Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
On Collecting, Hoarding, and Conserving (2)
Kumpul-mengumpul atau koleksi yang agak pantas disebut koleksi baru kulakukan saat kuliah. Waktu itu, aku mengumpulkan kaset pita. Kaset-kaset itu semuanya masih ada hingga kini. Mengapa kaset? Mengapa bukan CD atau MP3? Karena waktu itu aku belum punya komputer. Namun, meski aku mulai mengumpulkan kaset-kaset, aku sama sekali tidak ingin memiliki sebuah walkman. Sebenarnya, jika walkman, aku masih mampu mengusahakannya. Tapi, walkman saat itu juga sudah mulai ketinggalan zaman. Jadi, aku bertahan mendengarkan kaset itu hanya saat di kos, dengan tape saja. Berburu kaset ini adalah pengalaman mengasyikkan yang kalau saja ada waktu, mungkin masih akan kunikmati hingga kini. Tentu saja, berburu kaset tidak cukup dilakukan dengan membeli di DiscTarra, Aquarius, distro, atau toko kaset. Yang lebih mengasyikkan adalah berburu kaset bekas.
Dari seorang teman, aku mengetahui tempat-tempat penjualan (dan pembelian) kaset bekas. Harganya bisa lebih dari separuh dari harga kaset biasa. Kalau bisa menawar, bisa mendapat harga 7 ribu, bahkan 5 ribu, tapi kalau tidak, 10 ribu pun dapat. Beberapa kaset yang sudah susah didapat di toko kaset kadang bisa kutemukan. Jika tidak, kaset yang masih ada di toko pun juga bisa kutemukan dengan harga jauh lebih murah. Selain cara di atas, kadang koleksiku kudapat dengan cara yang agak nakal. Misalnya: meminjam dan lama tidak dikembalikan, hingga pemiliknya kemudian lupa. Koleksiku pun bertambah. Tapi, kadang aku juga melakukan barter. Kaset yang kumiliki mungkin bukan termasuk kaset yang langka sekali, tapi setidaknya banyak yang sepengetahuanku sudah agak susah didapat. Tapi, mungkin saja kenikmatan mengkoleksi sebenarnya adalah lebih pada prosesnya, perburuannya, pengorbanannya, dll.
Aku mulai surut mengkoleksi kaset setelah memiliki sebuah MP3 player. Penggantinya, aku mengkoleksi MP3, tentu saja. MP3 jelas lebih murah dan membuatku punya lebih banyak lagu. Untuk MP3 ini, boleh dikata aku masih melakukannya hingga saat ini. Hanya saja, caranya sudah berubah-ubah. Awalnya, karena aku hanya bisa mendengarkannya melalui MP3 player, yang kucari adalah MP3 dalam bentuk fisik, kepingan CD. Ada banyak cara mendapatkan ini. Yang pertama adalah cara biasa. Yaitu membeli dari lapak-lapak penjual MP3. Di Surabaya, mulai dari lapak tunggal yang ada di depan minimarket, pasar, atau lainnya hingga pusat penjualan MP3 dan CD bajakan di Tunjungan Center adalah tempat kunjungan rutin. Di Tunjungan Center (TC) aku bisa berjam-jam menghabiskan waktu menyusuri deretan lapak yang berada di lantai 3 bangunan yang dulu bernama Harmoni itu.
Kadang memang ada perlakuan tidak mengenakkan. Beberapa pedagang merasa tidak suka jika aku berlama-lama dan mengaduk-aduk dagangannya tapi tidak kunjung membeli. Lagipula, jika aku ditanya, "mau cari apa?" Aku biasanya hanya menjawab, "mau lihat-lihat dulu." Itu memang jawaban jujur. Namun, kadang aku tidak mau menjawab seperti itu. Kadang aku hanya diam dan membuat mereka marah. Kadang saat aku menjawab dengan menyebut nama seorang artis atau band yang 'tidak terkenal' maka mereka langsung bilang tidak ada. Dan aku terpaksa menyingkir sementara (untuk kemudian kembali lagi, berharap dia sudah lupa denganku). Tapi, bagaimana lagi? Jika tidak berlama-lama mengaduk-aduk, maka kita akan sulit menemukan satu CD MP3 yang berisi banyak album yang benar-benar bagus dan 'langka'. Dalam setiap MP3 yang merupakan kompilasi semau pembuatnya, kadang aku bisa temukan ada 1 album bagus dan 1 yang lumayan. Tapi, di kompilasi lain, ada 3 album bagus atau 2 bagus tapi 2 lumayan. Nah, yang bikin lama adalah membanding-bandingkan seperti itu. Ada kalanya aku bisa membeli hingga 5 keping, tapi kadang juga tidak beli sama sekali.
Beberapa kali TC menjadi korban razia polisi. Jika sudah demikian, mereka bisa tutup sekitar seminggu. Aku pun sebal. Namun, yang cukup berkesan dengan TC itu adalah satu hal. Hal ini kadang bikin geli. Ini terjadi jika aku hendak masuk dan keluar ke gedung itu. Di parkiran atau di depan pintu masuk, biasanya akan ada beberapa mas-mas. Mereka kadang sok akrab, kadang sok menyapa, bahkan kadang sok merangkul dan berbisik-bisik, atau sekadar membuat tanda isyarat, baik dengan gerak mata atau tangan. Mereka penjual bokep. Aku tidak pernah tertarik membeli dagangan mereka. Sebagai anak kos, kalau memang ingin nonton bokep, meminjam saja sangat mudah dan pilihannya jauh lebih banyak. Apalagi, menurut beberapa teman yang pernah membeli bokep di TC, ternyata dagangan mereka memang tidak istimewa atau kadang juga jelek. Meski demikian, 'sambutan' mereka itu selalu membuatku tersenyum.
Mengenai koleksi kepingan MP3(kadang juga CD), ada satu waktu ketika aku selalu tidak pernah melewatkan setiap kesempatan pun untuk mendapatkannya. Ketika menghadiri interview kerja di Jakarta, dua kali aku sempat ke Glodog. Meski menurutku untuk MP3 masih lebih ramai di TC, tapi di Glodog tampaknya lebih variatif walaupun di sana lebih lengkap untuk DVDnya. Ketika lulus kuliah dan kembali ke Solo, kadang aku pergi ke Jogja, terutama di jalan Mataram di mana berderet lapak-lapak penjual MP3 dan CD bajakan. Namun, untuk tempat asalku sendiri, yaitu Solo, aku malah kurang bersemangat. Di Solo, tidak ada tempat macam TC, Glodog, atau Jalan Mataram. Dulu ketika masih kuliah dan sedang pulang untuk liburan, aku memang menyempatkan mendatangi mal atau pertokoan yang menjual MP3. Namun, aku jarang beli karena harganya memang lebih mahal.
Menurutku, tiap kota memang ada ciri khasnya. Di Surabaya, menurutku lebih banyak MP3 musik Barat (Mandarin juga banyak, tapi aku tidak suka lagu Mandarin). Di Glodog, sebenarnya bisa dibilang seimbang. Tapi, koleksinya lebih baru. Di Jogja, lebih banyak musik lokal, tapi bagusnya lokalnya juga termasuk musik independen. Sementara di Solo, koleksinya kurang update (tapi kadang juga menemukan yang jadul dan cukup 'langka'), tapi di Solo yang menonjol adalah cukup banyak album rohani. Sayangnya aku tidak mengkoleksi MP3 lagu rohani. Itulah beberapa perbedaan menurut sepengetahuanku. Tentu saja bisa jadi aku salah karena aku sudah tidak pernah mencari kepingan MP3 lagi sejak sekitar 3 tahun ini.
Sewaktu teman sekamarku membawa komputernya. Aku menambah cara baru mencari MP3. Yang ini jauh lebih kusukai dari membeli di lapak. Lebih murah, bisa dicoba, dan isinya pasti lebih sesuai seleraku. Caranya adalah dengan mengaduk-aduk koleksi teman. Ada beberapa teman yang suka mengoleksi lagu-lagu, entah di komputernya atau dalam kepingan MP3 juga. Bahkan kalaupun ia tidak suka, asal ia punya komputer aku yakin pasti ada folder musiknya. Nah, sudah merupakan kewajiban untuk memeriksanya. Untuk yang ini, karena waktu itu belum ada yang namanya flash disk, aku pun harus membawa CD kosong dan memastikan komputer temanku itu memiliki CD Writer. Dari komputer satu ke komputer lain, aku sering mendapatkan banyak lagu bagus. Bahkan, ada juga yang sampai membuatku beberapa kali bolak-balik. Jika koleksi temanku itu masih ada di kepingan MP3, aku bujuk dia agar aku diizinkan mencoba di komputernya. Kadang hingga subuh aku begadang memilih dan memastikan setiap space di CD itu dipenuhi lagu yang memang aku belum punya. Dan jangan remehkan ingatanku untuk ini. Aku cukup hafal puluhan atau mungkin ratusan ribu lagu yang ada di ratusan keping MP3 dan bergiga-giga file MP3 yang ada di komputerku hingga saat ini. Tapi, belakangan memang sering lupa juga sih.
Ketika kemudian aku bekerja di Jogja, sebenarnya aku sudah agak meredup dalam mengkoleksi MP3. Tapi, di kota itu, ada cara yang lebih ekonomis dan tak kalah efektif dari mengkopi koleksi MP3 teman. Aku sungguh senang dengan warnet-warnet di Jogja. Di sana, koleksi MP3nya biasanya sangat banyak, selalu update (bahkan bisa request), dan bervariasi. Meski di Solo pun ada warnet yang menshare folder MP3nya, tapi koleksinya kalah jauh dibanding warnet di Jogja. Yang mengasyikkan, beberapa warnet aku lihat cukup idealis. Maksudnya, mereka tidak hanya menyediakan lagu-lagu yang sedang populer di TV, tapi juga berbagai jenis musik dan artis yang tidak semua orang tahu. Kadang, beberapa artis lokal juga sepertinya sengaja menitipkan track rekaman mereka di warnet-warnet agar musik mereka lebih dikenal. Sebelum itu, saat aku masih belum bekerja di Jogja dan karena kapasitas flash disk masih kecil-kecil, maka ada kalanya aku terpaksa membeli CD kosong di warnet itu (biasanya mereka jual). Memang cukup mahal, harga burningnya juga mahal, tapi tidak apa-apa karena aku sudah berpenghasilan. Setelah aku sempat bekerja di Jogja dan kapasitas flash disk mulai besar-besar, maka aku lebih bebas. Bisa kembali kapan saja. Bahkan beberapa kali aku ke warnet tanpa browsing sama sekali, hanya memilih-milih MP3.
Ada enam tas dan dua wadah CD yang ada padaku saat ini. Semua berisi MP3 dan beberapa CD. Beberapa memang ada yang jamuran, tergores, dan tidak bisa terbaca, baik di komputer maupun player lagi. Dulu, caraku menyelamatkannya mau tidak mau adalah mengkopinya ke kepingan yang baru. Tapi setelah aku punya komputer, aku bisa sedikit lebih tenang. Cara selanjutnya untuk mendapatkan MP3 adalah mendownload. Ketika situs filesharing masih belum populer, aku menggunakan software limewire yang ada di beberapa warnet tertentu. Cara tersebut sudah terasa sangat canggih waktu itu. Pertama kali mencoba limewire, aku langsung menginap di warnet dan paginya membawa pulang dua keping MP3 yang diburn di sana. Sekarang, dengan adanya kebebasan koneksi internet, aku hanya sesekali saja mendownload di berbagai tempat, seperti situs filesharing, situs resmi band atau artis tertentu yang memang menyediakan download gratis, atau mendownload dari video untuk kemudian diubah bentuk menjadi MP3. Memang, sepertinya kesetiaanku dengan format MP3 akan masih bertahan cukup lama.
Seperti sudah kubilang, semangatku berburu MP3 saat ini sudah jauh berkurang dibanding waktu kuliah. Satu penyebab utamanya adalah karena aku punya bahan koleksi lain. Koleksi ini adalah koleksi tulisan. Buku, ebook, artikel, beberapa majalah, jurnal, paper, hingga rekaman diskusi kini menjadi tampak sama bahkan kadang lebih seksi dari alunan musik. Untuk artikel, mungkin Mamalah yang memberi contoh. Hingga beberapa tahun lalu, ia masih suka menggunting-gunting resep masakan serta resep obat-obatan tradisional. Kakakku mungkin bilang itu nyusuh, seperti pemulung. Tapi, Mama tidak ambil pusing dan tetap dengan telaten ia tempelkan setiap guntingan kertas itu di buku yang beraneka bentuknya. Cukup banyak bukunya dan cukup tebal-tebal. Dulu aku tidak terlalu tertarik, tapi sekarang aku justru berusaha mencari di mana semua buku-bukunya itu.
Meski demikian, aku juga agak beda dengan Mama. Bentuk kliping artikelku bukanlah dalam bentuk fisik, melainkan file (sekalipun sebenarnya ingin juga mengkliping kertas). Kesukaan ini mungkin juga dipengaruhi oleh pekerjaan pertamaku. Waktu itu, Bos pernah memberi tugas memilah-milah artikel dan mensortir mana yang bagus. Meski artikel yang kusortir bukan artikel dengan topik favoritku, tapi aku cukup menikmati tugas itu. Aku juga terdorong oleh kebiasaan satu tokoh idolaku, Pramoedya Ananta Toer. Sebagaimana mungkin sudah banyak yang tahu, selain HB Jassin, Pram adalah tokoh yang setia dengan pendokumentasian. Hanya karena kebiadaban rezim tentara, koleksi dalam perpustakaannya tersebut telah dirampas dan dibakar. Satu hal ini masih terus membuatnya dendam hingga akhir hayat. Kabar bahwa setelah keluar penjara Pram bekerja mengumpulkan kliping yang tebalnya hingga bermeter-meter juga membuatku terkesima. Jangan meremehkan kliping. Bahkan Pram pernah bilang bahwa ia tahu sesuatu bukan karena pintar, tapi hanya karena ia suka mengkliping. Pernyataannya tersebut membuatku yakin bahwa kliping itu berguna. Pendokumentasian adalah pekerjaan mulia. Apalagi kita berada di negara yang punya sejarah suka menghancurkan, negara yang sering dikangkangi para penguasa yang tidak tahu menghargai apalagi belajar dari masa lalu.
Untuk mengkoleksi buku cetak, aku masih memakai cara konvensional. Kalau tidak membeli yang baru ya yang bekas. Aku masih tidak terlalu tertarik untuk memfotokopi. Sejauh ini, bukuku yang hasil fotokopi hanya ada satu; sebuah buku asing, biografi salah satu band favoritku. Buku itupun pemberian (atau pinjaman yang direlakan?) dari seorang teman. Dan yang kini kadang kusesali adalah, keputusanku menjual berkilo-kilo buku fotokopian di masa kuliah kepada tukang rombeng demi menghemat biaya pemaketan barang-barangku. Uang yang kudapat hanya 23 ribu. Semula temanku mengusulkan uang itu dibelikan sebuah kaset sebagai pengingat. Tapi, ternyata uang itu kemudian melayang untuk membeli bensin mobilnya.
Menurutku, jika bicara soal membeli buku, rasanya lebih mantap jika bekas. Untuk buku bekas lokal, masalah banyaknya penerbit yang tutup, banyaknya buku yang meski ditulis dengan bagus tapi tidak laris dan tidak dicetak ulang, hingga masalah hak cipta yang belum jelas aturannya, membuat sebuah buku bekas kadang bisa menjadi sangat berharga. Yang sangat menarik dari buku bekas adalah jika menemukan selipan atau coretan-coretan di dalamnya. Kadang aku bisa mendapatkan selipan buku yang bagus. Tapi, kadang juga kertas pengingat atau surat kecil. Aku juga menikmati yang namanya coret-coretan di buku bekas, asal itu tidak mengganggu teksnya. Mungkin itu coretan tulisan nama si pemilik buku. Mungkin nama pemberi buku. Mungkin alamat atau nomor telepon seseorang yang kebetulan harus ia catat, tapi ketika itu ia tidak punya kertas. Mungkin tanggal dan tempat membeli buku itu. Mungkin catatan tambahan di sela-sela pembahasan. Apapun itu, semuanya itu adalah satu goresan sejarah. Menurutku, sejarah minor memang sering kali lebih menarik dari sejarah-sejarah besar, selain tentunya bisa saling melengkapi. Demikian pula, goresan di halaman buku bekas itu sering kali bisa melengkapi apa yang tertulis di sana.
Tapi, aku juga suka dengan buku baru. Bukan baru dalam artian tahun terbitnya. Tapi, maksudnya adalah yang kudapat sebagai tangan pertama, biarpun itu obralan. Aku memang belum terlalu telaten dan tahu soal cara merawat buku agar tidak rusak. Untungnya, bukuku yang ada kebanyakan belum rusak. Paling ada beberapa yang hanya terkena noda atau kertasnya mengeras akibat pernah terkena air dan dijemur. Karena itulah, dengan membeli buku baru aku merasa lebih aman bahwa umur buku itu setidaknya bisa lebih panjang dari buku bekas. Namun, yang memberatkan memang harganya. Yang paling aku suka dari buku cetak adalah aromanya. Oleh karena itulah, tempat membaca yang paling kusukai adalah yang dekat dengan banyak buku lainnya.
Meski buku cetak lebih enak dilihat, tapi koleksi bukuku yang dalam bentuk ebook masih lebih banyak ketimbang yang kertas. Kebanyakan memang berbahasa Inggris, dan kebanyakan juga belum sempat dibaca. Tapi, aku bayangkan jika memang kelak ebook akan menggeser kedudukan buku kertas, aku tidak perlu khawatir. Demikian juga dengan artikel. Semoga Tuhan memberkati hard diskku sehingga berbagai artikel yang ada tidak akan pernah yang namanya hilang. Aku membayangkan, apa yang kulakukan saat ini, suatu hari nanti akan bisa kuperlihatkan kepada anak hingga cucuku dan seterusnya. Dengan begitu, generasi mendatang tidak akan mudah ditipu seperti generasi-generasi sebelumnya. Tidak peduli bagaimana sejarah nantinya dibengkak-bengkokkan, setidaknya aku berharap bisa memberi pandangan dan masukan melalui catatan tulisan yang kukumpulkan dari berbagai sumber yang menurutku kompeten.
Dalam mengkoleksi tulisan, godaannya adalah menjadi tidak fokus. Aku mungkin juga kadang asal comot. Asal tulisannya bagus dan menarik. Meski kadang aku berdalih itu bisa kugunakan untuk pekerjaanku, tapi aku sadar bahwa kadang itu bisa membuatku mengumpulkan hal tak berguna. Tapi, makin lama aku juga mulai belajar untuk lebih fokus. Beberapa bidang lebih kuutamakan dan lebih gemuk koleksinya ketimbang bidang lain. Makin lama, kadang juga makin menyempit. Misalnya, tidak hanya mengoleksi buku dan tulisan tentang sejarah, tapi sejarah yang lebih spesifik yaitu sejarah kekerasan. Lalu menyempit lagi ke sejarah kekerasan di Indonesia, lalu di pulau Jawa, lalu khusus kekerasan antar warga saja, dst. Namun, ada kalanya aku juga tergoda untuk melebar lagi. Tiba-tiba aku ingin tahu tentang bagaimana kekerasan bisa seolah menjadi budaya, lalu melebar mengamati mitologi, filsafat, bahkan psikologi, dll.
Kebebasan mengakses internet saat ini sangat mendukungku melakukan kegiatan ini. Seperti halnya MP3, aku masih mengandalkan mendownload ebook melalui situs filesharing. Tapi, karena ini tulisan, bahannya tentu saja jauh lebih melimpah. Senang rasanya kalau menemukan situs yang menyediakan jurnal atau paper yang bisa didownload gratis serta legal. Dan kalau memang sangat tertarik dan koneksi sedang bagus, maka kadang aku juga mendownload satu website atau blog utuh. Jeleknya, kebebasan akses internet juga membuatku hanya mencari dan mengumpulkan terus menerus. Yang sudah dikumpulkan kadang belum dibaca, diolah, atau masih hanya diskimming saja, eh aku sudah mencari yang lain. Tapi menurutku, itulah hebatnya internet. Tidak heran jika sampai ada seorang artis yang mengaku punya 4 Terabyte file hasil mendownload dari internet saja! Bisa tidak ya aku seperti dia?
Di sela-sela mengumpulkan artikel-artikel di internet, dulu sempat terbersit keinginan mengumpulkan foto-foto bersejarah. Namun, rupanya aku belum cukup telaten untuk itu. Sempat mengumpulkan daftar foto tokoh-tokoh yang berseberangan pandangan yang tertangkap dalam satu frame. Sempat juga mengumpulkan foto tokoh dunia saat saling bertemu. Atau foto bersejarah lainnya. Tapi, kadang aku lebih terbawa menikmati artikel karena caraku mencari foto juga masih belum seberapa canggih. Mungkin kegiatan itu bisa dilakukan lagi nanti.
Belum ada user yang menyukai
- y-control's blog
- Login to post comments
- 5665 reads
Selalu menambah
Selalu menambah pengetahuan bila membaca blognya y-control ini. Dua tulisan yang berkisah tentang sang kolektor, mengingatkakanku pengalaman masa lalu juga nih. Aku juga pernah mengkoleksi batu-batuan, utamanya yang berasal dari tepi laut. Setiap ke pantai, aku selalu mencari bebatuan yang kuanggap unik dan pulangnya satu atau dua kresek tanggung penuh batu sebagai oleh-oleh. Setelah sekian tahun, batu itu masih kusimpan tapi tempatnya sudah berpindah, dulu di tempat plastik khusus, sekarang saya sebar di pot tanaman hias.
Waktu masih SD aku paling senang koleksi mainan2 dari plastik, entah berbentuk binatang atau tokoh2 kartun atau tokoh2 bintang film waktu itu. Koleksiku cukup banyak dan teman-teman sebaya sering main ke rumah utk bermain bersama-sama. Lucunya, mereka lebih suka aku yang memainkannya, bakat berceritaku mungkin dari sini ya. Jadi setiap pulang sekolah banyak dari mereka membujukku untuk bermain,padahal mereka tidak memainkannya cuma tertegun saja melihat aku mendalang dengan mainan-mainanku itu. Ketika SMA mainanku dikasihkan oleh ortu kepada tetangga dekat yang punya anak SD. Sekarang kalo ingat, wah ledek ndeso "eman-eman" hahaha....
Selain itu, aku juga koleksi gambar2 yang biasa dipakai untuk "umbul". Dalam permainan yang mengasyikkan itu tidak selalu menang sih, tapi aku selalu membeli yang baru. Timbul kreativitasku waktu itu, aku cari Bohlam (PX) yang seukuran 10-25 watt (ukurannya sama semua), cuma satu yang kupakai, atas bohlam kulubangi kemudian kuberi air. Lalu saya membikin kotak dari karton, bohlam saya taruh ditengah dan gambar2 seukuran (kurang lebih) kartu domino, kugunting mendatar, kusambung dan digulung. Kalo gambar diliat dari depan bohlam akan terlihat besar dan jelas serta berjalan sampai ceritanya tamat. Setiap anak yang ingin melihat harus membayar dengan gambar atau uang serupiah. Nah hasil dari itu bisa kubelikan gambar lagi dengan cerita yang baru juga.
Ada juga pernah koleksi perangko, tapi akhirnya kuberikan kepada sahabat penaku yang lebih loyal sebagai kolektor perangko. Kliping-kliping dari koran juga pernah kulakukan tentu saja dari berbagai disiplin pengetahuan, kukelompokkan sendiri-sendiri, budaya, senirupa, politik dll. Sayang, sekarang berantakan, entah ke tukang loak atau hilang begitu saja, saya lupa. Sementara koleksi2 karya2ku yg pernah dimuat di media, sebagian masih ada, walau dimakan rayap, sayang yang lain hilang sampai sekarang belum ketemu, mungkin ikut diloakkan, entahlah. Tapi berhubung karya sendiri, nyesel juga, kan bisa untuk bernostalgia ketika membaca ulang.
Sekarang, belum kepikiran mau koleksi apa, waktu telah merajam untuk bernikmat-nikmat berburu barang-barang koleksi. Tetapi bila ada teman mengajak untuk berburu barang kolektor, aku sering oke. Entah berburu tanaman, keris, batu atau binatang2 peliharaan. Sementara untuk berburu buku, sebetulnya ini yg paling kusuka, tapi koleksiku buku, entah komik atau cersil sudah kuberikan pada relasiku yang sangat berhati-hati merawatnya. Sering aku beli buku tuh, dulu atau sekarang, belum ada yang pernah kubaca sampai tamat hahaha.....Sekarang kok jadi males membaca, nafsu membeli tetapi sampai di rumah ya diletakkan begitu saja. Begitu juga dengan kaset2 DVD, berbagai film sudah dibeli, tapi ya nggak sempat nonton juga. Bahkan casino royale waktu pertama kali ada langsung beli, tapi sampai sekarang masih utuh, bahkan aku melihatnya di televisi hahaha.....Dan masih banyak yg belon kulihat serta kubaca. Ini gejala malas atau apa ya Y-?
Sementara itu dulu buat nostalgia sebagai kolektor amatir, entar disambung lagi.
Semoga Bermanfaat Walau Tidak Sependapat
anak kreatif
terima kasih apresiasinya tante, ternyata tante paku kecil dah kreatif dan otak bisnisnya jalan nih...
hehehe.. terus terang sampai sekarang saya gak bisa memainkan permainan anak-anak umum macam umbul, nekeran (gundu), atau layangan, bekelan pun juga nggak hehe..
mulai masa TK sampai SMP, saya pindah ke rumah yg termasuk sangat besar dan waktu itu terbilang mewah, tapi letaknya di daerah pinggiran dan di antara rumah2 kecil. sebenarnya itu rumah pinjaman yg juga difungsikan sbg gudang, kami cuma disuruh menempati. tapi tetangga mengira saya anak yg punya rumah itu. apalagi dengan tembok tinggi, berkawat duri, gerbang besi, banyak anjing, bikin saya dan anak tetangga terasa berjarak. atau saya sendiri yg memang malas masuk kampung-kampung. jadi saya lebih sering bermain sendiri karena saudara yang lain semua cewek, kecuali kalo ada sepupu atau teman sekolah main..
misalnya saja nggak pindah, mungkin saya bisa menguasai mainan-mainan di atas, karena sebelumnya saya tinggal di kampung, rumah kecil kontrakan, dan main dengan anak tetangga lain rasanya bebas saja..
betul juga tante.. saya sendiri juga makin sering begitu. apalagi kalo film. kira-kira setengah tahun lalu saya menyewa sebuah film di rental dan saya kopi ke komputer. tapi kok sampai sekarang filenya itu masi ada dan belum pernah saya tonton sama sekali.. kalo sudah memutuskan ingin nyiapin waktu khusus, seringnya ditunda-tunda.. hehe kalo waktunya sudah lewat trus ngeluh, duh kok gak punya waktu hehehe..
Don't Swallow the Press