Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Wisata Bencana
Pemandangan wilayah yang tersapu awan panas Merapi membuat bulu kuduk merinding. Menginjak wilayah ini seolah-olah melihat televisi era 1970-an. Warna yang dominan adalah hitam-putih. Seperti melihat foto dengan format grayscale.
Sebelum ke wilayah ini, kami lebih dulu mendampingi guru dan karyawan SMP Kristen dan jemaat GKI beranjangsana ke dusun Remeng, desa Tlogowatu. Dengan mengendarai 6 mobil, kami berkonvoi ke desa di sebelah tenggara Merapi, berjarak sekitar 8 km dari puncaknya. Setelah menurunkan bantuan dan mencomot ubi goreng, kami berlima sengaja meninggalkan rombongan yang sedang menjalani ritus ramah-tamah.
Sasaran kami adalah puncak Deles, sebuah tempat wisata di Klaten yang mirip dengan Kaliurang. Suasananya masih sepi. Belum banyak warga yang kembali ke rumah masing-masing, namun barikade polisi sudah disingkirkan. Sesampai di tepian kali Woro, terlihat pohon-pohon yang hangus terbakar di sepanjang aliran sungai. Dengan perasaan miris kami mendekati jurang tepian kali Woro. Tiba-tiba seekor monyet melintas sambil menyeringai, menunjukkan taringnya. Ah, masih ada monyet! Ini pertanda baik bahwa wilayah ini akan segera pulih. Hewan-hewan liar ini mampu menyelamatkan diri dari sergapan awan panas.
Salah satu relawan bergegas ke mobil untuk mengambil biskuit. Dia buru-buru melemparkan isi biskuit ke monyet. Mula-mula monyet itu tampak ragu-ragu. Namun rasa lapar telah mengalahkan kecurigaannya. Dia mencomot sepotong biskuit dan melahapnya. Monyet lain datang. Dia ikut mengambil biskuit. Lalu datang monyet lagi, dan lagi, dan semakin banyak monyet yang berdatangan. Ada lebih dari 20 monyet yang menikmati makan siang gratis.
Karena guyuran hujan dan udaranya yang dingin, beberapa relawan harus menandai wilayah Deles, ala anjing. Setelah itu merayap lagi ke arah Kedungpring, puncak tertinggi di Deles. Pemandangan kiri dan kanan seperti padang tundra. Pohon-pohon berawarna hitam karena hangus terbakar. Pohon kelapa tumbang. Akarnya menyembul keluar. Mungkin karena tidak kuat menahan beratnya pasir yang teronggok di pelepah daunnya. Uniknya, rumput-rumput justru mulai menghijau bersemi.
Mobil kami sesekali terpaksa berhenti karena harus menyingkirkan pohon-pohon yang melintang di jalan. Sesaat sebelum mencapai puncak, mobil tidak bisa maju sama sekali karena pohon besar melintang di jalan. Sementara itu, pengendara sepeda motor berboncengan yang ada di depan kami juga berbalik turun.
“Ada apa mas?” tanya kami penasaran.
“Di atas petir sambar-menyambar,” jelas mereka. “Kami putuskan turun saja.”
Kami tidak mau ambil risiko. Kami putuskan untuk turun saja. Masalahnya, tidak ada tempat untuk memutar mobil. Maka mobil hanya bisa berjalan mundur selama sekitar 600 meter. Kami beristirahat di Pesanggrahan PB X untuk makan siang. Bangunanya masih penuh dengan debu Merapi. Mungkin kami adalah orang pertama yang masuk ke tempat ini setelah erupsi.
Dengan perut kenyang, kami melanjutkan perjalanan ke arah Kemalang. Saat melintas di desa Dompol terlihat penjual duren. Daerah ini memang penghasil buah duren. Namun karena curah hujan yang tinggi, tidak banyak pohon duren yang berbuah pada musim ini. Meski perut sudah kenyang, namun masih ada ruang kosong bagi buah berbau menyengat. Tawar-menawar dengan simbah, disepakati 3 butir duren untuk 50 ribu rupiah.
Sayangnya, begitu disantap, rasanya anyep. Tawar. Hampir tidak ada rasanya sama sekali. Pembeli kecewa. Rupanya ini taktik dagang simbah penjual duren. Dia lalu menawarkan duren yang lebih manis. Namun duren ini tidak utuh lagi karena ada bekas gigitan tupai. Tapi justru itu menandakan bahwa duren itu sudah tua dan berasa manis. Apa boleh buat. Kami merogoh lembaran 20 ribu untuk mengobati kekecewaan.
Sambil bersendawa duren, kami melaju ke desa Pijenan. Untuk menghemat waktu kami ambil jalan pintas. Kami sempat tersesat di jalan desa yang di jalan berlumpur. Agus Permadi memutuskan untuk menelepon pegawainya yang rumahnya di dekat kami tersesat. Pegawainya datang untuk menunjukkan “jalan yang benar.” Kami menyeberang kali Woro melewati dam yang meghubungkan desa Talun dan Kendalsari. Pada Tanggal 1 Desember, di desa ini terjadi banjir lahar dingin. Material padat yang terbawa aliran air itu sudah mengisi dam sampai penuh. Saat melintas di atas dam, kami terkejut melihat hamparan pasir di atas sungai itu sudah dipasangi patok oleh para penambang pasir. Meskipun sewaktu-waktu bisa ada hempasan lahar dingin, namun mereka tidak mau berlama-lama sebab bisa didahului pihak lain. Truk-truk pengangkut pasir pun sudah bersiaga di tepian sungai.
Sekali salah jalan.Masuk ke pertambangan pasir dengan alat berat. Dikeruk habis-habisan. Tebing-tebing tinggi dan lobang yang sangat dalam.
Saat melintasi desa Talun, kami menjumpai banyak lobang-lobang di dalam tanah bekas penambangan pasir. Alam di sini sudah rusak karena pertambangan menggunakan alat berat semacam backhoe atau warga setempat menyebutnya “begu.” Lanskap di sini sudah mirip dengan Freeport mini.
Kami berbelok ke kanan menuju hulu sungai Woro. Dari atas tebing ini, terlihat gubuk dengan atap dari terpal di dasar sungai. Bangunan itu adalah tempat perteduhan para penambang. Kalau sudah menyangkut urusan perut kadangkala potensi bahaya pun ditepis.
Setelah itu kami melambung ke arah barat menuju menuju Balerante, desa tertinggi di wilayah kabupaten Klaten. Pemandangannya sangat mengenaskan. Desa ini sudah luluh lantak. Zero Ground. Rumah-rumah hangus terbakar. Ternak peliharaan mati karena tidak sempat diselamatkan. Ketika mati juga tidak sempat dikuburkan. Jalan satu-satunya adalah membakar bangkainya yang meninggalkan bau yang menyengat. Lalat-lalat berterbangan di wilayah desa ini. Entah bangkai apalagi yang mereka buru.
Desa ini telah menjadi desa mati. Hanya ada sekelompok pria yang menjaga desa ini. Selebihnya, ada 144 KK yang mengungsi di desa Kepurun. Mereka tidak mungkin pulang dalam waktu dekat karena rumah mereka sudah tidak bisa dihuni. Listrik belum menyala dan pasokan air bersih juga terhenti karena mata air tertutup lahar Merapi.
Matahari sudah bersembunyi di Barat, sementara hujan tak juga jeda. Kami harus pulang supaya tidak kemalaman. Kami mampir sejenak di desa Srunen. Jenazah mbah Maridjan dimakamkan di desa ini, namun kuburannya tidak diketahui karena sudah tertimbun pasir Merapi. Sekali lagi hidung kami harus bersahabat dengan bau bangkai yang menyengat. Lalat juga berdengung-dengung. Bahkan sebagian masuk ke dalam mobil.
Dalam perjalanan turun, kami mampir sejenak di kali Gendol. Tiga hari sebelumnya, kami sudah pernah ke sini. Di tepi aliran sungai ini, ada perkampungan yang terkubur dalam pasir. Sejauh mata memandang, hanya terlihat pemandangan yang abu-abu, hitam dan putih. Rupanya sudah terjadi perubahan. Tiga hari yang lalu, bagian tengah sungai masih tertutup pasir. Namun karena hujan, pasir itu sudah hanyut sehingga bagian tengah sungai mulai terlihat kedalamannya.
Rupanya telah terjadi banjir besar di sungai itu. Hal itu terlihat dari batang-batang pohon besar yang terhanyut dan memotong jalan aspal menuju Kepurun. Mobil kami tidak mungkin menerobos halangan itu. Kami terpaksa mengambil jalan kecil melewati perkampungan. Kami harus bergegas karena hari sudah hampir gelap. Namun karena tergesa-gesa, kami nyaris menabrak bentangan kabel listrik yang jatuh ke tanah. Untung rem mobil masih pakem. Sejenak kami ragu-ragu untuk menyingkirkan kabel itu karena takut masih ada aliran listriknya. Kami juga tidak berani menggunakan ranting kayu untuk menggeser bentangan kabel itu karena basah oleh hujan. Karena tidak bisa menunggu waktu lagi, akhirnya Bowo memberanikan diri untuk menguji kabel itu dengan seutas ranting. Untunglah kabel itu tidak bersetrum. Maka dia segera mengambil potongan bambu untuk menaikkan kabel itu sehingga kami mobil bisa menerobos di bawahnya.
Dengan badan yang capek dan perut keroncongan, kami mampir di warung nasi goreng B2 di Pandansimping, Klaten. Lumayan!
Klaten, 6 Desember 2010
------------
Communicating good news in good ways
- Purnawan Kristanto's blog
- Login to post comments
- 3212 reads
penciptaan hari ke4 masih berlangsung
Purnawan wrote : Pemandangan kiri dan kanan seperti padang tundra. Pohon-pohon berawarna hitam karena hangus terbakar. Pohon kelapa tumbang. Akarnya menyembul keluar. Mungkin karena tidak kuat menahan beratnya pasir yang teronggok di pelepah daunnya. Uniknya, rumput-rumput justru mulai menghijau bersemi.
Saya mengira tanah yang di lewati wedhus gembel awan panas dengan 700 derajat, akan mati dan perlu waktu yang panjang untuk pulih kembali. Ternyata tidak toh.
Berfirmanlah Allah: "Hendaklah tanah menumbuhkan tunas-tunas muda, tumbuh-tumbuhan yang berbiji, segala jenis pohon buah-buahan yang menghasilkan buah yang berbiji, supaya ada tumbuh-tumbuhan di bumi." Dan jadilah demikian. (kej 1:11)
Tanah masih merespond firman Allah. setia menumbuhkan tunas-tunas muda. Sungguh ajaib penciptaan.
Hal penghijauan penanaman kembali berarti bisa segera dilakukan..
Kami sekarang juga sedang mencoba membuat program bagaimana pohon besar tetap terpelihara dengan baik bekerjasama dengan penduduk pemilik pohon, untuk tidak tergesa menjual kayu-nya.
Memelihara lingkungan tetap ijo royo-royo.. ^.^
program apa?
program penghijauan sedang berjalan.
Kami sekarang juga sedang mencoba membuat program bagaimana pohon besar tetap terpelihara dengan baik bekerjasama dengan penduduk pemilik pohon, untuk tidak tergesa menjual kayu-nya.
Program apa cik?
------------
Communicating good news in good ways
bisa punya pohon tanpa punya lahan
program sedang di godok Wan, nanti kalau sudah selesai aku share di sini.
garis besar-nya adalah mengelink-kan teman-teman yang dkota yang tak punya lahan tuk memiliki atau menanam pohon, dapat menanam atau memiliki pohon di desa (bekerjasama dengan masyarakat desa)
contoh, hanya dengan misal 100rb, bisa memlih satu pohon di pekarangan yang akan di tandai dengan plankat nama "wawan", dan pemilik akan berkomitmen selama 5 tahun, pohon itu tidak boleh ditebang.. kira2 begitu, detailnya lum rampung :)