Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Dear Diary 2 - Berkebun
"It's so hard to grow anything here!", gerutu tetangga saya. "In New Zealand, you throw the seed and they just grow!". Saya cuman bisa menggangguk-ngangguk tanda setuju.
Ketika saya mengunjungi 'land of the hobbits' 2 tahun yang lalu, saya cuman bisa tercengang betapa postcard-like pemandangannya. Gunung di horizon, pantaran rumput yang sangat luas dan hijau, bergoyang kiri-kanan diterpa angin (jadi ingat Super Mario Bros 88, yang ada rumput joget). Belum lagi domba-domba yang putih bersih dengan moncong hitam, bak di alam mimpi. Aroma rumputnya pun segar, karena iklim sub-tropisnya. Kalau di Indonesia ada pepatah 'tanam tongkat tumbuh jagung', mungkin di Selandia Baru 'lempar batu tumbuh kiwi'.
Terakhir kali saya menikmati pemandangan alam begini indah, ketika liburan keluarga naik mobil dari Jakarta ke Bali. Melalui Jawa Timur, pemandangan gunung diselingi pohon besar tanpa rumah penduduk benar-benar pengalaman baru untuk saya waktu itu. Sesampai di Bali, pemandangan laut, sawah, dan gunung bisa dijepret dalam satu frame, wah, indahnya.
Di tempat saya dan istri tinggal sekarang, bisa dibilang at the other extreme point. Tanahnya adalah tanah pasir, benar-benar mati. Kalau mau menanam, harus investasi dan kerja keras dulu. Tanah (baca: pasir) disiapkan dengan e'ek (ironis, e'ek sapi aja harus beli) dan bahan organik lainnya dahulu, lalu baru menanam.
Tanaman stroberi adalah salah satu tanaman yang lumayan gampang tumbuh di sini. Kebetulan dapat tanaman murah, saya dan istri menanam beberapa. Buahnya pun bisa dinikmati setelah sebulan-dua bulan. Menikmati buah sebelum mahluk-mahluk lain menggerogoti buah matang adalah tantangan tersendiri. Jelas-jelas lebih murah beli di supermarket, tapi ada kepuasan tersendiri dengan makan buah dari kebun sendiri.
Stroberi, from Rusdy's Picasa |
Pohon cabe juga paling gampang tumbuh dimana-mana. Ketika beli tanaman muda yang hanya ada beberapa daun, setelah dua bulan pohon cabe di belakang rumah sudah hampir menjadi semak-semak. Apalagi di tempat ini cabe adalah barang mahal, jadi pohon cabe di kebun belakang kami adalah aset tersendiri.
Pohon Cabe, from Rusdy's Picasa |
- Rusdy's blog
- Login to post comments
- 3916 reads
Ironis
hobi yang tak tersalurkan
Meski tidak untuk dijual, rasanya puas kalau panennya berhasil. Malah kadang-kadang saya sedih melihat sayuran yang sehat segar dan hijau harus dicabut saat panen. Rasanya seperti kehilangan binatang peliharaan yang dirawat dari kecil.
Sejak bapak meninggal dan saya memutuskan untuk minggat dari rumah, kebun kami jadi tak terawat. Seandainya apa yang dijanjikan ibu saya benar-benar terjadi, saya pasti akan kembali ke sana, merawat kebun dan melanjutkan hobi yang tak tersalurkan. Maklum, rumah saya sekarang ini tidak punya halaman sama sekali. :)
salam hangat,
rong2
"Seandainya apa yang
"Seandainya apa yang dijanjikan ibu saya benar-benar terjadi, saya pasti akan kembali ke sana, merawat kebun dan melanjutkan hobi yang tak tersalurkan..."
Agar janji itu segera dapat dipenuhi dan hobi segera tersalurkan, maka harus ada nyawa yang segera melayang...
Halo Garam dunia
ini tulisan Garam Dunia, bukan tulisan Rusdy. Saya mengenalinya! Hayo NGAKU!
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Reply Borongan
@PB: mungkin terkesima sama pemandangan jadi nggak maju2 kali yak? :P
@ronggowarsito: untungnya sejauh ini pengalaman berkebun saya belum terlalu banyak dukanya, paling-paling daun ketumbar yang selalu mati kekeringan, pohon jeruk muda yang kehilangan semua daunnya karena angin kencang, dan kalah cepat sama serangga yang makan buah stroberi :'(. Saya belom coba nanem sayur, soalnya males karena high maintenance :). Ngomong-ngomong pohon melinjo, saya mesti ikutan cari bibitnya kali yah? Kalo istri saya nanti ngidam pizza sih gampang, tapi kalo melinjo?
@hai-hai: soalnya mood super sopan dan formal lagi tinggi, jadi 'rusdi'nya molor dulu :P
dimanapun ditanam