Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Garuda di Atas Banyan
Byakta luir bhrantaciarangsa riwa-riwaning nimalacintyarupa
Pujan ring jnana cudharprimita caran aning miket langwa-langwa
lila cuddha pratis heng hredaya jaya-jayangken mahaswargaloka
Ramya ng sagara parwateki sakapunpunan i sira lengeng
Aku menatap lekat tulisan yang terukir di lapisan kayu tubuh pohon Banyan itu. Pohon yang sebelum aku dilahirkan sudah ada di sana. Bahkan sebelum kakek buyutku dilahirkan, demikian kata orang tuaku.
Tapi baru kali ini aku melihat tulisan ini. Tulisan yang seperti akar bergantung. Tapi di mataku tulisan itu berubah, bergelayut memakai aksara yang berbeda. Bahkan di benakku tulisan itu seakan berbicara sendiri,
"Bagaikan seorang yang pilu hatinya merasakan kebeningan yang melampaui apa yang bisa dipikirkan, biarlah diriku memuja kebeningan dengan doa yang tak terucapkan, alatku untuk merangkai kata indah. Rasa syukur dan ketulusan di hati, menguasai semua yang ada seperti sorga yang mulia, indah laut dan gunung di bawah kuasanya."
Menarik, pikirku. Tapi seperti tidak beraturan.
"Memang" Sebuah suara seperti mengetahui apa yang aku pikirkan.
Aku menengok ke kiri dan ke kanan.
Tidak ada batang hidung yang kelihatan.
"Di sini!" Kata suara itu lagi.
Aku tahu jelas dari mana suara itu berasal.
Pohon Banyan itu meliukkan tubuhnya ke arahku. Aku mundur beberapa langkah.
Pohon berbicara?
Di mana mulutnya?
"Semua mahluk berbicara," Katanya lagi.
"Tapi tidak mungkin," Ujarku dengan spontan.
"Apa yang tidak mungkin?"
Aku terdiam.
"Bukankah engkau percaya raja diraja bisa menjadi rakyat biasa, berada di antara kita?"
Aku mengangguk. Aku tetap tidak percaya aku berbicara dengan sebuah pohon.
"Kenapa engkau bilang aku sebuah pohon?"
Jawabku, "karena engkau bukan seekor binatang, atau juga seorang manusia"
"Tapi tidak semua binatang memiliki ekor, dan kalian menyebutnya dengan ekor. Tidak setiap orang berlaku seperti layaknya manusia, tapi kalian menghitung kaum kalian dengan orang. Bahkan meja pun engkau katakan sebuah atau dua buah meja, walaupun meja tidak pernah berbuah."
Pohon yang tidak hanya berbicara, namun juga pintar.
"Kenapa dengan raja diraja?" Tanyaku
Angin menelisik dedaunan di kepala pohon Banyan. Agak berisik, namun angin yang sama juga menghembus menyegarkan wajahku.
"Bukankah kalau raja diraja bisa berubah menjadi manusia paling hina, bahkan dicemooh para bupati Mercapada, raja diraja juga bisa berubah menjadi sebuah pohon Banyan?"
Aku tidak lila. Apalagi lali.
"Tidak mungkin." Ujarku lagi.
"Aku juga berpikir bahwa tidak mungkin engkau berkata tidak mungkin dalam waktu beberapa jenak. Tapi ternyata terjadi, bukan?"
Lagi-lagi aku mengangguk.
Meyakini kepintarannya.
"Jadi engkaukah dia?" Tanyaku hati-hati.
"Kalau engkau bijaksana, engkau pasti akan menemukan jawabannya."
Aku terdiam. Mataku kembali terpaku dengan tulisan yang tergoreh di tubuhnya. Gorehan yang kasar. Sepertinya dari pisau belati.
"Sutasoma,"Katanya.
"Hah?"
"Sutasoma yang menggorehkannya di tubuhku. Anak kurang ajar." Sahutnya.
Terdengar samar dia mengakhiri kalimatnya dengan keluhan.
"Bukankah Sutasoma adalah tokoh khayalan?" Tanyaku lagi.
Pohon Banyan terdiam satu jenak. Angin kembali berhembus. Kali ini datang dari punggungku.
"Bukankah engkau tidak pernah bertemu orang yang pernah melihat burung Garuda?"
Aku mengiyakan.
"Lihatlah di atasku."
Aku mendongak. Terkejut melihat burung raksasa mencengkram kedua kakinya di atas ranting pohon Banyan. Baru kali itu aku melihat burung sebesar itu. Dan baru kali itu aku melihat beberapa ranting mampu menahan beban sebanyak itu.
Kedua matanya menatapku.
"Jangan bergerak, walaupun aku tahu dia tidak mengincarmu." Kata pohon Banyan. Lagi-lagi dia membaca apa yang aku pikirkan.
"Jadi apa?" Bisikku bertanya kepadanya, seakan aku takut kata-kataku mengubah pikiran si burung.
Salah satu dahan pohon Banyan bergerak ke bawah, seperti menunjuk di mana jawabanku berada. Aku mengikuti arahnya. Tampak seekor kelinci sedang menikmati rerumputan, sekitar enam belas kaki dari tempatku berpijak.
"Itu kelinciku!" Aku terkesiap.
Iya. Itu kelinciku. Kelinci yang aku pelihara dari sejak aku masih kecil.
Kenapa bisa berada di situ?
Kelinciku menengok ke arahku, sepertinya dia mendengar suaraku. Dia berlari menjauh, menuju ke arah lubang kecil di tanah. Mungkin dia tahu dirinya ada di dalam bahaya.
Aku meraba punggungku. Mengambil kapak yang terselip dibaliknya.
"Apa yang akan engkau lakukan?" Pohon Banyan terdengar gusar
"Bukankah engkau tahu apa yang aku akan lakukan?"
Kalau sedari tadi dia bisa mengetahui apa yang aku pikirkan, pastinya dia tahu apa yang ada di dalam benakku sekarang.
Aku mengayunkan kapakku. Tepat ke arahnya. Ke arah pohon Banyan.
Dia berteriak,"Untuk apa engkau lakukan itu?"
"Untuk membunuh Garuda. Hanya dengan menebangmu aku bisa membunuhnya."
"Tapi Garuda tetap akan memangsa kelincimu. Engkau tidak bisa mencegahnya."
Aku tidak peduli.
Aku terus mengayunkannya. Butuh lebih dari dua belas ayunan untuk merobohkan pohon sebesar ini.
Namun seperti kataku, aku tidak peduli.
Garuda harus mati.
Banyan harus pergi.
- PlainBread's blog
- Login to post comments
- 5269 reads
plain, simbol lage ga se...
gw coba nebak2 ah crita lo ah, walu mungkin ga nyambung ^^
yang gw pikirin se, kalo si pohon lakuin cold reading aja ma si manusia ehehe, coz si pohon jg ga bisa nebak klo akhirnya bkal nebang dia pada akhirnya. Awalnya gw pikir karna manusia itu unpredictable - ga bisa ditebak behaviornya. Cuma setelah gw pikirin, gw brubah pikiran, mungkin manusia itu malah predictable - ngelakuin apa aja demi sesuatu yang dia pengenin, even harus korbanin yg laen sperti si pohon itu ..^^
hihihi ga nyambung ya ^^
Dreamz, saya belajar nulis lagi
Cerita di atas memang ngambang banget, gak jelas mana yang salah atau benar, atau yang baik dan jahat. Tapi di situ gue sukanya.
Selain itu interpretasi orang juga bisa ditarik ke mana aja. Bahkan interpretasi elu sama sekali gak gue sangka bakal ada.
Mungkin orang bisa bilang pohon Banyan (pohon beringin) adalah lambang rezim di sebuah daerah, di mana ada burung Garuda bersarang di atasnya.
Mungkin orang bisa bilang burung Garuda, seperti biasa, adalah burung di banyak culture yang melambangkan sifat jujur dan berani walaupun harus melanggar aturan dan harus bertarung melawan dewa dewi di khayangan.
Mungkin orang bisa bilang raja diraja yang dibicarakan mereka adalah Tuhan yang maha kuasa, yang mereka sepakati bisa berubah menjadi manusia hina, bahkan ada kemungkinan pohon Banyan tersebut adalah inkarnasi Tuhan. Kalo Tuhan bisa jadi manusia, apakah bisa jadi pohon juga?
Mungkin orang bisa bilang Banyan dan Garuda melambangkan budaya dan filosofi timur, sementara kelinci melambangkan filosofi barat dengan rabbit holenya (eksistensialisme).
Mungkin Banyan dan Garuda melambangkan sosialisme, yang kekuasaannya cenderung otoriter, sementara si kelinci adalah lambang kapitalisme dan demokrasi a la barat. Dan ironinya, si aku -pemilik kelinci- malah bersikap otoriter terhadap sesuatu yang dilihatnya sebagai otoriter terhadap si kelinci.
Jadi yah bisa macam2, dream. Thanks udah komen.
@pb :D
alo om pb..
ternyata cerita ini mang sengaja ngambang toh yah.. dipikir tadi saya yang lemot.. udah baca 2x tadi siang tapi ga ngerti-ngerti pointnya apa.. hahahaha...
nice yah om.. saya suka baca tulisan om.. hehe..
-Faith is trusting God, though you see impossibility-
@teograce Kadang emang gak ada pointnya
Buat saya suatu cerita yang baik gak mesti ada pointnya, yang penting mudah dipahami alurnya. Kadang bahkan ada orang yang berusaha membuat poin dalam suatu cerita, tapi audience malah gak nangkep. Cerita di atas yang penting jelas alurnya. Mau ada poin atau gak, buat saya nomor sekian seperti saya jelaskan ke dreamz.
Terima kasih atas kesukaannya.
plain, i love beda2
cuma rada mikir, penyebab kenapa bisa beda2 interpretasi. Mungkin salah satu faktor kenapa bisa beda2 karna tergantung dengan knowledge ato experience yg kita punya ntuk tafsirkan isi ceritanya.
gw mang o'on, pengetahuan terbatas n males googling garuda, pohon banyan, n kelinci ternyata ada meaning tertentu, so gw nafsirkan aja dr sesuatu yg gw tau, n jd de penfasiran gw yg gitu.
napa gw mikir gitu coz gw pna baca, tp rada lupa baca dimana hihihi.. ttg study film2 apa aja yg disukain anak kecil, dr study nunjukin kalo anak kecil malah suka pilem yg sederhana n diulang karna mereka hanya tertarik ama sesuatu yg mereka ngerti. Jd kalo pilemnya terlalu kompleks, karna anak kecil pengetahuannya masi terbatas, mreka jd ga ngerti n ga tertarik nonton. Ini beda ma kita makin dewasa dimana pengetahuan kita makin berkembang.
oh ya plain *oot mulu ne, maap ya* mungkin karna ini jg orang bisa menafsirkan Alkitab beda2 yak ^^
Interpretasi
Betul, interpretasi bisa beda2. Seperti cerita Yesus soal unta masuk lubang jarum. Banyak pendeta bilang itu nama salah satu gerbang Yerusalem, jadi unta yang masuk harus membungkuk dan semua beban dipindahin. Padahal dalam keseluruhan cerita, murid2 dan Yesus sepakat bahwa hal itu adalah kemustahilan. Interpretasi bisa berbeda karena adanya pemilihan plot, point of view dan moral of the story yang dipake.
Kelinci, Banyan, burung Garuda sebenarnya didapat dari folklores dari banyak culture. Film2 terkenal seperti Alice in Underland (kelinci), Avatar (burung dan pohon), Narnia (pohon dan singa) juga memasukkan simbol2 yang mirip.
hanya untuk melengkapi saja
plain :
Seperti cerita Yesus soal unta masuk lubang jarum. Banyak pendeta bilang itu nama salah satu gerbang Yerusalem
tony :
selama saya mendengar kotbah mengenai topik soal unta masuk lubang jarum, baru kali ini saya dengar dari anda ada pendeta yang menginterprestasikan seperti itu, dan menurut anda banyak lagi?
mungkin saja saya kurang beruntung untuk mendengarkan banyak pendeta yang menginterprestasikan demikian
plain :
Padahal dalam keseluruhan cerita, murid2 dan Yesus sepakat bahwa hal itu adalah kemustahilan
tony :
Mat 19:26 Yesus memandang mereka dan berkata: "Bagi manusia hal ini tidak mungkin, tetapi bagi Allah segala sesuatu mungkin."
setidaknya yang saya tangkap bukan tuhan Yesus yang menanggap itu suatu kemustahilan, justru Tuhan Yesus tidak ada yang mustahil bagi Tuhan
salam