Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Everybody has a doubt
Siapapun orang percaya dan sepercaya apapun orang tersebut, keraguan mungkin pernah mengingapi iman-nya, karena manusia sebagaimana mahluk rohani adalah sekaligus mahluk rasional. Sedang iman jelas terkadang beyond human rational, dan sebagai mahluk rasional, manusia mencoba menjangkau dan memahami segala sesuatunya dengan rasio-nya, termasuk orang percayapun terkadang demikian.
Karena itu mempercayai Tuhan terkadang dapat dianggap sebuah delusi yang adiktif, irasional dan imaginasi belaka. Karena memang Tuhan tak dapat dipahami sepenuhnya, rancangan atau perbuatan-Nya dimasa lalu, saat ini dan yang akan datang bukan sesuatu yang mudah untuk dipahami oleh rasio manusia, malah terkadang seolah-olah bertentangan dengan rasio manusia.
Ada sebuah ilustrasi yang “lucu” tentang tiga orang dalam pesawat kecil, seorang pilot, seorang intelektual yang paling cerdas di dunia, dan seorang pramuka, pesawat itu mengalami kerusakan mesin dan perlahan namun pasti akan jatuh dan hancur berkeping-keping, dipesawat itu hanya ada dua parasut saja, sambil mengambil salah satunya intelektual yang paling cerdas di dunia ini, berkata kepada kedua orang lainnya ; “maafkan saya soal ini, saya adalah orang yang paling cerdas di muka bumi ini, jadi bagaimanapun saya harus hidup, saya masih memiliki tanggung jawab bagi dunia ini, kemudian dia melompat keluar menyelamatkan dirinya. Kemudian sang pilot berkata kepada pramuka; “ambilah salah satu parasut yang masih tersisa, karena saya telah menikmati hidup yang cukup lama, sedang kamu masih muda, masih panjang waktu yang ada di depan kamu, siapa tahu kamu bisa menjadi pilot seperti saya dan lebih hebat dari saya. dengan tenang pramuka tersebut menjawab, tenang kapten, sang intelektualitas itu melompat dengan backpack saya.
Demikian kehidupan ini, suatu saat nanti pesawat pasti akan jatuh, sebuah analogi yang cocok untuk kematian, karena manusia seberapa cerdas dan hebatnya pasti akan meninggalkan dunia ini, namun sama seperti intelektual yang paling cerdas dan pramuka, yang harus melompat dan hanya bisa tahu parasut yang benar ketika ingin memfungsikannya. Kematian pun demikian, setelah kematian itu menjemput barulah “parasut” itu diketahui berfungsi atau tidak oleh pribadi yang dijemput kematian tersebut, namun itupun tidak diketahui dan orang mati tidak dapat memberitahukan.
Namun apakah untuk kematian seseorang menjadi percaya? Tidak. Alurnya tidak demikian, seeorang percaya karena kasih karunia, seperti yang dideklarasikan oleh Rasul Paulus “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. (Php 1:21)”. Lalu apa perbedaan orang percaya dengan orang tidak percaya, bagi orang percaya baik dalam kehidupan ataupun kematiannya, ada tujuan dan harapan, sedang pada orang yang tidak percaya mungkin hanya ada tujuan pada kehidupan dan menolak tujuan dan harapan pada kematian.
Kemudian apakah ketika rasio menguakan suatu keraguan, selanjutnya iman yang harus melakukan adjustment (penyesuaian) kepada keraguan tersebut, atau sebaliknya? banyak kisah-kisah yang tidak apat dipahami, sakit penyakit yang tak kunjung sembuh, kepergian orang-orang yang dicintai, konflik yang tidak pernah berhenti, dan begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab lainnya.
Abraham yang dikenal sebagai bapa orang percayapun, pernah dihingapi oleh keraguan, sehingga ia melakukan “cara” Sarah untuk “membantu” Tuhan mengenapi janji-Nya, namun ketika Tuhan dengan cara-Nya sendiri mengenapi janji-Nya, iman Abraham mengalami suatu eskalasi (peningkatan) secara luar biasa, sehingga ia dapat melakukan sesuatu yang diluar akal sehat manusia, mengorbankan puteranya yang sudah ditunggu selama 100 tahun.
Ketika Ismael lahir, Abraham berumur 86 tahun(Kej 16:16), berarti janji Tuhan sebelum Abraham berumur 86 tahun, tidak disebutkan secara pasti berapa umur Abraham ketika Tuhan menjanjikan seorang keturunan kepadanya, supaya mengambil jarak yang lebih “dekat”, kita bisa membayangkan umur Abraham, taruhlah 85 tahun, kemudian Ishak lahir ketika umur Abraham 100 tahun (Kej 21:5), dari umur yang paling memiliki interval waktu yang dekat, 85 tahun, 15 tahun penantian Abraham ketika ternyata “cara” Sarah yang digunakan bukanlah pengenapan janji Tuhan.
Membayangkan penantian 15 tahun lebih Abraham, tahun demi tahun, bulan demi bulan, hari demi hari, detik demi detik, bukanlah sesuatu yang mudah untuk tetap persistent (tekun) untuk tetap menantikan janji Tuhan tergenapi, mungkin Abraham dan Sarah sudah begitu lelah untuk “mencoba” dan berharap, dari hari ke hari, dalam hati Abraham berkata, mungkin besok Tuhan mengenapi janjinya dan ada tanda-tanda bahwa Sarah hamil, tetapi ketika esok hari datang, Abraham berkata lagi kepada hatinya, kalau bukan sekarang mungkin besok, begitu seterusnya, dari esok ke esok lagi dan terus ke esok selama 15 tahun.
Adakah dasar Abraham untuk memiliki keraguan? 15 tahun, atau selama 99 Tahun sebelumnya Abraham memiliki harta yang melimpah, namun tidak dikaruniakan seorang keturunan selama hampir lebih 99 tahun, ketika memiliki seorang keturunan dari saran Sarah, kelengkapan kebahagiaan tersebut tidak utuh, karena Sarah sudah merasa terluka dan tersakiti oleh perbuatan Hagar, kemudian selama 15 tahun Abraham, hari demi hari harus menantikan “esok demi esok” yang tidak menjadi “esok”, sampai akhirnya Ishak lahir. Apakah Tuhan tidak dapat melakukan mujijat itu setelah 5 tahun kelahiran Ismael? Atau 7 tahun, atau paling lambat 10 tahun, atapun dengan cara “instan” 1-2 tahun setelah kelahiran Ismael?
Tentu itu adalah hak preogatif Tuhan, menentukan waktu yang tepat bagi-Nya memberikan kepada seseorang yang dikasihi-Nya, dan ada maksud yang terkadang tak bisa dipahami oleh rasio bahkan rasa kemanusiaan manusia (humanity). Namun apakah perbedaan dari menanti 15 tahun atau 10 tahun, dsb? Hanya Tuhan dan Abraham yang mengerti perbedaan itu, karena “it’s about relationship between God and Abraham”, yang tercatat di Alkitab dan bisa diuraikan makna rohaninya, bahwa “karena” menantikan selama 15 tahun, Abraham mengalami suatu eskalasi iman yang begitu dahsyat, dengan mempersembahkan Ishak yang telah ditunggu selama 100 tahun, namun apakah kalau penantian Abarham misalnya hanya 5-10 tahun, apakah Abraham juga akan tulus mempersembahkan Ishak, seperti ketika ia harus menunggunya selama 15 tahun? Kita tidak pernah tahu, walau ada suatu pandangan yang menyatakan, “easy get easy go” sesuatu yang mudah untuk didapatkan adalah sesuatu yang mudah juga untuk direlakan, namun buat Abraham, pandangan ini tak berlaku, begitu sulit dan panjang penantian Abraham untuk kelahiran Ishak, namun ia sanggup merelakan Ishak kepada Tuhan, ketika Tuhan “memintanya”. Tapi waktu Tuhan adalah waktu yang terbaik, dan itulah yang harus dipercayakan, tanpa harus diragukan melalui rasio-rasio manusia.
Sebagaimana orang-orang percaya mengetahui dengan pasti bahwa Tuhan itu baik, sangat baik dan selalu akan baik, terkadang ukuran kebaikan itu menjadi sangat relatif bagi manusia, karena manusia hanya memikirkan apa yang baik buat dirinya sendiri, tanpa perduli apakah itu juga baik bagi Tuhan. manusia hanya “mendesak” yang baik ke arah diri-Nya sendiri, sehingga menjadi penentu dan pembatas bagi apa yang buat Tuhan baik. Bagi Tuhan 15 tahun atau lebih adalah waktu yang tidak bisa ditawar-tawar untuk mengenapi janji-Nya kepada Abraham, tentu IA sanggup menuntaskan janji-Nya dalam hitungan bulan ketika IA secara langsung menjanjikan keturunan kepada Abraham, namun mengapa harus menunggu tahun demi tahun? itulah yang saya namakan bahwa manusia hanya bisa “mendesak” yang baik kearah dirinya, bagi manusia atau bagi Abraham tentu lebih baik jika janji Tuhan itu dalam hitungan bulan atau tidak terlalu lama sudah tergenapi. Atau ketika berdoa untuk sakit penyakit, dalam hitungan waktu yang singkat sudah disembukan, dalam permasalahan dalam waktu sekejap ada jalan keluar, semuanya serba instan dan cepat, seolah-olah membuang waktu saja untuk menunggu janji Tuhan itu tergenapi.
Karena itu, ketika saya melihat 15 tahun lebih Abraham menunggu Ishak, saya hanya bisa menyampaikan, “it’s about relationship between God and Abraham”, karena saya tidak bisa tahu apa yang dialami dan apa yang dipergumulkan Abraham hari lepas hari, meskipun saya hidup pada saat yang sama dengan saat Abraham hidup, saya adalah saya, Abraham adalah Abraham, dan saudara adalah saudara, kita semua orang percaya memiliki “it’s about relationship between God and ……(put your name in)”, apa yang terjadi pada Abraham itu yang terbaik yang telah disediakan Tuhan bagi Abraham, apa yang terjadi bagi saya atau saudara itu adalah yang terbaik yang telah disediakan Tuhan bagi saya dan saudara, apakah dalam menanti kesembuhan, pemulihan ekonomi, datangnya seorang anak, atau hadirnya pasangan hidup, semuanya akan indah pada waktu-Nya.
Meskipun tentu bukan hal yang mudah untuk menantikan sesuatu yang kita harapkan dan kita rindukan, detik demi detik terasa bagai minggu demi minggu, minggu demi minggu terasa bagai tahun demi tahun, tahun demi tahun terasa abad demi abad. Tetapi baik ketika apa yang kita harapkan terjadi atau tidak, janji Tuhan akan tergenapi, namun apakah yang saya atau saudara harapkan atau rindukan tersebut adalah janji Tuhan bagi hidup saya dan saudara ?. Sekali lagi “it’s all about relationship” antara saya atau saudara dengan Tuhan yang Maha Baik
Puji Tuhan, IA memberikan hikmat kepada saya ketika saya menuliskan ini, suatu kebijakan yang luar biasa yang IA sharingkan kepada saya, melalui kalimat yang tiba-tiba menyeruak dalam hati nurani saya, demikian kalimat tersebut
“Faith is do not eliminate the doubt, but convert it to the journey to known God much better”
Setiap kita memiliki journey yang berbeda-beda, saling menguatkan dan saling mendoakan untuk satu sama lain sebagai orang-orang percaya untuk ……
“have a great journey with God even with a doubt”
God Bless
- tonypaulo's blog
- Login to post comments
- 4065 reads
Mirip
Ada sebuah ilustrasi yang “lucu” tentang tiga orang dalam pesawat kecil, seorang pilot, seorang intelektual yang paling cerdas di dunia, dan seorang pramuka, pesawat itu mengalami kerusakan mesin dan perlahan namun pasti akan jatuh dan hancur berkeping-keping, dipesawat itu hanya ada dua parasut saja, sambil mengambil salah satunya intelektual yang paling cerdas di dunia ini, berkata kepada kedua orang lainnya ; “maafkan saya soal ini, saya adalah orang yang paling cerdas di muka bumi ini, jadi bagaimanapun saya harus hidup, saya masih memiliki tanggung jawab bagi dunia ini, kemudian dia melompat keluar menyelamatkan dirinya. Kemudian sang pilot berkata kepada pramuka; “ambilah salah satu parasut yang masih tersisa, karena saya telah menikmati hidup yang cukup lama, sedang kamu masih muda, masih panjang waktu yang ada di depan kamu, siapa tahu kamu bisa menjadi pilot seperti saya dan lebih hebat dari saya. dengan tenang pramuka tersebut menjawab, tenang kapten, sang intelektualitas itu melompat dengan backpack saya.
Si Intelektual kok mirip si Bejo sih ....... tok tok tok tok ( getok getok kepala gegetun )
Apakah dengan mengatakan kebenaran kepadamu aku telah menjadi musuhmu?
Apakah dengan mengatakan kebenaran kepadamu aku telah menjadi musuhmu?
mirip, serupa atau kembar
mungkin dari perspektif anda mirip, dan mungkin dari perspektif saya justru mungkin itu adalah kembaran anda?
hehehe....
sayangnya ternyata bukan itu subtansi yang ingin saya bahas kali ini