Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Lagi: Masalah Puisi
Sebagai salah satu karya sastra, harus diakui kalau puisi memang memiliki posisi yang unik. Ada unsur kebebasan yang mungkin melampaui prosa. Permainan simbolisme yang dihadirkan tidak hanya dengan kata, tetapi juga dengan angka dan bentuk-bentuk lain menghadirkan nuansa misteri yang menarik.
Dengan puisi, seseorang bisa memberikan kritik yang tajam tanpa terkesan mengkritik. Lewat puisi seseorang bisa menyuarakan pemberontakan tanpa dianggap memberontak. Bahkan, seseorang bisa dituduh sesat hanya karena puisi yang ditulisnya menyerang keyakinan tertentu.
Maka tak jarang orang akan mengernyitkan dahinya karena melihat keanehan karya yang disebut puisi. Karena memang tidak mudah memahami puisi hanya dari membaca sekali dua kali, apalagi sepintas.
Untuk memahami puisi, setidaknya perlu dua unsur utama. Unsur pertama ialah unsur intrinsik. Sedangkan yang kedua ialah unsur ekstrinsik. Kedua unsur ini sama sekali tidak bisa dipisahkan. Sebab unsur ekstrinsik sering kali memengaruhi unsur intrinsik. Malah bisa juga sebaliknya. Misalnya, bila penulisnya adalah orang yang melankolis, kecenderungan puisinya bisa bernada melankolis. Kalaupun bernada gembira, puisinya bisa dianggap sebagai gambaran ideal yang hendak dicapainya.
Puisi sebagai karya sastra juga merupakan permainan bahasa yang terkadang melampaui bahasa verbal. Misalnya saja, puisi karya Sutardji Calzoum Bachri. Saut Sitompul malah lebih unik lagi. Selain menghadirkan puisi yang mirip dengan punya Sutardji yang mirip mantra itu, Saut, yang juga beberapa kali melagukan puisi di gerejanya itu, malah menyertakan aspek nada. Jadi, dalam puisinya itu memang benar-benar ada solmisasi. Mungkin dengan demikian, puisi yang dilagukannya memang benar-benar menghadirkan nuansa keindahan.
Meski demikian, dalam mengkaji suatu puisi, unsur-unsur kebahasaan, mulai dari pola sintaksis, morfologi, hingga fonologi jelas bisa dimanfaatkan untuk menghadirkan nuansa tertentu. Oleh karena itu, orang-orang sastra, khususnya para pujangga, bisa dikategorikan sebagai ahli bahasa yang baik karena dapat memanfaatkan beragam aspek bahasa untuk menghadirkan makna.
Tapi satu hal yang sering dilupakan ialah khalayak pembaca sering mengharapkan si penulis turun gunung untuk menerangkan makna puisinya. Padahal tugasnya sudah selesai ketika ia menyelesaikan puisinya. Publiklah yang dipersilakan untuk memberi makna.
Meski demikian, ada satu kelompok sastra lain yang juga berperan sebagai penjembatan antara publik awam dengan sang penulis. Mereka ini ialah para kritikus sastra. Bolehlah dibilang kalau mereka ini merupakan kalangan ilmiah dalam dunia sastra.
Para kritikus ini tidak sekadar melabeli suatu karya itu baik atau buruk. Tapi peran terpenting lainnya ialah agar masyarakat bisa melihat makna suatu karya yang dihasilkan; dalam hal ini puisi. Dan kualitas para kritikus bisa tercermin dari komentar yang dihasilkan, berikut alasan-alasannya.
Melihat kondisi tersebut, sejumlah karya puisi yang ditulis oleh para pujangga di blog ini, perlu diamati dengan lebih jeli lagi. Tidak sekadar membaca dari atas sampai bawah, satu-dua kali, lalu beri nilai baik atau buruk. Di satu sisi, itu memang hak dari pembaca. Namun, tidak adil juga rasanya kalau kita hanya sekadar menilai dari pengamatan yang kurang mendalam.
Memang harus diakui bahwa terkadang ada jenis puisi yang langsung menghadirkan amanat secara tersurat. Dan puisi-puisi yang demikian ini tidak berarti tidak bernilai. Jangan pula menggolongkan suatu puisi menjadi puisi murahan hanya karena amanatnya mudah ditangkap. Lihat dulu amanat yang disampaikan. Seberapa relevan dengan keadaan zaman.
Sebaliknya, sebuah puisi yang tidak langsung bisa dipahami juga belum tentu menjadi puisi yang terbaik. Memang jenis puisi seperti ini boleh dikata sebagai suatu teka-teki. Kalau mengenal penulisnya, misalnya, bisa jadi makna puisinya tidak akan terkuak. Maka tak jarang pendekatan pribadi pun dilakukan hanya untuk mengenal penulis, mengetahui latar belakang penulis, baik secara akademis, maupun psikologis.
Akhirnya, masalah menilai puisi, hampir serupa dengan masalah menilai kekristenan seseorang. Ada orang yang menilai orang Kristen yang penampilannya berantakan sebagai orang brengsek, sebaliknya yang berpotongan dan berpakaian rapi adalah orang Kristen yang saleh. Ada pula yang menilai orang Kristen yang senang memberi persembahan dalam jumlah besar sebagai orang Kristen yang benar. Belum tentu! Mafia di Italia adalah kelompok yang paling besar memberi persembahan ke gereja. Namun, ... ah, Anda lebih mengetahuinya daripada saya.
____________________________________________________
Peduli masalah bahasa? Silakan klik Corat-Coret Bahasa saya.
_____________________________________________________________
Peduli masalah bahasa? Silakan bertandang ke Corat-Coret Bahasa saya.
- Indonesia-saram's blog
- 10473 reads
[quote]Untuk memahami puisi,