Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Catatan Harian Relawan 2-6 Nopember 2010
Hmm...sudah lima hari aku tidak menuliskan pengalaman harianku selama menjadi relawan tanggap bencana ini. Apa ya yang masih kuingat? Dimulai saja deh dari rapat koordinasi di antara GKI yang terjun dalam tim tanggap bencana ini, Selasa 2 Nop. Ternyata, walau sama-sama bertujuan kemanusiaan, namun untuk menyatukan gerak di antara kami itu bukan perkara mudah. Ada berbagai variabel yang harus diurai untuk memahami keruwetan ini. Kadang variabel itu tampak konyol dan menggelikan, tapi itu nyata.
Usai rapat, aku segera mengantarkan ibu Inge Susanti, Doni (ini cewek), pak Gatot dan pak Mugi (dari GKI Cinere) menuju GKI Muntilan. Dalam istilah percandaan di antara relawan, aku sedang menjalankan tugas sebagai "Disaster Tour Leader." Mohon maaf, istilah ini bukan bermaksud untuk menyindir. Kami tahu beberapa orang dan jemaat itu bertipe "Tomas" yang berpinsip, "Kalau aku tidak mencucukkan jariku ke lluka obang bekas paku itu, sekali-kali aku tidak akan percaya." Demikian juga dalam bencana ini beberapa lembaga yang mengutus beberapa orang untuk mengadakan "survei" terlebih dulu, untuk data-datanya kemudian dibawa dalam rapat, baru kemudian diputuskan akan menyumbang berapa,:atau tepatnya, sebelumnya diputuskan lebih dulu akan menyumbang atau tidak. Demi pengumpulan dana, maka kami akan mengantarkan tim survei ini dengan senang hati.
Tengah hari kami melaju ke Muntilan untuk menemui ko Hwie Lip yang menjadi koordinator di pos kemanusiaan GKI Muntilan. Sesampai kami di sana, ternyata ko Hwie Lip sedang keluar, sehingga kami harus menunggu. Padahal kami harus segera ke Jrakah untuk menemui pdt. Simon Julianto di Jrakah. Setengah jam kemudian, ko Hwie Lip datang. Kami lalu membahas beberapa hal tentang tanggap bencana secara cepat karena waktu sudah mendesak. Sayangnya, kami tidak bisa segera bergerak ke Jrakah karena harus menunggu Herry Ketaren dari Litkom PGI. Dia ingin mewawancarai aku untuk program televisi, tapi harus di lokasi bencana. Saat pak Herry sampai di Muntilan, ternyata kami tidak segera beringsut ke Jrakah karena pak Herry meminta waktu selama 10 menit untuk wawancara dengan ko Hwi Liep. Dalam praktiknya, wawancara itu berlangsung lebih dari 30 menit. Aku sudah gelisah karena pdt. Simon sudah mengirimkan SMS, "Sampai dimana?"
Selepas pukul 15, kami meluncur ke arah Sawangan dengan perasaan berdebar-debar karena sewaktu-waktu jalan menuju Jrakah dapat ditutup jika terjadi erupsi besar lagi. Menjelang Magrib, rombongan sampai di Jrakah, di pos LBKUB. Pada saat yang bersamaan, datang pula rombongan para suster dari Solo yang juga menyalurkan sumbangan. Kami berbincang selama 2 jam, sebelum akhirnya berpamitan menuju Klaten. Setelah bersantap malam dan mengantarkan tamu ke penginapan, saya segera pulang dan terlelap seperti bayi.
***
Aktivitas Rabu(3 Nop) pagi dan siang lebih banyak dilakukan di pos GKI Klaten. Sorenya, tim seni dari GKJ Pedan mengadakan pertunjukan badut sulap dan lawak Punakawan di barak pengungsi Bawukan. Pukul 16, Merapi erupsi kembali dangan skala besar. Ini menimbulkan kepanikan di barak Dompol dan Bawukan. Mereka mengungsi turun ke bawah. Salah satunya di balai desa Kepurun, Manisrenggo Klaten. Di sini ada 1403 pengungsi. Karena pemerintah desa tidak siap, maka para pengungsi tidak mendapat makan malam. Untuk mengganjal perut, pengungsi hanya makan biskuit dan mie instan mentah. Malam itu juga kami segera memasok 100 kg beras. 21 tikar, 3 dus biskuit dan 27 karton mie instan.
Sampai di rumah sudah menjelang tengah malam. Aku segera mengoperasikan SMS Centre untuk mengirimkan seruan kepada anggota jemaat supaya menyiapkan nasi bungkus pada pagi hari. Alhamdulillah, jemaat merespon dengan baik. Ketika aku belum bangun, ternyata mereka sudah masak dan saling terkoordinasi. Sampai pukul 8 pagi, telah terkumpul sekitar 200 nasi bungkus yang segera kami larikan ke barak pengungsi di Kepurun.
Kamis sore, aku mengajak relawan di Klaten untuk emgadakan koordinasi dengan GKI Boyolali. Mereka baru akan membuka pos kemanusiaan meski sudah terlambat seminggu lebih. Baru 30 menit rapat, Merapi menunjukkan peningkatan aktivitas lagi. Didapat kabar bahwa pengungsi mulai masuk kota Boyolalu seiring dengan kebijakan pemerintah yang meningkatkan radius aman dari 15 km menjadi 20 km. Kami segera berpamitan untuk memberi kesempatan kepada relawan di pos kemanusiaan GKI Boyolali untuk merespons pengungsi. Sampai di Klaten sekitar pukul 20:30. Kami segera pulang dan beristirahat. Namun lewat tengah malam, terdengar suara gemuruh dari arah Merapi. Penduduk yang ada di kecamatan Kemalang mengalami kepanikan dan bergerak turun ke bawah. Muncul berbagai titik-titik pengungsian baru. Malam itu, kami merasa gelisah dan tidak bisa tidur.
Pagi-pagi benar, kami mengerahkan kembali nasi bungkus untuk pengungsi di titik-titik pengungsian baru. Ratusan dampai ribuan pengungsi mulai merambah kota Klaten.
Kami menyiapkan sebuah rumah kosong yang besar milik jemaat untuk menampung para pengungsi. Kami juga membuka aula SMP Kristen untuk menampung pengungsi. Suasana seharian itu terasa kalut, kacau balau dan genting. Melihat situasi ini, tanpa dikomando anggota jemaat bermunculan untuk bergabung menjadi relawan.
Kami sempat menghawatirkan bahwa para pengungsi tidak mendapat cukup makanan, Ternyata perkiraan kami meleset. Gelombang pengungsian ini menimbulkan percikan empati dan solidaritas dari warga masyarakat yang tidak terkena bencana. Mereka ramai-ramai menyediakan nasi bungkus sehingga jumlahnya lebih dari cukup.
Hari Sabtu, kami mengerahkan enam dapur umum yang dikelola oleh ibu-ibu di GKI Klaten, GKJ Klaseman dan GKJ Gondangwinangun. Ada dua tempat pengungsian yang harus kami cukupi kebutuhannya yaitu di sebelah GOR Gelarsena dan di Aula SMP Kristen Klaten. Selain dari masak sendiri, sore itu kami mendapat kiriman 1000 nasi bungkus dari GKJ Wonosari dan 400 bungkus dari seorang teman di Solo. Total ada 2437 bungkus. Kami lalu membagikannua ke Somokaton 75 bungkus,Keputran 500 bungkus, Jiwan 877 bungkus,Gergunung 30 bungkus, Jonggrangan 108 bungkus, SMP Kristen 155 bungkus, Jogonalan 200 bungkus,Prambanan 800 bungkus. Masih ada sisa sekitar 1500 bungkus untuk diteruskan ke Depo (Pusat Komando Pendidikan dan Latihan Tempur). Mereka bersedia menerima nasi bungkus sebanyak itu. namun begitu sampai di sana, ternyata ada satu truk tentara yang baru saja datang membawa ribuan nasi bungkus.
Kami menjadi kebingungan bagaimana menyalurkan ribuan nasi bungkus dalam semalam. Kami tawarkan ke GOR Gelarsena yang dikelola pemerintah kabupaten, ternyata di sana sudah melimpah. Maka kami putuskan untuk membawa nasi itu naik ke alereng Merapi di kecamatan Karangnongko. Ternyata bantuan tersebut diterima dengan sukacita. Ketika baru saja menurunkan nasi bungkus, tiba-tiba kami ditelepon teman dari Prambanan yang mnta 500 nasi bungkus. Tentu saja kami kelabakan karena nasi bungkus yang terakhir sudah diberikan ke pengungsi. Rupanya ada pengungsi di Bokoharjo yang belum makan.
Apa boleh buat, kami lalu menyisir ke beberapa tempat pengungsian untuk mengumpulkan kelebihan makanan. Puji Tuhan, ternyata terkumpul 400 nasi bungkus yang kemudian diambil sendiri oleh warga di dusun Bokoharjo.
Hari Minggu besok, kami menurunkan "produksi" karena memperkirakan hari Minggu itu menjadi puncak "euforia" bantuan Merapi. Pada hari libur ini, kemungkinan akan ada banyak bantuan dari kota lain. Untuk itulah, kami mengistirahatkan dapur umum, sembari memberi kesempatan kepada mereka untuk beribadah Minggu.
------------
Communicating good news in good ways
- Purnawan Kristanto's blog
- Login to post comments
- 3632 reads