Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Melanggar Batas Aman
Seharusnya saya tidak menuliskan pengalaman ini karena melanggar telah larangan pemerintah. Mengingat bahaya erupsi Merapi, pemerintah telah menetapkan radius wilayah bahaya. Angkanya bisa berbeda-beda untuk berbagai tempat. Kamis malam, 18 Nopember, kami mendapat kabar bahwa ada sebagian warga yang terpaksa bertahan di wilayah berbahaya di kecamatan Muntilan. Ceritanya begini: Sebenarnya mereka sudah mengungsi di sebuah sekolah di kota Muntilan. namun karena tempat pengungsian ini mengganggu proses belajar-mengajar, maka tempat pengungsian ini akan dipindah ke kota Magelang, yang jaraknya lebih dari 20 km.
Sebagian warga dalam pengungsian keberatan dengan keputusan ini. Bagi mereka, jarak tempat pengungsian yang baru itu terlalu jauh dengan rumah mereka. Sesungguhnya, tidak semua pengungsi tinggal terus-menerus di tempat pengungsiian. Pada siang hari, para pengungsi yang masih sehat dan kuat kembali ke desa mereka untuk mengurusi ladang, merawat ternak, menggali pasir dan berbagai pekerjan sehari--hari. Mereka menggunakan sepedamotor sebagai alat transportasi. Selama tanggap daruat, mereka tidak pernah mencabut kunci kontak dan memparkir sepedamotor ke arah jalan. Jadi jika sewaktu-waktu terjadi erupsi, mereka segera bisa melaju menghindari bahaya.
Karena keputusan pemindahan ini sudah tidak bisa ditawar lagi, maka warga yang masih sehat, terutama kaum laki-laki, memutuskan kembali ke desa asal. Sedangkan kaum perempuan, anak-anak dan manula bersedia pindah ke Magelang. Sebelum pulang ke desa, para warga desa harus menandatangani surat pernyataan yang diajukan oleh pemerintah. Intinya, warga tidak akan menuntut pemerintah jika terjadi apa-apa akibat dari keputusan mereka pulang ke desa. Konsekuensi lain dari pilihan ini adalah terputusnya aliran bantuan. Pemerintah tidak memberikan bantuan kepada warga yang berada di bawah radius bahaya.
Kami mendengar kabar bahwa warga dusun Mberut, desa Dukun, kecamatan Muntilan kekurangan logistik karena termasuk dalam radius di bawah 10 km. Mereka berada dalam radius 8-9 km dari puncak Merapi. Salah seorang warga, bernama Siska, menginformasikan bahwa kondisinya memprihatinkan. Maka kami memutuskan untuk mengirimkan satu truk bantuan yang berisi. Saya berangkat bersama Agus Permadi dan koh Yoyolk. Barang yang kami bawa adalah:
1.Bahan makanan sebanyak 124 paket, yang terdiri dari:
* 5 kg beras
* Minyak goreng 1 liter
* Mie instan 1 karton
* Abon 1 ons
* Gula 1 kg
* Bawang merah+Putih 2,5 ons
* Kecap 620 ml
2. Alat kebersihan sebanyak 50 set yang terdiri dari:
*Sapu lidi
* Sapu ijuk
* Serok Sampah
3. Hygiene Kit sebanyak 120 buah (sabun, sampo, sikat gigi, pasta gigi)
4. Selimut 50 lembar
5. Masker
6. Baju
Sepanjang jalan, kami mengagumi keberanian siswa kelas 3 SMU ini. Meski belum pernah bertemu, dan baru menjalin kontak sekitar 24 jam, namun Siska berani mengantarkan "3 penyamun" melewati jalan-jalan yang sepi. Mungkin rasa kemanusiaan telah menguatkan dirinya untuk mengatasi ketakutannya. Belum lagi wilayah yang kami tuju itu masuk dalam Ring I atau KRB III.
Senja menuju rembang saat kami sampai di tujuan akhir. Berlomba dengan matahari, kami segera menurunkan muatan karena listrik belum menyala. Warga desa berdatangan untuk membantu membongkar bantuan. Agus Permadi, teman saya, hamparan buah salak berbalur abu milik tuan rumah.
"Berapa harga salaknya bu?" tanyanya.
"Harganya jatuh pak. Cuma Rp.2.500,-/kg," jawab pemilik salak. Padahal di kota, salak pondok dibanderol Rp. 8.000,-/kg
"Saya beli 10 kg, ya!" pinta Agus Permadi.
Dengan cekatan sang tuan rumah menimbang buah salak dan memasukkan ke dalam karung plastik. Akan tetapi ketika akan dibayar, tuan rumah menolak pembayaran. "Saya tidak menjual. Saya memberi buah salak ini pada bapak," kata pemilik salak.
Agus Permadi segera mengupas dan makan salak. Olala, ternyata dia kelaparan. Daging salak itu belum membuatnya kenyang. Karena kasihan, maka koh Yoyok lalu meminta tolong Siska untuk membuatkan mie instan. Siska segera pergi ke rumahnya yang kosong. Bapak dan ibunya sudah mengungsi ke Yogya. Dalam kegelapan karena listrik belum menyala, Siska menyiapkan mie instan. Begitu siap, langsung kami santap bertiga.
Selepas maghrib, kami menuruni lereng Merapi menuju kota Muntilan. Siska tetap setia memandu kami dengan sepedamotirnya sampai di dekat RSUD Muntilan, lalu pisah jalan. Kami mampir sejenak ke GKI Boyolali, lalu melaju pulang. Sesampai di Sleman, kami mampir ke rumah makan dengan menu khsus dari bahan jamur. Kami memesan sate jamur, asam manis jamur, pepes jamur, dan telurdadar jamur. Rasanya memang sangat mirip dengan aslinya.
"Wah, teksturnya persis dengan usus," komentar Agus Permadi sambil mengunyah sate.
Dalam pepatah Jawa, ada idiom,"ono rego, ono rupo." Masakan di sini memang istimewa, tapi harganya juga istimewa. Kami kaget membaca sederetan angka yang tertera dalam tagihan.
Esoknya, saat mengobrol di posko, Agus Permadi mengaku gatal-gatal setelah makan masakan jamur semalam.
"Ah itu reaksi tubuhmu saja karena syok melihat tagihan yang harus dibayar," ujar pak Ndaru yang merasa kecewa karena tidak bisa ikut ke Muntilan.
******
Saksikan video perjalanan di sini dan masakan jamur di sini.
------------
Communicating good news in good ways
- Purnawan Kristanto's blog
- Login to post comments
- 3240 reads
Jadi lapar
Karna rasa kemanusiaan