Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Nilai sebuah lambang
“Inge, bulan depan aku mau libur di Indonesia. Aku ke Jakarta dulu untuk satu urusan. Setelah itu, aku langsung naik kereta ke Jogja. Kereta kelas murah, karena aku mau dengar lagi orang-orang pakai bahasa Indonesia kelas ekonomi. Buat bingung, tapi variatif dan inovatif. Plis, temani aku ke Jogja. Aku mau nostalgia di sana. Aku mau tidur di tempat kosku dulu. Sore hari duduk di belakang rumah tunggu ayam dan anak-anaknya berbaris pulang masuk kandang. Breakfast gudeg di Plengkung. Makan jagung di alun-alun keraton. Kamu mau aku bawa satu arloji dari sini? Arloji Swiss terkenal indahnya. Atau kamu mau yang lain?,” sepotong kalimat imel dari Angela terbayang kembali ketika aku menanggalkan arlojiku sepulang dari kerja.
Arloji ini entah berapa tahun umurnya. Pada hari pertama aku bekerja, ibuku memberikan miliknya ini kepadaku. “Biar modelnya lama tetapi masih bagus jalannya. Yang penting dengannya kamu tahu waktu sehingga tidak terlambat datang di tempat kerja. Nanti dengan gaji pertamamu kamu bisa menukar-tambahkan dengan yang lebih baru,” demikian pesannya.
Tetapi gaji pertamaku aku belikan pakaian. Gaji berikutnya untuk membetulkan genteng rumah yang sering bocor. Gaji berikutnya lagi untuk ini dan itu dan ibuku mengomel karena aku belum juga punya arloji baru. Jika aku sudah tak tahan lagi mendengar omelannya maka,
“Jika Ibu ingin arloji baru, kita ke toko sekarang. I’in belikan satu arloji model terakhir buat Ibu.”
“Aku tidak ingin arloji baru, tetapi ingin kamu yang punya.”
“Tapi I’in senang yang kuno.”
Tahun lalu ia menyodorkan sebuah arloji baru. Wow, indahnya! Mbakyuku yang sudah tidak serumah lagi dengan kami membelikan untuknya. Pasti harganya harus ditulis dengan 7 angka berderet.
“I’in, kamu pakai arloji ini. Biar sesuai dengan jabatanmu di kantor.”
“Mbak Ika membawa arloji itu jauh-jauh untuk Ibu. Kalau I’in pakai, apa katanya nanti. I’in mau terima jika barang itu dibeli dengan uang Ibu sendiri.”
Ibu sudah lama tak bekerja, maka suaranya langsung meninggi,
“Memangnya aku harus menjual sawah warisan Bapakmu?”
“Bila perlu,” jawabku sambil meninggalkannya di ruang tamu. Di pintu dapur aku masih mendengar gerutunya, “Keras kepala kok dipelihara.”
Tidak ada nada marah dalam gerutunya sehingga membuat aku sedih. Aku tidak berbeda dengan gadis lain. Aku ingin sekali memiliki arloji dengan satu dua pernik berlian seperti yang dikenakan teman-teman sekantorku. Terasa perih ketika aku menggali sebuah lubang yang dalam di lubuk hatiku untuk mengubur keinginan itu.
Setelah itu tak lagi Ibu mempermasalahkan arlojiku. Sering bila kami duduk membaca di ruang keluarga, aku memergokinya sedang termenung memandangi arloji yang melingkar di pergelangan tanganku. Ada binar dalam matanya, ada sinar damai menyaput wajahnya.
“Lala, jangan membawakan aku arloji. Kecuali jika kamu tak sakit hati buah tanganmu itu hanya akan jadi pajangan di lemari pakaianku. Atau mungkin saja, aku jual agar aku tak tergoda memakainya,” begitu bunyi pembukaan imelku kepada Angela yang tinggal di Swiss.
“Arloji yang sekarang aku pakai bila aku jual paling hanya laku lima puluh ribu rupiah. Tetapi aku tak ingin menukarnya. Biarpun ibuku mengamuk, aku tak peduli. Aku ingin selalu mengenang cucuran keringat dan air matanya ketika berusaha mendidik aku menjadi ‘orang’.
Sekarang ia sudah tua. Setiap kebutuhannya didapat dari anak-anaknya. Aku tak ingin ia merasa dirinya tak berguna. Karena itu aku ingin ia melihat sebuah tanda bahwa ia pernah berbuat sesuatu yang berharga dalam hidupnya ini. Dan tanda itu bisa ia temukan melingkar di pergelangan tanganku. Aku ingin ia tidak merasa jadi pengemis bila meminta uang dariku. Arloji ini adalah maklumat bahwa ia memiliki deposito seumur hidup dalam diriku.
Lala, aku tak pernah menyembunyikan arloji ini dalam handbag-ku bila menghadiri rapat para eksekutip di hotel berbintang. Aku tak pernah menutupinya dengan baju lengan panjang dalam coctail party. Bila ada mata yang mengheraninya, maka aku hanya berbisik ‘ini barang bersejarah’ agar aku tak perlu bercerita tentang seorang ibu yang menjual radio satu-satunya yang ada di rumah hanya untuk menghentikan rengekan puterinya meminta sepeda roda tiga. Ibu yang rela lagu-lagu kesayangannya diganti suara gaduh bel sepeda. Ibu yang meledak-ledak ketika puterinya bersikeras memasuki kampus seni rupa, tetapi berhari-hari matanya berkabut ketika tak lagi bisa mencegah puterinya meninggalkan bangku kuliah karena ia tak mampu lagi mengongkosinya. Ibu yang mengajar puterinya menghapus air mata dengan kepala tegak.
Lala, walaupun kamu bukan orang Indonesia, kamu pernah tinggal 5 tahun di sini. Kamu belajar melukis, memahat, mengukir dan membatik. Kamu menguasai bahasa Indonesia dan ketika mengerti bahasa Jawa kamu tidak mau lagi dipanggil ‘Angela’ oleh teman-temanmu. Kamu tinggal di kampung karena kamu ingin hidup dalam budaya agraris. Walaupun sekarang kau kembali hidup dalam budaya lain, kau tetap seorang seniman yang tahu nilai yang terkandung dalam sebuah lambang, yang disakralkan oleh mereka yang hidup dalam budaya agraris.
Aku ingin liburanmu di Jogja dimulai dengan menikmati sebuah lambang yang sangat bernilai dalam hidup kita. Temanku di Jogja mengabari ada ibadah perjamuan kudus Minggu pertama bulan depan di gerejanya di Ngupasan. Dari Setasiun Tugu, kita ke sana dulu. Plis, temani aku menikmati nilai-nilai agung yang terkandung dalam roti dan anggur dalam perjamuan kudus itu. Marilah kita mengingat kembali tubuh Kristus yang dihancurkan dan darahNya yang dikucurkan untuk menyelamatkan jiwa kita.
Selesai ibadah, kita berjalan kaki ke selatan. Sebagai ganti arloji, buatkan aku dua sendok kayu berukir. Kita bawa ke warung soto Wirobrajan langganan kita. Kita pesan satu mangkok, kita makan dengan dua sendok. Seperti dulu sering kita lakukan bersama. Juga dalam merenungkan nilai-nilai kehidupan ini.
See you.” ***
- Inge Triastuti's blog
- 5723 reads
...
makasih Inge...
Warung Soto Wirobrajan.
Cin U Hau
Bagaimana dengan bakmi kadin? Asyk ......!
Nona Inge, tolong beritahu mamamu, aku mau berguru cara mendidik anak agar tumbuh menjadi anak berbakti seperti kamu! Salam hormat buat beliau! Dan salam hormat pula buat kamu, cin u hau!
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
setelah punya anak
Dear Inge,
Sudah tiga kali saya baca tulisan ini dan saya semakin menyukainya.Pengalaman saya, baru setelah saya punya anak, saya mulai memahami hal-hal yg pernah ibu saya lakukan buat anak-anaknya.
Tuhan Yesus memberkati.Sola Gratia
Sola Gratia
Dennis, Daniel, AP, hh, Mercy,
trims unt komennya.
Hh pujian kamu ketinggian. Buktinya aku tdk sampaikan salammu kpd Ibuku. Kalo dia baca blog ini, dia bisa minta PK untuk this closed case, dan pasti aku kalah shg aku hrs beli arloji baru. BBM baru naik kan hrs berhemat. Hehehe, akhirnya ngaku, ternyata ga beli arloji krn pelit ya.
Bye.
Aku dan Selimut Kaypangku
Tanggal 1 Januari 1971, kami (paman ke 4 dari mama, saudara sepupuhku, 2 orang jawa pegawai pamanku, mamaku, aku dan 6 orang adikku) mendarat di Tanjung Priuk. Satu bulan kemudian kami mendarat di Lampung, di sana Papaku sudah tinggal sejak tahun 1969 akhir.
Pada tahun 1972 saya mendapat kiriman hadiah dari Amaku (nenek) sebuah selimut besar, ukurannya 90 X 120 cm. Selimut dua lapis yang terbuat dari kain perca (kan sisa). Akho (kakak perempuan Papa) yang menjahitnya atas permintaan Amaku (nenekku). Saat itu umurku 7 tahun. Sejak itu selimut itu selalu menemani malamku selama bertahun-tahun.
Tahun 1987 seorang saudara sepupuhku menggunakan selimutku untuk kain lap ketika dia membetulkan mobil, lalu membuangnya ke tempat sampah dan ikut terbakar ketika pegawai papaku membakar sampah. Aku hampir membunuhnya karena perbuatannya itu.
Nah, nona Inge, tidak sulit untuk memahami perasaanmu atas jam tuamu karena sejak selimut Kaypangku (gembel) musnah, aku tidak pernah punya selimut lagi. Selimut itu terbuat dari kain perca yang benar-benar perca aneka warna, tiap perca besarnya tidak lebih dari 3 jariku, itu sebabnya butuh waktu lama untuk mengumpulkan kain perca lalu menjahitnya menjadi selimut.
Ketika sekolah di yogya waktu SMP dan SMA, setiap liburan aku membawa selimut itu pulang agar bisa ditambal oleh mamaku. Saat itu kami sudah mampu membeli selimut beneran, namun saya tetap merasa nyaman dengan selimut itu bahkan bangga menggunakannya walaupun selalu diolok-olok teman.
"Ma, setiap kain perca pada selimut ini memiliki sejarahnya sendiri karena setiap perca ini berhubungan dengan baju dan celana orang-orang kampung kita. Itu sebabnya ketika selimut ini menyelimuti tubuhku, aku merasa nyaman, seperti ada di kampung sendiri. Setiap sambungan kain perca ini dibuat dengan rasa cinta Akho dan Ama padaku itu sebabnya saya merasa aman ketika tidur di bawahnya. Selimut ini adalah bukti betapa miskinnya keluarga besar kita dulu, namun selimut ini juga bukti betapa eratnya ikatan darah kita. Saya akan terus memkkainya untuk mengingatkanku pada akarku."
Itulah penjelasanku ketika suatu hari mamaku menolak untuk menambal selimutku. Saat itu mamaku bilang, "Cin u hau!"
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak