Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Joni Eareckson Tada
Aku tidak ingat siapa namanya waktu pertanyaan “Name three persons you would invite to your dream dinner” muncul di session ice-breaking workshop kali ini. Pertanyaan yang awalnya kujawab mantap “My dad, my mom, my sibling and my future husband”. Tapi karena dream dinner dengan mereka sudah menjadi a dream come true, jadilah Mr. John Calvin, Mr. Adolf Hitler dan dia whose-name-I-cannot-recall masuk daftar Top Three-ku saat itu.
Aku belum juga ingat siapa namanya saat terseok-seok dari lorong ke lorong membawa keranjang berisi sedikitnya selusin buku masing-masing setebal minimal dua sentimeter buah pikiran C.S Lewis, John Piper, R.C. Sproul, Philip Yancey, Gordon MacDonald plus dua bible study yang ketebalannya bisa membinasakan orang yang tercium mesra olehnya. Meskipun tubuh mungil ini (mungil?!) tertatih-tatih menyeret keranjang di sepanjang Christian book warehouse yang jumlah bukunya membuatku terpana sesaat setelah masuk, aku tidak mau menyerah hingga berhasil mengingat namanya. Sayangnya benar kata orang “lupa bertanya sesat mencari”.
Akhirnya setelah berhadapan dengan kenyataan akan anggaran yang terbatas dan waktu boarding yang semakin dekat, dengan enggan aku melaju menuju tempat kasir hanya untuk tersandung setumpukan buku berjudul “Heaven: Your Real Home” by Joni Eareckson Tada. Yipeee!!! Sejenak aku lupa dengan soal anggaran dan boarding itu. Mengandalkan kemampuan matematikaku yang terbatas aku menghitung-hitung buku mana yang akan kubeli. Jadilah Heaven: Your Real Home pilihanku yang pertama, sebagai persiapan untuk masa depan. Persiapan untuk bertemu dengan Dia yang digambarkan Joni dalam bukunya yang berikutnya kupilih The God I Love.
Berjuang kembali ke negeri tercinta ini setelah re-timed hingga lima jam, di tengah malam yang berangin dingin itu aku menunggu antrian taksi yang tak kunjung tiba dengan satu perasaan tenang dan hangat oleh sukacita mengingat kisah indah yang segera akan aku nikmati. Joni’s The God I Love adalah salah satu buku pertama yang aku buka dan aku terpana... Membaca kisahnya memaksa aku yang tidak mahir multi-tasking ini harus pandai-pandai membaca sambil membuka Bible sambil merenung, sambil berdoa sekaligus menghapus airmata dan tertawa (uhm… dalam bahasa Mandarinnya ge i el a atau si ar e zet wai?).
Kisahnya indah tapi mungkin bukan seperti yang aku dan kau bayangkan pada awalnya. Kalau kau mencari gambaran seorang gadis muda yang tangguh meskipun lumpuh dari leher ke bawah (quadriplegic) karena diving accident, kau salah pilih buku. Kalau kau mencari gambaran pahlawan iman yang dengan gagah berani menghadapi berbagai situasi sulit dan tetap percaya pada Tuhan, lebih baik kau baca saja buku lain.
Karena di sini kau akan berhadapan dengan kisah “ketidaktangguhan” seorang anak Tuhan dalam menjalani hidupnya. Kelemahan demi kelemahannya dipaparkan dengan tulus dan terbuka. Joni dengan jujur akan bercerita padamu berbagai kesalahan yang dia perbuat sepanjang hidupnya dan bagaimana Tuhan dalam belas kasihnya menebus semua itu untuknya. Tidak, ini bukan buku yang aman untuk orang yang mencari therapeutic healing, kau akan kecewa. Kau cari saja buku yang lain. Tetapi… kalau kau ingin mengenal lebih jauh siapa Tuhanmu, mari ikuti aku membacanya. Untuk kali ini, ijinkan aku bercerita lebih dahulu kepadamu…
The God she loves, allows us to taste what hell is like…
Terbaring terikat pada Stryker frame selama beberapa bulan pertama, di bawah pengaruh obat bius dosis tinggi yang menimbulkan halusinasi menyeramkan, menjadikan kebas (numb) sebagai emosi yang terakrab. Sehingga bahkan kengerian akan kuku tangannya yang harus dicabuti satu-persatu akibat infeksi, tidak ada bandingannya dengan kebas perasaannya saat menanti Tuhan melawatnya di kolam Bethesda. Tidak ada malam segelap itu, saat Tuhan dirasa membisu dan membiarkan jiwanya terbunuh. That was the taste of hell, that was the real suffering...
Tetapi Tuhan tidak pernah membiarkan the taste of hell menjadi realita kita. Tidak akan pernah. Pada satu malam yang tak tertahankan Tuhan mengirim seorang sahabatnya mengendap-endap menyelinap memasuki kamar Joni setelah suasana di rumah sakit senyap. Seorang sahabat yang kemudian sepanjang malam berbaring di sampingnya, tanpa kata-kata memegangi tangan Joni yang sudah mati rasa. Menjawab keluhan Joni, “Jacque, it’s been so hard. So scary. I’m afraid," hanya dengan menyanyikan lembut Man of Sorrows! What a name; For the Son of God who came; Ruined sinners to reclaim; Hallelujah! What a Saviour!
Untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu sejak kecelakaan itu terjadi, Joni tahu bahwa keberadaannya signifikan di dunia ini. For the very first time, it was okay. It was just... okay. Dengan lembut Tuhan terus mengingatkan, “I love you. Don’t worry. If I loved you enough to die for you, don’t you think My love is great enough to see you through this?”
Ya, neraka bukanlah pilihan bagi setiap anakNya. Itulah sebabnya neraka tidak pernah jadi realita meskipun dalam dunia yang jatuh dalam dosa seolah itulah kenyataannya. Tapi telah ada Dia yang turun jauh dari tempatNya untuk membawa kembali setiap anakNya yang merasa nerakalah pilihan hidup mereka.
The God she loves, creates marriage as a ministry for Him...
“I love you Joni,” young and handsome Ken Tada said.
“Well, you know what? I love you, too,” Joni replied. Ken continued, “It could work, you know. I’ve been watching Judy help you all these months, I know I can do the things she and others do for you.”
“You’re talking marriage?” Joni asked.
“Our life together... it could be a real ministry for the Lord,” Ken softly said.
Beberapa bulan kemudian Joni menambahkan nama Tada pada namanya. Joni Eareckson Tada. Aku tak ingin banyak berkisah tentang mereka. Kau dengarkan saja dulu rekaman video saat Ken Tada dihormati lewat pemberian McQuilkin Award bertahun kemudian setelah hari mereka saling berkata, “I do” ini (klik di sini). Itu saja sudah bercerita milyaran kata tentang indahnya melayani Tuhan lewat pernikahan kita. Aku kini hanya ingin memanggil seluruh wanita untuk belajar pada Ken Tada tentang apa artinya menjadi a godly woman worthy of one of His sons as their spouse.
Marriage as a ministry. Is that an alien concept for us or is it already what you believe it should be and striving hard to do? John Piper pernah menyinggung hal ini dalam salah satu artikelnya Let Us Go With Jesus Bearing Reproach. Dan dalam Brothers We Are Not Professionals dia menyebutkan, “God made man to be a sharer. God created us not to be cul-de-sacs of His bounty conduits. No man is complete unless he is conducting grace (like electricity) between God and another person.” I can’t agree more with him. To minister God through the ministry to others. To be sharers of God's grace for one another.
The God she loves, loves to teach us through children...
Pernikahan Ken dan Joni yang indah bukannya tanpa pergumulan dan air mata. Meskipun quadriplegia tidak merenggut kemampuan Joni untuk mempunyai anak, tetapi Tuhan dalam kedaulatanNya memberi kisah lain untuk dijalani. Dalam kepedihan hatinya di masa-masa awal berhadapan dengan kenyataan akan tiadanya anak dalam perkawinan mereka, Tuhan mengirimkan berbagai anak tiba padanya. Bukan sembarang anak, tetapi mereka yang fisiknya tidak sempurna. Tuhan membuka hati Ken dan Joni untuk mencintai mereka semua. Hati yang awalnya hanya mampu mencintai beberapa anak, diperluasNya sehingga mampu mencintai ribuan anak.
“We may not be able to have our own children, but we have the children all around the world. Yes, disabled children.” Dan melalui anak-anak ini Joni dibuat terkagum-kagum akan kemampuan anak-anak menghadapi kesulitan-kesulitan hidup mereka. Joni will tell us this, “Through a sweet little child I’ve learnt about true wisdom. It’s found not in being able to figure out why God allows tragedies to happen. True wisdom is found in trusting God when you can’t figure things out.”
Dan itu bukan pelajaran yang pertama. Kelly, keponakannya berusia enam tahun didiagnosa menderita tumor otak dan hanya bisa hidup sebulan lagi. Seluruh keluarga termasuk Joni berusaha mempersiapkan Kelly pulang ke surga. Tetapi Tuhan membalikkan peran. Yang hendak menghibur menjadi yang dihibur. Yang ingin menguatkan menjadi yang dikuatkan.
The God she loves is not “safe”...
Pada chapter 26 mendekati akhir buku, Joni dikisahkan kembali mengalami masalah medis yang menguncangkan kembali kehidupannya. Masalah myo-fascia yang selama beberapa saat tidak bisa didiagnosa membuat hidupnya yang ceria menjadi kehilangan harapan saat berhadapan dengan nyeri yang rasanya tak tertahankan. Aku sempat terpana membacanya. Orang yang sudah mengalami begitu banyak kesulitan luar biasa dan dimampukan Tuhan melewati semuanya, mengapa masih bisa kehilangan harapan?
Ini adalah wanita yang berkata, “Suffering is like a sheepdog that snaps at your heels and keeps driving you toward the Shepherd,” and she meant it. Ini adalah wanita yang berkata, “I want you all to know my accident was no accident at all,” saat melukiskan Kedaulatan Allah yang selama ini selalu mengiluminasikan hidupnya.
Tetapi wanita yang sama ini kemudian pada satu malam kelam tak mampu lagi berdoa dan hanya melitanikan nama Yesus tiada henti seperti aku bertahun yang silam, "Jesus, Jesus, Jesus." Hanya hatinya yang mampu berkata, “I want to trust the Father with this, but he’s so... so sovereign. And that’s scary. I’m afraid to trust him. I can’t. I can’t.” Kedaulatan Allah tidak pernah begitu menakutkan seperti saat itu.
Joni bertutur tentang tentang kecelakaannya, “And miracle of miracles, I was making it. Years were passing, and I was maintaining my balance, cultivating patience and endurance, and watching things fit together for good. No longer. Mind-bending pain had begun to jiggle the wire, and I’d lost sight of God at the far end.”
Tuhan tidak akan membiarkan anak-anakNya menjadi nyaman dengan dunia ini karena ini bukan rumah mereka. Ia akan menggoncangkan sarang-sarang palsu yang nyaman itu untuk mengajarkan bahwa mendapatkan Dia berarti kehilangan segalanya. Tidak ada aman, selain bersamaNya. Tidak ada sukacita, selain di dalam anugerahNya. Tidak ada yang berharga selain diriNya. Hanya lewat perspektif kekekalanlah kita akan mengerti betapa Tuhan yang “tidak aman” ini sesungguhnya telah mengamankan perjalanan kita hingga nanti tiba di surga. Mencelikkan mata tentang apa yang sesungguhnya berharga.
Jika matamu telah terbuka maka kau akan mengerti hidup ini bukan seperti dalam putaran roda. Sebentar di atas, sebentar di bawah. Saat kau rasa di bawah mungkin sekali kau justru tengah dengan luar biasa dibentukNya sehingga semakin menyerupai AnakNya. Kalau begitu, ini bukan lagi urusan hidup enak-susah karena bukan itu tujuannya, bukan itu yang jadi fokus hidupmu. Melainkan mendapatkanNya, dipuaskan hanya karena Dia dan hidup bagiNya. We’re not safe in this world and it is okay because we’re always safe in Him as He has already saved us.
Whoops... tak bakal habis aku berkisah tentang the God Joni loves. But this I should be sure of, the God Joni loves is the God who loves me. I can never be confident in my love for Him, but I can always be confident of His love for me. A dream dinner comes true? Hm... I know whom I will invite for the next time. Only one. That is God the Father, God the Son and God the Holy Spirit... What a dinner it would be!
Next journey: A Resilient Life - Gordon MacDonald... = )
- xaris's blog
- 6631 reads
Bikin aku pengen beli buku ini
Kak Xaris: Akhirnya aku menemukan
Clara: Kisah yang luar biasa
Allo Clara,
Wah, aku yang seneng nih denger kamu juga punya perasaan yang sama tentang Joni Eareckson Tada. Pertama kali baca tulisan dia bertahun silam di Alkitab untuk orang-orang tua, dia sumbang beberapa tulisan untuk renungan singkat dan dia bicara tentang Surga. Aku tertarik karena waktu itu aku sempat menduga2 ini laki2 apa perempuan, hehehe...
Aku coba Google, Yahoo, Gooyaglehoo mencari The God I Love di bahasa Indonesia, tapi keliatannya kamu benar, belum diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. Nanti aku coba ke site joniandfriends.org untuk tanya mereka = )
The God I Love buat aku sangat luar biasa. Dia bercerita tentang kisah hidupnya tapi yang aku lihat justru bukan Joni tapi bagaimana Tuhan yang berdaulat penuh itu merangkai segala sesuatu. Aku makin pingin pulang ke Rumah, Clara. Satu2nya hal yang bener2 masih bikin betah di sini adalah bahwa ada maksudnya aku ada di dunia ini. Jadi selesaikan tugas itu supaya waktu di Rumah nanti sukacitanya bener2 penuh ibarat orang yang udah kelarin pr dan plong rasanya, hehehe....