Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Kata kata yang “menyamar”
Kata kata yang “menyamar” dalam Pemaknaan Penafsiran
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mengungkapkan kata-kata yang sebetulnya terdengar “biasa” tetapi sebetulnya sedikit banyak mengandung siratan tersamar. Bentuknya bisa berupa metafora, jargon, singkatan, plesetan, perumpamaan dsb.
Misalnya: “Gue beres-beres meja dulu, meja gw berantakan, baru abis itu cabut. Tungguin, lima belas menit dari sekarang gue nyampe disitu”.
Kata “cabut” tidak bisa dipahami sebagai pengartian baku seperti dalam “mencabut gigi”, “mencabut rumput”, “mencabut buku ketek’.
Pada umumnya pemakai bahasa sudah tahu, “cabut” disitu berarti “berangkat”, “pergi”, “meninggalkan tempat”.
Apakah pemakaian kata “cabut” itu tidak bisa ditelusuri asal muasalnya? Tentu bisa sejauh ada yang tahu asal mula pemakaiannya. “Cabut” yang berarti “log-off”, “sign-out”, “berhenti berkomunikasi”, “menutup perangkat komunikasi” adalah JARGON dari kalangan pemakai radio komunikasi atau wire-less yang sering disebut “walky-talky”, “dua meteran”, “CB”, “sebelas meteran” dsb. Mereka berkomunikasi dengan alat, yang pada masa itu harus bergantian memakainya (simplex) antara pembicara dan pendengar. Bukan bersifat “dual” (duplex) seperti telepon atau hape yang masing-masing bisa berbicara bareng atau menyanyi bersama.
Karena harus bergantian maka pada saat akan mengakhiri pembicaraan karena harus pergi, misalnya, menjadi perlu memberi tanda bahwa setelah dia bicara akan langsung mematikan alat komuikasinya. Mematikan alat komunikasi itu biasanya dengan cara mencabut kabel yang menghubungkan alatnya dengan sumber listrik, termasuk dengan antenanya, untuk menjaga kebakaran atau aliran petir lewat kabel tsb.
Maka kata “cabut” menjadi jargon di kalangan pemakai radio komunikasi tsb. Akhrnya, jargon itu dipakai meluas bahkan bukan cuma oleh pemakai alat tersebut untuk arti “pergi”, “tidak lagi ditempat”, “meninggalkan ruangan”.
Yang mengartikan “cabut” tsb dalam arti seperti“mencabut bulu ketek”, tentu saja menunjukkan bahwa dia tidak paham jargon itu.
Seorang teman, orang asing yang sedang belajar bahasa Indonesia mendengarkan pembicaraan sopir yang akan pergi meninggalkan kantor sebelum menutup telepon, sambil berkata: “Sudah ya, aku cabut sekarang”. Teman saya heran, apa yang dicabut, karena nyatanya orang itu memasukkan kunci mobil dan mulai menstarter mobilnya. Jadi dia mendapatkan INTERPRETASI (PENAFSIRAN) yang keliru tentang “cabut” yang diartikan “memasukkan”.
Bahasa tidak pernah tampil apa adanya dalam menggapai pemakainya. SELALU memerlukan PENGARTIAN, PEMAKNAAN, PENAFSIRAN, INTERPRETASI. Betapapun sederhananya, selalu kita harus awas dan memastikan bahwa kita sudah cukup menginterpretasikan dan memaknai bahasa itu. Bila tidak, MISKOMUNIKASI terjadi.
Contoh contoh lain ada banyak, bukan hanya dalam jargon saja suatu makna kata menyamarkan diri. Bisa dalam bentuk-bentuk lain, seperti:
1. Dalam singkatan:
Sekarang semua orang takut sama “Si Tiga Hurup” (maksudnya KPK, Komisi Pemberantasan Korupsi)
2. Dalam Metafora (analogi)
Aku adalah jalan, kebenaran dan hidup…(“Jalan” disitu bukan jalan seperti “jalan aspal”, maksudnya siapa saja yang mengikuti ajaranku, akan menemukan kebaikan-kebaikan)
3. Dalam anagogi
Aku berada dalam Bapa dan Bapa dalam aku (“Aku” disitu menyiratkan suatu interpretasi mistik, bisa berarti “ego”, bisa berarti “manusia” berikut kemanusiaannya, bisa pula berarti cuma secara literal: Jesus sendiri).
dll
Pemaknaan suatu bahasa juga harus dipahami berdasarkan tingkat pembicaraannya. Ada 5 tingkatan yang masing masing tidak bisa disalah-tempatkan bila tidak ingin terjadi miskomunikasi dalam pemahaman.
Lima tingkatan itu adalah:
1. Tingkatan Agama
2. Tingkatan Filsafat
3. Tingkatan Sains
4. Tingkatan Sains sederhana
5. Tingkatan Pembicaraan sehari-hari.
Contoh:
“Kalau tuhan mengijinkan (insya’allah), saya akan datang jam sepuluh besok”.
Kalau dianggap pembicaraan tingkat 5, maka kita mengartikannya: Ia akan berusaha datang jam 10 keesokan harinya.
Kalau dianggap pembicaraan tingkat 1, maka kita akan bertanya kembali: “Sebentar, bagaimana saya tahu tuhan mengijinkan atau tidak? Bisakah anda pastikan sekarang tuhan anda akan mengijinkan atau tidak?”.
Kalau dianggap pembicaraan tingkat 2: “Apa itu tuhan?”
Dst.
Tentang kerumitannya, yang paling rumit diinterpretasikan atau ditafsirkan ada 3:
1. Kata-kata bermuatan politis
2. Kata-kata dalam ramalan.
3. Kata-kata dalam kitab kuno, (termasuk kitab suci)
Kata yang bermuatan politis, rumit ditafsirkan karena kerumitan itu DISENGAJA. Kalau kita mengetahui motivasi, situasi politis dll yang menyebabkan sesuatu dikatakan begitu, maka penafsiran akan lebih mudah dilakukan.
Kata yang merupakan ramalan, nubuat, rekaan, adalah SANGAT rumit untuk ditafsirkan sampai tidak mungkin ditafsirkan karena penafsirannya sangat subyektif, tergantung kepercayaan penafsir.
Sedangkan kata dalam kitab kuno (kitab suci), adalah PALING RUMIT karena didalamnya terkandung KEDUANYA, menyangkut yang bermuatan politis, maupun yang termasuk kepercayaan subyektif tsb.
Maka menafsirkan kitab suci untuk memahami isi atau obyektifitas dari kitab suci tsb tidak bisa secara Literal belaka, apalagi membiarkan kitab suci “berbicara” menyatakan dirinya sendiri seolah-olah bebas dari interpretasi. Subyek penafsir memegang peranan luar biasa untuk memahami kitab suci, dengan interpretasi yang bijaksana, memilah-milah menurut Tingkatannya (yang 5 itu) dan menentukan ada tidaknya kata-kata tersamar secara alegoris, metafora pedagogis ataukah anagogis.
Yang pasti, tidak bisa diperlakukan secara literal semata, apalagi berharap kitab suci bisa “menampilkan diri secara sederhana tanpa interpretasi”.
Begitu sulit dan rumitnya maka sampai ada kata kata bijak: Perlu bimbingan Roh Kudus untuk memahami kitab suci.
Interpretasi dari kata “bimbingan Roh Kudus” itu adalah: Merendahkan hati, meluruhkan ego, kesombongan, rasa mau menang sendiri, merasa benar sendiri dan memakai akal budi semaksimal mungkin.
Di Surga, yang tertinggi adalah yang mau merendahkan diri dalam kerendah hatian. Yang terbesar adalah yang terkecil, yaitu anak-anak.
Itu contoh kata yang bermuatan anagogis dalam hermeneutika.
1 user menyukai ini
- ferrywar's blog
- Login to post comments
- 6621 reads
Silakan komentari
BEBAL
Orang BEBAL ketika disuruh BELAJAR malah MENGAGULKAN KETOLOLANNYA dengan JUMAWA!
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Man X Animal = Man-imal
Suara atau lenguhan binatang pada umumnya diturunkan secara genetis dan memiliki arti yang sangat terbatas bagi para pemakainya tapi bahasa yang dipakai oleh manusia terus berevolusi dari jaman ke jaman biarpun mungkin berakar dari sederet abjad atau simbol saja. Jangankan dalam hitungan jaman, bahasa yang digunakan manusia berkembang seiring bertambahnya umur si manusia itu sendiri.
“The Roots of Violence: Wealth without work, Pleasure without conscience, Knowledge without character, Commerce without morality, Science without humanity, Worship without sacrifice, Politics without principles.” - M. Gandhi
komunikasi > kerja sama > survive!.
@Ferry
“The Roots of Violence: Wealth without work, Pleasure without conscience, Knowledge without character, Commerce without morality, Science without humanity, Worship without sacrifice, Politics without principles.” - M. Gandhi
bener juga.
Hannah: Jangan baca Alkitab!
Hannah: Manusia modern!
telapak kaki
ferrywar: telapak kaki
sorga
ferrywar: Kalau begitu...
ok