Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Kenangan "Manis"
Nangka belanda tumbuh hanya dua meter dari jendela ruang tamu. Begitu bangun tidur, kami bisa langsung melihatnya. Pohon yang tidak mengenal musim sehingga benda lonjong hijau selalu bergantung di dahannya. Kami harus mengambil dan menyimpannya di keranjang rotan sebelum benar-benar matang. Kalau tidak, tupai mendahului kami. Bila simpanan itu sudah lunak, siapapun boleh membelah dan meletakkannya di meja makan. Siapapun boleh mencicipinya, asal jangan membuang sembarangan bijinya. Bumi begitu bersahabat, biji apapun yang menyentuhnya pasti tumbuh.
Sudah terlalu banyak pohon di sekitar rumah. Ada jeruk bali, jeruk nipis, pepaya, pisang dan lain sebagainya. Tidak boleh ada lagi pohon baru dekat rumah; tidak boleh ada biji melayang dari jendela.
Tidak ada larangan memasukan biji sirsak ke lubang hidung. Aku sudah berusaha mengeluarkannya dengan menghembus nafas sambil menutup lubang hidung yang kosong. Biji itu tetap tidak mau keluar, bahkan terasa ada yang sakit di lubang telinga.
Aku terpaksa memberitahu ibu, "Mah, ada biji nangka belanda masuk hidungku."
Ayah juga melihatnya, lalu berkata, "Jangan kamu apa-apakan dulu."
Lalu ia pergi ke rumah Supardi, mantri kampung yang tidak lagi bekerja di puskesmas.
Aku senang melihat mantri ini menyandarkan sepedanya di pohon belimbing seberang jalan. Ia mendongakkan kepalaku, lalu berkata, "Bisa pinjam lampu senter? Aku lupa bawa."
"Kami hanya punya senter durian," jawab ibu. Aku pernah melihat senter puskesmas, senter yang sangat kecil. Senter kami sangat terang, senter panjang untuk menunggu durian.
"Ya, tidak apa-apa, yang penting senter."
Setelah menerangi hidungku dengan senter yang mampu menerangi pucuk pohon durian, ia berkata kepada ayah dan ibu, "Biji itu nanti keluar dengan sendirinya waktu hidungnya mulai beringus."
Aku berharap ia menambahkan, "Kalau kalian marah-marah, ingusnya tidak bisa keluar."
Sebelum pulang, ia berkata biji sirsak sedikit beracun. Bila terlalu lama di hidung, bisa berbahaya juga.
Hari-hari yang sangat panjang. Kakak-kakakku menakut-nakuti dengan berkata, biji itu nanti tumbuh lalu keluar dari lubang hidungku. Poster Gepeng di dinding membuatku makin takut. Ada gambar wanita yang gondoknya berupa dua buah kelapa terkupas. Mereka bilang, aku nanti seperti itu, sebatang pohon keluar dari lubang hidungku.
Kakek juga ikut-ikutan. Ia berkata, "Sini, kulihat."
Ia membuatku mendongak, lalu melihat lubang hidungku, "Hebat juga kamu, tahu mana biji yang muat di hidung kecilmu. Biji yang kecil lebih cepat tumbuh," lalu ia melanjutkan. "Mengapa hidung satunya tidak kamu tanam juga?"
"Jangan berkata seperti itu, Ayah!" ibu berteriak dari kamar, "Nanti ia kira sungguh-sungguh."
Tentu saja aku tidak bakalan mengisi lubang hidung satunya.
Hari berjalan begitu lambat. Padahal menurut ibu, hanya dua hari setelah itu bijinya terbang bersamaan dengan keluarnya ingus pertamaku saat bangun pagi.
Tidak banyak yang bisa kuingat setelah itu. Saat kami dewasa, ibu bercerita, sorenya Dein menangis karena hidungnya juga kemasukkan nangka belanda. Ayah tidak mau repot-repot memanggil mantri. Ia memarahi Dein, karena suka berjongkok lalu menengadah melihat lubang hidungku itu ternyata hanya memastikan itu tidak tumbuh. Setelah melihat tidak terjadi apa-apa, ia juga ingin mencobanya.
***
Aku tidak pernah bisa melupakannya. Menurutku, orang lain juga sulit melupakan pengalaman seperti itu. Adik bungsuku juga tidak bisa melupakan pengalamannya.
Ia yang masih sangat kecil menangis. Saat makan malam, tulang ikan itu tersangkut di tenggorakannya. Ibu berusaha mengeluarkannya, Mantuh tetap menangis, tulang itu tetap tidak mau keluar.
Ayah tidak ada di rumah. Ia sedang mengajar di kampung yang tidak sealiran sungai dengan kampung kami. Akhirnya kami semua, delapan bersaudara dengan ibunya pergi ke rumah neneknya si Uncil, teman sepermainanku.
"Mina... Mina...," ibu mengetuk keras pintu rumahnya, "Tolong, anakku kemasukkan tulang."
Ibu selalu memanggilnya mina, artinya tante, sedangkan kami memanggilnya tambi yang berarti nenek. Kami sangat menghormatinya, terutama karena ibu selalu menekankan, kami semua--delapan bersaudara--tambi inilah yang pertama kali menyambutnya.
Ia membuka pintu sambil berkata, "Seharusnya kamu jangan berteriak-teriak seperti itu diluar rumah. Setan pasti mendengarnya."
Ia tetap mempersilahkan kami masuk. Nenek ini sendirian di rumah, si Uncil, saudara serta ibunya berada di ladang seberang sungai.
"Kalau ada orang malam-malam luka atau sakit, jangan mengatakannya keras-keras di luar rumah. Setan yang sedang lewat bisa mendengarnya. Sekarang mereka pasti sudah menunggu di karayan," katanya sambil duduk.
Semua rumah punya karayan, teras tanpa atap di belakang rumah. Banyak orang berkata, setan lebih suka menunggu di sana, karena gelap dan selalu ada pohon di dekatnya.
Ia lalu membakar kemenyan. Mengusir setan yang menurutnya pasti sudah berkumpul di belakang rumah. Setelah bau semerbak memenuhi rumah, baru ia melihat keadaan Mantuh yang entah mengapa tampak lebih ketakutan daripada kesakitan.
Nenek tua ini hanya sekali memasukkan tangannya, Mantuh langsung muntah. Tulang itu keluar bersamaan dengan muntahannya.
Saat Mantuh lulus kuliah, aku baru tahu, ia masih ingat kejadian itu. Menurutnya, ia langsung muntah karena nenek tua ini sama sekali tidak mencuci tangannya setelah membakar kemenyan.
***
Aku sudah mengalaminya, adikku juga sudah. Orang lain yang kukenal juga pernah mengalaminya.
Aku sudah kelas enam. Ada anak kemasukkan sungket, kami semua pergi melihatnya. Si kembar--Nyai dan Mantuh--sudah sekolah. Kalau ada kejadian menarik, kami tidak perlu menggendong mereka lagi. Kami bahkan tidak kaget, saat sampai di sana, mereka berdua sudah berdiri di depan pintu.
Banyak orang berkumpul, sepeda Mantri Supardi sudah ada di sana. Kami tidak bisa masuk, hanya menunggu di luar; mendengar orang bercerita. Katanya, Batok sedang bermain dengan sungket, sejenis kumbang yang bersarang di tunggul busuk pohon kelapa yang ditebang. Lalu Kristina, adik bungsunya menangis minta binatang kecil ini. Si Batok pelit, ia menyembunyikannya di mulut.
Sungket, ukurannya sebesar kecoak. Tidak pipih, tetapi bulat hitam. Bila orang kota bermain dengan jangkrik, kami bermain dengan sungket. Binatang ini akhirnya mati, tetapi besoknya kami kembali ke rumahnya. Menonton orang membawa Batok ke kota.
Seminggu kemudian, baru ia kembali ke sekolah. Batok yang masih kelas tiga mendapat nama baru, Sungket. Aku yang memberinya nama itu, si Dein juga ikut-ikutan menggodanya.
Sampai sekarang, aku tidak pernah mendapat masalah dengan Batok gara-gara itu. Hanya saja Dein mendapat sedikit masalah. Sepulang dari Jogja, ia pacaran dengan Kristina yang baru lulus Akademi Perawat. Suatu hari, Dein menelponku. Sedikit menyalahkan aku, ia bercerita, Batok masih ingat kenangan masa lalu itu. Membalasnya dengan memperlihatkan sikap bermusuhan setiap kali Dein mengapeli adiknya.
Aku tidak tahu, apakah ini salah satu penyebab Dein dan Kristina akhirnya putus.
***
Catatan:
Ini hanyalah kenangan "manis" yang kuingat saat seorang teman sharing tentang tulang ayam yang nyangkut di tenggorokannya saat menikmati makan malam romantis bersama sang pacar.
- anakpatirsa's blog
- Login to post comments
- 5262 reads
"manis" = lucu cerita anda
"manis" = lucu
cerita anda lucu sekali. Saya boleh ketawa terbahak-bahak. Tapi anda menulis dengan baik sekali...
Kenangan Klasik
Atirsa (or Apatis?), indah sekali ya kalau menikmati kenangan masa lalu yang nuansanya sangat natural. Mungkin kenangan seperti itu sudah tidak pernah dialami lagi oleh anak-anak modern perkotaan saat ini.
Nangka belanda, jeruk bali, jeruk nipis , pepaya, pisang , dkk hanya dikenal dari rak-rak buah super/hypermarket. Sekarang anak-anak sudah pada sibuk dengan hp, game online, facebook, googling. Makanpun yang instants2 seperti chicken nugget, fish nugget, beef/chicken/fish ball alias baso2an yang kaga ada tulangnya, minumpun sudah juice2an....yang pasti tidak ada biji segede nangka belanda seperti yang nyangkut di hidungmu.
Ya begitulah...beda jaman beda bijinya....eh maksudku beda kondisinya.
@ap : gw suka yg romantis
Jesus Freaks,
"Live X4J, Die As A Martyr"
-SEMBAHLAH BAPA DALAM ROH KUDUS & DALAM YESUS KRISTUS-
Jesus Freaks,
"Live X4J, Die As A Martyr"
-SEMBAHLAH BAPA DALAM ROH KUDUS & DALAM YESUS KRISTUS-
AP.. suka masuk ke lubang..
AP: Tidak ada larangan memasukan biji sirsak ke lubang hidung. Aku sudah berusaha mengeluarkannya dengan menghembus nafas sambil menutup lubang hidung yang kosong. Biji itu tetap tidak mau keluar, bahkan terasa ada yang sakit di lubang telinga.
AP.. AP.. emang sudah kebiasaan kali ya.. masuk-kan apa-apa ke lubang.. masih kecil masukkan biji sirsak ke lubang hidung,.. sudah gede sekalipun juga begitu... masukan cotton bud.. ke lubang kuping.. berkali-kali lagi.. walah.. nggak kapok-kapok..
salam AP.... "Hebat juga
salam AP....
"Hebat juga kamu, tahu mana biji yang muat di hidung kecilmu.
Jadi saya pun tertanya2 apalah dalam fikiran si bocah itu sehingga dia menyumbatkan biji itu ke hidungnya ya?
wakakakaka....tidk boleh tahan ketawa bro....
Luar Biasa
Luar biasa cara berceritanya