Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Kelayapan ke Kopi Klotok
Mengapa disebut kopi Klotok? Itu yang membuat kami penasaran saat pulang dari Semarang menuju Yogya. Saya bersama dengan mas Agus dan mbak Tina. Pada awalnya tidak ada rencana untuk mampir, tapi iklan yang tertempel di pinggir jalan itu efektif menggoda kami. "5 Km lagi Kopi Klotok. Ada juga jangan kluwih." Demikian bunyi iklan yang tertancap di pohon pinggir jalan.
Pukul lima sore kami merapat ke warung Klotok yang berada di sebelah Barat jalan antara Magelang-Semarang. Setidaknya sudah ada empat mobil yang terparkir. Bangunan warungnya berarsitektur Jawa di lereng tanah yang lebih tinggi. Di halaman rumah tersedia kursi-kursi dan meja kayu. Kami memilih masuk ke dalam bangunan. Di pintu masuk, kami disambut pajangan benda-benda kuno seperti setrika arang, gerabah dan penggiling daging. Tampaknya benda-benda ini untuk memperkuat aksentuasi tradisional.
Kami memilih meja dan kursi kayu yang kosong. Di atas meja kayu itu terpajang dua toples dari tanah liat, lampu minyak, kaleng kerupuk dan cerek kuningan. Karena penasaran, kami membuka tutup toples tanah liat. Ternyata isinya hanya abu rokok. Kami lalu memeriksa cerek kuningan, ternyata hampa. Lalu iseng-iseng, saya minta pada pelayan untuk menyalakan lampu minyak. "Biar kelihatan romantis," kata saya. Tapi ternyata lampu itu pun hanya sebagai hiasan saja.
Ya sudahlah. Kami berkonsentrasi untuk memesan makanan. Tentu saja saya memesan Kopi Klotok, sebagai menu unggulan warung itu. Dalam hati kecil, sebenarnya saya ragu-ragu dengan pilihan itu karena lambung saya cenderung perih jika bersentuhan dengan kopi. Selain itu, saya juga tidak nyaman dengan deg-degan yang merupakan efek kafein. Tapi apa boleh buat. Buat apa mampir ke warung Kopi Klotok kalau tidak memesan kopi?
Saya melirik harganya. Satu gelas dibanderol Rp. 5 ribu. Secangkir besar teh tubruk juga dihargai dengan harga sama. Sementara teh tawar dilabeli harga Rp. 1 ribu. Sebagai pendamping minuman, kami memesan camilan pisang goreng dan tahu bakso. Pelayan menawarkan menu a la carte alias prasmanan ala desa. Dengan cukup membayar Rp. 8,5 ribu, pengunjung bisa mengambil nasi putih atau sego megono dengan lauk dan sayur ala desa. Ada sayur lombok, sayur terong dan sayur kluwih. Lauk yang tersedia adalah tahu bacem, ayam bacem dan telur dadar. Pembeli boleh ambil suka-suka. Kalau sudah makan satu porsi belum kenyang, maka pembeli boleh ambil lagi.
Oh, ya tadi saya menyebut sego megono. Apa sih itu? Sego megono adalah nasi putih yang dicampur dengan sayur-sayuran dan ikan asin. Dimasak menjadi satu. Jika Anda pernah memakan nasi bakar, maka kira-kira seperti itulah rasanya. Ada dua versi asal-usul sego megono ini.
Versi pertama lebih berbau cerita rakyat. Pada masa lampau, hiduplah seorang janda yang miskin. Orang Jawa sering menamainya sebagai mbok Rondho Dadapan (ibu janda dari desa Dadapan). Suatu hari, mbok Rondho ini sedang menanak nasi. Sambil menunggu nasi masak, dia meletakkan sayuran dan bothok ikan asin di atas nasi. Tiba-tiba datang angin topan yang menghempas rumah mbok Rondho sampai ambruk. Mbok Rondho selamat tapi atap rumah itu menimpa sayur dan ikan asin sehingga tercampur pada nasi.
Warga desa yang melihat kemalangan mbok Rondho itu tergerak untuk bergotong-royong memperbaiki rumah janda ini. Sebagaimana kebiasaan warga desa, jika ada gotong royong, maka tuan rumah menyediakan makan. Saat itu mbok Rondho sudah tidak memiliki persediaan pangan lagi. Satu-satunya makanan yang tersisa adalah nasi campur tadi. "MerGO oNOne mung iki, yo wis iki wae sing dipangan," kata mbok Rondho (Karena adanya hanya ini, maka ini saja yang dimakan). Maka sampai sekarang disebut sego megono.
Versi kedua berasal dari kisah perjuangan republik. Suatu kali para gerilyawan kelaparan dan meminta makanan pada warga desa. Karena situasinya darurat, maka kepala desa menyuruh warga desa untuk memasak nasi putih, sayur dan ikan asin dalam satu wadah. Dengan begitu para gerilyawan bisa menyantap makanan dengan cepat. Nasi campur ini berwarna putih kemerah-merahan dengan tambahan warna hitam dan hijau di beberapa tempat. Secara warna ini mirip awan di langit. Orang Jawa menyebutnya "mego ing gegono."
Setelah kenyang makan, pelayan menghidangkan kopi klotok dengan wadah gelas belimbing ukuran 200 cc. Warnanya hitam pekat dengan ampas mengendap. Asap berkepul-kepul menggelitik syaraf hidung dengan aroma wangi. Sejenak saya ragu sebelum mencidukkan sendok ke cairan hitam manis itu. Kuatkah lambungku? Ah kutepis keraguan saya karena kuatnya rasa penasaran. Rasanya pahit mantap, disertai rasa manis gula pasir.
Apa keistimewaan "kopi Klotok"? Cara memasaknya. Kalau biasanya kita menyeduh bubuk kopi dengan air panas, maka kopi klotok dibuat dengan cara direbus.
Simak tulisan selengkapnya di sini.
------------
Communicating good news in good ways
- Purnawan Kristanto's blog
- Login to post comments
- 5436 reads
refleksi dan esensi
wah, tulisan Om Pur mengingatkan pada local genius orang Indonesia. Dalam setiap nama makanan ada sejarah dan filosofinya. Sesungguhnya bangsa kita dalah bangsa yang maju. :D
Allah itu kasih
Koleksi Foto Sepur Saia
Indonesia itu kaya dengan
Indonesia itu kaya dengan kuliner, tapi anehnya orang-orang kota malah menggemari makanan sampah impor ala fried chicken dan burger
------------
Communicating good news in good ways
produk globalisasi
itulah produk globalisasi dan kebanggaan pada produk asing. Sayangnya, hal ini dicontohkan oleh beberapa oknum pejabat tinggi negara.
Kebanggan semu akan produk asing tersebut rupanya berawal dari cuci otak media setiap hari
Allah itu kasih
Koleksi Foto Sepur Saia
Cerita makanan
Orang Indonesia itu kreatif sehingga makanan punya asal-usul sendiri yang mencerminkan tidak hanya makanan tapi juga filosofi Indonesia yang kaya, seperti kata mikael1067 :) Dari cerita ini, ketika saya membayangkan sego megono, saya membayangkan orang indonesia yang suka tolong menolong....
Ah, kalo fried chicken sih saya juga suka, tapi nggak sering-sering :) Kalo fried chicken, entah kenapa saya kok kebayang kapitalis heheheh...
@PK: Itu....
Itu gambar wanita dalam background foto di atas kalimat "pelayan menghidangkan kopi klotok" pelayan yang menyajikan kopinya ya mas?
Just being curious...
(...shema'an qoli, adonai...)
Ha..ha..ha.. masa' mantan
Ha..ha..ha.. masa' mantan pemimpin redaksi Renungan Harian mirip pelayan warung sih
------------
Communicating good news in good ways
@PK: Justru itu....
Hehehe, soale fotonya tepat di atas tulisan sang pelayan menyajikan kopinya mas, kirain deh... Dan justru di situlah saya jadi agak curiga, kok waitressnya cantik gitu sih... Sempet mau tak organisir konco-konco fotografer Mgl dolan hunting ke sana...
(...shema'an qoli, adonai...)
tulisan semarang jogja..? hallah pak pur!
tulisan semarang - jogja? hallah pak pur tuh... ga mampir ketemu kita-kita yang semarang aja pake nulis2 perjalanan semarang jogja!
ga seru kalo ga ketemu keanehan orang2 semarang... hi hi hi hi..
Mbak Iik, Kamis kemarin itu
Mbak Iik, Kamis kemarin itu sebenarnya sudah direncanakan untuk mampir ke Gombel, tapi terjadi sesuatu yang di luar dugaan. Pukul 13, kami masih di GKI Beringin ketika tiba-tiba teman saya mengalami kesakitan luarbiasa di punggung bagian bawah. Saat itu kami tidak punya minyak urapan. Yang ada hanya counterpain. Setelah dioles counterpain dan minum obat pereda nyeri, teman saya ini masih meringis menahan sakit. Kami memutuskan membatalkan sisa agenda hari itu dan pulang ke Jogja.
Begitulah alasannya kami batal menemui para fans di Semarang
Lain kali, saya akan adakan acara khusus untuk itu karena saya ingin minta tolong teman-teman di Semarang.
------------
Communicating good news in good ways