Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Tiga Penginjil
Sang penginjil wanita muda itu berbicara dengan semangat di depan jemaat. Galatia 3 dikupasnya namun pesannya terasa jauh. Pahlawan iman yang diangkatnya adalah Mbah Maridjan, pengkhotbah yang ia perkenalkan adalah seorang rekan Billy Graham yang pada akhirnya murtad. Sepanjang khotbah rasanya ada sesuatu yang mengganjal; kejatuhan manusia, dosa, sama sekali tidak disebut. Tidak hanya sekali ini saja, tetapi lagi dan lagi tema khotbah yang disampaikan selalu sama: manusia dapat berusaha sendiri untuk hidup dengan benar, asal menuruti apa yang dikatakan sang penginjil -- lupakan bahwa keadaan manusia sudah jungkir balik di hadapan Allah, ia dapat berdiri tegak lagi dengan usaha sendiri. Aku pulang dengan perut masih lapar karena menolak makanan yang tidak sehat itu.
Pertemuan doa, seorang penginjil wanita muda yang lain lagi. 2 Petrus 3 dikupasnya dan pesannya beresonansi dengan jemaat. Waktu kesudahan hampir tiba, manusia menuruti hawa nafsu, dosa di mana-mana, bahkan di dalam gereja. Aku pulang dengan perut kenyang, rencana menikmati kafe langganan pun aku urungkan. Sayang sekali ia tidak akan lama lagi berada di gereja kami, tapi ia memiliki panggilan yang lebih penting di tanah kelahirannya.
Itulah tanah kelahiran yang sama dengan penginjil wanita muda yang ketiga. Di negeri yang secara resmi tertutup bagi kekristenan itu, ia merupakan sedikit dari ratusan juta orang sebangsanya yang berkesempatan untuk menerima Kristus sebagai Juruselamatnya. Tidak seperti kebanyakan wanita sebayanya yang masih diikat kakinya dan tidak bersekolah, ia memiliki kesempatan langka untuk belajar membaca di sekolah hingga tingkat SMP -- kemungkinan di sebuah sekolah Metodis -- sebelum akhirnya menikah. Ia mengajar di sekolah khusus wanita dan ia juga memberitakan Kabar Baik yang ia terima kepada keluarga dan orang-orang di sekitarnya yang masih belum percaya. Ia memiliki seorang anak perempuan tunggal yang sangat dicintainya. Anaknya -- sama seperti ibunya -- juga mendapatkan privilege untuk bersekolah di tengah-tengah budaya patriarki yang sangat kental.
Putrinya tersebut akhirnya menikah dengan seorang pria dan memiliki seorang putra. Kemudian suaminya mengikuti jejak saudaranya yang sudah terlebih dahulu mengadu peruntungan di negeri seberang dan pergi untuk mengadu nasibnya. Ia meninggalkan istrinya yang tengah mengandung anak kedua mereka dengan janji untuk segera memboyong mereka begitu ia mendapat pekerjaan dan penghasilan yang mencukupi.
Tidak berapa lama kemudian datanglah sepucuk surat dari sang suami yang mengajaknya untuk menyusulnya karena sekarang ia sudah memiliki penghidupan yang layak bagi keluarganya. Bersama dengan anak sulungnya yang sudah berusia sekitar 7 tahun dan bayi perempuannya yang telah lahir, ia pun dengan sangat berat hati berpamitan kepada sang penginjil, ibunya tercinta, dan sang penginjil itu pun bercucuran air mata melepaskan kepergian anak yang sangat dikasihinya, meratapi kemiskinan dan peperangan yang melanda negerinya sehingga keluarga mereka harus terpisah. Jauh di dalam lubuk hatinya yang terdalam ia mendapat firasat bahwa ini adalah terakhir kalinya ibu dan anak dapat saling melihat. Mereka menangis dan berpelukan.
Sang istri dengan dua anak mereka kini berangkat menggunakan kapal yang berlayar dari pelabuhan di sebuah pulau kecil yang dikuasai oleh pemerintah asing. Sang anak sulung terpesona dengan perjalanan dan petualangan yang menanti di depan mereka, namun ia memegangi baju ibunya erat-erat. Ia percaya bahwa ke mana pun sang ibu membawanya, ia akan selalu aman asal ia berada di sampingnya. Beberapa minggu kemudian kapal merapat ke pelabuhan utama di pulau Jawa dan mereka pun melihat suami dan ayah mereka telah menanti mereka di pelabuhan. Setelah reuni singkat, mereka bermalam semalam di rumah saudara mereka yang sudah terlebih dahulu mapan di pulau tersebut, sebelum mereka melanjutkan perjalanan mereka keesokan harinya ke rumah sang suami, yang berada jauh di tengah-tengah pulau yang padat penduduk tersebut.
Di kota itulah mereka memulai kehidupan baru mereka, di tengah-tengah bangsa yang asing dengan bahasa dan adat yang asing, demi memperoleh sesuap nasi. Mereka melalui tahun-tahun pertama mereka dalam Perang Dunia II dengan sangat sulit. Pendudukan Jepang merupakan memori yang kelam yang tidak diceritakan di dalam keluarga bahkan hingga saat ini. Namun akhirnya perang usai dan mereka dapat hidup di tanah yang baru merdeka tersebut. Di tanah itu pula mereka menyaksikan keenam anak mereka tumbuh dan berakar, serta entah berapa anak mereka yang telah dipanggil pulang ke rumah Bapa.
Walaupun kebutuhan hidup mereka tercukupi, namun masih ada satu keinginan dari sang istri yang belum terpenuhi, yaitu bertemu sekali lagi dengan mama yang dikasihinya. Sering perasaan rindu itu tidak tertahankan terutama setelah menerima surat-surat dari rumah, dan perasaan yang sama pun dialami oleh sang penginjil. Ia sangat ingin bertemu dengan putri semata wayangnya yang kini tinggal di negeri nun jauh. Namun Tuhan berkehendak lain; ibu dan anak sudah tidak dapat berjumpa lagi di dunia ini melainkan di surga kelak. Sang putri jatuh sakit dan meninggal sebelum ia dapat kembali. Sang penginjil, menerima kabar bahwa putri terkasihnya meninggal, segera kesehatannya memburuk dan tidak lama kemudian pun ia dipanggil pulang -- pulang ke rumah Bapa untuk bertemu dengan putrinya kembali. Chuan dao (penginjil) tersebut adalah tua ama (nenek buyut), dan putrinya adalah ama (nenek). Dan aku bahagia karena aku kelak akan menjumpai mereka di kerajaan baka.
- bennylin's blog
- Login to post comments
- 3540 reads
lapar om benny?
Aku pulang dengan perut masih lapar karena menolak makanan yang tidak sehat itu.
wahhhhhhhhhhhhh lapar rohani apa fisik? kalo fisik seh sering bangetttttttttttttttt.... he he he... langsung menyerbu arem2, donat, jualan temenku deh kalo perut keroncongan abis kebaktian...
ha ha haha... <becanda dulu>
kayak 1 minggu lalu, ketika harus menemani seorang teman yang dapat 'order' nerjemahin pengkotbah luar negeri yang bicara tentang ini itu... hebat sih kesaksiannya... dan munngkin semua itu memang pernah terjadi dalam hidupnya. keren... keren... keren... itu pikirku. Tapi bagaimana sekarang? Mengapa kotbahnya terasa 'hambar' dan 'ngambang' di udara... aku yang udah 'ga rohani' gara-gara 'ngitung duit melulu' atau apa?
Lapaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrr banget rasanya setelah 'ngejob' itu.. pengen lihat 'fakta' dari yang dibagikan oleh pendeta itu..
so, jadinya kami akhirnya ngobrol tentang hal2 'realistis' yang terjadi di 'dunia' nyata, kehidupan rumah tangganya, dan maaaaakaaaaaaaaaaaaannn ayam bakar,... nyam nyam nyam.... sedap jasmani dan rohani dah!!
@Webmaster, ada apa dengan browserku?
@Bung Bennylin,
Belum koment soal isi blog, numpang lapor, ada apa dengan browserku yah?
Lha koq aku jadi bisa lihat user yang meng-KLIK "suka" di SS ini?
Misal untuk blog "Tiga Penginjil" ini, aku lihat dua user berinisial I**** dan p********** meng-klik "suka", wa ha ha he he he, jadi ngak secret lagi dunk?
Aku pakai opera.
Salam.
Tani Desa