Ketika saya bercerita bahwa banyak pekerjaan kantor yang harus saya kerjakan dengan komputer pribadi di rumah, auditor internasional itu bertanya, “Programnya dari CD asli yang kamu beli sendiri?”
“Semua program dalam komputer saya di-instal oleh penjual komputer.”
“O no, ini pelanggaran hukum. Perusahaan kita ini sudah berkomitmen untuk menghormati undang-undang hak cipta dan hak paten. Semua program yang ada di puluhan komputernya semua berlisensi. Kita beli satu CD program dan melaporkan dengan surat resmi berapa banyak komputer yang diisi dengan program itu untuk dihitung berapa pembayaran extra yang harus kita setorkan.”
“You know,” ia melanjutkan ceramahnya, “Setiap pekerjaan administrasi kantor ini tidak boleh dikerjakan dengan program bajakan. Jangan lagi mengerjakan laporan di rumah, kecuali kamu sudah beli sendiri CD programnya.”
Tentu saya tidak bodoh dengan kemudian membeli CD asli semua program komputer yang saya butuhkan. Uang yang harus saya belanjakan pasti 2 sampai 3 kali dari harga komputernya sendiri. Tapi, apa betul saya telah melakukan pencurian?
VCD program bajakan
Maka ketika dia sedang tampak senang menikmati makan siang dengan berbagai menu dim sum di sebuah resto Chinese, saya berkata kepadanya,
“Kita sekarang bicara secara pribadi, lepas dari atribut jabatan kita. Saya ingin tahu dalam undang-undang hak cipta apakah saya yang mencuri ciptaan pembuat program itu karena tidak membeli sendiri; atau pencipta program itu yang mencuri hak saya untuk menjadi pandai karena ia menjual CD aslinya begitu mahal?”
“Sebentar, jangan tergesa-gesa menjawab. Di negeri ini pembajakan CD program seolah-olah bukan tindak kejahatan. Perusahaan pembuat program juga tidak mendesak pemerintah menghukum pembajaknya. Apakah para CEO-nya itu orang bodoh? Tentu tidak. Mereka sengaja mendiamkan para pemilik komputer membeli program mereka yang dibajak dengan harga murah. Dalam teknik pemasaran, ini disebut umpan. Umpan yang begitu ditelan oleh konsumen akan membuatnya spending much much more money, seperti printer yang harganya murah banget tidak lebih dari 2 juta tetapi tintanya 400 ribu rupiah.”
“Bukankah itu juga yang terjadi pada VCD program? Begitu program itu dimasukkan ke dalam komputernya, apa yang terjadi? Seluruh sistim komputernya macet, paling tidak jadi lambat sekali kerjanya. Mengapa? Karena software itu membutuhkan komponen hardware yang baru, entah itu kartu memorinya yang lebih tinggi atau kecepatan berpikirnya yang harus sekian kali lebih cepat. Di sinilah para pemilik komputer harus merogoh kantongnya dalam-dalam. Sering mereka terpaksa membeli komputer baru. Saham siapakah yang ada dalam perusahaan komponen komputer itu? Who knows? Coba kamu sebutkan program-program yang ada saat ini, yang manakah yang bisa dimasukkan ke komputer yang kami beli 15 tahun yang lalu? None! Mobil yang kita beli 15 tahun yang lalu saja masih bisa kami naiki, sedangkan komputer, bisa juga dinaiki sih, tapi nggak bisa buat kerja. Lebih-lebih lagi bila hak paten ini berlaku untuk 50 tahun bukan 5 tahun. So tell me now, siapa mencuri siapa in this case?”
“Ini sudah disahkan sebagai undang-undang,” kilahnya, “jadi kamulah pencurinya.”
“Agreed. I am a thief but not a sinner,” kata saya jengkel.
“Sinner apa nggak, kamu tanya sama pastormu,” jawabnya terbahak.
Sampai sekarang saya belum berani bertanya kepada pendeta saya karena saya lihat program yang ada di komputernya dan juga di komputer gereja masih bajakan. Entar gue dikira ngeledek.
Membajak vcd rohani
Seorang teman yang melayani di yayasan multi media rohani mengeluh. Vcd rohani yang diproduksinya dan dipasarkan dengan harga eceran tertinggi Rp.25.000.- per keping kalah bersaing dengan vcd bajakan yang hanya Rp.10.000,-. Yang bikin pusing stok di gudang masih ada 2000 keping, sedangkan volume penjualan di agen-agennya makin menyusut.
“Kok ada yang tega membajak vcd rohani,” dia menggerutu. “Padahal sudah ditulis di sampulnya ‘Kami sangat berterima kasih apabila Anda tidak memperbanyak vcd ini tanpa ijin kami.’ Yang beli pasti orang Kristen. Orang Kristen kok beli barang bajakan.”
“Bagaimana jika sisa 2000 keping itu kamu jual obral dengan harga Rp.7.500? Bukankah lebih baik rugi Rp.17.500 daripada tidak laku sama sekali?” saran saya.
Tapi rapat pengurus yayasan nampaknya tak setuju, karena harga tetap saja tidak diturunkan.
“Apa yayasan ini akan ambruk bila kehilangan keuntungan 35 juta rupiah?” tanya saya.
“Rugi sih nggak, karena biaya produksi vcd itu yang 125 juta datang dari sponsor. Sponsor ini tidak meminjami, tapi memberikan uang itu tanpa ikatan untuk kegiatan pelayanan multi media ini.”
Sekarang gantian saya yang bingung. Jika biaya produksi sudah ditanggung oleh sponsor, mengapa sisa vcd itu tidak dibagi gratis saja ke gereja-gereja pedesaan yang kolekte sebulannya saja paling tinggi 100 ribu rupiah? Dari sudut pandang hukum, pembajak vcd rohani ini memang kurang ajar. Tetapi, bukankah gara-gara pembajak vcd rohani ini Injil lebih cepat diberitakan? Tetapi apa ya boleh kita menghalalkan segala cara atas nama penginjilan? Saya tidak mengerti. Sebaiknya pendeta saja yang menjawab.
Mengkotbahkan obyek perlindungan Hak Cipta
Sebuah buku rohani terbitan Gunung Mulia Jakarta mencetak kalimat ini. “Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari penerbit.” Sebuah penerbit Kristen lainnya dalam produk-produknya mencantumkan kalimat warning “Dilarang mengutip sebagian maupun seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit.” Apakah pendeta yang ingin mengutip isi buku ini untuk diomongin dalam kotbah Minggunya juga harus minta ijin dari penerbitnya?
Kalimat warning penerbit ini cakupannya lebih luas daripada milik Gunung Mulia karena mencantumkan kata “sebagian”. Berapa banyak kalimat yang sudah boleh disebut sebagai “sebagian isi buku”? Tidak ada ukuran yang ditetapkan. Dulu, kalau saya tak salah ingat, Titik Puspa pernah dituntut dengan tuduhan plagiat lagu. Ia berhasil menggugurkan tuduhan itu karena ada kriteria yang jelas, yaitu seorang boleh dituduh menjiplak lagu apabila notasi dalam 4 birama lagunya persis sama dengan 4 birama lagu orang lain yang lebih dahulu diciptakan. Sebuah spot iklan tivi sebuah maskapai penerbangan Indonesia yang sangat apik di”grounded” oleh Italia karena lagu latarnya menjiplak lagu percintaan milik komponis negeri itu. Untungnya, pemegang paten lagu “What a Friend We Have in Jesus” tidak memrotes Indonesia karena rakyatnya merubah syair lagu itu menjadi “Ku lihat Ibu Pertiwi sedang bersedih hati”. Lagu yang sudah lama lenyap dari media massa audio video itu, paska tsunami Aceh memenuhi kembali udara Indonesia mengingatkan kita sebagai orang Kristen bahwa dalam penderitaan yang nyaris tak tertahankan, hanyalah Yesus yang tetap tinggal sebagai Sahabat, walaupun lagu “bajakan” itu tidak sekali pun menyebut Nama itu.
Nah, kalau hanya disebut “sebagian” dan “dalam bentuk apa pun”, apakah ini tidak menunjukkan ketidaktahuan penerbitnya akan rincian Undang-undang Hak Cipta yang di antaranya mengatakan “yang tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta, dengan syarat sumbernya harus disebut atau dicantumkan, adalah pengambilan ciptaan pihak lain baik seluruhnya maupun sebagian guna keperluan ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan.” Jadi, kalau warning ini disahkan oleh undang-undang, tentu para pendeta hanya bisa mengatakan “seperti kata penulis Anu dalam bukunya berjudul Blablablabla, halaman sekian paragrap sekian. Anda bisa baca sendiri di rumah. Jika belum punya, bisa beli di toko buku gereja setelah usai kebaktian. Jangan cemas dan percayalah, labanya masuk kas gereja walau yang jaga isteri dan anak saya.”
Karena itu kalau pendeta Anda dalam kotbah menyebut judul sebuah buku, nama pengarangnya, ketika mengucapkan sebuah kalimat, jangan lagi menuduhnya “sok ‘kali pendeta kita, baru lulus es-dua udah pamer bacaannya,” karena ia sedang mematuhi sebuah undang-undang.
Fotocopy edition
Jika Anda seorang sarjana, termasuk yang teologi, tell me please sudah berapa banyak buku yang Anda fotokopi tanpa ijin penerbitnya selama Anda berstatus mahasiswa? Dosen mewajibkan kita membaca text-book berbahasa Inggris yang harganya sama dengan biaya kos 6 bulan. Di perpustakaan kampus buku ini hanya ada beberapa saja dan selalu sedang dipinjam. Di luar perpustakaan, sampai ke pasar loak, buku ini tidak bisa ditemukan. So? Ya kita rame-rame patungan memfotokopinya. Apa kita bisa disalahkan? Kita menggandakan bukan untuk tujuan komersial kok. Kalau memfotokopi buku dilarang, mengapa polisi tidak pernah melakukan razia di warung-warung fotokopi sekitar kampus termasuk kampus teologi dan seminari kristen? Mungkin mereka tahu yang salah penerbitnya yang hanya memroduksi hard cover edition dan soft cover edition. Padahal mahasiswa di sini perlu fotocopy edition.
Jika saya “dolan” ke rumah orang yang belum terima Yesus dan melihat ‘prospek’ saya gemar membaca, maka saya meminjaminya buku-buku rohani. Tetapi setelah beberapa buku saya hilang karena “lupa” dikembalikan, saya kapok, karena buku itu tidak lagi dijual di toko buku. Sekarang saya lebih senang memberi fotokopinya. Biarpun fotokopi itu tidak saya jual, tetapi bila saya membuatnya sebanyak 50 exemplar, dan di kota saya saja ada 100 orang yang berkelakuan jahat seperti saya, bukankah ini membuat penerbitnya kehilangan kesempatan menambah keuntungannya? Saya seorang pencuri? Mungkin ya. Saya seorang pendosa? Hehehe, nggak tau ah!
Pisau bermata dua
Undang-undang Hak Cipta dan Hak Paten di satu sisi jelas manfaatnya. Ia melindungi jerih payah penciptanya yang sudah membelanjakan banyak waktu, tenaga dan uang dalam proses penciptaan karyanya. Apa tidak bangkrut bila Anda sudah menghabiskan 10 juta rupiah dalam menciptakan “aqua rasa vodka” (ini misal, jangan diperdebatkan) dan sebelum balik modal tiba-tiba ada perusahaan raksasa membuat produk yang sama?
Seperti juga yang dikisahkan oleh www.alkitab.or.id di bawah judul FENOMENA HAK CIPTA BAGI LEMBAGA ALKITAB INDONESIA. “Masalah hak cipta pertama kali timbul di Inggris pada abad ke-15 dengan munculnya industri percetakan dan niaga buku. Sebelum itu tidak ada masalah hak cipta dan naskah-naskah dapat disalin dan digandakan secara bebas. Malahan yang terjadi adalah sebaliknya, di mana pihak tertentu menggunakan nama orang terkenal untuk meluncurkan karyanya sendiri. Umpamanya, munculnya “Injil Petrus” yang dipastikan tidak ditulis oleh rasul Petrus, dan pseudepigrafa lainnya yang “meminjam” nama terkenal dengan harapan dapat diterima oleh umum. Lebih jahat lagi bila nama orang terkenal dipakai untutk meluncurkan karya yang penuh kepalsuan, seperti “Injil Barnabas” karya seorang non-Kristen abad ke-13, dan penerbitan Perjanjian Baru oleh pihak penguasa Korea Utara pada zaman modern ini yang sekali-sekali diselingi dengan propaganda komunis.”
Di sisi lain, pelaksanaan undang-undang ini bila tidak ketat dicermati, bisa disalahgunakan pemodal kakap untuk lebih memakmurkan dirinya dengan memiskinkan pemodal teri. Bayangkan saja bila teknik “membuat” ayam pedaging siap disembelih setelah 40 hari menetas dari telurnya mendapat hak paten, para peternak ayam di kampung bisa gulung tikar. Mereka harus tetap memelihara ayam kampung yang baru siap potong setelah 6 bulan, atau beralih ke cara beternak yang baru itu tetapi membayar royalti kepada pemegang hak patennya. Sudahkah Anda membaui aroma monopoli dalam piring undang-undang ini?
Karena itu Rooseno Harjowidigdo, SH, dalam bukunya “Mengenal Hak Cipta Indonesia” (PSH’93) mengemukakan: “Karya yang hak ciptanya dilindungi undang-undang pun, tetap harus mempunyai fungsi sosial sesuai UUD 1945 pasal 33. Untuk itulah maka hak cipta itu kepemilikannya harus dibatasi, artinya kepada pihak lain yang bukan pemegang hak cipta atas ciptaan itu diperbolehkan untuk mengumumkan, memperbanyak, mengambil, mengutip, membuat salinannya, memotret, dan memfotokopinya. Namun semuanya itu harus memenuhi syarat seperti yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Hak Cipta Indonesia.”
Kapan ya gereja berani menyosialisasikan undang-undang perlindungan terhadap “Hak Atas Kekayaan Intelektual” (HAKI) yang tidak beraroma monopoli seumur hidup ini kepada jemaatnya, agar kita para jemaat awam bisa dengan yakin berkata: “I am not a thief, nor a sinner as well.”
(the end)
Hak Cipta dan Ide-Ide Baru
Kalau saya tanya apa yang Anda ketahui tentang bulan atau matahari, kemungkinan besar jawaban Anda akan didasarkan pada pengetahuan orang lain.
Kenapa tidak? Karena orang kebanyakan tidak akan bisa pergi ke bulan atau terbang ke dekat matahari untuk bisa membuat laporan terinci tentang apa yang terdapat disana. Semua pengetahuan kita pada dasarnya adalah hasil penelitian orang lain, kecuali pengetahuan yang kita dapat dari pengalaman pribadi.
Kalau kita belajar di sekolah, mulai dari taman kanak-kanak sampai universitas, kita selalu mempergunakan bahan-bahan pelajaran atau hasil penelitian orang lain, yang kemudian kita sempurnakan dengan teknologi atau cara pemikiran baru. Hasil dari semua itu nantinya akan dimanfaatkan oleh banyak orang lain.
Tapi apakah dengan melakukan itu kita mencuri hak cipta atau hak milik intelektual pengarangnya? Ini adalah pertanyaan dasar yang diajukan oleh Lawrence Lessig, seorang mahaguru ilmu hukum di Universitas Stanford di Amerika. Kata Lessig dalam bukunya yang berjudul "The Future of Ideas" (Masa Depan Ide), keprihatinan Amerika akan pencurian hak cipta atau hak milik intelektual telah mencapai tingkat obsesi yang justru akan mematikan daya kreativitas baru.
Komentar Lessig itu agaknya bermula dari ancaman yang dikeluarkan oleh perusahaan pembuat film terkenal "Star Wars - the Phantom Menace" kepada seorang penggemar film yang telah mengedit film aslinya dan menempatkannya dalam website jaringan internet. Kata harian New York Times, penggemar film Mike Nichols menggunakan komputer pribadinya untuk mengedit film "Star Wars" dengan menghilangkan bagian-bagian yang dianggapnya terlalu panjang dan membosankan. Kata para penggemar film yang sempat mengakses film itu lewat internet, versi suntingan baru itu lebih bagus dari aslinya. George Lucas, pembuat film "Star Wars" segera mengerahkan para pengacaranya dan mengancam barangsiapa yang masih terus membuat website serupa ataupun menjual pita rekaman film yang sudah diedit-ulang itu tanpa izin.
Kata Professor Lawrence Lessig, apakah George Lucas takut film yang diedit orang lain itu akan mengurangi penjualan piringan DVD yang memuat rekaman asli filmnya? Apakah kekhawatiran seperti itu bisa dibenarkan untuk membungkam kegiatan artistik orang lain?
Soal hak cipta atau copyright ini tahun lalu juga mendapat sorotan hebat, ketika terbit buku baru yang berjudul "The Wind Done Gone," karangan seorang penulis perempuan kulit hitam. Buku itu adalah sebuah parodi dari buku terkenal yang berjudul "Gone With The Wind" karangan Margaret Mitchell yang mengisahkan kehidupan pada zaman perang saudara di Amerika dulu.
Kata ahli waris Margaret Mitchell, buku "The Wind Done Gone" itu adalah jiplakan dari buku aslinya, dan karenanya harus dilarang. Tapi pengarang buku itu menjelaskan, bukunya bukan jiplakan, tapi menceritakan kisah serupa yang dilihat dari kacamata budak-budak kulit hitam yang hidup dalam masa itu; sedangkan buku Margaret Mitchell melihat persoalannya dari kacamata kaum bangsawan pemilik budak.
Kata Professor Lessig, hak cipta adalah bagian penting dari proses kreatifitas, karena mengakui hak penciptanya. Tapi, kata Lessig lagi, pemilikan hak cipta itu seharusnya dibatasi hanya 5 tahun saja dan bukannya 90 sampai 150 tahun seperti yang berlaku sekarang. Pemegang hak cipta bisa memperpanjang masa berlaku yang lima tahun itu, kalau dia mau, dan hasil karyanya bisa dinikmati orang lain, atau mungkin diubah menjadi sesuatu yang baru.
Sebuah website yang mengajarkan orang memainkan lagu-lagu populer dengan gitar tahun lalu diperintahkan tutup oleh perusahaan rekaman musik yang besar. Apakah perusahaan itu khawatir penjualan buku musik akan anjlok karena adanya website itu, tanya Lessig. Kalau seseorang mengajarkan kawannya bagaimana memainkan gitar seperti gaya musik orang lain, apakah dia juga akan ditangkap karena mencuri "teknik" musik orang itu? Apakah saya mencuri karya "The Future of Ideas" karangan Lawrence Lessig karena saya mengutip bagian-bagian buku itu, seperti yang dilaporkan oleh harian New York Times dan diiklankan oleh toko buku yang menjualnya? Saya kira tidak. (end of file)
@Purnomo : Memikir ulang tentang hak cipta di era internet
What a timely topic, Pak Purnomo! Salut atas 'keberanian' Pak Purnomo untuk menulis tentang hak cipta ini, soalnya saya tahu ini menyangkut banyak aspek, mulai sisi moral, hukum, ekonomi dan masih penuh kontroversi. Apalagi, dikaitkan dengan istilah : mencuri tapi tak mendosa. Ha...ha...saya suka istilah ini. (Tapi, mencuri yang melanggar hukum tetap bisa masuk penjara lho, Pak)
Copyright law adalah undang-undang yang dibuat negara, tetapi - sepaham dengan pemikiran Pak Purnomo - saya juga bertanya-tanya : seberapa adilkah undang-undang itu bagi kemaslahatan umat dan rakyat banyak ?
Saya ingin komentar khusus tentang copy-mengcopy buku.
Baru-baru ini saya baca di Harvard Business Review edisi terakhir (July-Aug 2009) wawancara editor majalah bergengsi tersebut dengan seorang penulis bestseller, Cory Doctorow. Meskipun dia seorang penulis, dia menyebut dirinya seorang copyfighter yang menentang berbagai batasan tentang copy mengcopy tulisan. Doctorow adalah coeditor dari sebuah situs teknologi dan budaya Boing Boing, dan pernah menjadi salah satu direktur dari Electronic Frontier Foundation yang mendukung kebebasan masyarakat di internet.
Beginilah kata beliau dalam majalah tersebut :
In fact, if copying gets harder from here on in, that will tell us that something really bad has happened in society. It will mean that we’ve lost the power to make electricity or that we’ve been through a nuclear war! The universal access to all human knowledge is the realization of one of the most important dreams of humanity, and I’d argue that complaining about it is morally indefensible.
Doctorow senang kalau bukunya 'dibajak' di internet. Begini katanya :
Besides, doing the moral thing – not hypocritically damning fans for the kind of copying we all do – can also make commercial sense . I post all my books for free on my website, and people can remix them, translate them, distribute them to friends; they can do anything they want so long as it is for noncommercial use. The model works because for most people a free electronic book is not a replacement for a printed book, but rather an enticement to buy one. I sell the hell out of printed books by giving away electronic ones.
Banyak lagi hal-hal menarik dia sampaikan (kalau terlalu banyak saya kutip, nanti saya jadi melanggar hak cipta HBR :-) yang intinya menyatakan kita perlu memikir ulang tentang apa itu hak cipta dan pembatasan copy mencopy, terutama di era internet sekarang ini.
Bravo, Pak Pur, ayo kita ajak masyarakat ikut berpikir.
mari kita membajak :-)
blog yang biasa2 saja dari seorang purnomo, tapi tetap menarik untuk di-comment-in.
menurut gue, secara umum, hak cipta adalah bullsh*t.
gue seorang programmer dan gue berpendapat bahwa jika suatu program bisa dibajak maka bisa jadi ada dua kemungkinan:
[1] programmer nya goblok karena ga bisa menutup kemungkinan / mencegah tindakan pembajakan... atau,
[2] programmer nya ga peduli, silakan aja dibajak, toh dia berpikir bahwa dia selalu bisa membuat versi berikutnya dari program tersebut yang lebih baik lagi.
gue memilih untuk percaya bahwa gue adalah programmer tipe kedua.
kenapa?
gue melihat bahwa semua orang membajak. mobil jepang membajak teknologi amerika dan eropa. korea membajak jepang. cina membajak apapun yang bisa dibajak.
pada saat jepang membajak, isu hak cipta belum terlalu dipedulikan so dia selamat. pada saat korsel membajak, entah apa yang terjadi sehingga dia selamat2 saja. pada saat cina membajak, dia ga peduli dengan isu hak cipta karena undang2 dalam negerinya tidak mengakomodir isu hak cipta.
itu kalo dunia internasional...
di lingkup sehari2, kita selalu mengajar anak kecil dengan pertama2 mengajarnya untuk meniru. setelah mahir meniru, barulah dia berkesempatan untuk mengembangkan sendiri bakatnya. so, apa bedanya meniru dan membajak?
gue bilang dia bullsh*t karena hak cipta hanyalah senjata pihak yang lebih maju untuk menjaga kelangsungan dapurnya.
ketika suatu industri luar negeri ingin masuk indo, dia bilang, "oh tenang, kita akan transfer teknologi". setelah masuk dia bilang, "sabar, kita pasti transfer, tapi nggak sekarang". later on, ketika ada masalah dia bilang, "semua itu salah orang indo, mereka ga pernah mau belajar" (mau apa yang dipelajari kalo semua ga pernah ditransfer, pikir org indo). akhirnya katakanlah industri asing ini decide buat pergi dari indo, mereka bilang, "tuh bangkai teknologinya, ambil aja, gue dah ga butuh. see? gue transfer kan?".
inilah susahnya kalo sudah terlanjur jadi bangsa pengemis dan penakut :-)
nis
palsu = bajakan, gigi palsu juga bajakan hahaha...:P
JESUS IS GOD
JESUS IS GOD
Hak Cipta diterjemahkan dari
Hak Cipta diterjemahkan dari kata "Copy Right". Penerjemahan ini kurang tepat.. Copy right lebih tepat dikaitkan dengan hak menggandakan sebuah karya. Ini menyangkut hak ekonomis. Pada awalnya peraturan tentang copy right dibuat sebagai perlindungan dan penghargaan bagi para kreator dan inventor. Ketika hasil karya ini akan diproduksi secara massal, maka dibutuhkan sebuah izin dari penemun/penciptanya.
Bagi saya, seorang pekerja kreatif, yang mengandalkan penghasilan dari menulis, menerjemahkan dan kerja kreatif lainnya, pengakuan terhadap copy right menjadi hal yang sangat penting. Bayangkan, untuk menulis sebuah buku dibutuhkan waktu sekitar 3-6 bulan, lalu dengan seenaknya sendiri, orang lain menggandakan karya saya tanpa memberikan kompensasi. Apakah itu adil? Tegakah Anda menggunakan jasa tukang batu tanpa membayarnya?
Bagai pedang bermata dua, peraturan tentang copy right memang juga memiliki sisi buruk. Di tangan kapitalisme, perlindungan tentang hak cipta menjadi senjata untuk menghambat orang/bangsa lain untuk bertumbuh dan berkembang. Dengan dalih copy right, negara kaya enggan mengalihkan pengetahuan dan tekonologi pada negara miskin. Tapi di sisi lain, negara kaya menguras kekayaan alam dari negara miskin menggunakan teknologi dan ilmu yang dilindungi oleh copy right.
Lalu harus bagaimana dong?
------------
Communicating good news in good ways
membajak buku
memang dilematis. kalo menurut saya, untuk menghindari orang memfotokopi buku, sejauh yang saya pikir, ada beberapa cara:
1. menurunkan harga buku
2. memperbanyak perpustakaan
3. membuat semacam googlebooks (limited atau full preview)
4. toko buku mengusahakan untuk tiap buku ada yang tidak dibungkus plastik
untuk nomor 2-4, menurut saya lagi, justru bisa meningkatkan minat orang untuk membeli buku, sekaligus membuat penulis lebih terdorong menulis buku yang makin bagus.
Don't Swallow the Press
dilema harga buku textbook
bener wan.. penulis buku, pencipta lagu, dan segala macem yang sifatnya adalah produk budaya dan pendidikan memang perlu mendapat penanganan khusus mengenai hak cipta ini.
sebaliknya, untuk hal2 yang bersifat barang / alat / sistem, gue tetep berpikir seperti comment pertama gue. barang / alat / sistem adalah produk yang berupa hasil konkrit dari produk budaya dan pendidikan. oleh karena itu, yang harus dipastikan tetap murni sebaiknya adalah yang pertama kali (budaya dan pendidikan).
tapi... seyogyanya kita melihat situasi dengan menyeluruh. kita ini negara berkembang. kita ini BUKAN negara maju (at least BELUM). pengertian yang benar tentang siapa kita haruslah menjadi dasar penyusunan kebijakan2 tentang hak cipta.
contoh paling gampang... india.
di indo, membeli sebuah textbook asli itu mahalnya minta ampun. harga satu textbook asli bisa jadi cukup buat uang makan seorang mahasiswa selama satu minggu atau bahkan satu bulan. itu baru satu textbook... sialnya, untuk belajar seringkali dibutuhkan lebih dari satu textbook.
meminjam di perpustakaan memang bisa, tapi sayangnya... perpustakaan hanya menyediakan satu sampai paling banyak lima buku untuk judul textbook yang sama. sementara mahasiswa kere itu jumlahnya jelas lebih banyak dari lima.
india melihat dirinya dengan jelas. dalam menyusun kebijakan nya, dia bener2 meneliti rata2 anggaran seorang mahasiswa kere. dia tidak sekedar mengasumsikan bahwa rata2 anggaran seorang mahasiswa kere india adalah sama dengan yang terjadi di negara X misalnya.
india merancang undang2nya sedemikian rupa sehingga harga bukunya menjadi murah, sedemikian murah sehingga lebih untung membeli textbook asli daripada men-fotocopy textbook tsb. dan ini sudah berlangsung cukup lama sehingga gue yakin bahwa undang2 yang dibuatnya tidak asbun.
undang2 yang asbun adalah undang2 yang hanya menyebutkan tujuannya tanpa mendetail apa2 yang harus dilakukan. bila indo membuat undang2 hanya bilang bahwa tidak boleh membajak tanpa disertai alternatif bagaimana mahasiswa kere bisa lebih memilih untuk membeli textbook asli daripada men-fotocopynya, maka bisa dipastikan bahwa kita harus belajar ke india.
undang2 yang baik, yang tujuannya jelas berpihak pada bagian masyarakat yang bersangkutan dan pada pelaksanaan nya bisa tetap menjamin kelangsungan hidup dari pihak pengarang dan penerbit, itulah yang kita butuhkan.
jangan sampai saking menekan harga maka ga ada yang mau jadi penerbit.
jangan sampai saking memihak penerbit, mahasiswa kere tetap terpaksa membajak.
(dan ini baru contoh seputar textbook, belum lagi banyak sektor lainnya)
Ini baru orang PINTAR
Dulu waktu kecil pada malam hari dengan sepeda saya sering ke Gunung Agung Kwitang Jakarta. Waktu itu membungkus dengan plastik buku yang dipajang belum jamannya. Di situ saya baca buku sampai jam tutup toko. Saya mencatat nomor halaman terakhir yang saya baca untuk nanti saya lanjutkan pada kunjungan berikutnya.
Jadi usulan ke-4 YC itu malah merugikan toko buku sehingga mengurangi minat orang untuk membajak buku. Tetapi sebagai konsumen saya ikut setuju karena toko buku bisa dianggap perpustakaan yang berase, berlampu terang, ruang tertata apik.
Usulan ke-2 bisa dilengkapi dengan frase “dan perpustakaan berjalan”. Di pasar-pasar tradisional para penjaja koran dan majalah mau menitipkan 1 exemplar majalahnya kepada para pedagang pasar. Enam jam kemudian ia akan mengambil kembali. Bila majalah itu cacat, pedagang itu harus membelinya. Bila tidak bercacat, pembacanya hanya perlu membayar 1 – 2 ribu rupiah. Ini yang saya maksudkan dengan perpustakaan berjalan.
Thx untuk komennya.
Textbook India
Jadi ingat waktu kuliah belasan tahun yang lalu. Kadang-kadang, tidak sering karena tak selalu ada, saya beli buku teks edisi India yang aslinya diterbitkan penerbit internasional ternama. Kertasnya kuning, cetakannya jelek, dan berbau (mungkin bau lemnya atau kertasnya, yang jelas bau). Yang penting, harganya jauuuuh di bawah yang dicetak di US, Inggeris atau Singapura. Memang seringnya sih sudah ketinggalan edisinya, tapi ya...masih terpakai. Yang karangan orang India sendiri juga ada dan juga bagus-bagus, banyak contoh soal-jawabnya (buku teknik).
Saya tidak tahu kebijakan Pemerintah India mengenai perbukuan. Mungkin seperti yang ditulis Dennis di atas. Yang jelas, saya perhatikan sekarang ini banyak sekali buku teks karangan orang India (dilihat dari namanya) dan diterbitkan oleh penerbit internasional ternama. Buku teks tulisan orang Indonesia yang berkelas internasional rasanya kalah banyak jumlahnya... Jadi, mungkin kita perlu belajar ke India tentang kebijakan perbukuan,ya.
Belajar dari India?
Suatu ketika rekan kerja yang baru pulang dari tugas di India membawakan beberapa buku sebagai oleh-oleh untuk saya. Buku-buku saku berbahasa Inggris yang berbicara tentang ilmu komunikasi, psikologi dan pemasaran praktis itu dicetak dengan bagus dan selintas seperti terbitan Amerika di mana para pengarangnya berdomisili.
Tetapi sampai meneliti tulisan-tulisan rambut dengan kaca pembesar di halaman-halaman pertamanya, saya tidak mendapatkan nama penerbitnya. Bahkan kata made in India juga tidak. Berarti buku-buku ini adalah produksi bajakan. Tetapi hebatnya dijual di toko-toko buku kelas satu.
Kalau ini ditiru oleh Indonesia apakah Indonesia sudah sekuat China yang berani menantang Amerika ketika tidak menaati HAKI dan meng-copas vcd program buatan Amrik dengan tenang?
Salam.
seni disegani
ya, mungkin pemimpin2 kita perlu mempelajari suatu seni khusus bagaimana caranya agar bangsa indonesia ini disegani seperti china atau india.
gimana yah caranya? mulai dari mana? ada usul?
Aqua rasa Vodka Ndak Enak
Purnomo nulis:
"...menciptakan “aqua rasa vodka” (ini misal, jangan diperdebatkan)..."
Lho? Vodka itu kan nggak terlalu ada rasanya Pak Pur, lebih banyak 'wanginya'. Jadi kalo ada yang nyiptain aqua rasa vodka, nggak gitu seru Pak Pur...
Halah...wong sudah
Halah...wong sudah dibilang jangan diperdebatkan kok ya masih dikomentari. Kayak kurang kerjaan.
------------
Communicating good news in good ways
Pak Wawan bukan Rusdy kurang kerjaan
tetapi untuk memberitahu vodka itu seperti apa. Sangat diharapkan ia mau berbaik hati mengirim beberapa botol untuk sample ke Tawangmangu.
Saya kira minum vodka tidak berdosa kok asal tidak mabuk. Ini kata orang Medan yang kalau mengadakan persekutuan doa di rumahnya menyediakan bir sampai 2 krat.
Salam.
Satu strip
Saya kira minum vodka tidak berdosa kok asal tidak mabuk.
Setuju! Ayo minum vodka sampai satu strip di bawah garis mabuk.
------------
Communicating good news in good ways