Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Jangan kedip.. (Tu, Wa, Gaa..! ^^): Tips Membangun Sistem Fotografi
Jeprat, jepret, jeprat, jepret...
Hampir ke mana pun kita pergi dewasa ini, biasanya ada saja pemandangan orang sedang memicingkan sebelah matanya menerawang jendela bidik, entah sambil berdiri, tiarap, atau bahkan njengking, asyik mengambil gambar demi gambar...
Ya, kesadaran fotografi di masyarakat kita saat ini memang sedang tinggi-tingginya, walau kadang (atau mungkin sering) tidak dibarengi dengan kesadaran untuk menghasilkan foto yang layak untuk dinikmati...
Hal ini, antara lain, ditunjang oleh semakin murahnya harga perangkat keras fotografi. Dengan kisaran 5 jutaan rupiah, anda sudah bisa membawa pulang satu kamera digital SLR lengkap dengan lensanya, dan siap untuk mengisi harddrive komputer anda dengan foto-foto hasil jepretan sendiri...
Namun perkara membangun sistem fotografi yang tepat memang bukan urusan yang mudah, di tengah-tengah serbuan berbagai tipe dan merek di pasaran saat ini. Bahkan bagi yang berkantong tebal sekalipun, tetap saja bukan urusan yang mudah. Apalagi yang pas-pasan kantongnya seperti saya.. :) Untuk itu, ijinkan saya menshare sedikit pengalaman kepada kekasih-kekasih di SS...
Sebelum bergerak lebih lanjut, ingin saya sampaikan bahwa tips ini secara sempit terbatas untuk kamera digital SLR (Single Lens Reflex) saja. Itu lho, kamera yang ada bunyi jeprat-jepretnya (tapi bukan efek shutter sound seperti di kamera ponsel). Bunyi itu dihasilkan oleh kaca pantul/refleks yang ada di dalam kamera, yang naik ke atas saat kita mengambil gambar. Dari situlah muncul istilah SLR tersebut. Dan keunggulan kamera SLR terletak pada kaca pantulnya itu, sehingga kita bisa melihat tepat seperti apa yang dilihat oleh lensa secara real time. Hal ini berbeda dengan kamera digital non SLR, yang sekarang rata-rata cuma menggunakan layar LCD untuk mengamati subyeknya, sehingga baterai cepat tekor, dan juga selalu ada lag/keterlambatan di layar panel jika subyek atau pemotret berubah posisi. Selain itu, membahas tentang kamera SLR artinya juga membahas sedikit mengenai lensa (lih. akronim SLR di atas), karena merupakan satu pasangan dalam penggunaan namun biasanya terpisah saat pembeliannya. Hal ini juga akan menjadi sangat penting, bagi yang memulai dari nol...
1. Carilah merek yang ternama
Perkaranya di sini adalah soal ketersediaan suku cadang maupun layanan purna jual. Sekarang banyak produsen yang menghasilkan perangkat yang murah namun berkualitas, sehingga kita bisa menghemat sejumlah uang. Namun sering pula, perangkat utama maupun asesorisnya sulit sekali dicari di pasaran kita. Mau cari lensa susah. Mau beli lampu kilatnya nggak ada. Jur piye? Belum lagi kalau suatu saat kita butuh jasa servis atau klaim garansi, tahu-tahu importirnya nggak jelas, hiiiyyy. Lebih bijak, kalau kita memilih pemain-pemain lama, yang sudah pengalaman bertahun-tahun, dan bertahun-tahun ke depan juga masih berproduksi. Artinya, lebih terjamin juga kelangsungan aktifitas fotografi kita.
2. Belilah dari penjual yang punya reputasi baik
Di sini kita bisa menanyakan pada teman-teman yang sudah punya pengalaman di daerah kita masing-masing, karena biasanya mereka yang lama bergerak di bidang fotografi sudah paham betul toko-toko yang kredibel. Jika suatu saat kita membutuhkan layanan purna jual atau tukar-tambah misalnya, toko yang baik pasti akan meladeni permintaan kita. Hal ini, menurut hemat saya, masih sering menjadi momok yang menakutkan bagi konsumen. Tidak jarang kita dengar cerita dimana orang harus menarik urat leher, atau bahkan sampai terlibat caci-maki, hanya gara-gara barang yang baru dibelinya ternyata apkir, dan sang penjual cuek beybeh.
3. Kita tidak akan menjadi pemula selamanya
Nah, ini die nih. Sering kita berpikir, ah, saya kan beli kamera digital SLR cuma untuk hepi-hepi aja. Motret sesekali. Itu pun cuma motret pacar atau narsis sendiri di kamar. Singkat kata, cuma pemula. Hemat aja daahhh. Cari yang paling murah. Namun terkadang progresi hidup berkata yang sebaliknya. Tergantung talenta dan sikon kita masing-masing, bisa saja satu atau dua bulan terhitung dari pembelian kamera, kita sudah merasa tidak puas dengan fitur maupun kualitas fabrikasi kamera yang kita pakai.
Mau motret air muncrat, yang (mantapnya) dihasilkan dengan lampu kilat sinkron high speed 1/8000 detik, nggak bisa. Dibawa motret saat hujan rintik-rintik, ehh, rembes.. (hah, jan..). Mau ngeshoot beruntun cewek cakep pas lagi ngakak (yang biasanya ja'im banget), nggak sempet. Kenapa? Autofokusnya lemot. Kecepatan motret beruntunnya terlalu lambat. Macem-macem. Memang, faktor budjet pegang peranan penting dalam hal ini. Seandainya dana terbatas, ada baiknya kita menabung dulu, ketimbang buru-buru membeli, tahu-tahu menyesal di kemudian hari. Jadi kembali ke diri kita masing-masing saja. Kenalilah diri anda sendiri. Sekarang bagaimana, bulan depan bagaimana, tahun depan bagaimana. Ibarat kata lagunya Kotak, Pelan-pelannn Sajaaaa.......
4. Telusuri kelemahannya
Mirip dengan proses pra nikah, telusurilah dahulu kelemahan peralatan yang akan kita beli. Kelemahan? Yup. Kelemahan inilah yang berpotensi sangat menyusahkan kita di lapangan kelak. Kebanyakan orang cuma melihat spek keluaran pabrik, yang isinya cenderung mengedepankan keunggulan produk mereka. Setelah sekian lama menggunakan, baru ketahuan "borok"nya. Kalau jaman dahoeloe, sebelum ada internet, hal-hal seperti ini biasanya cuma bisa diketahui dari mulut ke mulut sesama pengguna. Sulit memang. Sekarang, hanya dengan satu jam duduk di depan kompie, kita sudah bisa banyak tahu tentang kekurangan sebuah produk. Di sinilah keuntungannya. Kalau kita tahu cacatnya sedari awal, kita bisa memutuskan lebih awal pula, jadi atau tidak kita membeli. Bisa kita terima atau tidak kekurangannya.
Jika ditelaah lebih dalam, kamera digital jaman sekarang, berbeda sekali dengan kamera film dulu. Bukan. Bukan karena sekarang elektronik dahulu tidak (kalau dahulu lu lu sekali sih memang iya). Copot sistem perekaman gambar (digital)nya, maka tidak akan banyak bedanya kamera SLR sekarang dengan yang dari tahun '80-'90-an. Ini boleh didebat, tapi memang tidak ada quantum leap teknologi kamera dari era '80-an akhir hingga sekarang. Sampai kira-kira tahun '90-an, sebelum era kamera dengan sistem perekaman digital, jarang orang komplain tentang kehandalan sebuah kamera yang baru dibeli. Merek/tipe apa pun. Pagi beli, siang "dihajar", bertahun-tahun kemudian masih sehat-sehat. Tapi coba lihat sekarang. Yang pelepas rananya error, tidak bisa fokus, meter pencahayaan ngadat, dan sederet daftar kejelekan yang bikin keder hati yang membacanya. Padahal tuku anyar. Ada yang bilang itu terjadi karena kamera sekarang komponennya tidak mutu nomer satu seperti dulu (mungkin istilahnya sekarang KW ya?). Entahlah. Yang jelas, semakin banyak kita membaca review sebuah produk, semakin kecil kemungkinan kita dikecewakan olehnya di kemudian hari.
5. Kenalilah scope aktifitas memotret
Kita ntar bakal memotret apaan? Event apa saja? Di mana? Ini kaitannya terutama dengan lensa yang akan kita pakai. Secara hardware, jenis kamera memang punya peranan penting juga. Tapi bagaimanapun kualitas optiklah (=lensa) yang lebih menentukan. Dan satu fitur unggulan (lain) kamera SLR adalah kemampuannya untuk bebas bergonti-ganti pasangan tanpa kena sanksi moral atau hukum. Pasangan lensa maksudnya. Kalau dikaitkan dengan masalah budjet, ini juga menjadi masalah yang sensy.
Kita mulai dengan sudut pandang normal ke depan mata manusia, tanpa plirak-plirik ke kiri atawa ke kanan. Kata mbah-mbahnya fotografi, kalau disimulasikan oleh lensa kamera SLR, itu artinya kita harus menggunakan lensa 50mm (untuk SLR dengan sensor full frame, seperti D3, D700, EOS-5D, EOS-1D, A900), atau 35mm (SLR sensor kecil, atau APS-C, seperti D90, D300, EOS-50D, K7, dll). Itu sudah enak untuk fotografi umum. Momen apa aja pas. Harganya juga tidak mahal-mahal amir, rata-rata berkisar antara 2-4 jutaan. Yang produk third party malah lebih murah lagi, dengan mutu yang tidak kalah bagusnya. Atau kalau mau menggunakan lensa asli tapi maunya murah, bisa juga memilih lensa zoom normal (dengan cakupan sudut agak lebar hingga tele pendek, seperti 18-55mm, 18-105mm, dll), yang biasanya dijual satu paket bersama kamera yang kita beli, sehingga keseluruhannya bisa lebih murah. Satu keuntungan lensa zoom adalah kita bisa menghindar dari maju-mundur saat memotret, walau mutu optiknya sedikit kalah dengan lensa prime.
Anda senang fotografi lansekap atau nature? Kalau memang niatannya menghemat biaya, justru lupakan lensa-lensa yang disebutkan di atas, dan lewatkan saja rayuan gombal penjual antuk membeli paket murah kamera dengan lensa bawaannya tadi. Dalam dunia fotografi lansekap/nature, kalau tidak mencari sudut pandang yang luas, ya mendekatkan subyek yang jauh. Beli lensa-lensa zoom atau prime yang bersudut lebar (sekitar 20 atau 18mm ke bawah, bisa 16-35mm, 10-24mm, dll) dan tele (biasanya 70mm ke atas, antara lain 70-200mm, 70-300mm, 80-400mm, dll). That's all you need.
Suka kelayapan di tengah malam, butuh lensa yang optiknya kuat (sehingga akurasi autofokus lebih baik)? Seneng bikin foto portrait, dengan subyek yang tajam dan background yang blur abis? Atau sering motret outdoor di tengah-tengah kondisi buruk (seperti erupsi Merapi beberapa waktu lalu)? Mungkin lensa-lensa zoom atau prime dengan f/stop 2.8 (diafragma bukaan besar, cahaya yang masuk lebih banyak) cocok untuk anda. Biasanya produsen-produsen perangkat fotografi membuat lensa-lensa f/stop 2.8 dengan material yang lebih baik ketimbang lensa-lensa tipe lainnya (bahan utama logam, ada gasketnya, sehingga air/debu tidak gampang menerobos). Para fotojurnalis biasanya memakai lensa jenis ini. Namun berbarengan dengan kualitas seperti itu, harganya juga meroket. Tidak jarang, lensanya jauh lebih mahal ketimbang kameranya. Melihat harganya saja sudah bikin ngeri. Dari yang belasan juta rupiah hingga yang seharga perumahan mewah. Adalah lebih baik memang, membeli kamera yang semurah-murahnya dengan lensa yang sebaik-baiknya, ketimbang sebaliknya, kalau tidak bisa dua-duanya yang terbaik sekalian. Namun sekali lagi, anda yang paling tahu apa yang dibutuhkan dan kondisi saku anda sendiri.
Dan jangan lupa pula faktor pembesaran gambar. Gambar-gambar yang dihasilkan olen kamera SLR dengan sensor APS-C punya rasio pembesaran sekitar 1.5x dibanding dengan kamera SLR bersensor fullframe. Seperti contoh di atas, lensa 35mm untuk sensor APS-C menghasilkan gambar yang kurang-lebih setara dengan lensa 50mm untuk sensor fullframe. Padahal untuk sensor fullframe, lensa 35mm itu masih tergolong sudut lebar, dan sebaliknya, 50mm untuk sensor APS-C sudah masuk ke rentang tele. Do the math, and you'll know the result..
[PS :Sebenarnya masih ada kombinasi lensa-kamera SLR yang lebih kecil lagi ukuran sensornya (format 4/3, atau fourthird). Ada juga kamera yang tergolong SLR, tapi kaca pantulnya tidak naik ke atas saat memotret (pellicle mirror). Namun untuk pasaran Indonesia sekarang ini rasa-rasanya tidak begitu populer dan masih sulit dicari. Karena itu saya tidak membahasnya di artikel ini]
6. Pikirkan peranti pendukungnya
Lhaaa, ini juga yang sering dilupakan orang. Kamera ne apik. Lensanya mantap, besar, berat, bisa jadi senjata darurat kalau pas dikejar anjing, atau jadi pemberat kertas, terserah. Ealaaaahh, tripod malah ora duwe. Punya pun tipe yang mungil, yang sering goyang Inul, membuat gambar jadi blur semua. Lampu kilat tambahan nggak ada. Pas lagi motret indoor yang agak luas ruangannya lampu kilat internal kamera (ada yang nggak punya lampu kilat internal lho, hati-hati) udah nggak sanggup. Kompie juga konfigurasinya standar banget. Ngedit foto ditinggal mandi pun masih belum selesai ngerendernya. Sueeee banget.. :). Tanpa bermaksud menyinggung, urusan komputer ini juga tak kalah pentingnya dengan perangkat fotografinya sendiri (ini satu hal yang membedakan era film dengan perekaman digital). Apalagi kalau kita sudah masuk dunia fotografi komersil. Wahhh, susah. Bisa diomeli orang, karena kerjaan nggak beres.
Jadi sebelum memutuskan untuk membeli kamera-lensa tertentu, anggarkan juga sedapat-dapatnya untuk hal-hal basic (namun sangat dibutuhkan) seperti: upgrade komputer/laptop (sesuaikan dengan spek software fotografi anda), batere tambahan, dengan perangkat chargernya sekalian kalau memungkinkan, memory card ekstra, filter (paling tidak untuk melindungi bagian depan lensa), lampu kilat eksternal, tripod (perhatikan beban terberat kombo perangkat fotografi anda yang sanggup ditopang tripodnya), dan tas penyimpanan yang baik. Semua produk yang disebutkan tadi rata-rata ada keluaran third partynya. Biasanya buatan RRC atau Taiwan, murah meriah. Jangan kuatir. Relatif aman kok. Sudah banyak yang mencoba. Untuk soal tas, dari info teman-teman, sudah ada produsen home industry lokal yang khusus membuat tas-tas kamera yang mutunya baik, namun harganya jauh lebih murah dibanding barang impor seperti Lo*ePro atau D*lsey.
Begitu dulu kekasih-kekasih, sekelumit tips dari saya. Sudah banyak yang mengupload artikel sejenis di dunia maya. Moga-moga junk yang saya bagikan bisa sedikit melengkapi dari yang sudah ada. Senang bisa berbagi dengan kekasih-kekasih semua. Maaf untuk kata-kata yang kurang berkenan dan info-info yang kurang akurat...
Ok, silakan berburu kamera dan asesorisnya (toko-toko banyak yang masih memasang harga akhir tahun tuh), dan..., jangan lupa..., it's all about the man behind the gun, not the gear...
Selamat mengabadikan keindahan yang Gusti Allah ciptakan di sekitar kita...
Selamat berkarya...!!
(...shema'an qoli, adonai...)
- ebed_adonai's blog
- Login to post comments
- 11828 reads
:DD
Ebed, I LIKE!
Obyeknya kok gak ada?
Mana poto cewe-cewe modelnya?
@minie: right next door..
Cewek-ceweknya ada di lapak saya, hehe.. Untuk di sini cewek saya yang paling cakep aja, itu tuh, yang paling bawah sendiri..
(...shema'an qoli, adonai...)
bikin berseri dong
wah, panduan yang sangat bagus!
bagaimana kalau dibikin berseri, lengkap dengan tips dan contoh-contoh hasilnya? seperti blog how-to origami, kirigami, atau entah apa itu, yang dibuat minmerry itu lho...
jadi pingin beli kamera beneran... :)
@mazdanez: input yang bagus...
Boleh juga idenya tuh mas.. Tak cari waktu yang tepat ntar..
Kamera beneran? Memangnya mas Daniel sekarang pake kamera Barbie? Itu tuh, yang kalau diintip lewat jendela bidiknya, dipencet shutternya, bergantian gambar-gambar Barbie muncul...
(...shema'an qoli, adonai...)
ditunggu
hahaha... kamera beneran juga sih, tapi cuma yang digital compact biasa, yg point-and-shoot itu loh, tinggal lihat di layar LCD lalu pencet tombolnya dan jadilah gambarnya... :p
jadi ceritanya pingin belajar yang gak terlalu amatir gitu loh, dan kebetulan ada posting ini, jadi pas banget, saya tunggu lanjutannya ya... :)
Wakakaka....
Paper craft, Mas daniel.... :))))
biar seger
hahaha... sori min, tadi aku males cari2 lagi, jadi asal aja nulis seingetnya, ya, gitu deh.... pokoknya bikin yang lucu & menarik, biar SS jadi seger lagi... :)))
Mas Dan : I know, No wori. :DDDD
I know, and thanks for make me laugh. Ha ha ha ha ha.
Evolusi Tukang Foto
Berhubung kamera DSLR bisa bikin ngutang tujuh turunan (sekarang sih nggak lagi deh), jelas-jelas mesti research dulu sebelom beli. Berhubung kagak mao kalah keliatan pro dibanding ebed, saya juga mao berbagi pengalaman nih. Point ke-5 di atas (scope), menurut saya paling penting (kecuali untuk mereka yang kantongnya super tebal).
Di kasus saya, pertama kali punya DSLR (tahun 2005), lensanya EF-S 17-85mm f4-5.6. Setelah pakai setahun, saya baru sadar kalo saya lebih sering motret2 acara dengan ambient lighting (alias cahaya apa adanya, tanpa flash). Alhasil, f4 terlalu pelan buat saya, apalagi kamera saya masih Canon 350D dari jaman jadoel, yang mana kalo pake ISO1600 jadinya 'ngeres'.
Akhirnya, saya memutuskan menjual lensa tersebut dan menggantinya dengan Tamron 17-50mm f2.8 (constant aperture) (tahun 2006). Sampai sekarang saya hepi2 aja dengan sistem boetoet saya sejauh ini. Apalagi dengan 17mm (28mm equivalent di 35mm system), ini penting banget buat group photo, biar banyak orang bisa muat dalam sekali jepret.
Nah, karena alasan di atas, saya mengamini point pertama dan ketiganya si ebed. Berhubung para pemula DSLR masih terlena dengan euphoria kamera barunya, pilihan pertamanya bakal sulit objektif. Bak makan buah simalakamakalala, pengguna baru belum memiliki pengalaman yang cukup untuk memilih dengan objektif. Mau cari nasehat juga belum tentu benar, karena masing-masing pengguna lain kebutuhannya. Contoh, setelah setahun memakai DSLR, ternyata saya lebih sering moto candid group photo with ambient lighting, so less landscape -> alhasil: wide angle lens with wide aperture.
Jadi, dalam membeli DSLR pertama, sudah harus siap-siap jual atau upgrade lensa dalam setahun-dua tahun. Karena ini, pilihan pertama biasanya menentukan sistem kamera seumur hidup. Contoh, saya membeli Canon sebagai DSLR pertama saya, sehingga, I'm stuck with it. Terlalu mahal to change system. Kalo mao upgrade kamera, harus Canon juga, karena udah ada beberapa Canon lenses. Mao upgrade lensa, lensanya juga mesti Canon compatible juga. Kalo nggak, lensa laennya mao dikemanain? Enaknya merk ternama (kayak Canon dan Nikon), banyak third party equipment yang nge-support (point 6-nya ebed). Contoh: lensa saya pake Tamron, soalnya, lensa Canon muahaaal banget (apalagi Nikon)!
Dari yang saya tahu, para pengguna yang baru nyemplung ke dunia SLR, kebanyakan memilih paket super zoom. Wide angle bisa, telephoto juga bisa, contoh 18-200mm lens. Walau kualitas lensa super zoom ini amburadul, tapi untuk para pemula ini sudah cukup.
Mao sekalian pamer portfolio jadoel ah:
http://picasaweb.google.com/rusdy.simano/Portfolio?feat=directlink
@Rusdy: Nice shots...
Pro? Ane mah masih amatiran Kang, hehe.. Barang juga kebanyakan milik alm. ayah saya. Masuk ke digital pun saya masih relatif baru (sekitar tahun 2005)..
Betul Kang Rusdy. Perkara budjet memang masih jadi kendala besar bagi sebagian fotografer. Apalagi merek yang Kang Rusdy sebut itu. Nggak tanggung-tanggung jumlah kemahalannya. Jadi memang harus hati-hati benerrrr memilih perangkat. Itulah yang menginspirasi saya untuk menulis blog ini, selain untuk menggugah teman-teman supaya tertarik ikut berekspresi dalam dunia seni yang satu ini..
Saya sendiri dulu tidak pernah kebayang kalau suatu saat fotografi bakal jadi usaha sampingan. Istilahnya mas Wawan, lumayan untuk nambah beli garam dapur. Karena itu pula, jujur, terkadang saya merasa menyesal dalam hati, kenapa dulu beli 18-200vr. Multi purpose memang. Nggak bikin pegel kalau ditenteng seharian. Namun kalau dipakai memotret serius banyak juga kekurangannya. Di 200, harus distopdown sampe kira-kira 7 koma sekian, kalau nggak mau kebanyakan make unsharp mask di sotoshop. Di 18, 3.5nya juga nggak tajem. Banyak distorsi lagi. Ada baiknya, kalau dulu saya tidak keberatan urat otot membengkak (katanya kan malah jadi lebih macho ya?), dananya saya pakai untuk yang lain-lain saja. Dulu saya beli itu karena peninggalan bokap lensa-lensa fullframe semua..
Wah, mantep-mantep itu foto-fotonya Kang Rusdy. Momen dan rendering warnanya ciamik...
(...shema'an qoli, adonai...)
Ebed : Model
Ebed, musti bahas model yang difoto juga ya. Mengingat Min lebih banyak jadi modelnay selama ini dari pada behind the gear, hahahaha.
Kira-kira modelnya berpengaruh ga dengan lensa yg 35mm itu? Hahha
@min: model, model, model...
Hehehe, saya sebenarnya nggak terlalu banyak berkecimpung di dunia modelling min. Interest saya nggak di situ sebetulnya. Tapi karena banyak undangan pre wedding dan wedding yang masuk, saya juga jadi harus rajin-rajin mengasah ilmu..
Lensa 35mm? Itu cuma patokan standar kok min. Dengan kamera saku ala kadarnya sekali pun, di tangan fotografer yang handal, bisa aja jadi foto portrait yang ciamik... Contohnya foto-fotomu di FB itu lho. Vant yang ambil ya?
PS: Thanks sudah mengupload artikel saya di FB, sister...
(...shema'an qoli, adonai...)
@min: bisa salah tanggap... :)
Maksudna hasil shotsnya itu lhoh, bukan masalah pake kamera apa (saya juga nggak tau min pake apa, hehe..).. Nice.. Mungkin karena itu Vies bilang kayak anak SD.. You know min? Beberapa waktu lalu saya dapet order bikin foto profil sebuah sekolah. Selama hampir 2 minggu sepanjang siang ngumpul sama anak-anak. Satu hal yang membedakan foto anak-anak dengan orang dewasa, yaitu kealamian acting dan keceriaan mereka. So natural.. Warm.. Kalau bisa berpose (natural) seperti itu, yang motret juga lebih ringan tugasnya..
(...shema'an qoli, adonai...)
@Ebed .
Tengs, Bed :DDD
Min sering berkunjung ke web ebed, dan memang foto2nya ebed tingkat tinggi semua. Practice makes perfect ya. :D Rasanya butuh latian bertahun2. Tapi hobi foto kayanya bener2 menyenangkan, bisa capture apa saja beautifully. :)
But really, really so heppi to read your blog u know. 2 lagi!!! Tulis lagi ya bed. Min senang gitu baca blognya Ebed karena hepily, shinny. :D Trus penuh info, ^^ !!
Min memang ada darah narsis, haha, harap dimaklumi, bed. Gayanya kadang2 bikin yang motretin malu, haha....
@min: We are all learners...
Saya masih harus banyak belajar min...
(...shema'an qoli, adonai...)
Ada lowongan kang ebed?
@li-chian9 Jangan macem-macem
li-chian...gayamu jangan macem-macem gitu, ah
satu macam aja, ...kalo pake nangkring pohon atau jatuh di kali, ikan-ikanmu siapa yang ngurus nanti?
"I do not try to dance better than anyone else. I only try to dance better than myself." - Mikhail Baryshnikov, ballet dancer
@LC9: Lowongan?
Ntar tak tanya teman-temin mana tau ada yang punya koneksi di majalah Trubus... (joke aja, hehehe...)..
(...shema'an qoli, adonai...)
Aku bawa ke kali mba..
Newbie di digital camera
Bulan Agustus tahun kemarin saya memutuskan untuk membeli kamera DSLR. Dengan anggaran yang sangat-sangat terbatas maka hanya bisa membeli kamera entry level. Pilihan jatuh pada N*k*n D3000 karena saat masih menggunakan kamera analog, saya menggunakan kamere bermerek sama, namun milik kantor.
Konon N*k*n memiliki kekuatan untuk warna-warna natural. Sedangkan C*n*n pesaingnya konon kuat untuk warna-warna yang soft. Karena banyak digunakan untuk kepentingan outdoor, maka pilihan jatuh pada merk pertama. Saya memang banyak menggunakan untuk kegiatan di tanggap bencana dan traveling. Untuk pemotretan ambience (tanpa blitz) cukup memadai. Namun untuk cahaya minim, jika hanya mengandalkan lampu kilat internal terasa kurang memadai. Terutama untuk pemotretan dengan jarak lebih dari 5 meter. Dalam situasi ini dibutuhkan lampu kilat tambahan, namun menjadi tidak praktis untuk kepentingan traveling.
Meski tergolong ringan di antara kamera DSLR, namun untuk dicanglongkan di leher tak urung bikin pegel juga. Jika di lapangan, biasanya saya mencangklongkan dua kamera yaitu kamera foto dan kamera video. Karena sama-sama berat, maka akhirnya saya mengalahkan kamera video dengan menggantinya dengan kamera berukuran saku. Kebetulan saya mendapatkan kamera Flip Mino gratis dari sebuah sayembara penulisan. Sekilas bentuknya seperti ponsel, sehingga bisa dimasukkan ke dalam rompi. Namun gambar yang dihasilkan terbilang dashyat. Kamera sekepal itu bisa memproduksi visual berkualitas DVD. Kelemahannya pada fasilitas zoom (digital) dan gambar yang blurr untuk teknik panning.
Kembali ke kamera foto. Kalau bisa ngomong, mungkin kamera saya sudah protes karena digunakan dalam lingkungan yang kurang bersahabat. Bodi kameranya berkali-kali terbentur benda keras karena melewati medan yang sulit. Puncaknya adalah ketika kami menerobos ke desa tertinggi di lereng Merapi. Dalam kondisi hujan sangat deras, saya memaksakan diri untuk mengambil gambar puing-puing rumah yang luluh lantak oleh awan panas. Akibatnya, motor autofokus lensa menjadi rusak. Untung masih dalam masa garansi, namun sampai sekarang belum sempat membawanya ke pusat service.
------------
Communicating good news in good ways
@PK: Newbie rules.. :)
Hehehe, belakangan ini kayaknya kata newbie makin populer aja ya di SS?
Yo'i mas. Sohib-sohib juga banyak yang bilang gitu. Kekuatan Ni*on di saturasi warna, dan Ca*on di gradasinya. Apalagi mulai dari era D90/D300/D3, kayaknya makin kentel aja. Kayak teh wasgitel. Cuma hati-hati efek posterizationnya mas. Transisi warna jadi terlalu harsh. Kata temen-temen, kudu pinter-pinter nyetel Picture Controlnya (di bagian Saturation dan Active D-Lightingnya).
Ya (lagi-lagi ini kata Ni*on dieharders lho), memang itulah warisan Ni*on sejak tahun 1959 sampai sekarang yang relatif nggak berubah. Tangguh. Biar kelas entry level sekali pun. Btw, setahu saya ada kok flash eksternalnya Ni*on yang cuilik mentik mas. SB-400. Lumayan bisa masuk saku, karena relatif seukuran ponsel juga.
Salut untuk mas Wawan yang berani naik ke atas. Saya sendiri jujur aja gak punya nyali. Dengar bunyi gemuruh, hujan abu bertambah lebat, ditegor pak pulisi langsung aja putar arah keluar jakal. Padahal banyak teman-teman yang dapat rejeki lumayan dari foto-foto erupsi Merapi. Itu juga terseok-seok sampe Magelang. Jalanan hampir nggak kelihatan. Nafas sesak. Jaket item favorit saya juga ikut jadi korban. Sampe sekarang dicuci berkali-kali pun tetep aja jadi abu-abu, ketemplekan abu vulkanik. .
(...shema'an qoli, adonai...)
@PK: Oleh-oleh untuk mas Wawan...
Tak inget-inget kayaknya saya punya picnya. Setelah dicari-cari, memang ada. Hasil asal nembak pas sedang nunggu di sebuah toko di Jogja...
(...shema'an qoli, adonai...)
Yap. That's my camera
Yap. That's my camera
------------
Communicating good news in good ways
DSLR vs Compact
Cuman bisa ngangguk2 dari komennya pak wawan tentang DSLR yang selalu terbentur. Gara2 ini, DSLR saya malah lebih sering di lemari, sayang dipake :).
Malahan, compact camera saya, yang waterproof dan shockproof (Olympus), jadi camera saya sehari-hari. Bisa dikantongin, mao keujanan, kena lumpur, dll, masih jalan terus. Sayangnya, kualitas gambarnya itu loh, aduh, bikin saya nangis (alias jelek banget dibanding DSLR)
@Rusdy
Bagaimana suluh itu bisa menjadi terang jika diletakkan di bawah ranjang?
Bagaimana kamera bisa menghasilkan gambar jika disimpan di laci?
------------
Communicating good news in good ways
Pengin motret lagi
Membaca blog kang Ebed membuat merana hati. Bagaimana tidak, saya dulu boros kalau sudah berhubungan dengan fotografi dengan KAMERA JADUL, kini malah tak pernah menyentuh barang elektronik yang ajaib itu, setelah kamera jadul saya dipinjam dan tidak dikembalikan oleh saudara sendiri.
Saya dulu kemana-mana memang selalu membawa kamera itu, untuk menyiasati biaya film dan cuci cetaknya, saya banyak mengirimkan hasil jepretan saya ke berbagai media cetak, baik pusat maupun daerah. Ada yang disertai artikel atau murni mengirimkan untuk suatu lomba atau rubrik khusus fotografi. Saya juga pernah masuk nominasi dalam lomba di majalah Jakarta Jakarta, ikut pameran di Jakarta atas undangan sebuah majalah wanita, foto-foto human interest saya pernah masuk majalah Tempo, JJ, Humor, dan masih beberapa koran mingguan/harian.
Saya masih menyimpan arsip tokoh-tokoh penting pada waktu itu, dari mulai Presiden Soeharto, beberapa menteri, Gubernur, Walikota, Bupati, dan artis-artis ngetop waktu itu. Ah, menyenangkan sekali rasanya bila sudah hunting mengabadikan segala sesuatu. Tapi kini, ah salah satu hobbyku yang hilang begitu saja karena dikejar utang ha ha ha ha ha......
Salam jepret!
Semoga Bermanfaat Walau Tidak Sependapat
@TP: Jadoel pancen Oye!..
Justru Jadul itu yang tangguh, Tan.. Nggak rewel. Pas erupsi Merapi kemarin ada beberapa sohib yang balik pake kamera analog lagi. Justru banyak yang pake digital, pulang-pulang malah rusak. Kebanyakan karena debu menelusup sampe ke sensor. Kalau film, nek reget yo diresik i, diblower wae, wis... Kamera film alm. ayah saya aja masih oke-oke aja sampe sekarang. Dalam batasan tertentu, malah lebih sehat ketimbang kamera saya. Sesekali masih saya ajak "olahraga". Keluar kandang, isi batere, pencet tombol shutter, nembak beruntun terusssss sampe mabok...
Wah, wah, nggak nyangka kalau TP senior fotografi. Jangan-jangan wartawan seperti mas Wawan juga. Kalau orang lama biasanya insting motretnya tajem. Lihat scene, otak langsung jalan, mau pake fstop dan speed berapa, nggak seperti kebanyakan kami sekarang (terutama yang mulai motret dari era digital), njepret, lihat layar, njepret, lihat layar. Jadi nggak terasah komputer di kepala. Jangan sampe hilang tuh foto-foto lamanya. Untuk anak cucu kelak, hehehe.. Mbok sekali-sekali dipost tuh karya-karyanya Tan (terutama sing artis-artis ngetop.. )...
(...shema'an qoli, adonai...)