Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Ini Aku, Utuslah Aku!
Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata:
"Siapakah yang akan Kuutus,
dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?"
Maka sahutku:
"Ini aku, utuslah aku!"
(Yesaya 6:8)
***
Aku punya teman yang entah kenapa ingin menjadi seorang penerjemah Alkitab. Aku mengenalnya sejak kecil sehingga tahu dengan pasti kalau ada sesuatu yang 'salah' dengan rencana ini. Dalam hati aku berkata, jangan-jangan ini hanyalah emosi sesaat. Ikong yang dulu kukenal adalah Ikong yang tidak pernah menyentuh lantai gereja, apalagi membaca Alkitab.
Ikong yang menyuruhku membaca Yesaya pasal 6, membaca bagian yang sudah ditandainya dengan stabilo. Aku tidak bisa menahan senyum waktu ia mengeluarkan sebuah Alkitab dari dalam tasnya. Aku berusaha keras untuk tidak tertawa. Tidak ada yang lebih lucu daripada melihat seorang yang kesekolahpun hanya membawa sebuah buku kumal tiba-tiba mendatangiku dengan tas berisi Alkitab.
Ia berkata kalau ketika membaca ayat di atas, ia merasakan ayat ini berbicara kepadanya, seolah-olah Tuhan juga berbicara dan ia telah menjawab "Ini aku, utuslah aku!" melalui sebuah proses yang sangat panjang.
"Aku telah berkata 'ya' kepada Tuhan," Ikong berkata kepadaku, aku sudah begitu mengantuk, tetapi ia telah menyogokku dengan sebotol Coca-cola. "Tidak mudah bagiku untuk mengatakan 'ya', tetapi Ia membuat aku harus menjawab 'ya' melalui perjalanan hidup yang cukup rumit. Melalui keputusan yang salah, kekecewaan, sakit hati dan perasaan bersalah."
Aku hanya diam saja, sebenarnya aku tidak suka dengan gaya bercerita seolah-olah menerawang. Aku bahkan merasa ia sedang tidak berbicara denganku. Ia sedang berbicara kepada angin malam.
"Semua itu membuatku ingin pergi ke sebuah daerah terpencil, menjadi seorang penerjemah Alkitab." Sekarang aku benar-benar kaget. Aku berharap orang yang sedang di depanku ini sedang tidak mabuk. Lalu ia melanjutkan sambil memandang sarang laba-laba yang menghiasi kamar tidurku. "Bukan karena idealisme seorang yang baru mengenal Tuhan. Tetapi karena aku menyukai kehidupan daerah terpencil, kehidupan yang dikelilingi pepohonan besar. Aku ingin punya sebuah pondok kecil di pinggir sungai."
Kami sama-sama lahir dan besar di pinggir hutan, sehingga untuk kalimat terakhirnya aku setuju, aku juga ingin bisa hidup seperti itu. Sekarang aku mulai tertarik dengan pembicaraan ini, bukan lagi karena sebotol Coca-cola. Aku suka menulis dan ingin suatu saat bisa pergi ke sebuah daerah pedalaman dan menulis tentang kehidupan yang kutemui di sana. Tiba-tiba kantukku menjadi hilang.
"Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan selanjutnya," lanjut Ikong, "aku merasa heran semua orang selalu bertanya apakah aku pernah menghubungi lembaga yang terlibat dalam penerjemahan Alkitab di daerah pedalaman. Aku tidak pernah menghubungi sebuah lembaga seperti itu, karena aku merasa aku tidak perlu melakukannya."
"Kenapa kamu merasa tidak perlu melakukannya?" tanyaku ringan, "dan kenapa itu baru terpikir?"
"Beberapa malam yang lalu, seorang yang paling dekat denganku menanyakan pertanyaan yang sama." jawabnya dengan muka sedikit memerah. Aku hanya bisa menahan senyum.
"Aku merasa telah melakukan bagianku dengan berkata 'ini aku, utuslah aku'", lanjutnya dengan penuh semangat. "Aku merasa Tuhan sekarang harus melakukan bagian-Nya, termasuk membuka jalan dan menyediakan apa-apa yang kubutuhkan. Kalau Ia benar-benar memanggilku, Ia akan membuka jalan. Aku hanya perlu tinggal di rumah, menunggu Ia menyiapkan segala keperluan untuk itu."
Entah apa yang terjadi dengan kepalaku yang sebenarnya cukup tumpul dan sedikit bebal ini, tiba-tiba saja aku melihat orang di depanku agak sedikit tolol. Aku telah cukup lama luntang-lantung untuk menyadari bahwa seorang yang merasa dipanggil oleh Tuhan tidak akan bisa mengatakan 'ya' lalu duduk ongkang-ongkang kaki. Aku telah belajar bahwa Tuhan sepertinya tidak menginginkan yang seperti ini. Mungkin aku salah, tetapi aku merasa Tuhan ingin aku melakukan apa yang menurutku sebenarnya bagian-Nya.
Ketika aku berkata "ini aku, utuslah aku", sepertinya aku tidak boleh hanya tidur siang sambil menunggu Tuhan menyiapkan segalanya. Tidur siang menunggu Tuhan memberi instruksi dalam mimpi tidur siang yang nyenyak. Seandainya aku berkata "ini aku, utuslah aku" maka aku harus menyiapkan segala sesuatu untuk keberangkatan itu.
Seandainya aku jadi Ikong, aku punya dua pilihan, berangkat tanpa membawa apa-apa dalam perjalanan, tanpa membawa tongkat dan bekal, tanpa roti, tanpa uang, bahkan tanpa dua helai baju. Seperti kedua belas murid Yesus yang pergi memberitakan kerajaan Allah ketika Ia masih bersama dengan mereka. Pilihan kedua, membawa pundi-pundi, membawa bekal, bahkan menjual jubahku untuk membeli pedang, seperti perkataan Yesus pada waktu perjamuan malam sebelum orang Yahudi menangkap-Nya.
Kalau aku jadi Ikong, aku akan harus memilih yang kedua, bukan karena tidak percaya kepada Tuhan. Aku marasa inilah yang Ia kehendaki aku lakukan. Aku melihatnya pada Abraham, Ishak dan Yakub, maupun tokoh-tokoh Alkitab lainnya. Dari cerita kehidupan mereka, aku menyadari bahwa aku harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupku, bahkan aku harus bekerja untuk mencapai tujuanku, sekalipun tujuan itu bukan atas kehendakku sendiri.
Entah mengapa, aku teringat cerita adikku tentang pendeta di kampung kami. Cerita tentang seorang pendeta yang harus kehilangan seekor babi hanya karena jemaatnya menganggap seorang pendeta tidak boleh memelihara babi untuk menyambung hidup. Jemaat percaya Tuhan akan memelihara kehidupan pendeta sehingga pendeta tidak harus menjadi peternak babi. Jadi, suatu malam mereka membunuh satu-satunya babi yang dipelihara oleh istri pendeta ini, karena yakin pendeta hanya boleh memelihara domba yang dipercayakan oleh Tuhan, bukannya seekor babi.
Aku ingin perkataan adikku waktu itu, "menurutku, menjadi pelayan Tuhan bukan berarti tidak melakukan apa-apa selain meminta berkat turun dari langit begitu saja." Aku tidak tahu apakah adikku benar atau salah, tetapi sebagai seorang kakak aku lebih senang walaupun sebagai pendeta, adikku berangkat ke sawah setiap sore.
Mungkin karena aku terlalu lama diam, Ikong meninggalkan aku begitu saja, mungkin ia jengkel karena aku sibuk dengan pikiranku sendiri, begitu menyadari kalau Ikong sudah pergi aku merasa bersalah. Dan aku terbangun dari mimpiku. Teryata aku cuma bermimpi. Mimpi dalam tidur siang yang sangat nyenyak. Dan aku hanya bisa tersenyum sendiri, jarang-jarang aku bisa sedikit dewasa dalam kehidupan nyata.
- anakpatirsa's blog
- 6671 reads
Menyingkap Sarung Anak Partisa
Anak Partisa, kalau saya punya waktu luang, maka saya pasti akan ke Solo, hal pertama yang akan saya lakukan di Solo adalah menyingkap sarung anda untuk melihat orang seperti apa yang ada di balik sarung itu. Setelah itu, saya akan traktir anda makan di pasar klewer lalu traktir anda di pasar buku bekas.
Ketika bertemu dengan mas daniel, dia bercerita tentang anda, waktu itu saya titip salam untuk anda dan minta mas daniel membujuk anda untuk mempublikasikan tulisan anda di sabdaspace. Setelah membaca tulisan-tulisan anda, saya geleng-geleng kepala, menurut saya anda melihat dunia dari sudut yang berbeda dari manusia biasanya.
Saya baru saja pulang dari rumah teman yang agak grogi menghadapi hidup ini, karena rasa kantuk belum berkunjung, maka saya membuka sabdaspace untuk menghibur diri. Ketika membaca tulisan anda, saya ketawa ngakak, benar-benar tertawa terbahak-bahak. Kalau saya pemeluk agama Budha, saya pasti menyangka bahwa anda adalah titisan Chairil Anwar. Karena saya murid Yesus, maka saya hanya bisa bilang, "tolong pinjamkan kaca mata anda, agar saya dapat memandang dunia seperti anda memandang dunia, kawan!"
Anda benar-benar anak partisa
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak