Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Gelap benar malam ini
Berharap apa lagi? Myom itu selalu ikut membesar bersama tumbuhnya janin sehingga terjadi keguguran. Setelah itu myom akan mengecil kembali. Kini myom itu sudah begitu besar. Membunuh myom berarti membunuh janin juga. Untuk apa Tuhan memberikan janin itu bila hanya untuk dibunuh? Dan itu dilakukan-Nya berulang kali. Sekedar menunjukkan kemahakuasaan-Nya tanpa peduli tangis pilu kami?
- o -
Dokter ahli kandungan itu memainkan alat pengukur di tangannya.
"Ibu yakin umur kandungan 3 bulan padahal pengukuran dengan alat ini menunjukkan paling tidak usianya sudah 4 bulan. Kandungan Ibu agaknya lebih besar dari seharusnya. Mengingat kasus-kasus sebelumnya, setelah pernikahan Ibu mengalami keguguran baru melahirkan anak ini," ia menunjuk Puteri yang ikut bersama kami, "kemudian tiga kali keguguran lagi, saya curiga ada sesuatu yang menjadi penyebabnya. Saya beri surat pengantar untuk pemeriksaan USG di rumah sakit besok sore. Saya sendiri yang akan memeriksa Ibu. Mudah-mudahan kita dapat menemukan penyebabnya."
Malamnya saya sulit tidur. Terbayang kembali saat-saat menunggui Ega di kamar operasi setiap keguguran terjadi. Saat-saat seperti itu saya merasakan kekosongan dalam diri. Duduk diam di lantai rumah sakit sambil memangku kantong plastik berisi janin yang berhenti bertumbuh dengan hati dan pikiran kosong. Yang masih tersisa hanyalah harapan Ega keluar dari kamar operasi dalam keadaan selamat.
Puteri berumur 5 tahun ketika keguguran terakhir terjadi di Semarang. Saat itu saya sudah berketetapan untuk tidak lagi berusaha mendapatkan adik untuknya. Saya harus mensyukuri sudah mendapat seorang puteri. Malam hari saya sering duduk termenung di depan rumah memandangi rumpun-rumpun ilalang di seberang rumah dan bangku-bangku Sekolah Minggu yang bertumpuk di halaman samping. Banyak kesulitan dan ketakutan yang harus saya alami untuk menyelenggarakan Sekolah Minggu dan persekutuan warga Kristen di komplek perumahan ini. Tidak ada gereja yang mau menaungi kegiatan ini, bahkan gereja saya. Ladang ilalang di sini lebat sekali dan hijau pekat.
Tidak! Saya tidak menyoal mengapa itu terjadi padahal saya sudah bekerja mati-matian untuk Tuhan dengan resiko rumah saya dibakar orang. Saya hanya ingin tahu mengapa ini harus terjadi. Apa maksud Tuhan tidak mengijinkan kami mempunyai anak yang kedua?
Sering pada malam-malam seperti itu Pak Pamong datang menemani. Ia adalah tetangga saya yang mendirikan persekutuan warga Katolik di perumahan ini. Kami bekerja bahu-membahu menghadapi teror orang-orang yang tidak menyukai kehadiran persekutuan warga kristiani di sini.
"Menunggu waktu sembahyang tahajjud?" tanyanya.
Ia sering mempergunakan istilah-istilah Islam di dalam imembantu tetangga-tetangga Muslim yang minta bantuan medis darinya. Ia dosen fakultas teknik PTN namun punya minat yang besar pada tanaman obat. Ia memberikan obat tradisionil dan memberi petunjuk bagaimana mereka harus tetap setia berdoa kepada Allah dalam keyakinan mereka. Kesembuhan-kesembuhan ilahi yang terjadi membuat ia makin disegani masyarakat perumahan ini, sekaligus makin dibenci oleh orang-orang yang tidak menyukainya.
"Saya sedang berpikir barangkali Bigboss tidak menghendaki saya menambah jumlah anak saya," jawab saya. Kami sering menyebut Tuhan dengan kata Bigboss atau Juragan bila ada orang lain di dekat kami sehingga tak ada yang tahu kami sedang membicarakan masalah rohani. Istilah ini kami gunakan jauh sebelum serial film Highway to Heaven yang mempergunakan istilah yang sama diputar di tivi. Memang kami tidak ingin masyarakat mengetahui kami mempunyai hubungan pribadi yang erat agar mereka mengira antara warga Katolik dan Kristen tidak saling berhubungan. Keadaan ini akan membuat kami lebih leluasa dalam mengabarkan Injil. Karenanya kami hanya bertemu pada malam hari ketika keadaan kampung sudah sepi.
"Tetapi Bigboss telah mengatakan kepada saya bahwa Anda akan mendapat seorang anak lagi. Perkataan-Nya ini jelas sekali sehingga saya tidak meragukannya."
Saya menggeleng kepala. Tetapi ia tetap bersikeras.
"Boss berkata Ia melihat ketekunan Anda untuk Kerajaan-Nya. Karena itu Ia telah menyediakan apa yang Anda inginkan. Anda tinggal memintanya, maka Ia akan memberikannya. Cobalah malam ini tahajjud. Saya akan membantu Anda dari rumah saya. Kita satukan getaran jiwa kita ke atas. Okey?"
Saya tidak berani mengatakan ia berbohong walaupun caranya menceritakan pesan Tuhan itu seperti menyampaikan pesan Lurah kepada penduduknya. Memang ia sering mendapat pesan Tuhan. Tetapi saya sudah meminta kepada Tuhan. BilaIa telah menyediakannya, mengapa Ia mengambil kembali ketika janin itu sudah berumur 4 bulan? Selalu begitu! Mengapa?
Semula kami mengira kelelahan Ega sebagai guru yang menyebabkan keguguran itu. Kata teman-teman kandungan di bawah 4 bulan adalah usia yang rawan terhadap keguguran. Karena itu Ega berhenti mengajar. Pada kehamilan berikutnya menjelang Puteri berulang tahun saya telah wanti-wanti agar menyelenggarakannya tanpa melelahkan tubuhnya. Roti tart dan makanan kecil kami beli dari toko. Kami hanya mengundang anak-anak tetangga. Tidak ada hiasan di ruang tamu kami. Kami hanya menyanyi, bermain dan membagi makanan, sementara Ega tetap tak beranjak dari kursinya. Ketika akan tidur malam, Ega berkata ia senang sekali melihat Puteri bahagia. Subuhnya Ega minta diantar ke rumah sakit.
Selama 8 bulan kemudian saya bertugas di Surabaya meninggalkan keluarga. Di Surabaya saya tinggal di rumah pondokan. Setiap tepat tengah malam saya memanjatkan doa. Tetapi saya tak lagi meminta Tuhan memberi Puteri seorang adik. Yang saya katakan hanyalah, "Aku tak tahu apa yang harus kupinta dari-Mu. Aku tak berani meminta Engkau memberi teman untuk Puteri. Engkau yang tahu apa yang terbaik untukku. Lakukanlah itu atasku dan aku akan menurut saja."
Tetapi Ega tetap yakin Tuhan telah menyediakan seorang anak bagi kami. Keyakinan ini datang dari sebuah mimpi. Dalam mimpi dia sedang berada di sebuah pasar. Ketika akan pulang, seorang anak perempuan menghampiri dan menggandeng tangannya. Dia melihat sekeliling. Tak ada wajah yang berkisah kehilangan anak. Ia berusaha melepaskan genggaman anak itu. Tetapi anak itu tak mau berpisah dengannya. Anak itu lucu dan cantik. Ega menyukainya. Dia memanggil becak dan membawa gadis kecil itu serta. Sejak itu dalam doanya dia selalu meminta anak itu dari Tuhan.
“Tetapi bila terjadi keguguran lagi, jiwamu bisa dalam bahaya,” saya mencoba merubah keputusannya.
“Itu resikoku sebagai seorang perempuan. Mati karena melahirkan,” jawabnya mantap.
“Apa kamu tidak memikirkan aku dan Puteri yang kamu tinggal pergi?”
“Memangnya susah mencarikan Puteri ibu baru yang menyayanginya?” dia balas bertanya.
Saya tidak meneruskan pertengkaran kami. Percuma. Ia selalu berubah keras kepala bila telah meyakini sesuatu. Dan itu salah satu karakternya yang membuat saya mencintainya.
Akhir Desember 1986 saya meninggalkan Surabaya dan menuju tempat tugas yang baru, Jakarta. Saya mendapat cuti seminggu sebelum berada di kantor yang baru. Tanggal 24 Desember sore saya memacu kendaraan menuju Semarang. Tetapi kondisi jalan pantura yang berlobang-lobang membuat saya baru masuk ke Semarang ketika umat Nasrani memasuki gereja untuk kebaktian malam Natal. Betapapun inginnya, saya tidak bisa berhenti di gereja saya untuk bersama teman-teman menghadiri kebaktian malam itu karena pakaian saya kotor dan bau. Terpaksa saya mengarahkan kendaraan menuju rumah. Berita pertama yang saya dapat sesampai di rumah adalah anak Pak Pamong masuk rumah sakit karena deman berdarah. Darah telah keluar dari hidungnya.
Esok harinya saya ke rumahnya. "Ia sakit karena salah saya," ceritanya. "Tetapi ia akan sembuh walaupun sakitnya sudah gawat. Malam hari ketika ia masuk rumah sakit, saya melihat Bigboss dalam pakaian putih berdiri di pintu rumah ini menggendong anak saya dan memberikan kepada saya."
Bigboss tak pernah bohong. Proses kesembuhan berlangsung begitu cepat sehingga mengherankan dokter. Jarum infus harus dicabut lebih cepat dari rencana.
Mukjizat itu tak terjadi untuk diri satu orang saja. Tetapi juga terjadi dalam keluarga kami. Bulan Februari dokter menemukan janin dalam kandungan Mega. Sebulan kemudian Ega dan Puteri ke Jakarta melihat rumah yang saya kontrak di Tebet Timur Dalam. Ketika kami berbelanja di pasar Tebet Timur, kami melihat ada klinik bersalin di dekatnya. Di situlah kami memeriksakan kandungannya.
23 Maret 1987
Ketika dokter melihat layar monitor ultrasonografi yang menayangkan isi kandungan Ega, dahinya berkerut. Jarinya menunjuk bulatan yang berada di antara mulut rahim dan kepala janin.
"Ada myom di sini, garis tengahnya sudah mencapai 6 cm. Myom adalah sejenis tumor, bisa tumbuh di dinding dalam rahim seperti ini, atau di dinding luar atau di saluran telur."
"Berbahaya?" tanya Ega.
"Tidak berbahaya seperti kanker. Tetapi ia bisa membesar bersama tumbuhnya janin karena penambahan asupan hormon ke rahim juga dimanfaatkannya. Pembesaran inilah yang mungkin mendesak janin-janin terdahulu sehingga terjadi keguguran. Setelah keguguran, asupan hormon ke rahim terhenti dan myom ini mengecil kembali."
"Apakah myom itu bisa dihilangkan?" saya bertanya.
"Bisa, dengan mengangkat kulit dinding rahim dimana ia melekat. Tetapi ini hanya bisa dilakukan apabila Saudara tidak menghendaki janin ini dan tidak lagi mengharapkan kehamilan berikutnya, karena rahim yang tersisa tidak lagi berfungsi normal."
"Cara lain?" tanya saya dengan cemas.
"Tidak ada. Kecuali berharap myom ini tidak membesar sampai kandungan berumur 9 bulan. Bila janin berhasil bertahan, kami dapat melakukan operasi caesar untuk mengeluarkannya. Tetapi ada resikonya. Mungkin saja hanya satu yang bisa diselamatkan, Ibu atau bayi ini.”
“Bayi saya saja, Dok,” jawab Ega mantap membuat kepala saya seperti dihantam martil.
Dokter tersenyum. “Itu nanti saja kita bicarakan. Semoga kita tidak diperhadapkan dengan pilihan yang sulit. Tetapi sebagai dokter saya harus jujur mengatakan segala resiko yang bisa saja Ibu hadapi.”
Puteri yang ikut hadir di ruang USG itu senang melihat calon adiknya. Saya pun demikian. Bentuknya telah terlihat, geraknya begitu halus. Ada dua titik dan kata dokter itu matanya. Rasa haru memerihkan dada melihat mata Puteri berbinar-binar menatap monitor USG. Jemari kecilnya erat menggenggam tangan saya. Apa yang harus saya katakan kepadanya apabila kelak calon adiknya ini dipanggil Tuhan? Apakah saya harus mengulang jawaban yang itu-itu saja? "Tuhan memerlukan adik untuk menyanyi di sorga." Masihkah dia dapat dipuaskan dengan jawaban itu? Apakah saya masih bisa meyakinkannya Tuhan mengasihinya bila janin ini tak pernah lahir menjadi adiknya? Ada terbersit sedikit penyesalan membawa Puteri masuk ke ruang USG ini. Seharusnya dia tidak melihat calon adiknya.
Ketika terakhir Ega harus menginap di rumah sakit karena keguguran, sore harinya saya mengajak Puteri ke Taman Hiburan Rakyat. Karena saat itu hari kerja dan THR hampir tutup, pengunjung taman tidak banyak. Puteri ingin naik kereta api.
“Adek, Ibu kok tidak ikut?” tanya gadis yang bertugas di arena itu.
Puteri tidak menjawab. Saya juga tidak. Gadis itu tidak melanjutkan pertanyaannya.
Hanya Puteri sendiri yang ada di rangkaian kereta api itu. Saya duduk di tepi arena memperhatikannya. Rasanya pilu sekali melihat tidak ada sedikitpun kegembiraan di wajahnya. Wajahnya beku. Ia tidak menoleh ke arah saya. Pandangannya lurus ke depan. Ia duduk bagai patung. Saya telah memberitahu kepadanya mengapa Ega harus tinggal di rumah sakit. Ia tidak bertanya apa-apa. Tetapi mendadak saja wajahnya membeku. Jika saja tidak ada petugas di arena itu, pasti saya sudah menangis teringat saat-saat ketika dia membelai-belai perut Mamanya dan mengajak berbicara calon adiknya.
Ya Tuhan, apakah saya harus melihat kesepian itu mengental kembali di wajahnya? Malam telah turun ketika kami bertiga keluar dari rumah sakit itu. Malam pun turun bergulung dalam jiwa saya. Betapa gelapnya!
(bersambung)
Masih adakah mukjizat bagi kami?
bag-1: Gelap benar malam ini.
bag-2: Mengetuk pintu sorga.
Belum ada user yang menyukai
- Purnomo's blog
- Login to post comments
- 5303 reads
Tabir itu
Meski tabir yang satu itu boleh dikata agak transparan bagi saya, saya tetap antusias mengikuti kisah ini. Istri Anda adalah kata kuncinya.
eha
eha
Kenapa gelap?
Purnomo,
Masih adakah mukjizat bagi kami?
Membaca kisah yang di tulis Purnomo, .. teringat bertahun-tahun, lima belas-enam belas tahun yang lalu, ..
Tentang Myom, tumor, sudah menjadi bagian dan menyatu dalam diri ini. Ketika Joli masih Nona (WILG jangan ngakak..), myom dan kista sudah terdeteksi di rahim ini, dokter bilang, kemungkinan punya anak kecil. Pernyataan yang dikatakan dengan santai oleh dokter, membuat Joli tidak bisa santai sejak itu, lha piye, daripada mumet sendirian, lebih baik ajak pacar mumet bersama, mengajaknya ke dokter kandungan untuk memberitahukan kenyataan dan faktanya, pernah joli cerita di sini
Menjalani-nya, seperti biasa, namun hari ini, enam belas tahun kemudian, membaca blog Purnomo, tahulah Joli, inilah mukjizat bagi kami,.. Joli jadi mellon.. Terima kasih Tuhan untuk anugerahMU
Sampai sekarang anak Joli ya cuma ada satu Clair aja, dan sampai sekarang Myom masih ada bersama dengan Joli, meski sudah di ambil 3 x operasi, tetep aja tumbuh di rahim ini, dia suka kehangatan Joli kalee?
Mengharapkan Mukjizat? kalau mau jujur, selama ini seperti yang diajarkan mas Paul, adalah untuk melakukan yang bisa dilakukan, hanya berharap Tuhan memberi kekuatan untuk tetap berusaha menjalani hidup. kekuatan dari Tuhan itu sudah menjadi mujizat.
Kata dokter Myom akan hilang dengan sendirinya bila menopause, nah, bukankah ini juga jalan untuk menyongsong menopause dengan suka cita juga? he.. he.. masih agak-agak lama kok , nanti kalau si myom mengganggu ya di operasi lagi aja.. yang penting Tuhan kasih kuat..
Ni kata-kata indah dr blog hai-hai di sini
Pasrah bukan menyerah! Pasrah berarti memohon terus kepada Allah dan berusaha untuk sembuh. Berusaha untuk sembuh namun menjalani hidup sebagai orang sakit dengan penuh sukacita.
Purnomo, gelap benar malam ini? Jangan kuatir Puteri nantinya dapat adik perempuan juga kan?