Kata ini dapat menyebabkan seseorang terbunuh atau mengakibatkan sebuah rangkaian balas dendam. Demi mempertahankan martabat keluarga atau setidak-tidaknya harga dirinya sendiri, dua orang dari suku Madura akan menggelar adat carok. Mereka akan bertarung satu lawan satu menggunakan celurit sebagai senjatanya sampai salah satu di antara mereka tewas, atau menyerah. Demi martabat, dua orang koboi akan berduel menggunakan pistolnya.
Kita masih ingat pertarungan antara Daud melawan Goliat. Demi mempertahankan martabat bangsa, Goliat menantang para pahlawan Israel untuk bertarung satu lawan satu dengan adil.
Sebagian orang mungkin menganggap hal ini sebagai konyol, tak beradab dan tidak masuk akal. Namun bagi beberapa masyarakat, martabat adalah segala-galanya. Jika sebuah keluarga sudah kehilangan martabat maka itu menjadi sebuah kiamat kecil. Meski mereka masih ada secara fisik, namun eksistensi sosial mereka sudah dihapus di hadapan masyarakat. Mereka ada, tapi tidak ada.
Itu sebabnya, ada beberapa orang dari masyarakat tertentu yang lebih baik mati daripada kehilangan martabatnya. Raja Saul memilih membunuh dirinya daripada ditawan musuh dan menjadi bahan ejekan umum. Ada banyak orang Gunungkidul yang memilih menggantung diri daripada hidup wirang. Konon konsep wirang ini dipengaruhi oleh tradisi kemiliteran. Wilayah Gunungkidul yang bergunung-gunung menjadi tempat yang sempurna untuk bersembunyi. Ketika Majapahit kalah perang, maka banyajk prajurit yang melarikan diri ke Gunungkidul. Di pegunungan kapur ini mereka kemudian hidup menetap dan membentuk komunitas peradaban, yang dipengaruhi oleh nilai-nilai kesatriaan. Salah satunya adalah konsep lebih baik mati daripada menanggung malu seumur hidup atau wirang. Konsep yang sama juga bisa kita lihat pada tradisi harakiri para pejuang-pejuang kekaisaran Jepang.
***
Pada masyarakat modern yang mengklaim lebih beradab, ternyata nilai-nilai kesatria ini sudah memudar. Demi mempertahankan martabat, maka anak-anak sekolah melakukan tawuran massal. Mereka bertarung secara sporadis tanpa aturan dan tidak fair. Tujuan utamanya adalah melukai atau setidak-tidaknya mempermalukan pihak lawan. Jangankan bertarung satu lawan satu, kalau perlu mereka akan membokong lawan.
Saya pernah bertemu dengan anak muda di sebuah angkot. Ada bekas luka memanjang di lengan kirinya, mulai dari pergelangan tangan sampai di sikut. “Apa yang terjadi?” tanya saya penasaran. “Berkelahi waktu SMA, mas,”jawabnya datar. “Luka ini didapat karena saya menangkis sabetan pedang lawan,”lanjutnya sambil menunjukkan lengannya. Saya tidak tahu apakah dia bangga atau menyesali peristiwa itu. Saya juga tidak tahu apakah martabat yang dibelanya itu sepadan dengan luka yang didapatnya atau tidak.
Kita sering mendengar ada anggota militer yang saling berkelahi gara-para persoalan sepele. Entah martabat apa yang dibelanya. Jika yang dibela adalah martabat korps, nyatanya hubungan antar korps militer selama ini baik-baik saja. Seorang teman nyeletuk,”Mereka butuh pelepasan untuk energi mereka yang meledak-ledak. Karena tidak ada perang, maka mereka mencari siapa saja yang bisa diajak berperang.” Saya tidak sepenuhnya setuju pendapat ini karena anggota militer adalah orang pilihan. Mereka sudah menjalani berbagai saringan, termasuk test psikologi. Orang yang temparemental pasti tidak akan lolos test ini. Pertanyannya, apakah semua proses rekrutmen sudah berlangsung sesuai prosedur atau tidak? Itu persoalan lain.
Harian Kompas menampilkan berita tentang seorang pria di Timur Tengah yang membunuh orang lain. Tapi anehnya hakim hanya memberikan hukuman yang sangat ringan. Hakim beralasan bahwa pria itu melakukan pembunuhan demi mempertahankan martabat keluarganya. Motif ini yang memperingan hukumannya.
****
Kita mungkin masih bisa menerima hinaan dari orang yang lebih baik daripada kita. Kita tidak merasa bahwa martabat kita sedang dilecehkan. Ketika presiden SBY menegur Achmad Mubarok, sang bawahan tidak tersinggung karena yang melakukannya adalah atasannya. Tapi jika situasinya dibalik, apakah situasinya akan juga serupa. Bagaimana seorang tukang pel menegur direktur utama? Meski isi tegurannya benar, tapi kemungkinan besar wajah sang dirut akan merah padam karena martabatnya telah direndahkan.
Bagaimana jika ada seorang penjahat mengejek seorang guru yang pernah dihormati orang banyak? Pantaskah jika sang guru itu merasa tersinggung? Itu yang terjadi pada peristiwa penyaliban Yesus, Isa al Masih. Ada satu penjahat, yang disalib bersama-sama dengan Dia, yang ikut-ikutan mengejek Yesus. Pertanyaanya, apakah penjahat ini punya hak untuk mengejek? Apakah hidupnya sudah lebih daripada Yesus sehingga memiliki legitimasi untuk ikut-ikutan mencemooh.
Sampai digantung di kayu salib, tidak ada satu pun kesalahan didapati ada pada diri Yesus. Dia adalah kotban fintah dari kaum pemuka agama Yahudi yang berhati dengki. Itu sebabnya, Yesus sebenarnya punya “hak” untuk marah kepada penjahat yang telah merendahkan martabat-Nya tanpa alasan yang sah. Tapi reaksi apa yang diberikan oleh Yesus? Lukas mencatat bahwa Yesus tidak memberikan reaksi balik. Dia baru memberikan reaksi ketika penjahat yang lain menyatakan penyesalan dan meminta pertolongan-Nya.
__________________
------------
Communicating good news in good ways
@otak reptil
defense mechanism purba
akal budi yang masih bodoh
noktah hitam dalam hati manusia.
-------------------------------------------------------
*Guru Mursyid telah berpesan: Bila menyusuri hutan batinmu kau bertemu kurcaci, segera bunuh dia tanpa banyak bicara.*
*Namun sufi muda yang telah menang bergumul itu ragu-ragu untuk mencekik si kurcaci. Mahluk kecil itu kemudian tampak begitu lucu dan akhirnya dilepaskannya. Kurcaci itu ternyata begitu pandai bercerita dan mereka tertawa-tawa. Sampai tiba-tiba akhirnya Sufi Muda mendapati bahwa sang kurcaci telah berubah menjadi raksasa dam tak lagi dapat dikalahkannya.
-------------------------------------------------------
*Bercermin: kurcaci itu juga ada di sana*
.
@pak Pur : sesama disalibkan dilarang saling mendahului
Reaksi pemaki Yesus dikayu salib wajar.
justeru yang "tidak wajar" adalah reaksi orang disebelahnya lagi.
kok bisa bisanya menaruh harapan pada orang yang sama sama disalib, sama sama dianggap PENJAHAT.
Jesus Freaks,
"Live X4J, Die As A Martyr"
-SEMBAHLAH BAPA DALAM ROH KUDUS & DALAM YESUS KRISTUS-
Jesus Freaks,
"Live X4J, Die As A Martyr"
-SEMBAHLAH BAPA DALAM ROH KUDUS & DALAM YESUS KRISTUS-
Beriman
Itulah yang disebut dengan beriman, bro!
------------
Communicating good news in good ways
beriman cenderung menjadi gila
itulah pak pur... beriman untuk konteks ke kinian malah menjadikan kita "nampak" gila.. gmn ya? beriman tanpa kudu nampak gila? ntar malah suam2 kuku jadinya?
but the one who endure to the end, he shall be saved.....
but the one who endure to the end, he shall be saved.....
Beriman pada Orang gila
Lha wong yang kita imani juga Orang "gila" kok. Saya sudah menulis di sini. Silakan baca.
“If any man wishes to write in a clear style, let him be first clear in his thoughts; and if any would write in a noble style, let him first possess a noble soul” ~ Johann Wolfgang von Goethe
------------
Communicating good news in good ways
@diGoethe
“If any man wishes to write in a clear style, let him be first clear in his thoughts; and if any would write in a noble style, let him first possess a noble soul” ~ Johann Wolfgang von Goethe
*dicatet*
.
@AES: kalo belum dicap gila, belum kristen
kalo belum dicap gila, belum kristen
(drg. Yusak Cipto, evangelis)
.