Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Too Young, Too Soon.. : A Tribute to Marco Simoncelli (1987-2011)
"...Rejoice, O young man, in thy youth; and let thy heart cheer thee in the days of thy youth...." (Ecc 11:9)
As usual, selalu kuluangkan waktu untuk menonton tayangan MotoGP di hari Minggu kelabu nan basah kemarin. Hanya karena suatu urusan bersama my bojo, aku tidak sempat menyaksikan sesi pembukaannya. Segera setelah pulang ke rumah, kunyalakan TV, kusiapkan green tea favoritku, dan duduk manis di depan layar kaca. Sebentar. Ada yang lain dari biasanya. Lintasan di sirkuit Sepang tampak sepi. Dari komentar pembawa acaranya, ada sesuatu yang menyebabkan balapan dibatalkan. Mestilah ini ada kejadian yang tidak lazim, seperti bencana alam, kecelakaan, dan sejenisnya. Segera kuhidupkan komputer dan mengoneksikan sambungan internet Telko*flashku yang seperti hari-hari biasa, kadang nyambung kadang tidak.
Simoncelli is in critical stage at the moment, begitu kira-kira info yang kudapatkan saat itu. Kaget. Apa yang terjadi sebenarnya? Dalam sejuta kebingungan atas apa terjadi pada pebalap yang berjuluk "Super Sic" tersebut, mendadak hasil Google search nyangkut di sebuah website yang menyatakan bahwa Simoncelli succumbed to his fatal injuries. Serasa tidak percaya membacanya. Belum lama pebalap Indycar Dan Wheldon juga menghembuskan nafas terakhirnya di arena balap. Benarkah begitu? Apa ini hanya spekulasi iseng jurnalis semata?
Sejenak anganku melayang ke profil pebalap nyentrik berambut kribo yang satu ini. Ya. Marco Simoncelli. Mantan juara dunia GP 250 bersama tim Gilera Italia. Tidak banyak yang kuketahui tentangnya. I have always had great times watching motor racing, ever since I was in High School. Berpacu di atas kendaraan roda dua (yang tidak stabil), bobot cuma seratusan kilo lebih sedikit, namun bertenaga lebih dari sebuah truk besar (>200 HP) dan berkecepatan nyaris sebuah pesawat jet yang akan tinggal landas, sangat menggoda keingintahuanku. Jelas bukan orang-orang biasa yang bisa mengendarai kendaraan sedahsyat itu. Tapi karena cuma sambil lalu, dan tidak punya nyali untuk melebihi 80 km/h, yang kuketahui tentang dunia balap hanya setengah-setengah saja.
Namun bertahun-tahun sejak era Wayne Rainey-Michael Doohan-Kevin Schwantz, minatku menonton balapan roda dua ini agak menurun. Baru "pulih" kembali mulai dari muculnya Valentino Rossi, yang dengan kepiawaiannya (atau kelicikannya?) sanggup menyulap tontonan GP Racing dari yang monoton dan menyebalkan menjadi bergairah kembali. Tapi sekarang do'i sudah "tua", atau lebih tepatnya, sudah matang usianya. Di usia mantap seperti itu, orang biasanya jarang mau nekat-nekatan lagi di lintasan balap. Balapan motor kelas dunia sedikit kehilangan tajinya lagi, sampai Marco Simoncelli bergabung di kelas puncak, MotoGP. Young Rossi, begitu kata banyak orang. Tidak ragu, tidak segan, untuk bersaing dengan pebalap-pebalap tim lain yang memiliki motor yang superior. Bakatnya ini sudah tampak sejak di kelas 250cc. Saking ganasnya di lintasan, sering Simoncelli mendapat kecaman dari rekan-rekannya sesama pebalap, termasuk dari Rossi sendiri, yang merupakan sohib kentalnya. Tidak heran, jika do'i kemudian digadang-gadang sebagai calon juara dunia legendaris MotoGP berikutnya.
Tapi kemarin sore impian berjuta orang itu pupus sudah. Kepergiannya untuk selama-lamanya sudah resmi dikonfirmasi, hanya berselang kira-kira setengah jam dari kecelakaan fatal tersebut. Berawal dari terpelesetnya Super Sic di sebuah tikungan, terjatuh, dan kemudian tanpa bisa dihindari lagi tersambar dari belakang oleh Colin Edwards dan Valentino Rossi (sampai helmnya terlepas), membuatnya hampir seketika itu juga tewas. Luka fatal di kepala, leher, dan dada, itulah yang membuatnya nyawanya tak terselamatkan lagi oleh tim medis. Trenyuh. Trenyuh benar menyaksikan tayangan gerak lambat videonya. Apalagi saat melihat Edwards yang cuma bisa terpaku di pinggir lintasan, dan Rossi yang tampak seperti kebingungan, memperlambat laju motornya, dan sempat melirik ke belakang, ke arah tubuh Simoncelli yang sudah tak bergerak lagi di atas aspal Sepang. Ya. Meski dalam kecepatan tinggi dan tempo yang cuma sekejap mata, dimana indera sukar untuk menelaah apa yang sedang terjadi, agaknya mereka paham kemungkinan terburuk yang menimpa Simoncelli. Antara bingung, sedih, tidak tahu harus berbuat apa, begitu kira-kira yang berkecamuk di dalam benak Edwards dan Rossi saat itu.
Beribu, atau bahkan berjuta, ucapan belasungkawa mengalir di dunia maya atas kepulangan Simoncelli. Terharu menyimak semuanya itu, meski banyak yang tidak mengenalnya langsung, including myself. Apalagi di tengah-tengah dunia yang semakin miskin kasih ini. Bukan hanya karena talentanya Simoncelli disanjung. Tapi juga kepribadiannya. Yep. Kepribadian ramah dan sportif, yang tidak banyak dimiliki oleh pebalap kelas dunia. Hangat terhadap fans dan jurnalis, senang atas pencapaian pebalap lain (teringat bagaimana ia menyambut Rossi di lintasan saat Rossi juara dunia untuk yang kali terakhir), dan bahkan mau menyalami seteru yang paling pahit sekalipun (pernah sodoran tangannya ditolak oleh Dani Pedrossa).
Arrivederci, Marco Simoncelli... Your talent, bravery dan warm personality will be in our hearts forever.. God speed, beloved friend, God speed....
(foto dari: http://calcio.fanpage.it)
(...shema'an qoli, adonai...)
- ebed_adonai's blog
- Login to post comments
- 6177 reads
merasa kehilangan
saya fans stoner, tapi ikutan sedih dan merasa kehilangan juga, bro...
@SAMMY SIGA: Speechless..
Sama bro.. Speechless.. Kayak mimpi.. Di rumah cewek2 meski nggak doyan amat nonton balapan ikutan merasa kehilangan juga (mereka tahunya si Kribo-yang-mirip-Giring-Nidji). Semua kepulangan, entah pebalap, tukang becak, pengemis, siapapun, mestilah meninggalkan bekas yang mendalam...
Happy Sunday all..
(...shema'an qoli, adonai...)
Risi cara belasungkawanya bed..
Pas minggu2 lalu rame bicara soal ini, aku sempet risi lho dengernya.. karena yang dibicarakan adalah "cara matinya" atau kronologis kejadiannya... hmmmm..
Sampe suatu kali saat temanku saling bercerita ngomongin ini, aku bilang, "udahlah ga usah ngomong itu lagi atau aku pergi menyingkir... ga enak kupingku dengernya. serem..."
Entah, aku sendiri heran karena jadi ga seneng bicarain hal kayak gitu sekarang...
pas baca tulisan ebed, yaaaa.. ga ikut belasungkawa.. karena terang2an sodara bukan, fans bukan, bahkan tahu aja baru sekarang...
:P
@iik j: Ho'oh mbak Ik...
It's ok mbak Ik... Daku sendiri juga agak lama merenungnya sebelum memosting blog ini. Makanya saya sangat memilih kata-kata yang tepat. Saya juga nggak mau mosting gambar kejadian atau yang sejenis. Kalau di website luar negeri (memang budayanya agak beda ya?) lebih terang-terangan lagi apa adanya sampai detail. Fokusku cuma satu, ada kehilangan, di saat yang sangat tragis pula (masih muda, friendly, potensial), dan tentulah ada air mata yang mengiringi....
(...shema'an qoli, adonai...)