Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Aku Merokok
Sebuah pesan singkat masuk:
Keponakanku Si Martin kedapatan merokok di sekolah, padahal masih SD kelas tiga. Rokoknya Dji Sam Soe lagi. Ternyata sudah sering dia merokok. Diapain ya, si Martin ini biar kapok?
Aku ngakak. Kubalas:
Lebih baik kedapatan merokok di sekolah pakai Dji Sam Soe daripada tertangkap basah duduk dibawah pohon sambil menghisap rokok rambut jagung.
Itu sama sekali tidak keren.
Kok kamu begitu?
Ia sama sekali tidak mengerti.
***
Musim jagung telah tiba. Kebun jagung di belakang sekolah sudah berbuah. Bisa kulihat dari dinding kawat kelas dua, kelasku. Setiap pagi, sebelum membuka warungnya, Bik Elin mengumpulkan dedaunan yang jatuh dan membakarnya di sudut kebun. Setiap jam istirahat, aku pergi ke sana, duduk di bawah sebatang pohon.
Tidak ada yang melarang. Tidak ada larangan masuk kebun orang. Hanya sapi yang tidak boleh, seperti tertulis di samping pagar: Dilarang mengikat sapi di sini!
Aku bukan sapi.
Kupandangi pohon jagung yang sudah tua. Seperti kepala manusia, jagung punya rambut.
Anak yang lebih besar pernah bercerita, rambut jagung yang sudah berwarna kemerahan bisa dijadikan rokok. Rasanya memang tidak enak, tetapi bukan itu yang penting. Merokok! Itu yang penting, kata mereka.
Kuperhatikan rambut jagung di depan. Sudah berwarna kemerahan.
Sekaranglah saatnya.
Di kelas tadi kusobek kertas buku tulis. Kubentuk seukuran daun pisang yang kakek pakai membungkus tambaku jawa—tembakau jawa (batangan tembakau sebesar jempol kaki dan panjangnya sejengkal orang dewasa). Kertas kukeluarkan dari kantong. Tidak seperti kakek yang melinting tembakaunya dengan daun pisang yang direbus, aku melinting rokok rambut jagung dengan kertas.
Sulit membuat rokok rambut jagung benar-benar menyala, tetapi akhirnya aku bisa menghisap rokok pertamaku.
Aku merokok.
Aku terbatuk. Rasanya tidak enak, seperti sudah kudengar. Bukan rasa yang penting. Merokok! Itu yang penting.
Suatu hari Bu Ira mendekatiku. Ia mengendus-endus kepalaku seperti anjing mengedus kotoran.
"Kamu ngapain tadi di kebun jagung Acil?" katanya.
Aku kaget ia tahu kemana aku pergi.
"Tidak ngapa-ngapain."
"Lalu mengapa mukamu bau asap?"
"Tadi kena asap apinya Bik Elin."
Ia kembali ke papan tulisnya.
Tiga hari aku tidak ke kebun jagung Bik Elin. Waktu ke sana lagi, jagung yang sudah tua habis, tetapi rambutnya yang kering kemerahan melimpah.
Aku duduk menghisap rokok rambut jagung kering. Aku sudah tahu, rambut jagung yang sudah kering bukan hanya bisa benar-benar menyala, tetapi juga ada rasanya. Selain rasa asap.
"Hayoo!"
Aku tersedak. Rokok terlepas dari mulutku.
Tanpa menoleh, aku tahu itu suara Bu Ira.
Ia mematikan rokok di tanah dengan sepatunya yang kotor.
"Masuk ke kelas," katanya.
Aku tidak berani melihat mukanya.
Aku duduk di bangku, menunggu. Dari pintu kulihat ia berbicara dengan kakakku. Aku berharap punya kakak yang bukan pengadu. Tidak mungkin! Aku mengenal kakak-kakak perempuanku.
"Rasain kamu nanti," katanya ketika melihatku di rumah.
Aku hanya diam. Sibuk belajar.
Ia membuatku tersiksa. Ia memang sengaja melakukannya; membiarkanku menunggu ibu berteriak memanggil.
Aku hanya bisa menunggu kapan ia memberi tahu ibu. Menunggu sungguh tidak enak. Agak siang, dari arah tangga kudengar suara yang membuat jantungku tertusuk. Itu bukan suara ibu.
Bu Ira. Aku mengenal suaranya.
Aku pergi ke dapur.
Hanya sebentar. Ibu berteriak memanggil namaku. Menurutnya merokok rambut jagung di belakang sekolah bukanlah dosa besarku. Dosa besarku adalah menyendiri karena menyembunyikan sesuatu. Ia sebenarnya masih bisa menerima kebiasaanku yang suka menyendiri, karena sejak bayi aku memang suka ditinggal sendirian. Menurutnya, akulah satu-satunya bayi yang sanggup menonton langit-langit rumah tanpa berkedip kalau tidak ditunggui. Menurutnya, sekarang aku suka bersembunyi di waktu istirahat karena banyak yang ingin kusembunyikan. Salah satunya, bisa merokok diam-diam itu. Menurutnya, nanti kalau sudah besar, aku akan melakukan hal tersembunyi yang jauh lebih besar lagi. Bukan hanya merokok rambut jagung.
Bu Ira berjanji segera memberitahunya bila melihatku menghilang saat jam istirahat.
Aku senang ketika pengadu itu pulang.
Ketika ayah pulang, ibu mengadu. Ayah berkata, "Dengar itu kata ibu kamu."
Aku tidak pernah lagi menyentuh rokok rambut jagung.
Karena rokok benaran lebih enak. Aku tidak lagi melakukannya sendirian sambil bersembunyi di belakang sekolah. Aku melakukannya bersama anak yang lebih besar. Mereka tidak akan berani mengadu. Kalau berani, aku tinggal mendatangi ibu mereka. Menceritakan apa yang kami lakukan di bawah pohon durian.
Musim durian memang menyenangkan. Satu orang bisa pergi ke pasar membawa beberapa buah durian dalam perahunya. Ketika pulang, ia membawa berbagai merek rokok pesanan kami. Aku selalu memesan rokok Filtra 100s.
Kelas empat, Indu Adi, tetangga lima rumah, melihat anaknya ikut merokok di pinggir sungai. Ia memukuli Adi. Berkata, kalau masih makan dari periuk orang tua, jangan berani merokok. Sambil menatapku, ia berkata akan memberi tahu ibuku nanti. Malam itu aku kencing di kantong plastik dan melemparkannya ke pintu rumahnya. Ia tidak pernah berani mengadu.
Kelas lima, aku malas keluar rumah. Aku mulai mengenal Winnetou, Trigan dan Lima Sekawan. Bahkan komik-komik silat. Petualangan mereka membuatku lebih banyak di rumah dan melupakan Filtra 100s.
***
Aku tidak tahu bagaimana membuat si Martin jera. Aku tidak jera ketika ketahuan merokok rambut jagung. Aku hanya bisa berkata, aku pernah mengalami apa yang Martin alami.
Ia mengirim pesan: Aku harus melakukan sesuatu untuk menghukum anak ini. Ia bukan hanya merokok sekarang. Juga mulai belajar mencuri. Pulang kampung ini, si Alin, adiknya akan kubawa. Si Martin kuhukum dengan tidak membawanya berlibur ke tempat Mama.
Kuingatkan: Jangan. Kamu bisa membuat ia membenci adiknya.
Ia tidak membalas.
Awal liburan, aku menerima pesan: Aku sudah pulang kampung. Si Martin tidak kubawa, Mama marah sama aku. Katanya, Kak Hermon, ayah Martin juga dulu seperti itu. Merokok dan mencuri uang.
Aku menulis: Bukannya sudah kuingatkan?
Ia membalas: Aku hanya ingin membuat si Martin kapok.
Saatnya mengabaikan nomor tersebut.
- anakpatirsa's blog
- Login to post comments
- 5093 reads
Wakakakak
Aku tau kalau kau itu parah, Teman.
Tapi tak ku sangka kalau kau tega lempar kencing ke pintu rumah orang.
Untung kau ga tau dimana rumahku. :)
Kuingatkan: Jangan. Kamu bisa membuat ia membenci adiknya.
Yep, bagian yg ini benar. Sering kali sodara saling benci karena merasa perlakuan orang tua yg dia anggap ga adil. Semoga masalah ini ga berkepanjangan.
Btw untung dulu kau suda tidak merokok saat di sini. Kalo ga kau bakal merasakan petasan di dalam rokok. :)
PS. kau sombong, teman. Aku sms ga reply. :)
TGBTG (Yoh 3:30 - IA harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.)
Memang Parah
Sudah sering kudengar itu, "Kau memang parah."
Rumahnya aku tahu. Aku di kursi belakang waktu mengantar sehabis balik dari Tawangmangu. Tetapi waktu itu tidak terlalu kuperhatikan, karena deg-degan menunggu nasib ISO yang di-upload 24 jam sebelumnya. Yang kuingat, banyak anjingnya sehingga pasti menggonggong sekeras-kerasnya kalau aku melempari pintunya.
Tentang SMS yang tidak dibalas, seperti bunyi SMS-ku tadi pagi. Saat itu aku memang lagi di negeri antah-berantah. Entah mengapa SMS juga tersesat di antara pepohonan.
AP, drop comment here...
WOW! Min suka banget ma baris ini : Ia sama sekali tidak mengerti.
Entah berapa kali dah berantem ama Papa karena rokok.
Seneng dan puas rasanya melihat kotak kemasan rokok, dicetak dengan penyakit dan efek mengerikan akibat merokok. Semua usaha dilakukan supaya manusia gak lagi merokok.
So, i reply your sentence here.
Mereka sama sekali tidak mengerti?
Mereka tidak mengerti
Ini memang cerita tentang "Ia sama sekali tidak mengerti."
Ia tidak melihatnya dari sudut pandang seorang anak.
Ia tidak melihatnya dari sudut pandang anak yang belajar merokok.
Orang yang tidak merokok, ketika melihat tulisan di kemasan berkata, "Mereka sama sekali tidak mengerti?"
Sambil menghisap rokok, seorang menjawab, "Mereka sama sekali tidak mengerti."
Aku suka kopi, aku tahu itu tidak baik untuk kesehatan. Tetapi malam ini aku sudah meminum kopi yang keempat.
Aku tak mengerti
Ia tidak melihatnya dari sudut pandang anak yang belajar merokok.
Kapan ada ujian merokok, AP? Maklumlah, aku belajar hanya ketika mau ujian... :)
Sembuh sendiri karena sadar lingkungan
Saya merokok ketika sudah memasuki usia 17 tahun. Waktu di bawah umur itu, ayahku - yang juga seorang perokok - selalu mengingatkan aku agar tidak merokok karena masih belum cukup umur. Ibuku, seorang yang tabah, hanya mengingatkan aku bahwa merokok adalah buang-buang uang saja. Tetapi, dia pernah bilang bahwa aku boleh merokok jika sudah bisa cari uang sendiri.
Walhasil, setelah lama memendam rasa penasaran "seperti apakah rasanya merokok" dan setelah memang aku bisa menghasilkan uang dari kemampuanku menggambar (daripada dibilang melukis) aku pun mulai membeli rokok yang sama dengan rokok yang ayahku rokok. Lalu kami mulai merokok bersama-sama.
Sejak itu aku menjadi seorang perokok. Sampai aku bertemu calon istri yang meminta aku meninggalkan rokok karena dia tidak tahan dengan bau rokok yang membuatnya pusing. Lalu tak lama pun kami menikah - aku masih merokok jika tidak ada dia - dan lahirlah anak kami. Nah, ternyata anak kami adalah anak yang punya banyak alergi. Setiap pagi dia selalu bersin-bersin dan tidak akan berhenti setelah kena panas matahari yang cukup.
Berangkat dari keprihatinan terhadap kesehatan, terutama keluarga, maka aku pun mulai berhenti merokok.