Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Induk Ayam dan Induk Elang
Saya ingat ketika kami tinggal di wilayah "pedesaan", ibu memelihara beberapa ekor ayam. Sebagai anak-anak yang selalu ingin tahu, kami selalu memantau perkembangan ayam-ayam kami, mulai dari telur hingga menjadi induk ayam yang dewasa.
Satu hal yang menarik perhatian saya adalah perilaku induk ayam setelah menetaskan telur-telurnya. Kalau semula induk ini begitu tenang seketika itu juga ia berubah menjadi agresif. Coba saja mendekatinya, saya pastikan tidak ada yang dapat lolos dari patukan si induk yang sangat protektif pada anak-anaknya.
Saking sayang pada anak-anaknya, si induk selalu mencarikan makanan dan menyediakan kedua sayapnya untuk menaungi anak-anaknya. Di mana ada si induk di situ pula anak-anak ayam yang begitu bergantung pada si induk.
Naasnya, suatu hari induk ayam kami tiba-tiba "meninggal dunia" akibat nekat menyebrangi pagar bambu kandangnya dan gagal. Induk itu kemudian berakhir di atas meja makan kami. Kehilangan induknya, anak-anak ayam kami bingung. Satu-persatu anak ayam kami mati, dan pada akhir minggu itu tak satupun anak ayam yang tersisa. Ternyata anak-anak itu tak bisa hidup tanpa induknya. Saat sang induk mati, anak-anak pun mati.
Saya kemudian teringat akan induk elang. Metode yang digunakannya untuk mengajar anak-anaknya boleh dikatakan kejam. Ia akan "mengusir" anaknya dengan membuat sarang terasa tidak nyaman, bahkan ia akan menjatuhkan anak-anaknya dari sarang yang notabene berada di ketinggian. Kedengarannya kejam, tapi itulah perwujudan kasih induk elang pada anak-anaknya. Dalam keadaan yang sedemikian, anak-anak elang itu terpaksa mengepakkan sayapnya untuk terbang. Pada saat sang anak terjun bebas menuju bumi, si induk mengamati dari atas dan pada saat yang tepat ia akan menyambar si anak dan kemudian menjatuhkannya lagi. Pada akhirnya, elang muda itu kemudian akan menjadi piawai mengarungi dirgantara bahkan saat sang ibu tidak ada di sana.
Dua pola pengasuhan yang jauh berbeda, demikian pula hasilnya. Garis merah dari kedua pola pengasuhan ini adalah kasih sayang. Kasih sayang sering diejawantahkan secara berbeda. Ada yang menterjemahkan kasih seperti induk ayam yang selalu berupaya agar sang anak terhindar dari masalah dan rasa sakit. Ada pula yang serupa induk elang yang menunjukkan kasih dengan memaparkan anak pada keadaan nyata dan memberinya kesempatan untuk belajar dari setiap pengalaman jatuh, takut, dan terluka. Tentunya model pengasuhan kedua menghasilkan anak-anak yang lebih dewasa dan mandiri, sehingga saat sang ibu pergi anak-anak tetap dapat bertahan hidup.
Saya sangat bersyukur Bapa Sorgawi kita mengasuh kita layaknya induk elang. Ia membiarkan kita jatuh dan terluka, tapi tetap menjaga kita. Ia tahu batas kemampuan kita. Suatu saat kita akan menjadi kuat dalam mengarungi hidup.
Terima kasih karena kasih Tuhan adalah kasih yang membebaskan kita dari ketidakberdayaan....
Bukan kasih yang memanjakan dan melumpuhkan...
- clara_anita's blog
- 7559 reads
apakah kita induk ayam?
merujuk pada tulisan diatas jadi teringat blog-ku "menjadi guru seperti orang pacaran". Kebanyakan orang tua sering menjadi seperti induk ayam yang sangat agresif melindungi anak-anaknya, sampai-sampai anak-anak jadi gak bisa mandiri.
Dalam posisi saya yang masih membujang memang mudah berbicara demikian, kan belum pernah punya anak. seperti saya, calon orang tua, teman-teman semua berusahalah untuk menjadi orang tua yang memberi "ruang" yang luas bagi anak-anak kita nantinnya, supaya menjadi anak-anak yang merdeka dalam berpikir dalam bingkai firman Tuhan Yesus. amin...
induk ayam
Artikel yang cukup menyentuh, tapi ada bagian yang rasanya kurang pas.
Yesus sendiri menyamakan diri-Nya dengan induk ayam yang rindu mengumpulkan anak-anak-Nya di bawah sayap-Nya (Matius 23:37 & Lukas 13:34.) Sedangkan rujukan mengenai Allah sebagai elang justru tidak dapat ditemukan dalam Alkitab. Yang ada hanya rajawali dalam Ulangan 32:11, itu pun konteksnya adalah penjagaan Allah yang luar biasa atas umat-Nya. Mungkin inspirasinya dari sini ya?
Menurut saya Allah bisa jadi elang (atau rajawali,) bisa juga jadi ayam, tergantung keadaan dan kedekatan kita masing-masing kepada-Nya. Lagipula Allah bukan makhluk fana yang bisa mati seperti induk ayam dalam cerita itu, jadi tidak ada salahnya bergantung sepenuhnya kepada Allah. Bukankah dia sumber hidup kita?
Ada bedanya...
Syalom,
Semoga semangat Natal akan terus ada di hati kita walaupun kita sedang sibuk-sibuknya bekerja... Ada perbedaan yang cukup mendasar dari perumpamaan ayam dan rajawali.... Waktu itu saya pernah melihat vcd dari seorang pendeta... dikatakan disana bahwa Rajawali itu adalah hewan yang setia... sedangkan Ayam Jago digambarkan sebagai hewan yang tidak setia... Setelah perkawinan usai biasanya ayam jago akan pergi mencari betina lain... sedangkan rajawali jantan akan tetap setia pada pasangannya... menungguinya... dan mencarikan makanan untuk betinanya juga untuk anak-anaknya... Kiranya kita semua khususnya kaum pria dan bapak-bapak dapat mencontoh teladan dari Rajawali Jantan tersebut.... TUHAN Memberkati.
BIG GBU!
Ayam ku mati dimakan Elang