Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Menghijaukan Merapi Lagi [2]
Penghijauan di wilayah sekitar Deles ternyata lebih sulit daripada di Balerante, baik itu dari medannya maupun pelaksanaannya.
Hari Sabtu, 22 Januari, pukul 7:30, kami memberangkatkan relawan gelombang pertama yang terdiri dari rombongan GKJ, Banser NU, dan tim inti Satgas "Derap Kemanusiaan dan Perdamaian" (DKP) dari GKI Klaten. Beberapa rombongan relawan juga berangkat dari tempat lain, yaitu GKJ Gondang, GKJ Manisrenggo, GKJ Karangnongko dan Banser di sekitar Kemalang. Mereka langsung bergerak ke lokasi penanaman.
Sedangkan saya masih tinggal di Klaten untuk menunggu rombongan dari GKI Klasis Semarang Timur dan Barat. Mereka sudah meluncur ke Klaten sejak pukul 4:30, namun di Boyolali, mereka "pecah kongsi." Rombongan pertama lewat Jatinom, sedangkan rombongan kedua melewati Delanggu yang lebih jauh.
Pak Yus yang berada di rombongan kedua menelepon. "Kami baru sampai Penggung. Kami tidak usah ditunggu. Ditinggal saja tidak apa-apa, nanti kami menyusul," katanya.
"Tenang saja pak," kata saya, "kami tunggu pak. Saat ini kami masih menunggu kedatangan dua relawan dari Jakarta." Mereka adalah dua pemuda utusan GKI Wahid Hasyim yang menumpang pesawat paling pagi. Rombongan pak Yus dan dari Jakarta datang hampir bersamaan. Tanpa membuang banyak waktu, saya segera memimpin mereka beriring menuju lokasi.
Cuaca sedikit mendung, namun tidak hujan. Di satu sisi menguntungkan karena relawan tidak terpapar panas matahari. Namun di sisi lain, pemandangan ke arah puncak Merapi terhalang mendung dan kabut. Padahal jika cuaca sangat cerah, rekahan bibir puncak Merapi terlihat dengan sangat jelas di lokasi penghijauan.
Memasuki desa Tegalmulyo, konvoi mobil merayap pelan karena jalan menanjak. Saat memasuki tikungan berbentuk huruf "L", tiba-tiba jalan menanjak. Sopir mobil saya terlambat mengoper ke gigi satu. Saya segera melompat turun, mengambil batu besar untuk mengganjal roda mobil supaya tidak melorot ke bawah. Karena berhenti mendadak, mobil yang ada di belakangnya juga kagok. Sementara dari arah atas, ada seorang ibu menunggang sepedamotor sambil memboncengkan pakan ternak. Dia menjadi panik melihat banyak mobil yang tiba-tiba keluar dari tikungan.
Mobil pengangkut relawan
"Mas...mas..tolongin," teriak ibu itu sambil menahan sepedamotor yang nyaris roboh. Saya segera berlari menuju ibu itu untuk menurunkan pakan ternak dari boncengannya. Setelah itu berjalan mendaki mengejar mobil yang sudah berhasil melaju lagi. Jalan yang menanjak ditambah oksigen yang tipis tak urung memaksa paru-paru kembang-kempis.
Sesampai di lokasi, rombongan pertama yang sudah lebih dulu sampai sudah terlihat asyik menanam pohon. Kami pun segera bergabung dengan mereka. Lokasi yang ditanami relatif lebih sempit daripada lokasi penghijauan sebelumnya, namun dengan kontur tanah yang lebih curam. Hal ini menyulitkan untuk distribusi bibit. Jika tiap relawan mengangkuti bibit-bibit maka dipastikan energinya akan cepat terkuras. Untuk itu, distribusi bibit menggunakan sistem estafet. Para relawan berjajar di sepanjang perbukitan untuk mengantarkan bibit secara beranting. Sistem ini membutuhkan banyak relawan dan sebenarnya ada banyak relawan yang bergabung, yaitu sekitar 400 orang. Namun sayangnya, sebagian dari mereka lebih memilih duduk-duduk bercengkerama di dekat mobil sambil sesekali berfoto.
Estafet
Koordinator lapangan sudah berkali-kali mengimbau mereka untuk "cancut taliwondo" (menyingsingkan lengan baju), namun mereka tetap bergeming. Sebagai tim inti, kami sungkan untuk lebih memaksa karena tidak begitu mengenal mereka berasal dari rombongan mana. Sejujurnya, kami merasa kesal dengan perilaku orang-orang ini. Mereka tidak hanya menonton, tetapi juga sekaligus menjadi "komentator" dengan celetukan-celetukan yang menurut mereka lucu, tapi membuat kami dongkol.
Problem yang lain adalah soal koordinasi. Pada saat hari H, tiba-tiba ada orang yang ikut-ikutan mengatur penanaman. Hal ini sempat membuat relawan kebingungan karena mendapat perintah bertentangan. Kami tidak mengenal orang yang bikin kacau komando ini. Setelah tanya sana-sini, ternyata orang ini adalah warga setempat. Dia melakukan itu karena merasa khawatir kalau semua bibit pohon ditanam di Taman Nasional sehingga warga tidak kebagian bibit. Setelah kami yakinkan bahwa warga desa pasti akan mendapat bibit, orang tersebut akhirnya mundur dengan teratur.
Penanaman
Relawan
Akan tetapi kekesalan kami cepat hilang karena terhibur oleh kedatangan teman-teman dari luar kota. Rombongan relawan dari Semarang benar-benar patut diacungi jempol. Dengan mengusung tongkat pembuat lubang biopori, mereka berada di garda depan dalam penanaman. Selain itu, ratusan teman-teman dari Banser NU juga menjadi tulang punggung aksi penghijauan ini. Dengan dukungan fisik yang prima, anggota Banser ini mampu menerobos wilayah-wilayah yang sulit dijangkau. Mereka menyusuri punggung bukit dan bibir jurang. Rombongan GKI Boyolali yang datang belakangan juga langsung merangsek menanam bibit di sekitar pemukiman warga.
Pukul sebelas siang, cuaca semakin memburuk. Kabut tebal mulai melingkungi lokasi. Jarak pandang mulai terbatas. Kami memutuskan untuk mengakhiri penanaman meskipun masih ada sekitar 7 ribu batang yang belum tertanam. Apa boleh buat. Meski begitu, hati kami tenang karena pak lurah Tegalmulyo berjanji akan mengerahkan warganya untuk menanam bibit pohon yang tersisa.
Kami mengarahkan relawan menuju rumah salah satu warga untuk makan siang. Sementara itu pdt. Sugeng beralih profesi menjadi tukang parkir dadakan. Dia harus mengatur pergerakan mobil-mobil untuk meninggalkan lokasi penanaman. Bersama tim inti, saya masih berada di lokasi untuk memastikan tidak ada yang tertinggal di lokasi.
Saat bersiap menyusul turun, tiba-tiba melalui HT terdengar kabar bahwa ada puluhan relawan yang masih tertinggal. Kami segera menyisir lokasi, namun tidak menemukan mereka. Kami coba menghubungi melalui handphone, tetapi gagal karena tidak ada sinyal. Pendeta Wahyu Nirmala lalu mengambil sepeda motor untuk menelusuri jejak mereka. Seperempat jam kemudian, pdt. Wahyu kembali dengan kabar gembira. Para relawan itu sudah ditemukan namun dalam kondisi kelelahan. Maka kami segera mengirimkan mobil Taft Hi-line untuk menjemput mereka. Karena jumlah mereka cukup banyak, sebagian relawan terpaksa menumpang di atap.
Video Evakuasi Relawan
Dengan perasaan lega, akhirnya kami pun turun untuk menyantap menu makan siang: pecel, ayam goreng, tahu dan tempe bacem.
Baca juga:
Kolaborasi Gereja dan Banser NU
------------
Communicating good news in good ways
- Purnawan Kristanto's blog
- Login to post comments
- 3944 reads