Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Menggembala 5 domba tapi sehat semua VS menggembala 1000 domba tapi penyakitan
Seorang pendeta Korea berkata:"Lebih baik menggembala 1 jemaat tapi masuk sorga, daripada menggembala 1000 jemaat tapi semua masuk neraka" katanya bersemangat. Aku tercenung, :"benar juga, " kataku dalam hati.
Ada kemungkinan seorang pendeta terobsesi memiliki 1000 jemaat atau mungkin 100 ribu jemaat. Ya, mungkin obsesi ini ngak dosa. Tapi masalahnya, mampukah dia melakukan tugas penggembalaan sebanyak itu dengan baik? Kalau tidak, apalagi kalau dia sendiri menjadi batu sandungan, lantaran tidak dapat menjadi contoh yang baik, bukankah ia hanya akan mengacau jemaat Tuhan? Karena soal menggembala tak sekedar berkotbah dan mengajar, tapi juga soal keteladanan, soal kepedulian, soal apalagi: perlindungan, pertolongan, soal mengobati, soal menyembuhkan, soal memotivasi dan lain sebagainya.
Lebih parah lagi kalau seorang pendeta melihat jumlah jemaat sebagai aset untuk menghimpun duit , sehingga kalau jemaat banyak berarti persembahan melimpah dst. Tentu ini merupakan tujuan yang keliru besar.
Yesus melakukan pemuridan kepada ke 12 orang murid pilihan-Nya, walau satu diantaranya seperti telur busuk yang gak menetas (Yudas Iskariot). PEMURIDAN. Inilah metode yang lebih menarik untuk bagaimana seseorang menggembalakan lainnya.
Jika seorang Kristen sudah terbentuk secara benar, sudah dewasa rohani, kemudian dia memuridkan (menggembala) misalnya 4 orang saja dulu, lalu ke-4 muridnya terbentuk menjadi dewasa rohani "setara" gurunya atau lebih, dan masing2 menggembala 4 orang lagi, maka di level ini sudah ada 21 orang dewasa rohani. Jika pemuridan terus berlanjut, didapat 85 orang dewasa rohani. Ini kalau dengan asumsi bahwa satu orang hanya memuridkan 4 orang saja (masih masuk akal).
Jadi, bukan soal jumlah jemaat (murid) yang penting, namun mutu jemaat yang dapat diawasi, dibina, ditolong, dibimbing dengan baik.
Aku yakin, bahwa jika - seandainya - seseorang hanya dipercaya menggembala satu orang saja (misal seorang suami yang menggembala satu istrinya saja) tapi berhasil "membawa istrinya ke sorga" , maka dia dianggap sudah bekerja dengan baik.
Tapi aku tidak yakin, jika seorang pendeta "besar" dengan jemaat puluhan ribu, tapi semuanya masuk neraka, maka pendeta itu boleh masuk sorga. Sebab tentu ada sesuatu yang salah sehingga semua jemaat yang dalam asuhannya , semuanya masuk neraka, kecuali kalau semua jemaatnya memang "ditentukan Allah untuk dihukum", he he,.. tapi ini paling hanya alasan untuk membenarkan diri.
Jadi, Jika Anda hanya diberi kepercayaan menggembala SATU ORANG saja, menurutku, Anda tak perlu cemas, yang penting curahkan kepedulian Anda dengan baik kepada "domba" yang dipercayakan Allah kepada Anda. Namun aku juga yakin, jika Anda sungguh2, Tuhan akan tambahkan jumlah "domba" untuk Anda gembalakan, karena :"Siapa yang dapat dipercaya dengan perkara yang kecil, maka kepadanya akan dipercayakan tanggung jawab yang lebih besar".
Salam.
- mujizat's blog
- Login to post comments
- 3892 reads
@muji: Kok, kok ....
"....... menggembala 1000 domba tapi penyakitan ...."
Kok rasanya ada yang kurang pas dengan kalimat itu ya om muji? Yaa, ekspektasi nggak salah sih. Semua juga ingin buah pekerjaannya berhasil baik, sukses.. Lebih baik sedikit tapi maksi, begitu kan?
Permisi kucoba pake analogi lain ya? Sekedar memandang dari perspektif lain. Ada seorang guru SD yang berkata: "Lebih baik mengajar 1 murid tapi tamat SD, daripada mengajar 10 murid tapi semua gagal UN.." Renunganku:
"Jika seorang Kristen sudah terbentuk secara benar, sudah dewasa rohani, kemudian dia memuridkan (menggembala) misalnya 4 orang saja dulu, lalu ke-4 muridnya terbentuk menjadi dewasa rohani "setara" gurunya atau lebih, dan masing2 menggembala 4 orang lagi, maka di level ini sudah ada 21 orang dewasa rohani. Jika pemuridan terus berlanjut, didapat 85 orang dewasa rohani..."
Kok berkesan senior-junior/hirarkhi banget ya om? Baiklah, ini mungkin saya pribadi yang agak sombong atau bagaimana gitu ya? Saya senang belajar dari siapapun, termasuk yang lebih muda dari saya. Youngsters rule. Saya tidak malu mengakui itu. Saya juga menaruh hormat terhadap orang-orang yang sudah mengajari saya selama ini, termasuk kekasih-kekasih di SS. Tapi kalau penekanannya formil banget pada pola guru (rohani)-murid (rohani) rasa-rasanya hubungan kesetaraan itu jadi menciut ya?
Sori kalau ini bernuansa subjektif sedikit. Anggaplah sekedar renungan ringan bersama saja. Belum lama ini saya berkenalan dengan seseorang yang mengaku sebagai pelayan Tuhan di sebuah gereja di Magelang. Kata anak muda sekarang, orangnya resek banget. Hampir dalam setiap interaksi kami, yang mencuat selalu nasehat-nasehatnya untuk keluargaku. Semua diprotesnya. Ijazah sarjana teologia yang katanya tidak ada artinyalah untuk pelayanan (dia memang tidak sekolah teologia), mami saya yang katanya kurang pantaslah di usia senja masih suka dandan, yang istriku belum diberkati Tuhanlah sehingga hidupnya alakadarnya, de el el. Bukannya kami ini keluarga yang tidak punya dosa & kekurangan. Tapi mendengar celotehnya itu sudah seperti keluarga hina betul kami ini. Padahal belakangan kuketahui kalau hidupnya sendiri banyak mengandalkan belas-kasihan orang, suka cerita bohong tentang orang lain yang tidak disukainya, & keluarganya juga lumayan kacau-balau, meski dia aktivis gereja. Sekali, karena nggak tahan juga kusentil dianya, kubilang kalau apakah dirinya sendiri juga nggak butuh masukan dari orang lain? Mimiknya langsung agak sewot, katanya apa kita harus saling take and give begitu? Kujawab kalau memang begitu adanya, apa salahnya? No one's perfect toh? Habis itu hubungan kami merenggang. Mungkin karena menganggap dirnya seorang guru rohani, dia menganggap dirinya di atas semua seorang, dan saya termasuk salah satu anak rohaninya yang harus "diangon" olehnya setiap saat dalam setiap hal...
Met hari Minggu all...
(...shema'an qoli, adonai...)
@ebed_adonai
Shalom.
Aku belajar dikit hebrew tiba2 tersenyum, jd nyadar kalau adonai dlm hebrew bermakna tertentu, kadang dipakai menggantikan nama Allah. Bagaimana kalau Muji_Adonai, ha haa,... just kidding bro,..
Stressing nya barangkali memang soal quality penggembalaan yang jika konsekwen sungguh tidak ringan, krn bisa berarti "sepenuh waktu", holistic ministry dlsb.
Menurut saya, ungkapan pdt Korea itu untuk menyorot mrk yg terobsesi dpt jemaat banyak doang, tapi ngak mikirin keseriusan dlm hal penggembalaan.
Dapat domba banyak, puji Tuhan, ASALKAN dilandasi sebuah rasa tanggungjawab untuk "membina" semuanya menjadi org2 yg dipersiapkan sbgai mempelai wanita Kristus, dan jangan sekali-kali melihatnya sebagai aset keuangan, TAPI, jika pun hanya dipercayai sedikit "domba" agar tak perlu lah berkecil hati, tapi justru sbg latihan menggembala dgn tanggung jawab. kurasa begitu bung Ebed,..
Mengenai "dewasa rohani" sebenarnya memang hanya Tuhan yang tau secara tepat apakah seseorang memang telah dewasa secara rohani. Tapi dalam contoh bang adonai ttg seorang "pembimbing rohani" keluarga bang ebed, diriku sudah bisa menilai bhw dia sptnya ngak masuk level dewasa rohani.
Namun kita bisa meraba-raba, mengira-ira, membanding-bandingkan ayat2 alkitab plus mungkin hati nurani, atau juga dgn analogi dewasa jasmani itu seperti apa lalu,.. dst...
Kalau hanya memerintah, seorang bocah juga bisa,
kalau soal mengkoreksi, seorang anak kecil juga kadang bisa,
Tapi, seorang dewasa bisa bekerja, menjadi contoh, teladan, membantu, menolong, dst.
Ah, dalam hal ini bung Ebed lebih paham dari saya, he hee,..
Salam
Tani Desa
@muji: hehe..
Hehe, nick itu sebetulnya dulu terinspirasi dari Yesaya om muji. Mungkin agak "berat" ya? Dulu pernah ada kawan yang nanyain apa artinya, dan dia agak bengong juga waktu saia kasih tau artinya. Tapi kujelaskan juga kalau nick itu sekedar patron, model ideal, untuk hidup saya, yang memang masih sangat jauh dari makna nick itu sendiri. Ya, kuanggap saja sebagai reminder, kalau suatu saat saya mau nakal atau yang sejenisnya...
Itulah masalahnya om muji. Makanya saya sebih senang dengan istilah berbagi, atau sharing, supaya tidak berkesan meninggikan diri di atas orang lain, walau mungkin niatnya tidak seperti itu. Kita tidak pernah tahu, apakah orang yang kita ceramahi memang level kedewasaan rohaninya lebih rendah atau tidak. Bahkan seorang pelacurpun. Kalau kita ditempatkan dalam posisi yang sama dengan pelacur itu misalnya (segala peristiwa hidupnya yang memaksanya untuk menjadi seorang pelacur), dan kita sanggup untuk memilih tidak melacur, mungkin masih pantas (walau saya sangat tidak senang dengan cara seperti ini) kalau kita menempatkan diri sebagai yang di atas.
Mohon maaf sebelumnya, satu saran saya terhadap kawan-kawan kharismatik (tolong ini jangan disalah tanggapi, karena saya tidak anti gerakan kharismatik; semua teman-teman Kristenku yang berbeda ideologi kuanggap sebagai teman2 seiman yang berbeda penafsiran saja), cobalah untuk bersikap humble sedikit. Hal inilah yang saya tangkap dari kalimat pendeta Korea di atas om muji, meski seperti yang om muji bilang, niatnya cuma untuk menegur sesama rekan pelayanannya. Tolonglah jangan bersikap layaknya seseorang yang baru saja masuk ke ruang tamu orang lain, lalu seenaknya menunjuk kala meja ini salah posisi, kursi sebaiknya di tempat lain, gorden tidak matching warnanya, dst. Seberdosa-berdosanya seseorang, mereka tetaplah manusia. Punya perasaan. Gusti Yesus pun sering mencontohkan hal ini dalam Alkitab. Sayangnya tidak banyak orang-orang yang touched by The Spirit yang kulihat berlaku seperti itu.
Om muji tahu apa yang paling bikin sedih hati istri saya dari semua omongan temen kharismatik kami itu? Soal kehidupan kami di Magelang ini. My bojo jadi guru honor yang kadang nggak dibayar, saya nyari hidup alakadarnya dari acara mantenan/sekolahan sana sini, semua gara-gara pernikahan kami belum diberkati (memangnya kita kawin lari apa?). Saya juga dibilang bawa musibah ke keluarga istri saya (keluarga bojo rata-rata jadi polisi, baru kami inilah yang menyimpang sendiri). Gimana lagi kalau dia tahu kita ada bisnis hiburan malam juga? Mau dibilang nggak beriman lagi? Ada-ada saja...
(...shema'an qoli, adonai...)
Obsesi dan Sungguh2
Ada kemungkinan seorang pendeta terobsesi memiliki 1000 jemaat atau mungkin 100 ribu jemaat.
jika Anda sungguh2, Tuhan akan tambahkan jumlah "domba" untuk Anda gembalakan, karena :"Siapa yang dapat dipercaya dengan perkara yang kecil, maka kepadanya akan dipercayakan tanggung jawab yang lebih besar".
Bukankah para hamba Tuhan yg memiliki ribuan jemaat tsb juga dimulai dari jumlah yg sedikit?(perkara yg kecil seperti yg anda katakan), lalu menjadi banyak jemaatnya karena mereka SUNGGUH2 dipakai Tuhan sebagai alat untuk menyampaikan kebenaran firman Tuhan. Nah…Kalau tujuan si pendeta tsb hanya terobsesi untuk memiliki ribuan jemaat, apakah Tuhan akan memberkatinya ?
mungkin obsesi ini ngak dosa. Tapi masalahnya, mampukah dia melakukan tugas penggembalaan sebanyak itu dengan baik? Kalau tidak, apalagi kalau dia sendiri menjadi batu sandungan, lantaran tidak dapat menjadi contoh yang baik,
Kalau Tuhan MEMANG mempercayakan tugas pengembalaan kepada pendeta tsb, why not ?.Tetapi memang tidak tertutup kemungkinan banyak pendeta “kesandung” atau tidak bisa memberikan contoh yg baik kepada jemaatnya.
Seorang pendeta Korea berkata:"Lebih baik menggembala 1 jemaat tapi masuk sorga, daripada menggembala 1000 jemaat tapi semua masuk neraka"
Menurut pendapatku masuk sorga atau nerakanya seseorang bukan ditentukan dari cara pendeta menggembalakan jemaatnya. Mungkin hamba Tuhan itu sudah berbicara sekeras mungkin menyampaikan Firman Tuhan yg murni. Tapi kalau kita tidak memiliki RESPON terhadap panggilanNYA, ya sia2 adanya.. Menurut Bang Muji sendiri gimana ?
Salam
Huanan