Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Double Esspresso - Something to Tell You
Lagunya menyenangkan. Aku berputar dan menari hingga aku kelelahan. Tidak apa-apa.
Penyesalan itu begitu…, cepat berlalu.
Just a simple conversation
Just a moment is all it takes
I wanna be there just to listen
(I wanna be here)
And I don't wanna hesitate
Hal apa yang membuatku menyukai kota ini?
Coba kupikir.
Aku masih menemukan jalan setapak dengan daun kekuningan yang berjatuhan, jalan setapak dengan barisan pohon sepanjang jalan. Cukup sunyi untuk yang memulai pagi, atau yang hendak melewati jalan sore, cukup teduh untuk pasangan yang hendak menikmati waktu berdua.
Di jalan setapak ini, aku biasanya menjumpai seorang kakek tua galak dengan Retriver yang sangat ramah dan patuh. Kakek tua ini akan mengikat Retriver-nya pada sebuah tiang, lalu ia masuk ke bank, dan segera kembali pada Retriver-nya. Dan seekor Samoyed putih. Milik seorang wanita prancis yang ramah, namun enggan membiarkan Samoyed-nya disentuh. Lalu ah, Halloween yang baru lewat, aku berpapasan dengan ibu muda dengan anaknya yang menjadi Jack The Pirates.
Aku masih menemukan danau, dengan kabut tebal hampir setiap paginya.
Rute-ku berjalan setiap harinya, tidak membawaku pada taman. Walau taman itu hanya tepat beberapa blok dari rumahku. Aku bukan tipe yang suka mengubah rute, bukan tipe yang suka dengan tantangan baru. Mencoba hal baru adalah tantangan bukan? Tidak menurutku.
Riuh, pikuk dan renyah suara keramaian di jalan, tepat ditengah kota, saat aku merasa terlalu kesepian. Kadang aku berdiri ditengah keramaian itu, menatap orang-orang yang berjalan melewatiku. Merasakan waktu yang berlalu seiring langkah mereka, dan lupa tentang rasa apa yang membuatku mencari keramaian.
Menghentikan lamunanku, aku menatap kalender didepanku. Menghitung hari. Seriously. Aku duduk di coffee bar dan mulai menghitung hari. Rasanya tinggal beberapa hari lagi, dan tahun ini segera berlalu. Sepertinya ada yang terlupakan, koreksi, banyak yang terlupakan. Tentu saja.
Apakah aku melewatkan ulang tahun?
Apakah aku melewatkan hari jadi? Hari sesuatu? Atau ini hanya sentimentil-ku saja? Koreksi, tidak ada hujan, dan aku tidak sedang sendiri. Aku bahkan tidak sedang mendengarkan Mat Kearney. See?
‘Hei.’ Aku menyapa lelaki yang didepanku, antusias. Sudah dua minggu lebih tidak melihatnya di coffee shop. Lelaki ramah, diusianya yang menginjak angka enam puluh. Lelaki rendah hati yang selalu menggoda tamu-tamu coffee shop yang sebagian besar dia kenal. Lelaki dengan rasa antusias yang tinggi.
‘Aku tidak boleh memberikanmu caffeine. Aku potongkan buah untukmu ya?’ Tanyaku padanya.
‘Oke, oke. Bosan di rumah, aku turun dan berjalan-jalan.’ Ceritanya. Kulitnya gelap. Bahasanya juga terdengar lucu. Namun lelaki tua ini disukai siapa saja. Dia terkenal diantara teman-temannya. Bajunya basah, keringat hampir menetes dari dagunya. Ia tampak lelah seperti marathon. Namun dia hanya berjalan dua blok dari rumahnya.
Usia.
Kelhatannya, ia mendapat peringatan keras. Setidaknya melalui pembuluh ateri di jantungnya.
Dan pagi itu, aku duduk mendengarkan sahabatku. Menghabiskan kopi pertamaku. Aku memasak kopi untukku sendiri, tidak dengan mesin, pagi ini. Aku memasaknya, dengan satu sendok susu kental kedalam cangkir, dan langsung menuangkan kopi itu panas-panas kedalamnya.
Aku mendengarkan ceritanya tentang ketakutannya. Dan mendengarkan rasa sakitnya.
Bagaimana rasa sakit itu? Aku bertanya.
Bagaimana rasa takut itu? Aku bertanya.
Dia tersenyum. “They open your heart. They open other place, untuk mengambil pembuluh yang tepat menggantikan pembuluh yang rusak.”
“They gonna keep cut your body, until they found the right one. I’m lucky.”
“So, its scary.” Kataku.
“By pass, remember? I died and rose again.”
Dia tertawa. Mengingatkanku pada sesuatu, maksudku perkataannya.
***
Aku menghabiskan makan malamku. Coffee shop sudah tutup setengah jam yang lalu. Hayden dan Ling pulang lebih dulu. Dan aku duduk sendiri, menikmati makan malamku. Nikmat. Aku membiarkan lilin masih menyala, dan hanya lampu di coffee bar yang menemaniku. Natal rasanya sebentar lagi akan segera tiba. (Sudah berapa kali aku menyebutkan tentang natal? Setidaknya dalam kepalaku.)
Aku menyukai natal. Koreksi, menyukai menunggu natal.
Membuka laptop, dan sambil melahap pelan pelan makan malamku, aku membuka situs-situs kesukaanku, dan membaca hal-hal yang menarik perhatianku dari situs yang dapat kuingat, yang terpampang didepanku.
Aku menatap jam, seharusnya Glass menjemputku sekarang. Dan benar, beberapa menit setelah aku mematikan laptopku, dia mengetuk pintu coffee shop dan tersenyum. Aku mematikan lampu, lilin dan mengunci pintu dibelakangku.
“Salomon tadi datang.”
“Bagaimana operasinya?”
“Mengkhawatirkan.” Jawabku.
“Aku teringat masa-masa kuliah.” Aku bercerita. “Ada dosen yang selalu memaklumi keterlambatanku.”
Dia menatapku, Glass menatapku.
“Jika aku mengetuk pintu, dan dia akan berpaling. Jika ia melihatku, dia akan memalingkan muka, lalu berbisik pada kelas, terlambat lagi.” Aku tersenyum pada glass, namun mataku melihat satu scene yang lain.
“Seluruh kelas akan tertawa melihat itu. Seharusnya dia marah.”
“Suatu kali, aku sengaja datang sangat awal, aku datang dengan gagah berani duduk paling depan dan menunggu dia datang.”
“Dia terbahak-bahak saat menemukan aku datang lebih dulu dari dirinya.”
Glass berhenti untuk membeli jajanan di pinggir jalan. Prawn crackers. Lalu memberikannya padaku. Sambil menggenggam tangannya, aku menyambung ceritaku.
Aku bercerita pada Glass, aku menghadapi masa yang sulit di kuliah. Banyak professor dan dosen yang mempersulit. Lalu suatu kali, professor ini berkata di depan mereka, “Ini kesayanganku.”
Glass tersenyum. “Aku pikir kamu tidak menonjol di masa kuliah?”
“Memang.” Jawabku.
“Dimakan tuh snack-nya, nanti dingin.” Dia tersenyum.
“Tadi bagaimana latihannya?” Tanyaku.
“Latihannya baik.” Ia menjawab.
***
Glass berada diruangtamuku. Ling menguasai kamarku. Aku menyukai mereka berdua ada dirumahku.
“Ling, aku membuat popcorn. Kamu mau nonton bareng?” Tanyaku.
“Nope. Aku ada janji videocall malam ini.”
Yak, dengan tunangannya. Ling bukan type yang mempermasalahkan jarak. Bukan type yang mempersalahkan meletakkan barang harus pada tempatnya. Namun dia mempermasalahkan orang lain yang bersuara pada saat mengunyah. Mungkin itu yang membuatku bisa bersahabat dengannya hingga saat ini.
Sampai dimana tadi? Ah.
Aku turun ke bawah dan duduk disamping Glass. Magic Show. Mereka menayangkannya cukup sering dalam seminggu. Aku kurang menyukai Magic Show, namun aku menyukai hal yang lain. Tebak saja.
Kali ini pesulapnya akan mencoba melakukan sulap di jalanan, live! Dia akan mengeluarkan diamond dari dalam etalase toko perhiasan, ke tangan seorang wanita muda, dan ke dalam botol air mineral.
***
Aku berdiri menerima ucapan selamat dari Professor Pembimbing. Namun aku tidak mampu ingat apa yang ia katakan. Ia akan meresmikan gelar yang mengikuti namaku, beberapa jam lagi.
“… Pagi ini meninggal. Penyumbatan pada pembuluh darah. Dia tidak bangun, …
Mari kita mengambil waktu dan berdoa sejenak.”
Barisan mahasiwa berbaju putih itu menoleh padaku.
Aku diam, menatap kedepan.
***
Acara di televisi sangat menghibur. Aku duduk bersandar pada Glass. Dan menutup buku didepanku. Aku tidak pernah membuka bukunya saat ia mengajar. Aku mencatat semua penjelasannya.
“Mau ice cream?” tanyaku.
“Masih ada?”
“Aku baru beli lagi. Satu kotak besar.” Kataku, tersenyum lebar.
***
“Halo,Big Guy.”
“Halo.” Dia tertawa. Ceria seperti biasa. Sudah satu minggu berlalu sejak ia datang terakhir kalinya. Ia kehilangan tenaganya, namun tidak ceria dan semangatnya.
Ia bercerita dan terus bercerita.
Dia bercerita tentang saat-saat ia sempat kehilangan kesadaran karena menerima tamu yang menjenguknya. Dia bercerita tentang rumah sakit yang meneleponnya setiap hari untuk memeriksa keadaannya. Dia bercerita tentang istrinya yang merawatnya.
“Without her, I totally handicapped.”
Aku tertawa.
Melihat lelaki tua ini, mengingatkanku.
Mengingatkanku pada hal yang tidak ingin aku ingat, mengingatkanku pada hal yang tidak ingin aku pikirkan, pada saat melihat orang lain. Mengingatkan aku akan hal yang terlewatkan begitu saja. Yang tidak hanya akan terjadi pada orang lain, juga padaku.
Sama saja. Ouch, klisenya aku.
“Lucky old guy, you are.” Kataku.
Aku meneruskan mendengarnya bercerita. Ia begitu sedih akan pria yang juga akan menjalani by pass, pria yang satu ruangan dengannya. Ia berencana berbicara dengan pria itu. Karena ia mendengar, pria ini telah diberi tahu waktunya tinggal berapa lama.
Ia menatap cangkir didepannya. Wajahnya sedih.
“Aku telah begitu lelah malam itu. Jadi aku berkata padanya, besok, aku akan ngobrol dengannya.”
“Badannya penuh tattoo.”
Aku diam mendengarkan.
“Mereka sudah memberitahu padanya, untuk melakukan apa yang ia lakukan. Asuransi bahkan sudah memberikan semua padanya. Supaya ia melakukan apa yang ia ingin lakukan.”
“Sungguh menyesal, aku menunda berbicara padanya malam itu.”
“Saat aku membuka tirai keesokan harinya. Tempat tidurnya telah kosong.”
“Keira, aku kehilangan kesempatan untuk memberitahunya sesuatu yang penting.”
Aku tahu, jawabku dalam hati.
***
Aku diam sepanjang malam memikirkan ucapan Salomon di coffee shopku. Sepertinya aku merasa melakukan kesalahan. Namun, aku juga tidak mampu mengakui kesalahan mana yang kulakukan, karena aku tidak mampu mengingatnya.
Glass mengerjakan tugasnya di meja dapurku. Ling duduk di sisi meja yang lain, membuat makan malam. Aku menutup laptopku, dan memandang Glass.
“Kamu diam sekali malam ini.” Kata Glass padaku.
“Kamu tidak sedang bertanya.” Jawabku.
Dia meletakkan kertas-kertas pekerjaannya. Menatapku. “Kamu sakit?”
“Nope. Aku sepertinya …. hanya merasa kesepian. Bukan, bukan. Tidak mungkin. Aku merasa bersalah. ”
Ling menyela, “sepertinya… aku tahu maksudnya. Keira bukan kesepian, dia tidak pacaran selama lima tahun. Tidak menginap dirumah teman, menolak tinggal bersamaku. So, dia tidak kesepian. Percayalah.”
Glass menatap Ling dengan pandangan bertanya. Ling hanya tersenyum lalu naik ke lantai atas.
“Kamu melakukan kesalahan?” Tanyanya. Aku menggeleng.
“Seseorang melakukan kesalahan?” Tanyanya lagi. Aku menggeleng.
“So?”
“Tidak apa-apa.”
“Haha. Kamu sudah banyak kemajuan, Kei. Dan semakin lucu.”
“Jangan menggodaku.” Jawabku dan berjalan menuju rak kayu yang berisi koleksi CD dan buku-buku.
Aku memilih satu, dan memasukkan satu album kedalam CD player. Aku menyukai beatnya. Dan aku berputar di ruang dapur, meloncat-loncat kecil, berputar, doing silly move.
Glass menatapku, tersenyum.
“You can dance?”
“I can do silly move. Not dance.” Aku tertawa, menariknya dan menari bersamaku. Koreksi, berputar dan melompat bersamaku.
“Dancing is about silly move, dear.”
Lagunya menyenangkan. Aku berputar dan menari hingga aku kelelahan. Tidak apa-apa.
Penyesalan itu begitu…, cepat berlalu.
'cause there's nothing that could fill that space
I don't wanna put it off for too long
I didn't say all that I had to say'cause there's nothing that could fill that space
***
Aku melangkah hingga jalan setapak di depan rumahku. Aku hapal apa yang akan aku temui dalam perjalananku ke coffee shop. Aku hapal toko bunga yang akan aku lalui. Danau dengan kabut tebal. Sedikit tergoda untuk mencoba jalan memutar dibelakang bukit kecil.
Aku berpikir sejenak. Memasang earphone dan menekan tombol play melalui music player kecilku. Dan berjalan menikmati pagiku.
Tepat sekali, aku memilih rute yang sama.
Aku menyukainya, dan meski ada pilihan, aku tetap masih menyukai rute ini. Jalan ini. Jika suatu kali aku berubah, jalan lain, jalan yang baru masih tetap ada.
Just a simple conversation
Just a moment is all it takes
I wanna be there just to listen
(I wanna be here)
And I don't wanna hesitate
- minmerry's blog
- Login to post comments
- 3628 reads
Silakan, Minie.
Suka dansa?
Semoga Bermanfaat Walau Tidak Sependapat
Sangat suka dansa, Tante.
min, andai rute selalu sama
Aku melangkah hingga jalan setapak di depan rumahku. Aku hapal apa yang akan aku temui dalam perjalananku ke coffee shop. Aku hapal toko bunga yang akan aku lalui. Danau dengan kabut tebal. Sedikit tergoda untuk mencoba jalan memutar dibelakang bukit kecil.
Aku berpikir sejenak. Memasang earphone dan menekan tombol play melalui music player kecilku. Dan berjalan menikmati pagiku.
Tepat sekali, aku memilih rute yang sama.
Aku menyukainya, dan meski ada pilihan, aku tetap masih menyukai rute ini. Jalan ini. Jika suatu kali aku berubah, jalan lain, jalan yang baru masih tetap ada.
Rute yang sama, emang menyenangkan. tapi sejujurnya membosankan.
Aku juga penyuka rute yang sama loh Min... saking hapalnya, pernah malem2 ujan, gelap, tapi tetep aja tahu mana lobang, sungai, jembatan, pohon aman, dan juga tempat genangan2 air.. he he he..
Itu teknisnya.
Rute "HIDUP" yang membosankan itu... anehnya... selalu berubah arah setiap kali aku 'bosan'. he he he... sepertinya kebetulan.. tapi nggak. Akhirnya hal itulah yang membuat aku mempunyai banyak "CATATAN PERJALANAN" he he he.. karena selalu berubah entah dari "kerjaan, tugas, sampai ke PI"
Sesuatu yang selalu berubah itu, awalnya memang mengerikan... tetapi lama kelamaan menyenangkan. Itu membangkitkan "sesuatu" di dalamku
Rute yang berbeda memang mengerikan tapi menggairahkan... Min
BENERAN!
Salam Min
Holla Iik.. :)
Rute yang berbeda memang mengerikan tapi menggairahkan... Min
BENERAN!
Aku percaya, Ik. ^^