggemakan akibat yang akan ditanggung
oleh orang yang tidak berpengalaman dalam kaitan dengan sikap negatifnya
terhadap panggilan Wanita Hikmat. Istilah “keengganan” (hb'Wvm.) di sini berarti “berbalik
dalam pengertian kemurtadan” (apostasy).
[46]
Ayat
ini ditempatkan dalam konteks panggilan Wanita bernama Hikmat (bnd. Ams. 1:20
dst.). Maka arti ayat ini merujuk kepada sikap “menolak untuk mengikuti”, atau “upaya
yang dilakukan secara sengaja untuk melarikan diri/berbalik” dari ajakan Wanita
Hikmat. Dalam kaitannya dengan identitas Wanita Hikmat dan Wanita Bodoh,
Longman berpendapat bahwa “orang yang tidak berpengalaman” dalam ayat ini memilih untuk mengikuti Wanita
Bodoh. Pilihan yang salah ini menempatkan orang tersebut pada jalan kematian.
Longman melihat bahwa Yeremia 3:2-3 merupakan contoh yang tepat untuk bagian
ini. Yeremia menulis tentang “kematian” bagi Israel akibat menyembah Baal. Dalam
hal ini, kematian yang dimaksud adalah musim kekeringan dan kehancuran
Yerusalem akibat serangan tentara Babilon, bahkan mereka dibawa ke pembuangan.
[47]
Contoh
lain yang mungkin dapat ditambahkan di sini adalah seperti yang tercantum dalam
Yeremia 2:19, “Kejahatanmu akan menghajar engkau, dan kemurtadanmu akan
menyiksa engkau! Ketahuilah dan lihatlah, betapa jahat dan pedihnya engkau
meninggalkan TUHAN, Allahmu;….” Dalam komentarnya terhadap tulisan Yeremia ini,
Craigi menyatakan,
The coming judgment of Israel was not a
random act of God but a direct consequence of the nation’s sin. Israel’s own
crimes would return to haunt it; its “defections” from the treaty stipulations
would rebuke the nation in its self-induced judgment. To desert God brings with
it the experience of evil and bitterness; nothing can avert the consequence
other than a penitent return to the God of covenant, a theme that is developed
in the next chapter.
[48]
Uraian di
atas memperlihatkan bahwa ayat ini menyebutkan “orang yang tidak berpengalaman”
dalam pengertian pengambilan keputusan yang tidak tepat. Seharusnya ia memilih
panggilan Wanita Hikmat daripada yang sebaliknya. Ia harus membayar pilihannya
sendiri dengan hukuman. Ajakan Wanita Hikmat adalah ajakan yang tidak mengenal
kenetralan. Barangsiapa menolak hikmat akan mendapatkan celaka, sebaliknya yang
menyambut ajakannya “akan tinggal dengan aman, terlindung dari pada kedahsyatan
malapetaka” (Ams. 1:33).
Konklusi
Dalam penelusuran terhadap konteks dan tendensi amsal-amsal yang
menyinggung soal “orang yang tidak berpengalaman” di atas akhirnya memperlihatkan
bahwa istilah ini tidak berasosiasi sama sekali dengan “orang yang belum
memiliki banyak pengalaman” (dalam pengertian kita saat ini). Istilah ini,
terkait dengan apakah seseorang dapat
menangani atau menyalurkan impuls-impuls seksualitasnya dalam koridor yang
benar atau sebaliknya. Pada saat, seseorang “menyerah” terhadap hasrat
seksualnya dan menyalurkannya secara salah, saat itu identitas yang layak ia
sandang adalah “orang yang tidak berpengalaman”.
Demikian
pula, penekanan kitab Amsal agar seseorang selalu mempertimbangkan segala
tindak-tanduknya dengan matang termasuk akibat-akibat dari tindakannya, juga
menyediakan predikat “orang yang tidak berpengalaman” bagi mereka yang
bertindak sebaliknya. Signifikansi dari tuntutan tersebut diungkapkan melalui
pemberitahuan tentang konsekuensi buruk yang akan diderita oleh orang yang
mengabaikan nasihat-nasihat hikmat. Sebuah komentar yang dapat digunakan
sebagai bahan konklusif untuk hal ini, berbunyi demikian:
…the bitter fruit of living their own way will be the
consequence people will experience in this life. Faced with either choosing
God’s wisdom or persisting in rebellious independence, many decide to go it
alone. The problems such people create for themselves will destroy them. Don’t
ignore God’s advice even if it is painful for the present. It will keep you
from greater pain in the future.
[49]
Jadi, penggunaan istilah “orang yang
tidak berpengalaman” sekaligus mengingatkan kita akan karakteristik traditional
wisdom yang melatarbelakangi kitab Amsal (atau yang biasanya disebut
“doktrin retribusi”).
[1]
Pengertian hm'k.x'
terkait dengan “skill, the ability to excel in a particular activity” (R. B. Y.
Scott, Proverbs & Ecclesiastes [The Ancor Bible; New York: Doubleday
& Company, Inc., 1965], 23). Meskipun demikian, harus diakui bahwa “hikmat”
memiliki pengertian yang lebih kaya daripada sekadar keahlian praktis (Lihat:
Tremper Longman, How to Read Proverbs [Downers Grove, Illionis:
Intervarsity Press, 2002], 14-15
[2]
Tremper
Longman & Raymon B. Dillard, An Introduction to the Old Testament
(Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2006), 268
[3]
Pendapat
para ahli Perjanjian Lama bahwa kitab Amsal adalah sebuah koleksi pertama-tama
terkait dengan sumber-sumber dari materi kitab Amsal. Kitab ini memuat sekitar 300 dari 3000 amsal
yang pernah digubah Salomo (Ams. 10:1 – 22:16; bnd. 1 Raj. 4:32); amsal-amsal orang bijak (Ams. 22:17 – 24:22);
amsal-amsal yang dikumpulkan pegawai Hizkia (Ams. 25:1 – 29:27);
perkataan-perkataan Agur bin Yake (Ams. 30:1-33) dan puisi akrostik dari ibu
Lamuel (Ams. 31:1-31). Selain itu, teori koleksi ini juga dikemukan berdasarkan
adanya kemiripan (bahkan dapat dikatakan duplikatif) dari beberapa amsal (mis. Ams. 19:5 dan 19:9)
dan persebaran tema-tema kitab ini yang tidak tersusun secara sistematis. Kenyataan tersebut mengindikasikan adanya periode transmisi
atau suatu proses perkembangan panjang yang berasal dari berbagai sumber,
dimana kolektor akhir kitab ini tidak merasa tertarik untuk menyusun tema-tema
tersebut dalam kategori nalar modern yang sistematis. Di samping itu
tidak dapat disangkali bahwa secara historis, pengajaran dalam bentuk
amsal-amsal bukan diawali dengan munculnya kitab ini. Mayoritas ahli Perjanjian
Lama menunjukkan bahwa sebelum periode kitab Amsal, telah tersimpan koleksi
sastra hikmat yang berjumlah cukup banyak, termasuk kumpulan teks sastra amsal
yang beredar luas dalam kebudayaan Mesopotamia, Mesir, dan dalam kelompok
bahasa Semit Barat Laut sepanjang millennium ketiga sebelum Masehi. Adapun
peredaran amsal-amsal tersebut bersifat lintas-negara (internasional). Itulah
sebabnya, tidak tertutup kemungkinan bahwa kitab Amsal sendiri memiliki
keterkaitan dengan amsal-amsal ancient Near-East. Sifat dari keterkaitan
itu bukan sekadar kemiripan, melainkan juga terdapat indikasi kompilatif
antara isi kitab Amsal dengan amsal-amsal ancient Near-East. Untuk
penjelasan lebih lanjut, lihat: Kenton L. Sparks, Ancient Texts for the
Study of the Hebrew Bible: A Guide to the Background Literature (Peabody,
Massachusetts: Hendrickson Publishers, 2006), 56-82; bnd. Longman, How to
Read Proverbs, 62-77; William E. Mouser, Getting the Most Out of
Proverbs (Grand Rapids, Michigan: Zondervan Pulishing House, 1991), 19.
Untuk penjelasa mengenai reliabilitas teks literatur hikmat, lihat: Walter C.
Kaiser Jr., The Old Testament Documents: Are They Reliabile & Relevant?
(Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press, 2001), 147-157
[4]
Eldon Woodcock,
Proverbs: A Topical Study (Bible Study Commentary; Grand Rapids,
Michigan: Zondervan Publishing House, 1988), 34
[5]
W. S.
Lasor, dkk: Pengantar Perjanjian Lama 2: Sastra dan Nubuat (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2005), 91
[6]
Para
ahli menyebut tendensi ini sebagai “Doktrin Retribusi” yang tidak lain adalah
karakteristik utama traditional wisdom.
[7]
Studi
tematis terhadap kitab Amsal walaupun harus disertai sikap kehati-hatian, namun
paling tidak memiliki dua keuntungan, yakni: “Pertama,
studi ini memungkinkan setiap pembaca kitab untuk melibatkan diri dengan
keseluruhan teks, berinteraksi denganya di dalam level yang lebih dalam, dan
sekaligus mempelajari prinsip-prinsip penavigasian hidup yang penting. Kedua,
studi jenis ini menyediakan dasar bagi rangkaian pelajaran-pelajaran atau khotbah-khotbah
menarik mengenai berbagai tema yang dibahas dalam kitab Amsal” (Lihat: Longman,
How to Read Proverbs, 118)
[8]
Lihat:
Denis Green, Pembimbing pada Pengenalan Perjanjian Lama (Malang: Gandum
Mas, 1984), 138-139
[9]
David
Atkinson, The Message of Proverbs: Wisdom for Life, ed. J. A.
Motyer (InterVarsity Press, 1996), 31
[11]
Untuk
mendalami topik tentang bagaimana bertumbuh dalam hikmat, lihat: Daniel J.
Estes, Hear, My Son: Teaching and Learning in Proverbs 1-9 (Grand
Rapids, Michigan: Eerdmans, 1998), 87-100
[14]
Dikutip oleh: Roland E. Murphy, “Proverbs,” dalam Word
Biblical Commentary, Logos Library System (CD-Room; Nashville:
Thomas Nelson, 1997; c1992)
[21]
Tidak
heran kalau Tim Penyusun KBBI menjelaskan lebih lanjut bahwa sifat utama
dari kebodohan adalah ketidaktahuan (Ibid., 160)
[22]
Lihat:
G. Johannes Botterweck & Helmer Ringren, TDOT, Vol. 1, (trans. John
T. Willis, Revised Edition; Grand Rapids, Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing
Company, 1974), 137-140
[27]
Jerome H. Smith (ed), “The New Treasury of Scripture Knowledge”
dalam Electronic edition of the revised edition of The treasury of
scripture knowledge, Logos Library System, (CD-Room; Nashville: Thomas
Nelson, 1997; c1992)
[29]
Perikop ini merupakan “the last of parental
instruction” dalam kitab Amsal. Mungkin amsal-amsal dalam perikop ini digunakan
dalam setting keluarga dimana seorang ayah biasanya memberikan
nasihat-nasihat kepada putranya atau bisa juga terjadi dalam setting
guru – murid. Pada waktu itu, para pengajar hikmat biasa memanggil
murid-muridnya dengan sebutan “anak” (lihat: Murphy, Proverbs)
[31]
Kesan
ini juga nyata dalam terjemahan LXX: “ko,raj ovmma,twn” yang merefleksikan
keberhargaan seseorang atau sesuatu hal, misalnya “seorang kekasih” (lihat: “BDAG
Lexicon,” dalam BibleWorks LLC Version 6.0.005y)
[33]
Genre
dari bagian ini biasanya dikenal dengan istilah “Example Story”,
yakni suatu ilustrasi yang mengandung contoh tertentu, biasa dalam bentuk saga (bnd.
Ams. 24:30-34; Pkh. 4:13-16)
[40]
Mungkin
lebih baik menerjemahkan rb"+D"-lk'l dalam ayat ini dengan “segala sesuatu”
daripada “segala perkataan”.
[48]
Peter C. Craigie; Page H. Kelley & Joel F. Drinkard
Jr., “Jeremiah 1-25,” dalam Word Biblical Commentary, Vol. 26, Logos Library
System (CD-Room; Dallas, Texas: Word
Books, Publisher, 1998)
- Mirandola's blog
- 21141 reads
wuihh....
BIG GBU!
Saya "Amateur"
Dear bung Josua,
Emang harusnya dua sesi.. maklum, saya masih "amateur" dalam hal posting file.
thanks untuk responsnya.
Tuhan memberkati!
Salam,
Deky
Tua Apa Malez?
hehehe...
BIG GBU!