Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Pur, kamu monyet!
Sebuah sedan kecil berwarna pink berhenti di depan gapura arena pemancingan ikan. Seorang perempuan turun dari mobil. Hape menempel di telinganya. Saya yang duduk di halaman melambaikan tangan. Bergegas dia mendekat. “Aduh, Mas. Gimana sih kamu ini. Biar secret meeting tak perlu take place rendezvous point di tempat terpencil seperti ini,” katanya sambil menyalami saya.
Wajahnya bundar, tulang rahangnya menonjol, tapi pipinya tidak tembem. Bola matanya jernih, bulu matanya melengkung ke atas, alisnya hitam melengkung tipis. Kulit wajahnya halus terawat begitu juga kulit pundaknya yang telanjang. Dia mengenakan rok terusan pendek dari bahan semacam parasut berwarna hijau metalik seperti cat mobil dengan tali selebar satu jari di pundaknya. Kerutan kain menyempit di pinggang membuat orang tak perlu menebak-nebak seberapa langsing tubuhnya dan montok dadanya.
“Begini Tante, eh Embak, tadi . . . . .”
Dia tertawa. Cekakakan, membuat saya kaget. “Panggil Tante saja. Itu panggilan kehormatan saya. Dulu ikke punya teman dipanggil Empek walau umurnya baru 25 tahun karena pandai meramal.”
Saya mempersilakannya duduk di dalam rumah makan yang ada di depan area pemancingan.
“Tadi waktu Tante saya telepon, saya ada di terminal bis Tirtonadi. Tante bilang cari tempat di utara saja. Saya sewa ojek dan dan ke ujung utara jalan Nusukan. Coba lihat. Tempatnya sepi, hanya ada kita berdua. Tetapi kalau tidak cocok, boleh kita pindah.”
“Tak perlu. Menghabiskan waktu. Ikke hanya punya waktu 1 jam saja. Kita langsung saja masuk ke agenda meeting.”
Dia melihat gelas teh manis di meja yang tinggal separoh isinya. Saya menyodorkan karton menu kepadanya.
“Mau pesan apa Tante?”
Dia melihat karton itu sekilas dan, “Es jeruk saja. Aduh, udaranya panas sekali.”
Dia menarik tepi gaunnya yang di dada ke depan dan mengipasinya dengan karton menu berusaha memasukkan angin ke dalam celah. Kulitnya yang mendaki halus. Agar tidak berdosa saya berdiri dan meninggalkannya sejenak untuk mendatangi karyawan rumah makan menyampaikan pesanannya.
“Begini Tan. Selama ini saya mengagumi blog-blog Tante. Membacanya saya berkesimpulan Tante punya pengetahuan luas walau ternyata Tante masih muda. Terakhir Tante mengomentari blog saya dengan mengatakan tugas saya walau sudah mantu belum sepenuhnya selesai. Saya bingung. Padahal saya dan istri mau jalan-jalan ke luar negeri.”
“Melancong boleh-boleh saja. Itu, katakanlah semacam liburan dalam tugas yang sekarang masih menjadi tanggung jawab kamu.”
“Mengapa saya masih tugas? Tugas apa?”
“Karena kamu belum mati!” jawabnya. “Setiap orang yang masih hidup masih punya tugas.”
“Jelasnya?”
“Begini. Menurut kisah penciptaan dunia, waktu Tuhan menciptakan kuda Ia memberinya umur 50 tahun. Tuhan berpesan agar kuda membantu manusia mengangkut barang-barang miliknya ketika berkeliling dunia mencari lahan baru. Setelah berpikir-pikir, kuda kembali menemui Tuhan dan minta umurnya dikurangi 30 tahun. Untuk apa berumur panjang bila harus bekerja keras. Tuhan setuju dan mengambil kembali sebagian umurnya.”
“Kemudian Tuhan menciptakan monyet dan memberinya umur 20 tahun. Monyet diberi tugas menghibur manusia dengan tingkahnya yang lucu. Tetapi monyet minta umur 10 tahun saja karena merasa menghibur manusia bukan menghibur diri sendiri adalah tugas tak menyenangkan. Tuhan itu baik. Ia mengabulkan permintaannya dan mengambil kembali 10 tahun umurnya.”
“Ketika menciptakan anjing Tuhan memberinya umur 20 tahun. Anjing diberi tugas menjaga harta milik manusia. Namun sama seperti monyet, anjing minta umurnya 10 tahun saja. Tuhan mengabulkan dan mengambil kembali 10 tahun umurnya.”
“Maaf, ini es jeruknya,” pelayan warung makan menyela ceritanya.
Tante mengamat-amati gelasnya. “Mas, apa tidak ada gelas besar?”
“Tidak ada, Bu.”
Hanya dalam sekejap Tante menghabiskan es jeruk ini yang sebetulnya memang tidak banyak karena ruang gelas lebih tersita oleh es batu yang besar-besar.
“Tambah lagi. Pakai gelas besar,” katanya kepada pelayan yang masih berdiri di samping meja. Agaknya ia keasyikan memandangi penampilan Tante yang sensual.
“Tadi saya sudah bilang, gelas besar tidak ada, Bu.”
“Kalau begitu, pakai gayung!” kata Tante dengan suara alto dan mata melotot.
“Bisa pakai teko, Mas,” kata saya.
“Teko ada, Pak. Tetapi saya tidak bisa membuatnya,” jawabnya dengan wajah bingung. Melihat telunjuk Tante dengan kuku berwarna biru metalik sudah mengacung ke arah pelayan, segera saya menariknya menjauhi meja.
“Mengapa tidak bisa, Mas?”
“Jeruknya tinggal empat, Pak. Kalau nanti rasa jeruknya lamat-lamat, Ibu itu bisa marah lagi. Kalau dia marah, saya bisa ikut marah.”
“Sabar Mas, sabar. Ibu itu cemcemannya pejabat tinggi. Mas emosi, Mas masuk bui. Begini saja. Mas lihat warung di sebelah sana?” Saya menyelipkan uang 10 ribu ke tangannya. “Beli 4 bungkus serbuk minuman rasa jeruk yang paling disukai anak-anak. Campurkan.”
“Kalau rasa jeruknya belum mantap bagaimana?”
“Mas punya cuka ‘kan? Masukkan satu sendok makan. Yang penting rasa kecutnya terasa. Sudah sana. Kalau nanti ibu itu protes, saya yang nangani.”
Kembali ke meja, saya berkata, “Maaf Mbak, eh Tante. Rasanya saya pernah mendengar cerita tadi. Bukankah itu cerita rakyat dari Tiongkok? Seingat saya tidak ada kuda. Yang ada kerbau.”
Tante tertawa renyah. Tampak giginya rata putih, bahkan lebih putih dari gigi asli yang pernah saya lihat. Bibir tipisnya basah. Ah, saya salah. Pasti dia pakai lipstik glos.
“Mas, ik ada di sini bukan untuk diskusi. Di seminar pertanyaan hanya bisa diajukan setelah ceramah selesai. Mau diteruskan atau sampai di sini saja?”
“Teruskan saja, Tante. Lupakan pertanyaan saya.”
“Manusia yang lebih awal diciptakan dan mendengar umur panjang yang diberikan kepada binatang, tidak terima. Ia hanya mendapat jatah 25 tahun padahal tugasnya bersenang-senang saja. Maka ia menghadap Tuhan mengajukan protes. Tuhan itu baik, selalu baik. Maka Tuhan memberikan pengembalian umur kuda, moyet dan anjing kepadanya.”
Tante tidak melanjutkan ceritanya. Ia sibuk mengipas-ngipas wajahnya. Ada bintik-bintik keringat di keningnya.
“Lalu, kelanjutan ceritanya bagaimana, Tan?”
“Lho. Kamu belum mengerti?” tanyanya heran.
“Belum. Saya tidak tahu hubungan cerita tadi dengan diri saya.”
“Ya ampun. Pembaca blog-blog kamu selalu berkesimpulan kamu ini cerdas. Kenyataannya kok seperti ini? Kamu menjiplak blog orang lain ya?”
Rasanya perut ini jadi panas dan kepingin kentut. Tetapi saya menahannya.
“Jika tidak diteruskan dan saya harus menafsirkan sendiri, saya kuatir salah tafsir lalu orang menggoblok-goblokkan saya.”
Dia melihat jam tangannya. “Oke, masih ada waktu. Begini. Mas, berapa umur kamu?”
“Lima puluh tujuh tahun.”
“Berarti sekarang kamu sedang menjalani tahap monyet. Pur, kamu monyet!”
“Tolong pelan-pelan menjelaskannya.”
“Sampai umur 25 tahun adalah masa bersenang-senang bagi manusia. Sejak kecil sampai menamatkan kuliah, hidupnya senang.”
“Belajar itu susah dan bikin stres.”
“O ya? Orang sekolah itu yang dicari bukan kepandaian, tetapi ijasah. Yang penting naik kelas, lulus ujian. Kalau kamu mementingkan kepandaian, skripsi kamu bisa ditolak terus. Suka atau tidak, kamu harus menurut apa kata dosen pembimbing. Hasilnya? Lihat di Sabda Space. Perkalian 8 x 3 saja lama hebohnya. Ikke heran. Anak SD saja tahu. Tapi makin tinggi sekolahnya orang makin bodoh. Waarom?”
“Oke, oke, itu urusan mereka. Lalu?”
“Tiga puluh tahun berikutnya manusia masuk ke usia kuda. Koes Plus menyadarinya sehingga ia membuat lagunya.” Lalu Tante menyanyi dengan suara alto, “Kerja keras bagai kuda, dicambuk dan didera. Semua tak kurasa, untuk mencari uang. Kurasa berat, kurasa berat beban hidupku. Ku tak tahu, ku tak tahu, oooo ku jemu.”
Umur berapa tante ini bisa-bisanya ingat lagu Koes Plus? Tetapi itu tidak saya tanyakan karena dia bisa murka. Perempuan mana yang tidak marah bila diselidiki umurnya?
“Ooooo, karena itu ada istilah diperkuda, bukan diperkerbau.”
“Nah, kamu mulai pintar, Pur. Kalau begini ‘kan aku senang meneruskan ceramahku.”
“Umur 55 tahun, pada umumnya manusia sudah berhenti bekerja. Pensiun, seperti kamu. Tetapi banyak yang tidak sadar sekarang ia masuk ke usia monyet. Kamu pasti pernah lihat tontonan topeng monyet. Monyet kecil, monyet imut-imut, mutar-mutar pakai topi bawa tas kecil dengan rantai di leher, anak-anak bertepuk tangan senang menontonnya. Sudah punya cucu?”
Saya mengangguk.
“Mau tidak mau kamu ikut mengasuhnya. Kamu senang membuatnya tertawa walaupun harus bertingkah konyol seperti monyet. Betul ‘kan?”
“Munyuk kamu!” maki saya. Tetapi dalam hati saja. Kepala saya mengangguk.
“Mulai umur 65 tahun, manusia masuk ke usia anjing. Tubuhnya mulai loyo. Berdiri tak tegak, berjalan tak lurus, berpikir tak mahir. Dolan ke rumah tetangga saja pulangnya bisa kesasar masuk rumah orang lain. Bagaimana anaknya berani menugasinya mengasuh cucunya? Maka ia diberi tugas baru seperti anjing. Jaga rumah! Bila anak dan menantunya pergi bekerja, cucu-cucunya pergi ke sekolah, ia ditinggal sendiri di dalam rumah dengan pintu terkunci. Kalau ada orang jahat mau masuk ke rumah, ia harus menggonggong.”
“Menggonggong????”
Tante tak menjawab karena pelayan datang membawa teko. Hati-hati pelayan menuangkan isinya ke gelasnya yang kosong. Air jeruk itu berwarna kuning muda. Ada kabut putih melayang. Baru setengah terisi Tante memberi tanda kepada pelayan untuk berhenti menuang. Ia mengangkat gelas mendekatkan ke matanya dan mengamati dengan kening berkerut. Ia menggerakkan mulut gelas ke kiri ke kanan di depan hidungnya seperti gaya orang yang menikmati aroma anggur mahal sebelum meminumnya. Lalu ia menempelkan bibirnya ke bibir gelas. Saya melirik pelayan. Rupanya ia sedang memandang saya dengan wajah takut. Saya memberi tanda agar meletakkan teko di meja dan pergi.
Tante meminumnya, tetapi tidak menelannya. Pipi kiri dan kanannya menggelembung bergantian. Ia berkumur. Keningnya kembali berkerut. Berapa sendok cuka yang tadi dituangkan pelayan? Saya berpikir keras untuk menyiapkan jawaban bila dia bertanya mengapa rasanya seperti kuah empek-empek Palembang.
Ia menelan dengan menengadah. Ada benjolan yang bergerak di leher. Apa itu jakun? Masa perempuan punya jakun? Lalu ia menempelkan bibirnya kembali ke gelas dan meminum habis isinya. Matanya membelalak.
“Wow, it’s tasty. Very very tasty. Baru sekali ini ikke merasakan es jeruk seperti ini. Apa saja campurannya?” tanya sambil menuangkan isi teko ke dalam gelasnya.
“Saya tidak tahu. Tetapi itu termasuk menu unggulan rumah makan ini.”
“O ya? Apa namanya?”
“Namanya?” Kembali mata saya melihat kabut melayang dalam gelasnya. “Namanya . . . . . . misty-eyed orange. Karena waktu Tante tidak banyak, bagaimana kalau ceramah tadi diteruskan?”
“Diteruskan? Ikke sudah selesai.”
“Sekarang saya jadi monyet, beberapa tahun lagi saya jadi anjing. Apa tidak ada cara untuk tidak menggonggong?”
“O, kalau tanya solusi itu namanya konseling, Mas. Konseling ada ongkosnya. Untuk perkenalan, saya pasang fee full discount. Tiga ratus ribu rupiah saja.”
Saya merogoh-rogoh saku celana.
“Mas, dompet itu disimpan di saku belakang, bukan di saku samping.”
“Saya tidak mencari dompet, tapi obat maag. Rasanya maag saya kambuh. Sudahlah, tak perlu konseling,” jawab saya sambil memaksa tersenyum. “Saya tak bawa uang sebanyak itu.”
“It’s not a problem at all. Saya siap memberi kredit panjang tanpa bunga. Nanti bisa dilunasi waktu kopdarnas.”
“Maaf, Tan, saya tidak suka berhutang.” Mata saya tak sengaja melihat lembar menu di atas meja. Di situ ada STMJ – susu telur madu jahe – yang karena saya pernah ke mari saya tahu bukan dari bubuk instan tapi dari susu sapi, telur bebek, madu botol dan perasan jahe segar. Oke, saya ikuti prinsipnya. Pren is pren, bisnis is bisnis.
“Tan, bagaimana kalau kita barter. Tante sudah merasakan minuman khusus Misty-eyed Orange. Tetapi itu tidak seberapa, masih di urutan bawah. Ada minuman khusus lainnya yang top-markotop di sini. Saya pesankan untuk Tante sebagai ganti fee konseling.”
“O ya,” dia meraih lembar menu.
“Tidak akan Tante temui di situ. Saking larisnya walau harganya mahal, peramunya kewalahan karena kekurangan bahan bakunya. Menu-menu khusus itu dihapus dari daftar menu dan hanya disajikan kepada pelanggan setia saja.”
“Namanya?”
Biar sudah tua saya belum goblok. Saya masih bisa berpikir cepat. Maka, “Minuman itu diberi nama Heavenly Fire.”
“How is the taste?”
“Seperti flying without wing. Seperti menelan api, tetapi tidak terbakar. Bahkan terasa surga turun ke bumi. Dulu namanya Heavenly Curse. Tetapi mereka yang sudah merasakannya protes karena merasa minuman itu tidak mendatangkan kutuk, tetapi berkat. Ooooo you have to believe me, you are flying without wing approaching the heaven,” kalimat terakhir saya ucapkan dengan suara bass pengkotbah api.
“Pakai narkoba?”
“Garansi. Tidak ada bahan terlarang.”
Dia tampak ragu.
“Kalau nanti Tante tak puas, berarti saya berhutang tiga ratus ribu rupiah. Bagaimana?”
“Deal!” teriaknya.
Langsung saya lari ke dapur rumah makan dan berkata kepada petugasnya,
“Cepat kamu catat. Ambil 4 biji jahe segar, panggang di kompor, kupas kulitnya yang hangus, dirajang halus, lalu diblender. Tambahkan ke dalamnya 1 sendok teh kopi bubuk, ½ sendok teh merica bubuk, 1 sendok makan kecap, 2 sendok makan madu, air jeruk nipis dan 1 butir telur bebek, kuning telurnya saja. Lalu kocok sampai berbusa. Lalu masukkan ke gelas pakai saringan. Tuangkan air panas ke gelas sampai hampir penuh, lalu aduk pelan-pelan pakai sendok agar merata. Jelas? Langsung dibuat ya.”
Langkah saya terhenti di pintu dapur karena seorang perempuan berkebaya berdiri menghadang.
“Maaf, Pak. Apa minuman itu tidak berbahaya? Saya tidak mau tidur di kantor polisi kalau ada apa-apa.”
Melihat petugas dapur membungkukkan badan ke arah perempuan ini saya tahu dengan siapa saya berhadapan. Saya mengeluarkan dompet , menarik keluar KTP dan menyodorkan kepadanya.
“Ibu pegang KTP saya sampai saya keluar dari rumah makan ini. Minuman ini adalah ramuan kuno hasil penelitian kakeknya kakek saya. Tidak ada bahannya yang beracun. Sebetulnya ini khusus untuk laki-laki. Karena saya buat untuk perempuan telur bebeknya hanya satu, bukan dua. Telur bebek, jahe, kopi, merica bersifat panas. Jeruk nipis untuk menghilangkan bau amis telur. Kecap dibuat dari kedele, untuk menambah tenaga. Begitu juga dengan madu.”
“Ramuan khusus laki-laki?” Dia tertawa. “Yo, yo, aku wis ngeh.” Lalu dia berteriak kepada karyawannya yang sedang memanggang jahe, “Kri, Bakri, kalau sudah selesai catatanmu berikan Ibu. Diingat-ingat. Kalau sampai hilang kowe ta’ pecat.”
“Ibu mau membuat untuk siapa?”
“My bojo.”
“Hati-hati, Bu. Ramuan ini berbahaya bagi yang punya masalah jantung karena bahan yang bersifat panas memacu jantung berdenyut lebih cepat. Juga bahaya bagi penderita diabet karena madu langsung menaikkan kadar gula darahnya.”
“My bojo tidak punya penyakit itu. Dia jogging tiap pagi. Kalau tidak di kebun ya di atas tempat tidur.”
“Maaf, berapa umur Bapak?”
“Hampir 70 tahun.”
“Wah! Minumnya seminggu sekali saja, Bu. Setengah dosis.”
“Mengapa?”
“Ibarat sepeda motor. Kalau sudah tua jangan dipakai trek-trekan tiap hari. Mesinnya pasti jebol, Bu.”
“Lha malah keleresan to. Ada alasan beli motor baru,” jawabnya sambil terkikih.
Weleh. Saya permisi keluar dapur untuk menghindari masalah.
“Sementara menunggu minuman Heavenly Fire,” kata saya kepada Tante, “Tante bisa menjelaskan bagaimana menghindari tugas menggonggong.”
“Ikke tidak bisa merubah nasib,” katanya yang membuat saya teringat Mama Lauren. “Jika sudah takdir, itu harus dijalani. Seperti kata Firman Tuhan, setiap perempuan akan mengalami kesakitan waktu melahirkan. Tetapi sekarang kita bisa mengurangi rasa sakit itu dengan operasi sesar. Mengurangi, bukan menghilangkan.”
“Ketika memasuki usia kuda, sering orang tidak sadar menjadi kuda beban. Kerja setiap hari dari pagi sampai malam. Hari Minggu juga kerja. Ikke juga jadi kuda, tetapi ikke pilih jadi kuda pacu. Kerja tidak setiap hari tapi makan minum bergizi tinggi.”
“Maaf menyela, Tan. Tante kerja apa?”
“Jadi pembicara di seminar-seminar. Selain itu ikke jadi konselor untuk masalah apa saja. Finansial bisa, intelektual oke, spiritual ayo, biblikal amin, jenital apalagi.”
“Penghasilan dari situ tentu tidak tetap. Kadang banyak kadang bisa nol. Apa Tante tidak berpikir kuda pacu bisa mati kelaparan?”
“Pertanyaan cerdas! Itu sudah ik pikir. Sebab itu setiap cari suami, ikke selalu hitung roi-nya.”
“Setiap? Berapa suami Tante?”
“Yang pertama ikke beri modal untuk buka kios majalah dan koran. Setiap bulan minggu pertama ikke tinggal di rumahnya sekalian mengaudit pembukuan dan memungut SHU-nya. Minggu kedua ikke pindah ke suami kedua yang ikke modali buka warung makan. Minggu ketiga ikke ke rumah suami berikutnya yang ikke bukakan bengkel motor. Minggu keempat . . . . . Mungkin sebentar lagi dia ikke pecat karena bank titilnya macet. Mau diapakan lagi kalau tidak produktip gara-gara umurnya sudah mendekati 60 tahun. Hihihi, like you gitu,” katanya mengejek.
“Tante sendiri umur berapa?” pertanyaan ini begitu saja meluncur keluar dari mulut saya karena jengkel.
“Umur krono kita tak beda jauh kok,” jawabnya mengejutkan. “Tapi, look at me,” katanya sambil merentangkan kedua tangannya jauh ke belakang sehingga dadanya membusung. “Umur bio ikke masih di usia kuda. Ik tahan umur bio dengan pergi pijat biar kulit tak kusut. Untuk berhemat, cukup setahun sekali.”
“Setahun sekali bisa seperti itu? Di mana alamat pijatnya, Tan?”
“Holiwud.”
“Yeee, kalau ke sana sih bukan pijat dong, tapi ketok magic. Kembali ke pertanyaan inti, Tan. Bagaimana saya harus menyiasati usia anjing.”
Dia mengoyangkan telapak tangannya ke kanan ke kiri sambil menunjuk ke arah samping. Pelayan datang mengantar minuman. Langsung dia mengambil dari nampan pelayan dan mencium-cium permukaan gelas. Lalu mencecap sedikit. Memandang saya sejenak, kemudian minum satu teguk.
“Wow,” katanya sambil menghembuskan nafas keluar dari mulutnya seperti naga menyemburkan api. “Sound great. Erg lekker. Agak pedas, tapi gurih. Ada rasa manis yang aneh campur sedikit pahit.” Lalu dia meneguk lagi sampai setengah gelas.
“Kalau tak cocok, tak usah dihabiskan,” kata saya. “Biar sisanya buat saya. Itu minuman mahal. Pakai kolesom 1 ons. Sayang kalau dibuang.”
“Kolesom? Pantas, dada ikke rasa hangat banget seperti malam pertama. I like kolesom very very much,” katanya sambil meneguk habis isi gelas itu. Matanya mendelik. Dia bersendawa panjang. Dia menepuk-nepuk dadanya. Lalu membuka satu kancing dan mengipasi dadanya dengan buku menu. Mendadak tubuhnya mengejang seperti orang mengejan.
“Ada apa, Tan?” tanya saya waswas. Aduh, kalau dia tidak sering menyantap makanan di tepi jalan yang pakai campuran formalin pasti lambungnya tak tahan.
“The fire, the fire, fire-nya turun ke perut, terus turun lagi. Aduh ikke tak tahan. Ikke lepas stocking ya.”
Tubuhnya membungkuk. Tangannya turun ke bawah meja. Dadanya bertumpu di meja. Karena satu kancing sudah dilepas, isinya terdesak ke atas dan nyaris melompat.
Saya menggeleng-geleng kepala. “Aduh, aduh Tan. Apa tidak takut dituduh melakukan porno aksi?”
Tanpa merubah posisi dia memandang mata saya. “Brur, berpikirlah kontektual. Pakai bikini jalan-jalan di halaman SMA itu porno. Tapi kalau dipakai jalan-jalan di pantai apa bisa disebut porno?”
Saya tertawa sumbang. “Sekarang ini walau orang makin pintar – seperti kata pendeta saya – ‘selalu ingin diajar namun tidak pernah mengenal kebenaran’ bahkan ‘makin jauh dari kebenaran.’ Dulu anak-anak saja tahu tindakan Tante itu salah. Bukan karena Firman Tuhan tetapi karena itu peraturan pemerintah yang ditulis di dalam setiap bis, ‘Dilarang mengeluarkan anggota badan.’ Tidak ada perempuan yang berani melanggar walau bayinya menangis kehausan karena takut dijewer kondektur. Sekarang orang mengeluarkan anggota badan di sembarang tempat. Dulu mau ngintip celana dalam perawan teman sekelas saja sulitnya bukan main. Sekarang cewek jalan-jalan di mol malah berusaha celana panjangnya melorot biar semua orang bisa lihat celana dalamnya.”
“Kontektual, brur, kontektual,” jawabnya sambil tetap membungkuk dengan wajah menyeringai seperti menahan sakit. “Tindakan ikke ini porno kalau kamu masih SMA. Tapi tidak porno karena piaraan kamu sudah mati.”
“Piaraan saya? Tahu-tahunya saya punya piaraan. Maaf, Tan, biar pintar jangan sok mahatahu.”
Dia kembali duduk tegak dan memberesi barangnya.
“Sampeyan benar. Ikke tidak mahatahu. Ikke tidak tahu piaraan kamu itu emprit apa jalak!”
Gendeng!
Dia melihat arlojinya dan berdiri. “Akhir kata, be a good dog tapi jangan anjing kampung penunggu rumah yang menggonggong pakai mulut sendiri. Jadilah anjing yang berkelas. Kalau tak punya uang pasang alarm dan tempatkan tombolnya dekat tempat tidur. Ada orang datang, pijit tombolnya biar semua tetangga keluar. Kalau punya uang, sewa baby sitter. Ada orang jahat, pijit tombolnya biar dia yang menggonggong.”
Saya bergegas berjalan mengiringinya menuju pintu gerbang. “Tombolnya? Baby sitter punya tombol? Tombolnya ada di mana, Tan?”
“Time is up. Untuk menjawab pertanyaan kamu, perlu sesi berikutnya. Bye, see you next time.”
Bergegas supirnya membukakan pintu mobil.
“Boleh saya menumpang sampai terminal Tirtonadi?”
“Kan niet, Mas. Terminal di selatan, ikke mau ke utara naar boven.”
“Ke atas? Ke mana, Tan?”
“Kemukus!”
“Gunung Kemukus? Mau apa ke sana, Tan? Cari penglaris?”
“Mau pelayanan. Mau pe-i.”
“Ya ampun, Tan. Bagaimana bisa sementara masih memelihara 4 suami?”
“Kalau menunggu hidup lempeng, kapan sih orang bisa melakukan pelayanan? Coba dipikir. Sudah ya, bye.”
Ketika dia masuk ke mobil tak sengaja saya melihat kakinya yang telanjang sampai setengah paha karena dia lupa mengenakan kembali stockingnya. Astaganaga!. Jika Hudson Pranajaya memilah dirinya dengan garis vertikal, ternyata Tante memilah dirinya dengan garis horisontal.
Sebuah mobil pikap berhenti di dekat saya. Suara klakson membuat saya menoleh.
“Mau ke mana?” tanya pengemudinya yang ternyata pemilik rumah makan.
“Ke terminal bis.”
“Ayo, ikut saya. Saya mau belanja ke Pasar Legi.”
Saya alergi duduk di samping perempuan muda yang cantik. Enggak tahu mengapa, badan rasanya gatal semua seperti ada barisan semut berjalan beriringan dalam pembuluh darah. Karena itu, “Tak perlu repot, Bu. Lagipula saya belum memberesi rekening.”
“Tidak usah, kali ini gratis. Yok, tak usah sungkan.”
“Tapi KTP . . . .”
Dia melambaikan KTP saya dan meletakkan di dashboard sebelah kiri. Terpaksa saya mendekat dan masuk ke mobil duduk di sisi kirinya. Hidung saya mencium bau kembang melati. Langsung dia menekan pedal gas sehingga kepala saya terpental ke belakang.
“Panjenengan niki pripun. Sama KW-1 berani, masa sama yang orisinil takut.”
“KW-1?”
“Waktu dia jalan mendekati meja sampeyan, langsung saya tahu dia itu KW. Makanya telur bebeknya saya beri dua. Ramuan jenengan itu jos banget lho.”
“Kok tahu? Ibu ikut minum?”
“Buat apa saya ikut minum? Apa sampeyan ndak heran kenapa dia lama membungkuk melepas stocking? Melepas stocking tidak perlu membungkuk. Dia terpaksa membungkuk karena sibuk mencengkeram empritnya. Empritnya mau terbang ‘kali.”
“Emprit?” saya tertawa terbahak-bahak dan dia ikut terkikih. Tawa saya terhenti karena mobil terlonjak sehingga kepala saya membentur atap. Dia tidak mengurangi kecepatan waktu melewati lintasan rel kereta api.
“Maaf, saya lupa ngerem. Sakit?”
“Ndak, ndak sakit kok.”
Sampai di pasar tanpa mengurangi kecepatan dia berbelok ke kanan. Sebuah kantong plastik kecil bergeser cepat di atas dashboard dari kanan ke kiri. Untung saya berhasil menangkapnya ketika kantong itu jatuh ke bawah.
“Apa kita tidak salah jalan, Bu? Terminal dan Pasar Legi ‘kan jalan lurus?”
“Mampir ke rumah saya sebentar.”
Saya meletakkan kantong plastik ke atas dashboard. Saya mendekatkan kepala mengamati kantong plastik bening itu yang ternyata berisi cairan kental berwarna kuning.
“Itu telur bebeknya 3 butir. Saya mau tahu efeknya,” katanya sambil mencondongkan tubuhnya ke kiri. Dia tertawa renyah. Bau kembang melati menampar hidung saya.
Duh Gusti! Saya rela jadi monyet bagi cucu saya. Saya rela bertingkah lucu dan konyol untuk membuatnya tertawa. Tetapi saya tidak mau jadi munyuk untuk orang lain. O my God, please help me.
(the end)
Footnote: This article was prepared
** by copying ‘tempo and accord sequence’ of Inge Triastuti’s “Bajingan! Suamiku kawin lagi”
** by peeping Joli’s photo album to get her sexiest dress.
** due to Minmery’s provocation – “color full.”
- Purnomo's blog
- Login to post comments
- 6279 reads
bakal ada sambungannya ga?
@Purnomo, mau photo???
ya ampun.. ya ampun..
ckk..ckk..
bener kata Min, kangmas Purnomo saiki jadi CERIA..
ha..ha..ha..
tapi kok jadi aneh bin ajaib begini ya?? karena masuk di tahun monyet??
Happy birthday ya......
btw..
mau photo ama Joli?? kayaknya cuocok loh, buat ganti avatar ha..ha..ha..
cara-nya piye?
** by peeping Joli’s photo album to get her sexiest dress.
waduh... asem ik.. kelihatan ya??
di privasi ah.. caranya piye???
Pa Pur : dak ngerti,
“Tapi KTP . . . .”
Dia melambaikan KTP saya dan meletakkan di dashboard sebelah kiri. Terpaksa saya mendekat dan masuk ke mobil duduk di sisi kirinya. Hidung saya mencium bau kembang melati. Langsung dia menekan pedal gas sehingga kepala saya terpental ke belakang.
“Panjenengan niki pripun. Sama KW-1 berani, masa sama yang orisinil takut.”
“KW-1?”
“Waktu dia jalan mendekati meja sampeyan, langsung saya tahu dia itu KW. Makanya telur bebeknya saya beri dua. Ramuan jenengan itu jos banget lho.”
“Kok tahu? Ibu ikut minum?”
“Buat apa saya ikut minum? Apa sampeyan ndak heran kenapa dia lama membungkuk melepas stocking? Melepas stocking tidak perlu membungkuk. Dia terpaksa membungkuk karena sibuk mencengkeram empritnya. Empritnya mau terbang ‘kali.”
“Emprit?” saya tertawa terbahak-bahak dan dia ikut terkikih. Tawa saya terhenti karena mobil terlonjak sehingga kepala saya membentur atap. Dia tidak mengurangi kecepatan waktu melewati lintasan rel kereta api.
“Maaf, saya lupa ngerem. Sakit?”
“Ndak, ndak sakit kok.”
Sampai di pasar tanpa mengurangi kecepatan dia berbelok ke kanan. Sebuah kantong plastik kecil bergeser cepat di atas dashboard dari kanan ke kiri. Untung saya berhasil menangkapnya ketika kantong itu jatuh ke bawah.
“Apa kita tidak salah jalan, Bu? Terminal dan Pasar Legi ‘kan jalan lurus?”
“Mampir ke rumah saya sebentar.”
Saya meletakkan kantong plastik ke atas dashboard. Saya mendekatkan kepala mengamati kantong plastik bening itu yang ternyata berisi cairan kental berwarna kuning.
“Itu telur bebeknya 3 butir. Saya mau tahu efeknya,” katanya sambil mencondongkan tubuhnya ke kiri. Dia tertawa renyah. Bau kembang melati menampar hidung saya.
Duh Gusti! Saya rela jadi monyet bagi cucu saya. Saya rela bertingkah lucu dan konyol untuk membuatnya tertawa. Tetapi saya tidak mau jadi munyuk untuk orang lain. O my God, please help me.
"I love You Christ, even though sometimes I do not like Christians who do not like You include me, but because you love me, so I also love them"
@smile, biar gak penasaran
imprisoned by words...
antara siapa dan siapanya pan,...
"I love You Christ, even though sometimes I do not like Christians who do not like You include me, but because you love me, so I also love them"
@smile, katanya
imprisoned by words...
Pan, lebih jelas lagi,....
"I love You Christ, even though sometimes I do not like Christians who do not like You include me, but because you love me, so I also love them"
Ooohhh
imprisoned by words...
Pan, ternyata ibu ibu toh?
"I love You Christ, even though sometimes I do not like Christians who do not like You include me, but because you love me, so I also love them"
JADI inget
orang katanya hrs sungguh2 utk berusaha ke surga tp aku lain lagi aku ingin masuk neraka tapi sungguh aku tak bisa krn kesungguhan Kristus Yesus, itulah imanku by B7.
Colorfull Provocator.
Munyuk! Purnomo gelo lagi!
@inge, my avatar
@Inge.. my avatar di pesbuk emang molah malih, sesuai the audience.. ha..ha..
ketika berusia 25 tahun, ceria dan bahagia
Berusia 26-55 tahun.. tetap cantik dan kemayu.. ha..ha..
Mbak Inge, Let me say.
Kemane Lo?
Dapet dari email....dikirimin ama temen...nambahin ceritanya pa Pur...xixixi
> Rahasia Umur Sapi, Monyet,Anjing dan Manusia
> Di awal zaman, Tuhan menciptakan seekor sapi..
> Tuhan berkata kepada sang sapi
>
> "Hari ini kuciptakan kau Sebagai sapi engkau harus
> pergi ke padang rumput.
>
> Kau harus bekerja dibawah terik matahari sepanjang
> hari.Kutetapkan umurmu
> sekitar 50 tahun.
>
> Sang Sapi
> keberatan, "Kehidupanku akan sangat berat selama 50
> tahun.
> Kiranya 20 tahun cukuplah buatku. Kukembalikan kepadamu
> yang 30 tahun."
>
> Maka
> setujulah Tuhan.
>
> Di hari kedua, Tuhan menciptakan monyet.
>
> "Hai monyet, hiburlah manusia. Aku berikan kau umur 20
> tahun!"
>
> "Sang monyet menjawab "What? Menghibur mereka dan
> membuat mereka tertawa? 10 tahun cukuplah.. Kukembalikan 10
> tahun padamu" Maka setujulah
> Tuhan.
>
> Di hari ketiga, Tuhan menciptakan anjing..
>
> "Apa yang harus kau lakukan adalah menjaga pintu rumah
> majikanmu. Setiap
>
> orang mendekat kau harus menggongongnya.. Untuk itu
> kuberikan hidupmu selama 20
> tahun."
>
> Sang anjing menolak, "Menjaga pintu sepanjang hari
> selama 20 tahun ? No
> way.! Kukembalikan 10 tahun padamu" Maka setujulah
> Tuhan.
>
> Di hari keempat, Tuhan menciptakan manusia.
>
> Sabda Tuhan : "Tugasmu adalah makan, tidur, dan
> bersenang-senang. Inilah
> kehidupan. Kau akan menikmatinya.
> Akan kuberikan engkau umur sepanjang 25
> tahun!"
>
> Sang manusia keberatan, katanya "Menikmati kehidupan
> selama 25 tahun?
> Itu
> terlalu pendek Tuhan."
>
> Let's make a deal.
>
> Karena sapi mengembalikan 30 tahun usianya, lalu anjing
> mengembalikan 10 tahun,
>
> dan monyet mengembalikan 10 tahun usianya padamu,
> berikanlah semuanya itu
> padaku.
>
> Semua itu akan menambah masa hidupku menjadi 75 tahun..
> Setuju ?" Maka
> setujulah Tuhan.
>
> AKIBATNYA... .......... ......... ...........
>
> Pada 25 tahun pertama kehidupan sebagai manusia dijalankan
> kita makan, tidur
> dan bersenang-senang
>
> 30 tahun berikutnya menjalankan kehidupan layaknya seekor
> sapi kita harus
> bekerja keras sepanjang hari untuk menopang keluarga kita.
>
> 10 tahun kemudian kita menghibur dan membuat cucu kita
> tertawa dengan berperan
> sebagai monyet yang menghibur.
>
> Dan 10 tahun berikutnya kita tinggal dirumah, duduk didepan
> pintu,
> dan
> menggonggong kepada orang yang lewat Uhuk, uhuk (batuk)...
> "Eh, Ntong, mo
>
kemane lo?"
Hahahahahaa. .... :-D
"I love You Christ, even though sometimes I do not like Christians who do not like You include me, but because you love me, so I also love them"
Tante bilang ada yang senang jadi kuda kepang.
@Smile: "kemane lo?"
Saya jadi ingat bapak saya yang berteriak "kemane lo" kalau saya tidak muncul-muncul walau dia memanggil-manggil sampai serak. Maaf Smile, saya lupa saya kemane aje. Enggak tahu kenapa sekarang sering pikun. Mungkin ada abu Merapi yang masuk ke otak.
Pak Purnomo: I feel something different
Pak Purnomo: Ten Tumbs Up!
Ken!
minmerry: Terlalu banyak!
Yah...
minmerry: Woke!
Fresh en menggelikan....
Ken, buka saja yang kamu tangkap.
@Ken: "Ada sesuatu di dalam blog ini. Tapi, saya tidak berani memastikannya apakah yang saya tangkap itu benar apa tidak?"
Ken, tulis saja yang kamu tangkap tanpa perlu memikirkan apa itu benar atau tidak. Kasihan Minmerry lama menunggu sampai mengantuk.
@Kaswan: "berlendir-lendir."
Nah, ini contoh yang bagus untuk Ken. Bang Kaswan melihat blog ini berlendir-lendir. Saya tidak protes karena setiap orang boleh menyimpulkannya sendiri. Bukankah Alkitab juga mengalami nasib yang sama? Waktu masih SD bagi saya Kidung Agung adalah kitab porno yang salah masuk ke Alkitab. Sekarang, saya tidak lagi berkesimpulan seperti itu.
minmerry: Bukan sekedar blog lucu
@Ken: Terlalu Jauh
Pak Pur hanya menanggapi "Pendekar Purnomo Mantu"
Tentang tempatnya, lebih tepat lagi: Terminal Tirtonadi, ke arah Surabaya, belok kiri di simpang empat, lewat jembatan, lurus terus sampai mentok di kuburan. Lalu belok kanan.
Banci
imprisoned by words...
anakpatirsa: Ini juga belum pasti, bukan?
Engkong memang 3 M
Semoga Bermanfaat Walau Tidak Sependapat
@Ken, ini cerita fiksi walau AP
dengan tepat menunjukkan arah di mana letak pemancingan ikan itu. Semoga AP tidak menulis nama rumah makan itu.
Dalam menulis saya masih selalu belajar dari yang lain. Blog ini mempergunakan ilmu AP yaitu fiksi yang diaduk dengan fakta. Kisahnya fiksi tetapi lokasi kejadian fakta sehingga kalau tidak berhati-hati kita bisa menyangka seluruh cerita itu adalah kenyataan.
Salam. Btw sudah mencoba ramuan surga?
Mbak Inge, AP ada nich.
Pak Purnomo and minmerry
minmerry: sebenarnya masih banyak
Saya sebutkan satu lagi ya. Sisanya cari lagi.
Kalimat "pren is pren, bisnis is bisnis".
Kalimat itu menyinggung tentang, teman tinggal teman, kebenaran tetap kebenaran. Siapapun dia, jangan karna teman, ketika ia sesat, lalu takut menegornya karna takut dimusuhi, dibenci bahkan dikucilkan. Jangan dicampur aduk. Kalau dicampur aduk, itu namanya menjilat!