Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Bengcu Menggugat hai hai Mengungkap Emeritus Memoar Seorang Pendeta
EMERITUS - MEMOAR Seorang Pendeta adalah kisah hidup seorang pendeta yang terdiri dari PANCA babak yaitu:
1. Menjadi Kristen
2. Menjadi Pendeta TOP
3. Emeritus alias berhenti jadi pendeta
4. Menjalani hidup sebagai pemabuk dan hidung belang
5. REKONSILIASI
Kisah tersebut diceritakan oleh Pendeta yang bersangkutan dan ditulis oleh ITA SIREGAR, seorang penulis Kristen KAWAKAN. Karena kedahsyatannya maka ITA SIREGAR perlu waktu sekitar tiga tahun untuk mempertimbangkan apa saja yang diungkapan kepada DUNIA dan bagaimana cara mengungkapkannya. Aneh bin ajaib, sementara BERZINAH sang Emeritus justru MENGINJIL.
Belajar dan Membaca
Kerabatku sekalian, kenapa semangat belajar orang Indonesia sangat rendah? Karena sistem pendidikan Indonesia merusaknya. Sebelum anak-anak masuk sekolah, mereka dididik untuk bermain padahal saat itu mereka mau belajar. Anak-anak tidak boleh belajar makan sendiri itu sebabnya mereka disuapi. Ketika anak-anak belajar naik tangga, mereka dihardik, “Jangan!” Ketika hendak belajar membuka laci, mereka diteriaki, “Tidak boleh!” Sejak lahir sampai berumur 6 tahun mereka dipaksa bermain, setelah bermain menjadi kebiasaan, begitu saja mereka disuruh sekolah dan dipaksa belajar mati-matian. Karena dipaksa maka terpaksa. Belajar pun menjadi beban, bukan sesuatu yang mengasykkan.
Kenapa selera membaca orang Indonesia lemah sekali? Karena sejak sekolah mereka diajari bahwa membaca adalah hobi, bukan cara untuk meningkatkan pengetahuan. Sekolah adalah cara untuk menambah pengetahuan. Itu sebabnya ketika dipaksa belajar dengan membaca buku, mereka pun, alih-alih hobi, justru benci. Itu sebabnya mereka hanya membaca ketika akan ulangan. Itu sebabnya, setelah tidak sekolah lagi, mereka pun berhenti membaca. Itu sebabnya mereka yang hobi membaca, melakukannya hanya untuk menghibur diri. Itu sebabnya buku yang telah selesai dibaca langsung di simpan dan tidak dibaca-baca lagi apalagi didiskusikan beramai-ramai dengan handai tolan.
Handai tolanku sekalian, kita harus mengubah cara pandang demikian. Anak-anak harus diberi kesempatan untuk belajar sejak dini. Anak-anak harus dibimbing untuk belajar sejak bayi. Membaca buku bukan hobi. Membaca buku bukan cara untuk menghibur diri. Membaca buku adalah salah satu cara untuk belajar. Belajar bukan hobi namun kodrat manusia. Itu sebabnya yang berhenti belajar akan menjadi orang menyebalkan yang bebal dan sok tahu. Oleh karena itu yang berhenti belajar akan berhenti bertumbuh kembang dan kehilangan kebahagiaannya karena menentang kodratnya.
EMERITUS
EMERITUS - MEMOAR Seorang Pendeta adalah kisah hidup seorang pendeta yang terdiri dari PANCA babak yaitu:
1. Menjadi Kristen
2. Menjadi Pendeta TOP
3. Emeritus alias berhenti jadi pendeta
4. Menjalani hidup sebagai pemabuk dan hidung belang
5. REKONSILIASI
Kisah tersebut diceritakan oleh Pendeta yang bersangkutan dan ditulis oleh ITA SIREGAR, seorang penulis Kristen KAWAKAN. Karena kedahsyatannya maka ITA SIREGAR perlu waktu sekitar tiga tahun untuk mempertimbangkan apa saja yang diungkapan kepada DUNIA dan bagaimana cara mengungkapkannya.
EMERITUS nggak cocok disebut novel karena kurang bergosip-ria. Nama-nama diganti namun tokoh-tokohnya ada. Sebagian nama jalan dan tempat diganti namun peristiwanya nyata. Sang Emeritus adalah pendeta top dari gereja besar. Menyebut namanya akan menjamin buku ini laris manis. Kawan-kawannya akan membelinya untuk mencocokkan kisahnya dengan gosip yang selama ini didengar dari sana-sini. Lawan-lawannya akan membelinya untuk ditunjukkan kepada dunia bahwa Sang Emeritus memang jahat bahkan bejat. Kenapa, sang penulis melepas jaminan best seller demikian? Mungkin karena, bagi penulis, ada yang lebih berharga dari pada best seller. Mungkin Ita Siregar yakin, yang lebih bernilai itu akan membuat bukunya best seller.
Isi buku EMERITUS sangat padat. Anda pernah menonton film Crouching Tiger Hidden Dragon? Membaca buku EMERITUS itu ibarat memainkan pedang pusaka seperti Zang Ziyi: Menusuk, menebas, menggores, membelah, memukul dengan penuh nafsu. Namun, ada sebatang ranting yang dimainkan oleh Chow Yun Fat, yang mengimbangi gerakan pedang dan nggak segan-segan menyentil ketika pedang bergerak terlalu liar dan bernafsu. Apabila nggak mau nyebut isinya terlalu padat. Katakan saja Ita Siregar terlalu pelit mengumbar rasa.
Orang-orang yang cukup lama berkecimpung di dunia persilatan dan cukup kenyang makan asam garam pernikahan bisa melihat dengan gamblang bahwa sang penulis benar-benar mengendalikan diri dalam mengungkapkan kisah Sang Emeritus. Menulis dengan cara demikian benar-benar sulit. mungkinkah itu yang menyebabkan sang penulis kehilangan stamina pada akhir tulisannya? Tidak ada yang salah dengan yang ada, namun, menurut saya penutup demikian terlalu biasa setelah apa yang dilakukan Ita Siregar sejak awal bukunya. Paragraf pertama sebuah buku berguna untuk memikat pembaca untuk terus membaca sedangkan paragraf terakhirlah yang menentukan apakah buku tersebut akan diingat atau dilupakan begitu saja oleh pembacanya. Penutup di bawah ini terlalu biasa.
“Kak Demmy, selamat ya!” tiba-tiba seseorang menepuk pundak saya pelan. Saya terkejut, memandang wajah yang bersemangat menunggu sapanya dijawab.
“Hei, Ferry! Apa kabar? Terima kasih, terima kasih. Terima kasih untuk kedatangannya, ya?” kata saya sambil menyalaminya dengan kedua tangan.
“Mana kak Liana?”
“Sebentar lagi mungkin,” jawab saya sambil menengok jam tangan.
“Kak Demi, saya benar-benar kaget, hampir tak percaya membaca undangan hai ini,” katanya dengan nada sungguh-sungguh. Saya melebarkan senyum, mengangguk-angguk sambil menjawab, “Iya, iya.” EMERITUS hal 316
TAMAT
EPILOG
Bagaimana bila EPILOG di bawah ini ditambahkan oleh Sang penulis?
Sang Emeritus, itulah kisahnya. Terserah dia memulainya dari mana dan mengakhirinya di mana, namun inilah kisah sejatinya.
“Tidak apa-apa, Nak. Pergilah. Disuruh beli apa tadi oleh ibumu?” ibid hal 197
“Lah, masih berdiri di sana? Pergilah!” ibid hal 197
“Lu ambil duit Mama ya, Den?” ibid hal 58
“Penggaris!” ibid hal 59
“ Tangan!” ibid hal 60
“ Tinggian dikit!” ibid hal 60
“Mau bakpau, Den?” ibid hal 61
Aku melihat. Penggaris besi itu tidak keras membentur telapak tangannya. Kenapa dia menjerit demikian keras?
“OUW ...” ibid hal 60
Nampaknya ada pukulan lain yang tidak membentur telapak tangannya. Pukulan yang tidak terasa sakitnya namun benar-benar perih. Rasa perihnya tak pernah hilang, itu sebabnya dari tahun ke tahun Sang Emeritus berbisik di dalam hatinya,
“Aku hanya ingin mengganti gentong yang pecah.” ibid hal 61
Itu sebabnya, Sang Emeritus menanggung akibatnya tanpa pernah menyadari kalimat yang menohoknya tanpa belas kasihan setiap kali seseorang menawarkan hadiah untuknya.
“Mau bakpau, Den?” ibid hal 61
“Lu ambil duit Mama ya, Den?” ibid hal 58
“Aku hanya ingin mengganti gentong yang pecah.” ibid hal 61
Di depan sebuah kios, saya menabrak gentong kosong yang tingginya sedada orang dewasa. Tertegun. Gentong bergoyang lalu jatuh. BRAAK .....! Gentong itu pecah! Memegang stang sepeda, tak tahu hendak melakukan apa? Jantungku seolah berdetak di dalam perut saya.
Seorang perempuan tua keluar dari kios. Ia berjalan tenang mendekati gentong itu, menatapnya, memunguti pecahannya dan menyingkirkan pecahan kecil-kecil dengan kakinya. Dia lalu menatap saya dengan wajah lembut. Sambil melepas kondenya sehingga rambut panjangnya tergerai, dia berkata,
“Tidak apa-apa, Nak. Pergilah. Disuruh beli apa tadi oleh ibumu?”
Sang Emeritus, Tahukah engkau bahwa, “Mau bakpau, Den?” artinya cinta kasihku kepadamu tidak berubah anakku. Itu sebabnya orang Tionghoa ketika bertemu saling menyapa, “Sudah makan?”
Tahukah engkau bahwa “Tinggian!” artinya dekatkan tanganmu ke penggaris besi karena aku tidak ingin melukainya? Hua bo phang teng boi seng ci. Kia bo thia boi seng lang. Bunga yang tidak disengat lebah takkan menjadi biji, anak yang tidak dihajar tidak akan menjadi orang. Itulah pepatah orang Hokian tentang mendidik anak.
Seumur hidupnya dia ingin mengganti gentong yang pecah padahal wanita tua itu sudah memberitahu dia, “Tidak apa-apa, Nak. Pergilah. Disuruh beli apa tadi oleh ibumu?”
Sang Emeritus. Engkau hanya memecahkan gentong kosong.
HARMONIS
Kerabatku sekalian, EMERITUS bukan buku tunjuk-tunjuk apalagi buku sok kasih petunjuk. EMERITUS adalah sebuah kisah nyata yang dialami oleh seorang anak manusia. EMERITUS tidak ditulis untuk tunjuk-tunjuk, itu sebabnya kurang bergosip-ria. EMERITUS tidak ditulis untuk sok kasih petunjuk, itu sebabnya nggak ada jurus harus begini dan tidak boleh begitu di dalamnya. EMERITUS tidak ditulis apa adanya. EMERITUS ditulis dengan penuh pengendalian diri oleh penulisnya agar terjaga HARMONIS-nya.
Ita Siregar bukan penulis Kristen Indonesia yang paling berbakat, namun menurut saya dari tulisan-tulisan di Note Face-booknya dan EMERITUS nampak gamblang sekali bahwa dia adalah satu dari sedikit sekali penulis Kristen Indonesia yang konsisten menjaga KEHARMONISAN di dalam tulisan-tulisannya. Membaca novel-novel dan kesaksian-kesaksian Kristen itu ibarat menonton sinetron Indonesia. Benar-benar menyebalkan. Pating pecotot. Tidak ada HARMONI sama sekali.
GANDA CAMPURAN
Apa yang bisa kita pelajari dari kisah Sang Emeritus? Siapa yang bisa belajar dari kisah Sang Emeritus? Untuk apa belajar dari kisah Sang Emeritus? Apa yang dialami Sang Emeritus bisa terjadi dan mungkin terjadi pada siapa saja. Yang belum mengalami, bisa belajar agar tidak mengalaminya. Yang sedang mengalami bisa belajar agar menemukan jalan kelepasan. Yang sudah mengalami bisa belajar agar menemukan cara menyembuhkan luka-luka. Namun, semuanya harus dimulai dengan memahami apa yang terjadi pada Sang Emeritus.
Menikah tidak pernah sederhana. Menyatukan dua kepala perlu kompromi besar. Setelah mengalaminya sendiri, saya sadar pernikahan bukanlah sekedar salah pencet arah odol di kamar mandi. Ritus membaca Alkitab, berdoa bersama tidak dengan serta merta menyelesaikan masalah-masalah keluarga. Ibid hal 161
Sebenarnya bukan hanya masalah uang. Waktu juga persoalan. Saya bekerja di kantor gereja yang kesibukannya melebihi seorang menteri negara. Program kerja telah memenjara saya terus berpikir berbagai urusan mengenainya. Ibid hal 161-162
Hubungan saya pribadi dengan Liana selalu kurang, selalu salah. Dan sayalah yang harus menanggungnya. Posisi saya sebagai pemimpin, paling strategis untuk disalahkan. Liana bisa bersembunyi dibalik kata, “istri”, “’korban”, “pengurus rumah tangga”, penerima keputusan. Liana tidak berhenti mengeluh tentang keadaan kami yang serba tidak ideal. ... Saya gregetan dengan hubungan saya dan Liana yang tidak bergerak ke mana-mana dan saya marah dengan ketidakberesan manusia-manusia menangani urusan gereja yang menjadi tanggung jawab mereka. Liana ingin saya menjadi seperti suami lain yang seharusnya. Saya ingin karyawan kantor profesional dalam bekerja seperti saya. Ibid hal 162-163
Di perkumpulan itu saya mulai mengurus anak-anak kecil. Energi saya diserap habis oleh bocah-bocah yang gembira itu. Saya senang. Dan puas tentu saja. Sudah jelas wakuncar berkurang. Saya menyesal waktu saya untuknya sering berkurang. Saya menyesal waktu saya untuknya sering tidak cukup berkualitas. Dia banyak mengeluh, dan bagi saya itu sebuah kenormalan. Katanya saya tidak memperhatikan dirinya. Saya pikir, pernyataan itu benar. Saya memang tidak punya waktu untuknya. Tapi seandainya dia mau ikut saya ke perkumpulan itu, tentu kami akan punya waktu lebih banyak sambil mengurus anak-anak itu. Saya terus memikirkan cara bagaimana agar dia melihat seperti saya melihatnya. Ibid hal 16
Gaya pacaran zaman 80-an. Ciuman, petting. Saya gelisah memikirkan cara ini. ..... Bagaimana berciuman dengan bergelora karena itu akan membawa syawatmu ke arus nafsu yang dasyat? Tetapi, sebagai manusia belia dengan sifat darah cepat menggelegak, saya tergoda melakukannya. Ibid hal 17
Saya menyimpulkan sesuatu dalam pikirannya. Akhirnya untuk menenangkan suasana saya mengajaknya pergi ke luar. Ke satu tempat. Lupa ke mana. Tapi seingat saya setelah peristiwa itu, saya merasa lebih aneh. Saya sepertinya disadarkan bahwa saya baru saja berusaha menyelesaikan satu masalah dengan masalah lain. Menutup lubang yang kecil, melebarkannya dengan tidak sengaja karena ketidaktahuan yang besar. Ibid hal 20
Kami terlalu dekat malam itu. Tidak tahu apakah dia menyukai kejadian itu atau tidak. Tapi yang jelas, karena kejadian semalam, saya berpikir sederhana, setelah bertekad tepatnya, bahwa suatu saat saya pasti akan menikahinya. Ibid hal 20
Sementara itu dia tertinggal jauh di belakang seperti perahu mainan yang hanyut bersama deras sungai. Kenyataan yang tak terhindarkan. Dan bukan dengan sengaja. Saya menahan kecepatan saya dan berusaha mengikuti irama yang diinginkannya. Namun, tak ada energi yang tersisa yang mampu membuat saya cukup dimengerti oleh hasratnya. Ibid hal 21
Dia cemburu kepada kebebasan yang saya miliki di luar. .... Ibid hal 31
Dia cemburu. Dia marah. Dia tidak bisa percaya saya. Dan dia tidak perlu bukti untuk semua itu. Saya adalah stigma. Kebaikan apa pun yang saya lakukan buatnya, tidak terlalu lagi ada artinya. Saya merasa datar mendengar kata, “cerai” untuk pertana kali diucapkan mulutnya. Kata yang dulu adalah momok sekarang bahkan tidak mempunyai taring lagi. Ibid hal 31
Kerabatku sekalian, ada banyak hal yang bisa dipelajari dari kisah EMERITUS. Namun mustahil membahas semuanya dalam satu kali pertemuan. Kali ini kita hanya akan mempelajari salah satunya.
Kasmaran adalah perasaan WOW .... ketika bersama seseorang. Birahi adalah perasaan ingin bersebadan ketika melihat seseorang. Suka adalah prasangka baik atas seseorang. Ketiga perasaan itulah yang umumnya disebut cinta dan dijadikan alasan untuk berpacaran dengan seseorang. Akibat dari salah satu atau ketiga perasaan tersebutlah yang mendorong pernikahan.
Sang Emeritus sama sekali tidak kasmaran kepada Istrinya. Itu sebabnya nongkrong dengan anak-anak sekolah minggu jauh lebih mengasyikkan baginya dibandingkan dengan nongkrong dengan wanita malang itu. Suka alias prasangka baik atas seseorang. Itulah nampaknya yang menjadi alasan pertama Sang Emeritus mendekati wanita malang itu. Perempuan itu nampak baik untuk dipacari. Benarkah wanita itu baik untuk dipacari? Empat kali pacaran artinya perempuan itu benar-benar berpengalaman dalam hal berciuman dan bercumbu. Asik, coy! Birahi itu uenak tenan cing! Sang Emeritus tidak tahu bahwa empat kali pacaran juga berarti wanita itu adalah perempuan yang tidak mudah untuk dicintai. Empat orang sudah mencobanya dan gagal.
Seorang ksatria harus setia. Itulah yang mendorong Sang Emeritus mempertahankan gadisnya. Tuhan pasti buka jalan! Yang diperlukan hanya mengajari perempuan itu melihat seperti dia melihatnya. Itulah keyakinannya! Dan setelah mereka terlalu dekat malam itu? Tidak ada jalan mundur lagi. Tangan mencencang, bahu memikul. Tiang memancang, nikmat merangkul. Itu namanya tanggung jawab. Berani memancang namun tak mau merangkul namanya pengecut. Para pengecut akan dimurkai Tuhan. Belas kasihan dan keadilan dalam ketidaktahuan! Itulah alasan Sang Emeritus menikahi wanita malang itu.
Semua gereja, baik kharismatik, Pentakosta, Protestan maupun Katolik selalu mengadakan bina pranikah bagi jemaatnya yang akan menikah. Saya pernah mengikuti semua pembinaan tersebut dan menyimpulkan bahwa hal utama yang diajarkan dalam bina pranikah adalah KOMUNIKASI. Gereja percaya bahwa hal paling penting dalam pernikahan adalah komunikasi. Gereja yakin bahwa masalah utama dalam kehidupan suami istri adalah komunikasi. Dalam bahasa Sang Emeritus Komunikasi yang benar adalah:
“dia melihat seperti saya melihatnya”
Para pengkotbah getol sekali mengajarkan bahwa pasangan nikah adalah Ganda Campuran. Suami istri harus saling mendukung dan melengkapi. Itulah ganda campuran. Namun sayang, seribu sayang, para abang lalai mengabarkan: Namanya Ganda Campuran namun permainannya berbeda-beda. Ada bulutangkis, ada tenis meja, ada tenis lapangan juga ada voli pantai dan lain sebagainya. Masalahnya bukan KOMUNIKASI namun permainan yang dimainkan. Sang Emeritus main pingpong namun istrinya main voli pantai. Main pingpong bolanya kecil dan memukulnya giliran pakai bat. Voli pantai bolanya besar ketika diserang, bolanya diumpan. Keduanya memainkan permainan yang berbeda namun masing menyangka yang lain memainkan permainan mereka. Itu sebabnya semakin berkomunikasi mengajari yagn lain bermain, semakin parah keadaannya.
Sejak PACARAN sudah nampak gamblang bahwa permainan Sang Emeritus berbeda dengan permainan wanita malang itu. Sang Emeritus mencari cara mengajak wanita malang itu ikut main dalam permainannya sampai putus. Itu sebabnya dia lalu memutuskan. Elu main sendiri dan gua main sendiri. Kalau elu nggak mau dukung gua, nggak apa-apa. Namun, tolong, jangan ganggu permainan gua apalagi menjegal gua. Sang Emeritus marah bukan kepalang karena menyangka wanita malang itu berusaha menjegalnya padahal yang terjadi hanya: Wanita malang itu memaksa Sang Emeritus memainkan permainannya karena menurutnya, itulah tanggung jawab seorang suami. Engkau berusaha membahagiakan orang lain namun membiarkan istrimu menderita? Engkau dipuji-puji karena membahagiakan orang lain namun mengaku tak mampu membahagiakan istrimu? Engkau bukan tidak mampu namun engkau tidak mau.
The way to be happy is to MAKE some one happy! Bukankah itu yang elu ajarin dari mimbar? Bukankah elu bilang itulah yang dilakukan Yesus kepada manusia? Bukankah itu yang elu lakukan? Elu berusaha mati-matian membahagiakan orang lain namun tidak mau membahagiakan istri sendiri padahal gua sudah beritahu caranya mudah sekali?
Elu bilang gua cemburu dan marah? Gua hanya minta hak gua, tahu? Elu menikahi gua untuk membahagiakan gua, bukan? Mana janjimu? Elu pikir gua pompa yang bisa dipompa seenak jidatnya lalu disimpen di pojok kamar? Elu pikir gua apaan? Dicolek lalu dicolok setelah itu elu ngorok? Merayu dan mencumbu lalu memacu setelah orgasme elu mecucu? Gua ini bini lu, tahu. Hanya gua dan Tuhan yang tahu apa yang gua rasakan melihat elu ngorok di lantai. Tuhan ampunilah dia karena dia tahu apa yang dilakukannya.
Harusnya kita bikin KUE paling enak di dunia. Namun KUE orgasme DEWEK.
NB.
KUE paling Enak di dunia adalah KUE ORAK ORGASME DEWEK
Jakarta 25 November 2011
Newsium Cafee – Jl. Veteran No. 26 - Jakarta
Bedah buku:
EMERITUS – Memoar Seorang Pendeta
ITA SIREGAR (untuk berinteraksi, klik saja namanya)
INSPIRASI – BPK Gunung Mulia 2011
BENTANG KOMUNIKASI
Selamat lahir
membentang komunikasi
komunikasi dibentang
25 November 2011
CATATAN:
Baca bukunya dulu nanti kita mengulitinya helai demi helai seperti menguliti bawang bombai dalam: Bengcu Menggugat Karena Sang Emeritus Pendeta atau Penjahat?
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
- hai hai's blog
- Login to post comments
- 4328 reads
tekad
Kami terlalu dekat malam itu. Tidak tahu apakah dia menyukai kejadian itu atau tidak. Tapi yang jelas, karena kejadian semalam, saya berpikir sederhana, setelah bertekad tepatnya, bahwa suatu saat saya pasti akan menikahinya. Ibid hal 20
Banyak pria mengalami celaka karena berkomitmen pada konsep, yang pada mulanya terdengar keren (misalnya, "cewek yang aku ML-i pertama musti aku nikahi", atau "dagangan pertamaku musti kupertahankan sampai kapanpun"), tapi di kemudian hari disadarinya ternyata ide tersebut norak sekali.
*keburu malam, jadi besok saja ke toko bukunya*
@Yohanes Paulus, Tangan Mencencang
Selaput dara alias selaput perawan itu hanya ada SATU. Sekali diterobos nggak ada lagi serepnya. itu sebabnya HANYA bisa dijual satu kali kepada satu orang.
Sejak kecil lelaki dan wanita diajari bahwa yang tidak perawan lagi namun nggak punya suami namanya JALANG. itu sebabnya ketika ketika bertemu dengan yang tidak perawan lagi lelaki merasa tertipu oleh JALANG. Dan wanita yang tidak perawan lagi merasa HARGA dirinya setinggi JALANG.
Orang-orang Kristen diajari untuk SETIA. PUTUS pacaran dianggap sebagai wujud KETIDAK SETIAAN.
Banyak orang yang menikah TANPA alasan yang tepat. Banyak lelaki yang MENIKAH hanya karena ALASAN sex belaka. Banyak wanita yang menikah hanya karena ALASAN tidak ada ROTAN, akar pun JADI.
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
@Hai Hai: Emeritus
<p>Saya tidak menemukan alasan mengapa mereka memustuskan menikahdalam arti: menikahi yang ini dan bukan menikahi yang lain. Barangkali karena sudah pacaran, jika tidak putus, berarti langkah berikutnya adalah menikah.</p><p>Amerika lebih dulu mengalami euforia lahir baru dan rupanya di sana sudah banyak tersedia terapi penawar efek samping persekutuan rumahan. Saya tidak heran bahwa Sang Emeritus kemudian musti berobat ke Amerika, karena ia terkena penyakit yg bersumber dari sana.</p><p>Oleh seorang konselor Amerika, penyakit yang dialami Sang Emeritus ini disebut "Sindrom berjalan di air". Penderitanya kelelahan karena terus-menerus harus menjadi orang baik. Ia tidak bisa berhenti. Jika berhenti maka ia kecemplung masuk ke air. Seperti bebek yang tampak tenang, namun di bawah air kakinya susah payah mengayun.</p><p>Sukarno pada masa mudanya juga tahu soal ini dan menyebutnya "menunggangi singa Revolusi," berhenti berarti mati dimangsa, tapi jika tidak berhenti akan jadi gila. Sukarno beristri banyak, dan ia juga membangun istana peristirahatan di Bogor dan di Bali. Muhammad juga hijrah ke Madinah untuk sementara, supaya tidak jadi gila berurusan dengan orang Mekkah. Tahun 2000an aktivis mahasiswa 1998 diberi beasiswa ke luar negeri. Sebagian setengah dipaksa, supaya mereka mau lulus, supaya meninggalkan pergerakan dan "supaya elu ga jadi gila" kata para alumni.</p><p>Ikan cupang aduan yang kalah bertarung musti dikawinkan dulu, baru kemudian ia berani diadu lagi. Entah bagaimana dengan manusia yang perkawinannya gagal. Apa musti ikut perang dulu, baru kemudian berani menghadapi perkawinan lagi?</p><p> </p>
wah
wah